Mutu Literasi Membersamai Mimpi si Anak Bangsa Studi Analisis terhadap Si Anak Badai Karya Tere Liye
Merdeka Belajar Episode
Ke-23 sukses dirilis Mas Menteri,
Nadiem. Episode tersebut berfokus pada buku
bacaan bermutu untuk literasi Indonesia. Pengadaan buku bermutu ini juga
disangga Kemendikbudristek melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
terutama untuk satuan pendidikan
awal, yaitu
PAUD dan SD. Tidak lama berselang, agenda Merdeka Belajar Episode
Ke-23 itu disundul agenda rutin tahunan oleh BSKAP dan Pusat Perbukuan
yang mengumumkan penilaian ratusan judul buku nonteks pelajaran dalam mendukung
pembelajaran pada paruh pertama tahun 2023.
Anak bangsa wajib melek literasi. Anak
bangsa harus suka baca. Anak bangsa hobi membaca. Membaca itu menyenangkan.
Bawalah anak bangsa bermimpi bersama buku-buku bermutu. Sungguh, Merdeka
Belajar Episode Ke-23
ini memanjakan dunia mimpi si anak dengan aneka ragam buku.
Setiap generasi zaman pasti melek
literasi. Saat inilah momentum literasi generasi zaman cerita setelah Tere Liye
mulai meredup. Ciri momentum literasi itu
disangga generasi fi (phi) yang mengandalkan prinsip kerja digital.
Menguarlah sebutan gen phigital. Gen ini mengawali kiprah masa remaja
pada awal abad XXI. Kiprah generasi ini sukses dinarasikan Tere Liye melalui
puluhan fiksi. Ambillah sebuah contoh novel Si
Anak Badai sebagai bukti pertaruhan. Ibaratnya ada tiga balok besar yang digagas
dalam cerita ini, yaitu alam mimpi, fakta si aku, dan dunia epilog (dunia
akanan yang melabrak logika bocah!).
Sebegitu
berharganya buku novel anak anggitannya itu. Cerita digerakkan oleh logika
anak-anak usia sekolah dasar. Novel itu dibuka dengan tujuh
halaman mimpi si aku, Za (Zaenal),
bersama Fatah (Fatahillah, adik Za). Za dan Fatah menjadi sandera bajak laut.
Mereka ditaruh di geladak utama kapal. Tak ada ujung pangkal permasalahan
seputar sandera. Mimpi, ya, cuma mimpi.
Mimpi
adalah tanda. Mimpi menjadi tengara. Mimpi direkayasa novelis untuk dijadikan
peranti ketegangan. Tengara cerita melalui mimpi merupakan isyarat agar cerita
melompat. Plot kilas balik menjadi portal novel. Jangan kaget jika novel ini
mengoptimalkan prolog melalui sarana sastra yang berupa mimpi.
Pertama adalah titi yoni. Mimpi titi yoni berdurasi antara
pukul 21.00—24.00. Kualitas mimpi pada tataran ini tidak
mempunyai gereget hidup. Biasanya aktivitas pikir yang padat dan fisik yang
lemah akan menjadi bunga tidur. Isi mimpi berhubungan dengan kejadian yang
membekas sebelum tidur atau remah-remah masalah sebelum tidur, layaknya igauan.
Kedua adalah gondo yoni. Mimpi gondo yoni berdurasi antara
pukul 24.00—03.00. Ada tafsir baik atas mimpi pada
jam-jam ini. Kualitas hidup seseorang bisa disingkap dan diungkap dengan tujuan
baik untuk segera dipraktikkan dalam etiket sehari-hari. Jadi, jelas bisa
dipilah dan dipilih; yang buruk bisa langsung dibuang.
Ketiga adalah puspa tajem.
Mimpi puspa tajem berdurasi antara pukul 03.00—06.00.
Tataran ini terbaik untuk mimpi ketika terjadi keterlibatan atau peran Allah.
Kita menyebutnya wahyu yang sesungguhnya bisa dikenali dari kualitas olah rasa,
olah budi,
dan olahraga yang mewujud melalui bisikan, suara, ajakan, atau
pesan lembut dari kalbu. Orang saleh menyebutnya tanda kehadiran atau sapaan
Tuhan.
Bagaimana
mimpi Za dalam cerita Si Anak Badai? Jika
sebatas mimpi yang dikisahkan dalam tujuh halaman awal novel, Tere merujuk pada
tataran mimpi gondo yoni. Acuan setting
tengah malam menjadi bukti. Tere tidak main-main dengan taruhan mimpi. Akan
tetapi, tafsir mimpi gondo yoni sebagai prolog novel dijadikan dilema
penceritaan.
Tere
Liye memainkannya sebagai teknik suspense
yang membangun dan menunda kausalitas antarperistiwa. Terjadilah tumpang tindih
penafsiran. Ini yang menjadi cacat untuk sebuah novel. Mengapa muncul
anakronisme?
Penafsiran
menjadi ambyar ketika acuan waktu mimpi pada tengah
malam dihadapkan dengan fakta Za yang bermimpi pada siang
bolong, lalu dibangunkan oleh Ode. Apalah kuasa arti sebuah latar waktu
jika tidak digubris. Toh hubungan antarperistiwa yang dibatasi oleh anak-anak
judul tetap terjalin harmonis. Sebenarnya, usai mimpi Za inilah cerita sesungguhnya
baru mulai ditata.
Tere
Liye menggarap novel ini begitu rapi jika ditinjau dari fungsi fakta cerita (ada
kausalitas unsur tema, tokoh dan penokohan, serta latar). Zaenal, Awang, Malim,
dan Ode ibarat empat sekawan. Usia berkisar 11—12
tahun dan kelas VI SD. Mereka bersama keluarga masing-masing hidup di Kampung
Muara Manowa. Rumah, sekolah, rumah ibadah, dan pasar lebih banyak berdiri di
atas air. Kayu ulin menjadi penyangga primer. Mata pencaharian beragam. Ada
nelayan, pedagang, guru, dan pegawai pemerintahan desa. Kehidupan mereka
tenteram.
Kampung
Muara Manowa menjadi terusik ketika terjadi tender akal-akalan dari pejabat
teras pemerintah. Proyeknya berpandangan bahwa Muara Manowa akan dirombak
menjadi sentra pelabuhan besar. Topografinya strategis untuk lintas
perdagangan. Akibatnya, terjadilah wacana bedol desa massal ke desa yang
berseberangan. Rencana besar pelabuhan ini ditolak tegas oleh warga Manowa. Namun, apa
daya kekuatan politik warga. Proyek pelabuhan itu pun dimulai. Akal busuk
panitia pembangunan segera dilancarkan. Banyak bangunan sudah dirobohkan, tak
terkecuali rumah ibadah dan sekolah.
Inilah
kenyataan pahit sebagai wujud mimpi buruk si Zaenal yang disandera bajak laut yang mewujud
Pak Alex dan Camat Tiong. Mereka perpanjangan tangan kuasa gubernur. Alih-alih
tokoh pesohor di Manowa, Sakai bin Manaf alias Pak Kapten, diciduk dengan
alasan yang dibuat-buat. Sakai diperkarakan melalui jalur hukum dengan ancaman
bui. Sayang, delik perkaranya artifisial dan cacat hukum.
Dalam
kondisi represif ini muncullah dewa penolong. Dalam kajian sastra ada
istilah deus ex machina,
yaitu nama Adnan Buyung Nasution, pesohor hukum dan pengadilan.
Kode
ini menjadi tengara yang memudahkan untuk menyudahi cerita. Adnan Buyung
menjadi prediksi tentang pemenangan delik perkara dan tuduhan yang menimpa
Sakai bin Manaf. Kritik atas metode penceritaan ini adalah informasi
eksplisit ala suspense yang justru
melemahkan ending cerita atau halaman
anak judul Epilog novel. Adnan Buyung yang direka menjadi suspense justru melemahkan foreshadowing
(bayangan atau prediksi kejadian perkara yang dihadirkan di akhir cerita).
Solusi cerita pungkas novel sudah bisa ditebak di awal atau di tengah cerita.
Penamaan
Geng si Anak Badai hanya dengan penceritaan 2
anak judul (“Hujan Cakalang” dan “Badai”) seakan kurang harmoni dengan 24 anak
judul yang lainnya. Bukankah lebih galak dengan pemimpi, petualang, dan
petarung? Ada kesan bahwa Si Anak Badai
terwakili oleh dua anak judul tersebut. Seakan-akan jika dua anak
judul itu dicabut, penceritaan tetap normal dan tidak terpengaruh.
Sisi
kelebihan novel ini tampak pada edukasi yang takterduga, misalnya kearifan lokal berbalas pantun
(pantun muda dan pantun tua), pendidikan, persahabatan, kesalehan
keluarga, perumpamaan, dan komunitas syiar religi ibu-ibu. Keluarga Zul, Fatma,
Za, Fatah, dan Thiyah menjadi teladan yang baik. Pantun mengandung ajaran dan
pesan moral yang luhur. Pembelajaran budi pekerti menjadi nomor satu.
Pembelajaran pekerti seperti ini diceritakan dengan stabil
melalui penokohan.
Yang menjadi kritikan adalah benarkah
rumus larik pantun itu mencapai 15 suku kata? Bukankah sudah dipatok 8—12
suku kata? (Hlm.
133)
Secara
asas kebahasaan, novel ini menjadi contoh pembelajaran berbahasa yang baik. Gaya
pengalimatan lebih banyak mementingkan unsur kelengkapan kalimat sederhana.
Tidak patah-patah seperti bahasa cakap lisan yang menonjolkan frasa atau
klausa. Popularitas diksi dan kalimat komunikatif memanjakan pembaca yang
mayoritas bidikannya adalah remaja dan dewasa muda. Memang tak bisa dimungkiri bahwa salah
tik dan salah kaprah berbahasa masih sering muncul. Sedikit contohnya adalah masuk
ke dalam dan naik ke
atas yang sering diulang-ulang.
Ada epilog novel, tetapi tidak ada prolog. Ada juga penomoran rangkap, yaitu 25 untuk dua anak judul (“Siasat” dan “Bukti Tak Terbantahkan”).
Rangkaian
peristiwa dalam Epilog novel ini tidak memberi efek kejut. Semua jawaban dan
argumen sudah disuratkan di bagian awal penceritaan. Sakai bin Manaf yang ditahan sementara sudah dibebaskan Adnan Buyung. Epilog novel ini berakhir bahagia, yaitu Sakai bin Manaf dilepaskan dari jerat
penjara, bukti rekam Geng si Anak Badai menjadi penguatnya, dan sekolah baru mulai
dibangun.
Justru pikat pesona epilog yang
mengejutkan adalah adanya kliping kemenangan dari media cetak yang dibuat oleh
Bu Guru Rum. Ada empat kliping tentang korupsi-kolusi yang terkait
dengan proyek
pelabuhan dan ada satu kliping foto Adnan
Buyung bersama Geng si Anak Badai. Euforia terhadap kliping
yang mengukuhkan jiwa petarung sampai membuat mereka melupakan
pengumuman kelulusan SD. Betapa menyenangkan mimpi si anak bangsa jika
mendapatkan buku-buku bermutu. Semoga Merdeka Belajar Episode Ke-23
tidak hanya sebatas agenda, tetapi juga sebagai
gerakan transformatif yang selalu ditagih dan dirindukan anak-anak
dan guru-guru bangsa. Semoga! ***
Anton Suparyanta
esais dan manajer buku nonteks di penerbit PT Intan Pariwara Klaten, Jawa Tengah