Memformulasikan Dakwah dalam Sastra

 Dakwah secara etimologis berarti ‘seruan untuk berbuat baik dan menjauhi kejahatan’,” demikian ungkap Abdul Hadi W.M. Selanjutnya, ia memberikan penjelasan sebagai berikut.

Seruan itu dilaksanakan sesuai dengan peresapan yang mendalam terhadap ajaran Islam yang aspek-aspeknya amat luas, tidak hanya dalam kerangka fiqih dan teologi, tetapi juga dapat dalam kerangka hikmah, adab dan tasawuf. Tidak dapat disangkal, karya sastra besar selalu mengandung pesan moral dan kerohanian, tetapi pesan tersebut tidak dengan sendirinya dimaksud sebagai propaganda. Sementara itu, semboyan seni sebagai media dakwah, cenderung diartikan sebagai karya-karya yang mengandung propaganda. (2004: 205)

Dalam karya sastra yang mengandung propaganda, penulis menyampaikan amanat dengan cara menyodorkan jawaban yang sudah jadi, normatif, dan dengan gaya khotbah. Karya sastra yang demikian tidak memberi kesempatan kepada pembaca untuk berdialektika sebagai seorang manusia yang merdeka terhadap teks yang dibacanya sehingga pembaca menjadi jemu dan bosan.

Karya sastra yang menarik perhatian, setelah dibaca, justru mampu memunculkan pertanyaan yang menggoda pembaca sekaligus memberikan ruang dialektika kepadanya untuk merdeka menemukan jawabannya yang bersemi dalam diri pembaca itu sendiri, bukan jawaban yang sudah disediakan oleh pengarang secara gampang.

Setiap seni sastra berangkat dari realitas. Tidak ada keindahan itu tanpa realitas. Dalam Islam, pemaknaan terhadap realitas itu beresensi bahwa eksistensinya berada pada kekuasaan Allah karena tiada Tuhan selain Allah (laa ilaaha illallah). Padahal, Allah, Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Huwal awwalu wal aakhiru wadh dhaahiru wal baathinu wa Huwa bikulli syai-in ‘aliim [Q.S. al-Hadiid, 57: 3]). Dengan demikian, pemaknaan terhadap realitas keindahan pun tiada terpisahkan antara yang jasmani dan rohaninya sebab tiada realitas yang subtansinya tidak ilahiah. “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” (Innallaaha jamil yuhibbul jamal [H.R. Thabrani dan al-Hakim]). Sudut-pandang tersebut menjadi rujukan dalam memaknai keindahan dalam sastra keagamaan Islam.

Yang lahir dalam karya sastra adalah bahasa yang menjadi medium bagi yang batin, yaitu amanat. Itu merupakan pengalaman batin dan pandangan hidup sastrawan, termasuk pengalaman estetiknya yang diekspresikan dalam karya sastranya. Keduanya tidaklah saling meniadakan sebab sastrawan yang benar-benar memahami estetika Islam akan mengerti bahwa keindahan tertinggi yang hendak dicapai dalam karya seni justru adalah pencapaian moral dan pengetahuan kerohanian-ketuhanan yang hakiki yang disebut hikmah atau makrifat.

Dalam rangka memformulasikan seruan tersebut, bermunculanlah gagasan yang merupakan perkembangan dari sastra keagamaan, seperti sastra religius dan sastra religius Islam, sastra sufi, sastra sufistik, sastra transendental, dan sastra profetik. 

 Sastra Religius

Religiositas ini oleh filsuf profetik, Paul Tillich, disebut sebagai dimensi kedalaman (“Dimensi Kedalaman yang Hilang dalam Agama”, Terj. Soe Hok Djin, Horison, No. 2, Juli 1966, hlm. 12). Menurutnya, manusia dapat menjadi religius sebab dengan penuh kerinduan, ia menanyakan eksistensinya dan sangat menginginkan untuk memperoleh jawaban sekalipun mungkin jawabannya akan menyakitkan. Seseorang yang religius adalah mereka yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih mendalam daripada batas lahiriah semata yang bergerak dengan dimensi vertikal dari kehidupan ini dan mentransendensikan hidup. Orang yang demikian, menurut Paul Tillich, dapat memeluk agama tertentu, tetapi bukan sebagai keharusan. Dalam konteks itu, ia rupanya memahaminya dari dua pendekatan, yakni religiositas yang agamis dan yang nonagamis. Di satu sisi, Y.B. Mangunwijaya (1988: 12) berpandangan bahwa agama hanya lebih menunjukkan kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi dan yuridis. Sementara itu, di sisi lain religiositas dipandangnya sebagai aspek yang ada di dalam lubuk hati, yaitu sikap personal yang sedikit misterius bagi orang lain. Namun, Y.B. Mangunwijaya masih berharap bahwa paling tidak, seorang agamawan sepantasnya juga hommo religius. Sebagaimana ungkapan William James yang dikutip oleh Abdul Rozak (“Sastra dan Agama dalam Tiga Kategori Hubungan”, Horison, No. 5, Th. XX, hlm. 166) bahwa manusia religius selalu sadar dalam melaksanakan institutional religion dan menghayatinya dengan sepenuh jiwa sehingga ia pun kerap tenggelam dalam pengalaman religius yang merupakan puncak pengalaman estetis. Di sinilah tampak betapa dekatnya hubungan seni dan religi.

Ada religiositas yang memang bangkit dari pribadi nonagama. Namun, tiap kebangkitan religiositas selalu dilandasi oleh keinginan baik untuk berbuat suatu kebaikan kepada sesama makhluk. Pada konteks kebaikan ini pula, orang memasuki lembaga ilahi (agama) yang menurut Syekh Muhammad Abduh (dalam Mangunwijaya, 1988: 15), bukan demi pemisahan, melainkan demi penuntunan ke arah makna yang baik. Penulis setuju dengan pendapat Syekh Muhammad Abduh bahwa religi dan religiositas adalah satu kesatuan. Memang hal tersebut lebih islamis karena di dalamnya demi penuntunan ke arah makna yang baik merupakan salah satu ciri khas religiositas yang autentik.

Dengan demikian, kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya dipersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian yang berpuncak pada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya.

 Sastra Religiositas Islam

Karya sastra dapat dikatakan religius sebab di dalamnya terkandung moralitas. Ketika menghadapi karya demikian, pembaca sastra sering mengasumsikan bahwa moralitas di dalamnya selaras dengan moralitas pengarang. Tuntutan pembaca yang seperti itu amatlah wajar sebab sebagai pembaca yang baik, tentu kita akan menilai kesungguhan dalam karya itu di samping kesungguhan moralitas yang sedang ditawarkan pengarang.

Perihal kesungguhan ini memang penting, baik itu kesungguhan estetis maupun kesungguhan moralitas. Kesungguhan estetis berhubungan dengan ekspresi kebahasaan karya sastra. Misalnya, sebelum seorang penyair menulis sajak tentang laut, tentu terlebih dahulu ia mesti mempunyai pengalaman tentang laut, setidaknya melalui bacaan dan lebih baik lagi jika ia pernah hadir dalam situasi objek. Dengan demikian, ia akan dapat memadukan nuansa objek (laut) dengan nuansa subjektivitasnya (pikir) sehingga perpaduan itu diharapkan dapat memunculkan citraan sajak dengan baik.

Demikian pula dengan kesungguhan moralitas. Pembaca yang kritis tentu menuntut keharmonisan antara moralitas-baik dalam karya sastra dan kebaikan moralitas pengarang. Jika seorang pengarang tidak meyakini dan tidak pernah hadir dalam situasi nilai moral yang sedang ia citrakan dalam karyanya, tentu saja karya semacam ini perlu dipertanyakan kebenarannya. Dalam pandangan Islam, kesungguhan teramat penting sebagaimana dikemukakan dalam Al-Qur’an.

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya), kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (QS., 26: 224227) 

Pengaruh Al-Qur’an akan kesungguhan ini menjadi pijakan bagi pengucapan moral dalam karya sastra religius Islam (Hadi W.M., 1985: vii). Karena pengaruh etik dan estetika Al-Qur’an pula, banyak kepustakaan sufi diungkapkan dalam bentuk puisi sebab kenyataan Al-Qur’an sendiri diungkapkan dalam bentuk puisi yang mahaindah, kaya simbol, dan imajinatif serta sangat merangsang penciptaannya untuk menulis puisi dan melakukan berbagai tafsir puitik. Contohnya dapat dilihat dalam kesungguhan estetis dan etis puisi karya Jalaluddin Rumi dan Hafiz. Di Indonesia juga ada karya yang semacam itu, yaitu puisi karya Amir Hamzah, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Emha Ainun Nadjib, dan K.H.A. Mustofa Bisri. Karya mereka tidak hanya berhenti pada estetika, tetapi juga melalui realitas yang dibangun di dalamnya menjadi simbol yang menyampaikan makna transendental.

Menjadi jelas bahwa konsep kesungguhan estetis dan kesungguhan moralitas dalam karya sastra religius Islam bersumber dari Al-Qur’an, tetapi tidak didasari oleh penafsiran yang sempit. Karya religius semacam itu dapat dijadikan sarana pengungkapan hasil penghayatan kehidupan yang merujuk pada Al-Qur’an dan hadis. Meskipun karya sastra religius Islam bermuatan pesan moral, sastrawan tetap memiliki kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni yang sejalan dengan hakikat serta sistem kesusastraan, yakni indah dan bermanfaat (dulce et utile). Jauh hari Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa keindahan dan kemanfaatan mestilah dicapai dalam karya sastra.

Sejumlah puisi mengandung hikmah; hikmah adalah onta orang beriman yang hilang, apabila ia menemukan kembali, ia memiliki kebenaran terbaiknya. (al-Hujwiri melalui Hadi W.M., 1985: 31) 

Titik temu antara kesungguhan estetis dan kesungguhan etik atau moralitas serta keindahan dan kemanfaatan inilah yang dapat menggeser anggapan bahwa kesusastraan hanyalah aktivitas lamunan belaka. Pada posisi demikian, kesusastraan religius Islam dapat menjadi bagian penting dari gerakan pascamodernisme yang mengaitkan kembali sastra dengan kehidupan yang lebih luas.*****

Daftar Pustaka

Al-Hujwiri, Ibnu Usman. 2003. Kasyf al-Mahjub (Menyelami Samudera Tasawuf). Terj. Ahmad Afandi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.

Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.

Garaudy, Roger. 1984. Janji-Janji Islam. Cet.II. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.

________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Iqbal, Muhammad. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Terj. Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad. Jakarta: Tintamas.

Ismail, Taufiq, dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia Jilid 1, Kitab Puisi. Jakarta: Horison.

_______. dkk. 2004. Horison Esai Indonesia, Jilid 1-2. Jakarta: Horison.

Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo bekerja sama dengan Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.

Nasr, Sayyid Husein. 1994. Tasauf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Rozaq, Abdul. 1986. “Sastra dan Agama dalam Tiga Kategori Hubungan”. Horison, No. 5, Th. XX. Jakarta.

Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.

Tillich, Paul. "Dimensi Kedalaman yang Hilang dalam Agama", Terj. Soe Hok Djin. Horison No. 2 Juli 1966. Jakarta.

Wachid B.S., Abdul. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair, lulusan Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan dosen ASN-PNS di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa