Memersepsikan dan Memosisikan Karakteristik Teks: Sebuah Cara Penilaian
Dengan berangkat dari
penilaian A. Teeuw (Cet. II, 1983: 11—12), karya sastra yang baik itu berdiri
pada ketegangan di antara konvensi dan inovasi. Begitu pula halnya dengan penilaian
terhadap puisi. Mengapa demikian? Hal itu terjadi sebab jika seorang sastrawan
menulis karya sastra hanya berdasarkan pada konvensi-konvensi sastra yang
pernah ditulis oleh seorang sastrawan sebelumnya, karya sastranya akan dinilai
oleh pembaca memiliki keterpengaruhan-positif dari karya sastrawan sebelumnya atau
bisa dinilai sebagai pengekor (keterpengaruhan-negatif), bahkan plagiasi. Sebaliknya,
jika seorang sastrawan itu menulis karya sastranya dengan radikal dan meninggalkan
konvensi sastra sebelumnya, risikonya adalah karya sastranya tidak mampu
diapresiasi oleh pembaca.
Dengan demikian, membaca
dan menilai karya sastra itu berarti pembaca berada dalam upaya untuk menemukan
karakteristik dari suatu teks sastra. Dengan menemukan karakteristik teks
sastra itu, pembaca menilainya sebagai keindahan, baik hal itu keindahan
yang bisa dinikmati dari aspek kebahasaannya maupun dari aspek nilai yang
terkandung di dalam karya sastra itu.
Karakteristik teks sastra menandai karakteristik yang kuat dari penulisnya sebagai pribadi manusia. Oleh sebab itu, karakteristik teks sastra itu menandai pergulatan hidup dari penulisnya ketika dia memandang kehidupan (world view) sehingga kehidupannya adalah jalan hidup yang dipilihnya (way of life) dan hal itu tidak steril dari lingkungan budayanya, tidak atau dengan dicahayai oleh keyakinan (agama)-nya. Itulah sebabnya W.S. Rendra (Cet. II, 1984: 3—6) kemudian berposisi memilih hidup di atas angin, tidak memihak kepada dewa (kekuasaan), tetapi juga tidak menjadi peng-iya-an dari suara terbanyak jika hal itu tidak selaras dengan hati nurani dan akal sehat. Rendra hanyalah mempertimbangkan tradisi di antara menolak hal-hal yang tidak sejalan dengan akal sehat dan hati nurani serta menerima tradisi itu ketika sejalan dengan hati nurani dan akal sehat.
Pada posisi tersebutlah seorang sastrawan layaknya
memiliki peran kenabian (profetik) yang menjaga nilai-nilai sejalan dengan akal
sehat dan hati nurani. Sejarah Nusantara
telah membuktikan hal itu melalui syair-syair Syekh Hamzah Fansuri. Kita bisa
mendapatkan kesaksiannya ketika menikmati zaman terakhir kegemilangan Kota
Barus dan maraknya kota perkembangan Kerajaan Aceh Darussalam. Pada bagian lain
syair Syekh Hamzah Fansuri diperlihatkan kekecewaannya terhadap perilaku
politik Sultan Aceh, para bangsawan, dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim.
Syekh Hamzah Fansuri hidup di antara pertengahan abad ke-16 sampai dengan awal
abad ke-17. Syekh Hamzah Fansuri adalah guru Syamsuddin Pasai, seorang sufi dan
penasihat Sultan Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630. Selisih usia antara
Syekh Hamzah Fansuri dan muridnya itu hanya 10 tahun. Pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Tsani (1637—1641), terjadi benturan ideologi keagamaan. Ajaran Syekh
Hamzah Fansuri dilarang karena dia dinilai zindik dan panteis. Akibatnya,
terjadilah pembakaran kitab-kitab yang ditulis oleh penulis wujudiyyah
di depan Masjid Raya Kutaraja, baik akibat perintah Sultan Iskandar Tsani
maupun fatwa Syekh Nuruddin ar-Raniry (Hadi W.M., 1995: 13). Hanya sedikit
kitab karangan penulis wujudiyyah yang dapat diselamatkan pada saat itu.
Pada masa sejarah sastra Indonesia, pembelaan terhadap karakteristik teks
dilakukan oleh H.B. Jassin, pada
posisi sebagai pembaca ahli sastra, sehingga mengukuhkannya sebagai kritikus sastra yang paling berpengaruh,
sampai-sampai disebut sebagai Paus Sastra Indonesia.
Pada tahun 1950-an
berbagai karangan yang terbit pada saat itu menuduh Chairil Anwar sebagai
plagiator. Akan tetapi, H.B. Jassin membuktikannya dalam sebuah tulisan panjang
yang akhirnya terbit menjadi buku Chairil
Anwar Pelopor Angkatan 45 (cetakan pertama pada tahun 1956). H.B. Jassin
tidak mengingkari bahwa sajak “Rumahku”, “Kepada Peminta-minta”, “Orang
Berdua”, dan “Krawang-Bekasi” sebagai sajak saduran yang diatasnamakan diri
Chairil Anwar. Begitu pula halnya dengan sajak terjemahan “Datang Dara Hilang
Dara” dan “Fragmen”. H.B. Jassin menjelaskan bahwa hal itu dilakukan Chairil
Anwar karena keterpaksaan dirinya yang memerlukan banyak uang untuk biaya berobat.
H.B. Jassin mengajukan pertanyaan retoris, yaitu Apakah hukuman sejarah pada
penyair Chairil Anwar yang diakui telah memperbarui kesusastraan Indonesia,
tetapi di samping itu telah melakukan kesalahan plagiat? Apakah karena
beberapa plagiat beberapa sajak, semua sajaknya yang asli pun (berjumlah 72
sajak) harus dianggap tidak lagi bernilai? Apakah karena itu harus
dicopot predikat pelopor Angkatan 45? Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh
H.B. Jassin, “Bagi Chairil, saya tidak bisa menutup pintu hati saya, apalagi
saya tahu bahwa kemampuannya tidak hanya mencuri. Kekhilafan haruslah
dipisahkan dari nilai manusia sebagai keseluruhannya. Dan ini buat saya tidak
hanya berlaku bagi Chairil Anwar, tetapi juga bagi orang lain” (Jassin, 2013: 46).
Begitu pula halnya novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka yang dituduh sebagai
plagiasi dari novel Sous les Tilleuls
karya Alphonse Karr (1832) yang diterjemahkan oleh Luthfi al-Manfaluthi ke dalam
bahasa Arab dengan judul Madjdulin,
kemudian diterjemahkan A.S. Alatas ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Magdalena (1963). H.B. Jassin dengan
tegas berpendirian bahwa Tenggelamnya
Kapal van der Wijck bukanlah saduran ataupun terjemahan (harfiah) dari
karya Alphonse Karr atau Luthfi al-Manfaluthi sebab Hamka menimbanya dari
sumber pengalamannya sendiri. Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan
sendiri demikian kuat sehingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali
kalau tiap pengaruh mau dianggap jiplakan (Jassin, 1985: 59—69).
Pada tahun 1968, H.B.
Jassin juga memersepsikan dan memosisikan karakteristik teks sastra ini agar
tidak terjadi kesalahpahaman yang berdampak terhadap hancurnya kehidupan
berdemokrasi Indonesia. Dimuatnya cerpen “Langit Makin Mendung” karya
Kipanjikusmin di majalah Sastra
(Agustus 1968) yang dipimpin oleh H.B. Jassin berdampak terhadap terjadinya
demonstrasi oleh sekelompok orang di depan kantor majalah Sastra di Jakarta. Hal itu terjadi karena cerpen tersebut dituduh
menghina agama dan golongan tertentu. Di Medan majalah tersebut disita oleh
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Karena H.B Jassin sebagai penanggung jawab
majalah Sastra tetap tidak mau
membuka rahasia siapakah sesungguhnya Kipanjikusmin itu, terpaksalah dia
sendiri yang harus berhadapan dengan pengadilan. Di pengadilan, H.B. Jassin
menegaskan bahwa cerpen “Langit Makin Mendung” adalah hasil imajinasi yang
mempunyai logika lain dan dunia lain dari karya agama sehingga itu tidak bisa
diukur dengan kaidah-kaidah agama. “Dengan kesadaran minta perhatian buat
perbedaan antara dunia imajinasi seniman
dan dunia realitas dengan hukum positifnya, karena keputusan Saudara
Hakim yang kurang tepat akan mempunyai akibat merugikan bagi masa depan
kreativitas para seniman, bukan saja di Ibukota, tetapi terutama di
daerah-daerah” (Jassin, 1983: 188—189).
Sebagai pembaca ahli sastra Indonesia, H.B. Jassin juga melakukan pembelaan terhadap karakteristik karya
puisi dari setiap
penyair, secara kelakar
ataukah serius, ketika pada
tanggal 8 September 1974 di Bandung diadakan Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir. Seorang penyair, Slamet Kirnanto, mendakwa, “Kehidupan
puisi Indonesia akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas, dan berengsek. Penyebabnya adalah Subagio
Sastrowardoyo, Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M.,
dan epigon-epigon mereka.” Oleh
karena itu, Slamet Kirnanto menuntut agar Subagio Sastrowardoyo, Rendra,
Goenawan Mohamad, dan
sebangsanya dilarang menulis puisi dan
para epigonya harus dikenai
hukuman pembuangan. Acara tersebut menuai banyak reaksi, terutama dari mereka
yang namanya banyak disebut: H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad,
Sapardi Djoko Damono, dan lainnya. Oleh sebab itulah, Senat Mahasiswa Fakultas
Sastra Universitas Indonesia (UI)
mengadakan acara Jawaban atas
Pengadilan Puisi di Fakultas Sastra UI pada tanggal 21 September 1974 dengan pembicara utama, yaitu H.B. Jassin, M.S.
Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Mengenai tudingan
epigonisme yang dilontarkan Slamet Kirnanto terhadap Goenawan Mohamad-Sapardi
Djoko Damono-Abdul Hadi W.M., H.B. Jassin menanggapi, “... pastilah antara Goenawan Mohamad,
Sapardi Djoko Damono dan Abdul Hadi W.M. di samping persamaan-persamaan ada
pula perbedaan-perbedaan. Apabila
penyair saling membicarakan sajak-sajaknya, bukanlah berarti mereka saling
masturbasi, tetapi karena memang ada saling simpati karena saling mengenai dan
saling menyenangi oleh adanya persamaan pikiran” (Jassin, 1983: 20—31).
Gambaran tersebut hanyalah ingin mempresentasikan bahwa sastra memiliki karakteristik
yang khas, yaitu representasi dari sebuah
pribadi, baik hal itu merupakan tesis dari pengarangnya maupun sekaligus
sebagai antitesis dari pengarangnya. Oleh sebab itu, membaca dan menilai
sastra, baik karya fiksi maupun puisi, tidak bisa tidak harus mengidentifikasi teks
sebagaimana pengarangnya memersepsikan dan memosisikan karya sastranya (dari periode ke periode).
Karya sastra tersebut memiliki karakteristik sejalan dengan pandangan dunia (world view) pengarang ketika merespons
kehidupan, baik sebagai manusia individual, sosial, maupun kultural, senapas
dengan keyakinan (agama) dari pengarang.
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah seorang penyair, lulusan Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sebelas Maret (UNS), dan dosen di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto