Perdebatan Sastra Keagamaan Islam sebagai Latar Belakang Munculnya Sastra Profetik

Pertumbuhan sastra keagamaan Islam diwarnai perdebatan akan keberadaannya. Hal itu bermula pada akhir 1930-an berdasarkan tulisan-tulisan Hamka, M. Dimyati, dan Karim Halim yang dimuat di majalah Pedoman Masjarakat (Medan) dan Suara MIAI (Jakarta). Perdebatan berlanjut hingga pertengahan 1950-an dan awal 1960-an yang intinya adalah kekhawatiran perkembangan sastra Islam dan kegelisahan akan keberadaannya (Hadi W.M., 2004: 2001).

Di antara perdebatan sastra keagamaan Islam tersebut, ada yang mempersoalkan keberadaan roman Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1939) yang ditulis oleh Hamka, seorang ulama. Kalangan yang menolak roman menilai bahwa tidaklah pantas seorang ulama menulis roman percintaan walaupun bernapaskan Islam. Berdasarkan pendapat E.U. Kratz (dalam Hadi W.M., 2004: 2002), pada masa itu masih begitu kuat anggapan bahwa menulis roman itu dilarang dalam Islam. Anggapan itu muncul sebab kekhawatiran atas pengaruh buruk dari roman, khususnya bagi generasi muda. Akan tetapi, Hamka melalui artikelnya, “Mengarang Roman”, meluruskan anggapan buruk tersebut dengan menegaskan bahwa tidak sedikit roman yang memberi pengaruh positif bagi pembacanya, khususnya dalam menyikapi masalah pembaruan pemikiran keagamaan. Hamka mencontohkan bahwa roman-roman yang terbit pada periode 1920—1930-an justru membicarakan adat yang kolot, kawin paksa, poligami demi kepuasan nafsu, dan pembedaan kelas yang masih berlaku dalam masyarakat yang beragama Islam, padahal hal-hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, roman semacam itu justru dikecam oleh kalangan muslim itu sendiri. Di samping itu, Balai Pustaka, disebabkan oleh pengaruh politik pemerintah kolonial Belanda, enggan untuk menerbitkan karya sastra yang bernapaskan Islam. Politik pemerintah kolonial Belanda tersebut dilakukan untuk menghambat perkembangan sastra Islam. Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka sendiri barulah diterbitkan setelah melalui pertimbangan yang lama (Hadi W.M., 2004: 2003).

Pada ranah puisi, pada tahun 1940-an, setelah pendudukan Jepang, para penulis muslim mendapatkan optimisme baru. Karim Halim dalam tulisannya yang berjudul “Puisi Islam dalam Kesusastraan Indonesia” yang dimuat di majalah Pujangga Baru (No. 8, 1940) menyatakan bahwa dahulu sastra dipandang haram, tetapi dengan munculnya pemikiran baru tentang keagamaan dalam Islam, pertumbuhan sastra Islam dimungkinkan kian maju (Hadi W.M., Ibid.). Akan tetapi, optimisme baru itu segera padam sebab selama masa pendudukan Jepang, sensor-sensornya justru menghambat perkembangan sastra Indonesia secara umum. Datangnya kemerdekaan Republik Indonesia juga tidak membantu perkembangan sastra keagamaan Islam. Dikatakan pula oleh M. Dimyati (dalam Hadi W.M., Ibid.) bahwa ulama dan cendekiawan muslim sangat kurang perhatiannya pada sastra. Di lembaga pendidikan Islam, pengajaran sastra diabaikan sehingga tradisi sastra Islam yang pernah berkembang pada abad 16—18 M makin merosot. Penulis muslim modern kebanyakan mendapatkan pendidikan Barat sehingga sudah tidak mengenal kesusastraan Islam.

Pada tahun 1950-an, sebagaimana dikemukan M. Dimyati, tantangan sastra keagamaan adalah ketiadaan karya sastra Islam yang mendalam. Di samping itu, terdapat banyak penerbitan pornografi. Sementara itu, Hamka dan Bachrum Rangkuti menyesalkan pandangan yang masih memperdebatkan sastra pada posisi persilangan fikih, yaitu halal ataukah haram. Hal itu menyebabkan munculnya sebuah dokumen yang disebut Amanat Putih yang disiarkan oleh para budayawan Muslim pada tahun 1956 yang isinya menyesalkan tidak adanya pengakuan dari pengamat sastra terhadap karya sastra keagamaan Islam. Pada tahun 1956 itu juga melalui Simposium Kebudayaan Islam, Pelajar Islam Indonesia (PII) menyatakan bahwa seni tidak dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan apabila tujuan dan pengaruhnya baik. Simposium tersebut juga menyatakan bahwa seni Islam ialah seni yang bernapaskan Islam dan membawakan pandangan dan sikap hidup Islam. Hal itu hanya dapat dihasilkan oleh seniman yang mendalami ajaran Islam (dalam Hadi W.M., 2004: 204).

Pada awal tahun 1960-an, Goenawan Mohamad menulis “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini”. Dia mengidentifikasi adanya dua hal sebagai motif yang melatarbelakangi hadirnya genre tersebut. Pertama, motif-motif dalam kesusastraan berisi pencarian identitas sastrawan-sastrawannya. Kedua, motif-motif di luar kesusastraan berisi pengaruh penggolongan serta rivalitas antargolongan di dalam masyarakat (Editor Hoerip, Cet. II, 1982: 138—139). Kemudian, dijelaskan oleh Goenawan Mohamad bahwa motif utamanya adalah pencarian identitas dengan menceritakan apa saja tentang kehidupan beragama dan sekadar pencarian identitas belaka sehingga kehadirannya tidak bisa dipertanggungjawabkan dan akan musnah dengan segera.

Perdebatan yang terjadi sebelum tahun 1960-an tentang sastra keagamaan Islam berada pada area motif kedua, yaitu motif-motif di luar kesusastraan, yakni pengaruh penggolongan serta rivalitas antargolongan di dalam masyarakat. Hal itu mengalami klimaksnya pada awal 1960-an, di bawah rezim Demokrasi Terpimpin dengan menguatnya pengaruh sosial politik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai sayap kebudayaan dari PKI yang begitu provokatif menghantam wacana-wacana kebudayaan lain selain dirinya. Perdebatan antara Lekra dan kaum Manifes Kebudayaan berlangsung sejak disahkan Mukadimah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dalam Kongres Nasional Pertama Lekra di Solo, pada 22—28 Januari 1959 (dalam Samboja, 2011: 17—18). Perdebatan tersebut berakar pada masalah pengklaiman Lekra yang mengatasnamakan rakyat Indonesia dalam memandang realitas kebudayaan berkonsep politik adalah penglima dan realisme sosial. Kemudian, muncul seniman-seniman yang tidak setuju terhadap cara pandang Lekra itu dan melawan yang kemudian melahirkan Manifes Kebudayaan (pertama kali dimuat dalam lembaran budaya Berita Republik, 19 Oktober 1963). Akhir perdebatan periode ini bukan saja perdebatan pemikiran kebudayaan, melainkan dilatari oleh perpecahan politik menuju transisi kekuasaan: “Demokrasi Terpimpin” memunculkan krisis ekonomi yang meluas pada krisis politik sehingga menimbulkan perebutan pengaruh kekuasaan di antara tiga kekuatan besar, yaitu presiden, angkatan bersenjata, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Orde Baru mempersiapkan diri untuk mengakhiri tujuan dan kegagalan Orde Lama Soekarno, Presiden Pertama Indonesia yang diturunkan secara paksa.

Lekra gencar menghantam kaum Manifes Kebudayaan. Lekra juga menghantam sastrawan dan karya sastra keagamaan Islam, sebagaimana ditujukan pada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka (1939). Abdullah Said Patmadji di surat kabar Bintang Timur (5 dan 7 Oktober 1962), sebuah media massa yang dikuasai Lekra, secara terbuka menjatuhkan nama ulama sekaligus penulis roman tersebut dengan mengatakan, “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai plagiasi dari novel Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr (1832) yang diterjemahkan oleh Luthfi al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab dengan judul Madjdulin, kemudian diterjemahkan A.S. Alatas ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Magdalena (1963). H.B. Jassin (1985: 59—69) dengan tegas berpendirian bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck bukanlah saduran ataupun terjemahan (harfiah atau bebas) dari karya Alphonse Karr ataupun Luthfi al-Manfaluthi sebab Hamka menimba dari sumber pengalamannya sendiri. Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap pengaruh mau dianggap jiplakan. Salah satu adat Minang yang ditentang oleh Hamka karena berlawanan dengan agama yang universal ialah adanya larangan atau keengganan menerima suku lain di Minangkabau dalam perkawinan.

Awal Orde Baru ditandai dengan maraknya kekerasan sipil, demonstrasi pelajar-mahasiswa, dan tergulingnya para pemimpin yang dianggap korup dan menindas rakyat dari puncak kekuasaan. Penggolongan serta rivalitas antargolongan dalam masyarakat juga masih tajam sehingga berpengaruh pada pandangan-pandangannya terhadap sastra keagamaan Islam. Pada tahun 1968, cerpen “Langit Makin Mendung” dituduh telah menghina agama dan golongan tertentu. Tuduhan yang dialamatkan kepada Kipanjikusmin atas cerpen karyanya, yaitu “Langit Makin Mendung” ialah (1) merendahkan kekuasaan, kebesaran, dan kesempurnaan Tuhan Yang Maha Esa; (2) merendahkan kemuliaan para nabi, Nabi Muhammad, dan Jibril; dan (3) merendahkan dan menolak sendi-sendi agama Islam lainnya dengan karangannya, yaitu “Langit Makin Mendung”.

Akan tetapi, menurut H.B. Jassin, tuduhan tersebut haruslah dibuktikan terlebih dahulu oleh penuntut umum berdasarkan hukum positif di Indonesia, yaitu (1) Tuhan yang diceritakan itu bukanlah Tuhan yang imajiner, melainkan Tuhan yang sesungguhnya; (2) nabi dan Jibril yang diceritakan itu bukanlah nabi dan Jibril yang imajiner, melainkan nabi dan Jibril yang sesungguhnya; (3) seluruh cerita itu adalah laporan sejarah dan bukan cerita imajiner. (4) pemanggilan saksi utama untuk mengecek kebenaran tuduhannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, nabi dan Jibril dalam sejarah, apakah mereka itu sungguh-sungguh merasa terhina oleh lukisan imajinasi pengarang; dan (5) pembuktian bahwa fungsi cerita imajiner sama dengan fungsi kitab pelajaran agama (Jassin, 1983: 102).

H.B. Jassin sebagai penanggung jawab majalah Sastra tempat cerpen tersebut dimuat tetap tidak mau mengungkap siapa yang bersembunyi di balik nama samaran Kipanjikusmin itu. Akibatnya, H.B. Jassin sendiri yang berhadapan langsung dengan pengadilan. Di depan pengadilan H.B. Jassin mengatakan hal sebagai berikut.

Saya berpendapat bahwa cerpen “Langit Makin Mendung” adalah hasil imajinasi, mempunyai dunia lain dan logika lain dari karya agama dan karena itu tidak bisa dikur dengan akidah-akidah agama. ... dengan kesadaran minta perhatian buat perbedaan antara dunia imajinasi seniman dan dengan dunia realitas dengan hukum positifnya, karena keputusan Saudara Hakim yang kurang tepat akan mempunyai akibat merugikan bagi masa depan kreativitas para seniman, bukan saja di Ibukota, tetapi terutama di daerah-daerah.

Dalam persoalan cerpen “Langit Makin Mendung”, H.B. Jassin berseberangan pandangan dengan Hamka. Padahal, sebelumnya ketika novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka dituding sebagai karya plagiasi di surat kabar Bintang Timur dan Suluh Indonesia oleh seniman-seniman Lekra, H.B. Jassin meluruskan tudingan itu. Menurut H.B. Jassin, Hamka sejak semula mempunyai prasangka terhadap maksud baik pengarang. Karena permulaan cerita yang menurut Hamka bertentangan dengan pengetahuannya tentang kaidah agama, hal itu menutup hatinya terhadap bagian-bagian yang cerah dalam cerpen itu yang sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan Hamka sebagai orang beragama. Misalnya, hal itu tecermin dalam percakapan antara Jibril dan Muhammad sebagai berikut.

-- Sesungguhnya padukakah nabi terakhir, ya Muhammad?

-- Seperti telah tersurat di kitab Allah (sahut nabi dengan rendah hati).

-- Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi.

-- Apa peduliku dengan nabi palsu!

-- Ummat paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu, Nasakom!

-- Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang ummatku takluk, nonsens!! (Kegusaran mulai mewarna wajahnya).

-- Ya, Islam terancam. Tidakkah paduka prihatin dan sedih? (Terdengar suara iblis, disambut tertawa riuh-rendah). Nabi tengadah ke atas.

-- Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun! Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi; di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas. Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak;

-- Amien, amien, amien.

Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan. (Jassin, 1983: 107)

Perdebatan-perdebatan yang mewarnai sejarah sastra Indonesia tersebut dapat dimaknai sebagai upaya mencari bentuk dan isi seni sastra keagamaan Islam, yaitu masalah estetika dan sastra sebagai media dakwah. Dua aspek tersebut dalam sejarah perkembangan sastra keagamaan Islam menjadi perdebatan dan aspek dakwah dalam sastra bernapaskan Islam terkesan menjadi beban. Kata dakwah dipertentangkan dengan masalah estetika dan ekspresi puitik sastra. Tarik-menarik ini kemudian memunculkan banyak istilah yang membawa sudut pandang masing-masing terhadap kehidupan sehingga berdampak pada kesusastraan dan karya sastra yang diciptakannya. Istilah sastra keagamaan digunakan pada awal perdebatannya, yaitu tahun 1930-an sampai dengan akhir 1960-an, setelah Demokrasi Terpimpin Soekarno tumbang sehingga kebebasan kreatif pulih kembali. Hal itu memunculkan gagasan-gagasan segar yang membawa istilah-istilah baru yang merupakan perkembangan dari sastra keagamaan, seperti sastra religius dan sastra religius Islam, sastra sufi, sastra sufistik, sastra transendental, dan sastra profetik.

Ketika memasuki tahun 1970-an, senyampang munculnya kesadaran akan persoalan kebudayaan setelah becermin pada sejarah clash of interest yang bersifat politis beserta ambisi politiknya pada masa Demokrasi Terpimpin, gagasan persatuan Indonesia sebagaimana ideologi negara tidak bisa direalisasikan hanya dengan tindakan politik, tetapi dengan tindakan kultural. Tindakan kultural ini menurut Goenawan Mohamad (dalam Hoerip, 1982: 141) adalah sikap kreatif yang membawa kita ke arah cara berpikir yang dialektik sehingga segala macam ortodoksi setapak demi setapak akan luntur, demikian pula segala macam fanatisme dan segala bentuk sektarisme. Dari kesadaran realitas sejarah seperti itulah, perdebatan sastra keagamaan Islam mengalami perkembangan, mulai dari motif pencarian identitas sastrawannya dan motif pengaruh penggolongan serta rivalitas antargolongan dalam masyarakat hingga tugas kesusastraan bukanlah memberikan jawaban, melainkan justru memberikan pertanyaan, yaitu Bagaimanakah sastra keagamaan Islam muncul dengan hasil karya sastra yang lebih baik? Tak dapatkah orang sekarang menggunakan sistem nilai yang bersifat tradisional keagamaan untuk menyelesaikan dan menjawab persoalan masyarakat? Pertanyaan itu pula yang memunculkan persoalan sastra keagamaan Islam sebagai estetika dan sebagai media dakwah.***

Daftar Pustaka 

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

Hamka. 1984. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta : Pustaka Panjimas.

_______. 1990. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Ismail, Taufiq. 1969. “Wawancara Taufiq Ismail”. Jakarta: Sinar Harapan, 30 Juli 1969.

_______. dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia Jilid 1, Kitab Puisi . Jakarta: Horison.

_______. dkk. 2004. Horison Esai Indonesia, Jilid 1-2. Jakarta: Horison.

Jassin, H.B. 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta : PT. Gramedia

_______. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1). Jakarta: PT. Gramedia.

_______. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.

_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

_______. 2013. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo bekerjasama dengan Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sambodja, Asep. 2011. Asep Sambodja Menulis tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus.

Wachid B.S., 2002. Religiositas Alam: Dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron. Yogyakarta: Gama Media.

________. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

________. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair, lulusan Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan dosen di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa