Implementasi Profil Pelajar Pancasila dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra merupakan salah satu objek pembelajaran yang memiliki kedudukan penting dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Fungsi pembelajaran sastra berkaitan dengan tujuan pembelajaran, yaitu mencerdaskan siswa sebagai makhluk sosial. Pembelajaran ini tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan siswa. Penerapan pembelajaran sastra di kelas sama halnya dengan menyeimbangkan ranah kognitif, psikomotor, dan afektif siswa.

Belajar sastra membantu siswa untuk menyelami dan memahami nilai-nilai kehidupan. Dalam sastra banyak terdapat nilai kehidupan yang dapat diperoleh. Hal itu akan membentuk profil siswa yang memiliki karakter yang kuat. Dengan karakter yang kuat, siswa mampu dan siap menghadapi tantangan zaman yang makin kompleks saat ini.

Pembelajaran sastra memberi penguatan yang sangat penting bagi siswa. Tidak hanya sebatas untuk mengenal sastra atau memahami karya-karya sastra, melalui pembelajaran ini siswa akan dikenalkan dengan aspek kreativitas, sosiokultural, pengembangan intelektual, dan kecakapan emosional. Tidak hanya itu, dengan fungsi rekreatif sastra, siswa pun akan lebih cerdas dalam memahami hakikat kehidupan yang dialami dan dirasakannya. Oleh karena itu, tidak salah apabila setelah membaca karya sastra, mereka mampu melakukan introspeksi diri dan berbenah diri karena fungsi sastra memberikan manfaat bagi pembaca (Sugiarti, 2012).

Dalam pembelajaran, nilai sastra perlu ditanamkan dalam diri siswa. Dengan penanaman nilai tersebut, diharapkan sastra membawa pengaruh positif bagi siswa. Pengaruh yang muncul sepatutnya memberi manfaat bagi lingkungan sekitar siswa. Wibowo (2013: 38—39) mengungkapkan bahwa misi sastra meliputi (a) karya sastra sebagai alat untuk menggerakkan pemikiran pembaca pada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila ia menghadapi masalah; (b) karya sastra menjadi tempat sehingga nilai kemanusiaan mendapat tempat sewajarnya dan disebarluaskan, terutama dalam kehidupan modern dan berfungsi menjadi pengimbang sains dan teknologi; serta (c) karya sastra menjadi penerus tradisi suatu bangsa kepada masyarakat sezamannya. Ketiga misi sastra tersebut amat penting karena ungkapan jiwa, nuansa kehidupan, keindahan, semuanya tercipta dalam sastra.

Peristiwa-peristiwa dalam kehidupan patut menjadi tuntunan pembelajaran yang berakar pada pengalaman hidup. Perlu dipahami bahwa sastra dapat dijadikan sebagai pedoman dalam membentuk watak dan moral manusia. Hal itu sejalan dengan pemikiran bahwa sastra lahir tidak hanya untuk dinikmati dan dihayati, tetapi juga sastra membentuk dan memengaruhi pembacanya (Teuuw, 1984: 7). Karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran serta tentang apa yang baik dan yang buruk. Karya sastra seharusnya memberi manfaat positif bagi pembaca.

Terkait dengan pembelajaran sastra di sekolah, nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra dapat sejalan dengan penguatan Profil Pelajar Pancasila. Pembentukan karakter pelajar merupakan upaya yang tidak pernah berhenti untuk terus diimplementasikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Profil Pelajar Pancasila adalah sejumlah karakter yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila yang diharapkan menjadi identitas siswa dalam perilaku keseharian.

Dalam Visi dan Misi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020—2024, disebutkan bahwa Profil Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia; berkebinekaan global; bergotong royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif. 

Penerapan Profil Pelajar Pancasila sepatutnya dapat dijadikan pedoman dalam menciptakan karakter siswa Indonesia pada masa yang akan datang. Karena merupakan suatu pedoman, Profil Pelajar Pancasila harus menjadi cerminan dalam diri setiap siswa. Profil itu senantiasa akan muncul dalam tindak laku siswa dalam kesehariannya. Dengan demikian, suatu pembelajaran akan bermuara pada tujuan akhir yang termaktub dalam program-program dan kegiatan pembelajaran di setiap satuan pendidikan yang ada.

Sebagai salah satu media, pembelajaran sastra di sekolah dapat berperan sebagai perantara untuk mencapai tujuan Profil Pelajar Pancasila. Justru melalui pembelajaran sastra, guru dapat menyusun program atau kegiatan pembelajaran yang dapat mengeksplorasi kemampuan dan keterampilan siswa yang terkait dengan dimensi Profil Pelajar Pancasila. Melalui sastra yang diajarkan di sekolah, guru akan lebih terbantu dalam menanamkan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila dalam diri siswa.

Profil Pelajar Pancasila dapat dikenali melalui enam dimensi. Keenam dimensi tersebut merupakan pengejawantahan dari karakter-karakter positif yang diinginkan dari diri siswa. Dalam pembelajaran nantinya keenam dimensi yang ada secara bertahap akan diaplikasikan dalam tahapan pembelajaran. Begitu pun halnya dalam pembelajaran sastra. Keenam dimensi Profil Pelajar Pancasila dapat diterapkan dan dikombinasikan sehingga pembelajaran sastra dapat menjadi media yang tepat dalam upaya pembentukan karakter siswa. Berikut adalah tahapan implementasi dimensi penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam pembelajaran sastra di sekolah.

1.  Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia

Pelajar Indonesia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia adalah pelajar yang berakhlak dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ia memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan pemahaman tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Ada lima elemen kunci beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, yaitu (a) akhlak beragama, (b) akhlak pribadi, (c) akhlak kepada manusia, (d) akhlak kepada alam, dan (e) akhlak bernegara.

Untuk mengenalkan, mengajak, dan menghayati dimensi ini guru dapat melaksanakan pembelajaran sastra dalam bentuk analisis unsur ekstrinsik sebuah novel. Contoh karya yang dapat dijadikan sebagai bahan analisis adalah novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja. Guru meminta siswa untuk mengkaji unsur ekstrinsik, khususnya nilai agama yang terkandung di dalam novel tersebut. Setelah melakukan pengkajian, siswa (dapat berkelompok) diminta untuk menjelaskan kajian yang sudah diperoleh sebelumnya sehingga pemahaman terhadap dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia makin tumbuh dalam diri siswa. Novel Atheis dianggap sesuai dengan lima elemen kunci dimensi ini, yaitu akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam, dan akhlak bernegara. Dengan mempelajari dan menganalisisnya, novel tersebut dapat menjadi media yang tepat untuk menciptakan karakter yang kuat di bidang agama. 

2. Berkebinekaan Global

Pelajar Indonesia mempertahankan budaya luhur, lokalitas, dan identitasnya serta tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai dan memungkinkan terbentuknya budaya luhur yang positif dan tidak bertentangan dengan budaya luhur bangsa. Elemen dan kunci kebinekaan global meliputi (a) pengenalan dan penghargaan terhadap budaya; (b) kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama; serta (c) refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan.

Bentuk pembelajaran sastra yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan dimensi berkebinekaan global ini masih berupa analisis, baik terhadap suatu karya berbentuk cerpen maupun novel. Sebagai contoh, guru dapat menjadikan tetralogi novel karangan Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca untuk dianalisis oleh siswa secara berkelompok. Sesuai dengan jumlah tetralogi, yaitu empat novel yang berbeda, guru dapat membagi siswa ke dalam beberapa kelompok untuk melakukan peninjauan unsur intrinsik dari novel-novel tersebut. Mengapa mengambil novel-novel tersebut? Alasannya adalah karena novel ciptaan Pramoedya Ananta Toer memiliki makna yang sangat kuat dalam upaya mengaitkan karakter siswa dengan budaya luhur, lokalitas, dan identitas serta dapat mempertahankan untuk tetap berpikiran terbuka dalam interaksi dengan budaya lain sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai dan memungkinkan terbentuknya budaya luhur yang positif dan tidak bertentangan dengan budaya luhur bangsa. 

3. Bergotong Royong

     Pelajar Indonesia memiliki kemampuan bergotong royong, yaitu kemampuan untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan sukarela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah, dan ringan. Elemen-elemen dari bergotong royong adalah (a) kolaborasi, (b) kepedulian, dan (c) berbagi.

Ciri khas dari kegiatan gotong royong adalah pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Ada sikap sukarela yang ditonjolkan agar kegiatan yang dilakukan dapat berjalan hingga selesai. Dimensi gotong royong dalam pembentukan Profil Pelajar Pancasila dapat diimplementasikan dalam pembelajaran sastra. Bentuk pembelajarannya berupa bermain drama. Guru membentuk kelompok drama terlebih dahulu, kemudian memberikan naskah drama kepada tiap-tiap kelompok untuk dimainkan. Dalam prosesnya, para siswa akan bermusyawarah untuk mempersiapkan penampilan drama. Saat proses itu berlangsung, karakter gotong royong, dengan bekerja bersama-sama dalam kesatuan kelompok, akan terbentuk. Nilai-nilai inilah yang kemudian dapat menciptakan dimensi gotong royong yang makin memperkuat terbentuknya Profil Pelajar Pancasila dalam diri siswa.

4. Mandiri

Pelajar Indonesia merupakan pelajar mandiri, yaitu pelajar yang bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya. Elemen kunci dari mandiri terdiri atas (a) kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi serta (b) regulasi diri.

Dimensi mandiri berupaya untuk melahirkan generasi anak bangsa yang memiliki karakter bertanggung jawab terhadap setiap hal yang dilakukan. Siswa dibekali dengan kemampuan mengidentifikasi kekuatan dan tantangan-tantangan yang akan dihadapi pada konteks pembelajaran, sosial, dan pekerjaan yang akan dipilihnya pada masa depan. Dengan kata lain, siswa harus mampu menganalisis karakteristik dan keterampilan yang dibutuhkan dalam menunjang atau menghambat kariernya pada masa depan.

Salah satu bentuk pembelajaran sastra yang dapat mendukung terciptanya dimensi ini adalah deklamasi puisi. Deklamasi puisi adalah kegiatan membaca puisi dengan disertai mimik, intonasi, dan gerak tubuh yang sesuai dengan konteks makna larik yang diucapkan. Kegiatan ini sangat sesuai dengan proses pembelajaran yang menuntut siswa untuk secara mandiri menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Melalui deklamasi puisi, siswa dapat memperkuat dimensi mandiri dalam dirinya karena mampu mengimplementasikan kesadaran diri akan situasi yang dihadapi serta kemampuan diri untuk meregulasi keterampilan yang dibutuhkan oleh siswa untuk keperluannya pada masa yang akan datang.

5.  Bernalar Kritis

Pelajar yang bernalar kritis mampu secara objektif memproses informasi, baik kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan berbagai informasi, menganalisis informasi, serta mengevaluasi dan menyimpulkannya. Elemen-elemen dari bernalar kritis adalah (a) memperoleh dan memproses informasi dan gagasan, (b) menganalisis dan mengevaluasi penalaran, (c) merefleksikan pemikiran dan proses berpikir, dan (e) mengambil keputusan.

Dimensi bernalar kritis merupakan salah satu karakter yang dituntut harus ada dalam diri siswa dewasa ini. Sesuai dengan kebutuhan zaman, siswa patut memiliki keterampilan abad ke-21. Bernalar kritis merupakan bentuk keterampilan yang wajib dimiliki oleh siapa pun untuk menghadapi era saat ini yang begitu maju.

Penerapan dimensi bernalar kritis dalam pembelajaran sastra dapat dilakukan dalam pembelajaran menulis drama. Tugas menulis drama dapat diberikan secara individu atau kelompok. Pada saat pelaksanaan tugas ini, guru dapat mengangkat sebuah fenomena atau realitas sosial yang sedang terjadi saat ini untuk dijadikan sebagai tema atau topik teks drama. Berdasarkan tema tersebut, para siswa kemudian menyusun teks drama. Dengan kemampuan bernalar kritis dalam diri siswa, tugas ini tentu saja akan memberikan tantangan tersendiri bagi siswa, terutama dalam mengolah informasi, menganalisis permasalahan, merefleksikan pemikiran, dan mengambil keputusan sendiri sehingga teks drama yang disusun dapat terselesaikan. Melalui proses tersebut, harapan untuk siswa dalam melahirkan karakter bernalar kritis melalui tugas menulis teks drama dapat tercapai. 

6.  Kreatif

Pelajar yang kreatif mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak. Elemen kunci dari kreatif terdiri atas (a) menghasilkan gagasan yang orisinal, serta (b) menghasilkan karya dan tindakan yang orisinal.

Selain bernalar kritis, karakter kreatif juga menjadi bagian dari kompetensi keterampilan abad ke-21 yang perlu dimiliki oleh siswa. Kreatif berarti memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu. Karakter ini sangat penting dalam membantu generasi muda untuk menghadapi tantangan zaman. Dengan memiliki kreativitas, siswa akan mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi yang saat ini sangat cepat berkembang.

Menumbuhkan dimensi kreatif dalam pembelajaran sastra tidaklah mudah. Guru perlu mencermati aktivitas pembelajaran apa yang sesuai dengan tujuan penumbuhan dimensi ini. Namun, jika guru dapat berpikir kreatif dalam mengelola pembelajaran, pembelajaran sastra akan berjalan dengan penuh kreativitas pula.

Salah satu metode yang dapat diaplikasikan adalah merancang pembelajaran sastra dengan mengombinasikan antara konten sastra dan penggunaan media film. Bentuknya dapat berupa film pendek yang diadaptasi dari sebuah puisi, cerita pendek, atau novel. Dapat pula diadopsi media video musikalisasi puisi untuk mengolah informasi dari teks-teks sastra yang ada. Terkait dengan media, guru memiliki keleluasaan untuk memilih media apa yang dianggap tepat. Selain itu, guru pun harus memilih media ajar yang sesuai dengan usia siswa. Untuk tingkatan sekolah menengah pertama dan menengah atas, pemilihan media film sudah tepat. Sementara itu, untuk tingkatan sekolah dasar, guru harus merancang pemilihan media yang sesuai. Namun, yang paling utama, tujuan dasar dari penggunaan suatu media adalah siswa mampu berpikir kreatif dan menciptakan kreativitas dalam menghasilkan gagasan dan menciptakan sebuah karya.

Dengan pendekatan pembelajaran sastra, Profil Pelajar Pancasila ternyata dapat terimplementasikan dengan baik. Sastra dan Profil Pelajar Pancasila dapat sejalan beriringan dalam upaya melahirkan generasi bangsa yang berkarakter Pancasila. Rahmanto (2007: 15) menyatakan bahwa jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, hal itu dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit dipecahkan di dalam masyarakat. Sastra dapat menciptakan individu-individu yang lebih berkepribadian dan lebih cerdas. Hal itu disebabkan oleh adanya empat cakupan dalam pengajaran sastra, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan kemampuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan karakter.

Kemampuan guru dalam menerjemahkan kurikulum pendidikan juga memiliki peranan penting. Jika guru mampu menjabarkan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila dengan tepat dan sesuai, pembentukan karakter siswa pun tidak akan menjadi masalah yang berarti. Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, pendekatan sastra dapat dilakukan sebagai media perantara untuk menumbuhkan dimensi Profil Pelajar Pancasila. Melalui sastra, siswa dilatih untuk selalu mengasah cipta, rasa, dan karsa mereka.

Sastra adalah bagian dari pembelajaran hidup bagi siswa. Sastra perlu diajarkan sejak dini secara komprehensif di lingkungan sekolah. Melalui pembelajaran sastra, siswa akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang paham akan budayanya, beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, mandiri, bersikap kreatif, memiliki daya nalar yang tinggi, berkebinekaan global, dan dapat bekerja sama dalam menghadapi tantangan zaman. Tentu saja hal itu sejalan dengan kebijakan pemerintah melalui program Merdeka Belajar yang salah satu tujuannya adalah menciptakan siswa Indonesia dengan Profil Pelajar Pancasila.

Daftar Pustaka

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020—2024. 

Rahmanto, B. 1988. Metode Pembelajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Suryaman, Maman. 2010. Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Sastra. FBS Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY. 

Sugiarti. 2012. “Membangun Karakter Peserta Didik Melalui Pembelajaran Sastra”. Makalah

Seminar Internasional Bahasa, Sastra dan Budaya Nusantara. Universitas

Muhammadiyah. Jakarta 16 Februari 2012. 

Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ahmad Maulidi

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa