Perempuan dalam Novel Saman Karya Ayu Utami

Karya sastra merupakan ungkapan seseorang setelah mendalami pengalaman, pemikiran, perasaan, pengetahuan, dan konsep nilai keluhuran serta nilai estetis. Dengan segala aspek yang disusun menggunakan konsep pemikiran yang matang dan kreatif, karya sastra menjadi salah satu sarana untuk mengatasi ataupun menghilangkan adanya ketakutan, kesusahan, kepanikan, dan kegagalan. Sebagai buah hasil pemikiran dan imajinasi yang dituangkan melalui bahasa, karya sastra sering kali menjabarkan keadaan yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan hidup supaya bisa dijadikan sebuah pembelajaran dalam kehidupan.

Menurut Wicaksono (2014), novel merupakan sejenis karya sastra dengan bentuk prosa fiksi yang panjangnya sekitar 40.000 kata dan merupakan prosa yang lebih kompleks daripada cerpen. Strukturnya sendiri dapat diartikan sebagai sebuah penegasan, susunan, dan gambaran aspek-aspek komponennya yang kemudian secara bersama-sama membentuk karya sastra menjadi suatu kebulatan yang dapat dikatakan indah sesuai dengan pernyataan Abrams (Nurgiyantoro, 2010).

Novel Saman yang ditulis oleh Ayu Utami merupakan sebuah sumbangan penting dalam dunia kesusastraan Indonesia pada saat reformasi. Dengan makin modernnya dunia, makin modern pula perempuan yang ada di dalamnya, baik di luar negeri maupun di Indonesia sendiri. Pada waktu itu mulai bermunculan berbagai pertanyaan tentang adanya dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarki. Di dalam UUD 1945, Pasal 27, telah diatur bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam bidang hukum dan pemerintahan. Selain itu, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 juga telah mengatur adanya pengarusutamaan gender guna terselenggaranya pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan perencanaan kebijakan atas program pembangunan nasional. Hal itu menjelaskan bahwasanya setiap perempuan yang ada di Indonesia seharusnya mendapatkan perlakuan dan hak yang sama, entah dalam wujud hak memilih ataupun hak dipilih.

Namun, sampai dengan saat ini kesenjangan perlakuan terhadap perempuan di Indonesia ternyata masih belum memenuhi sebagaimana yang diharapkan. Perlakuan yang paling terlihat jelas tidak adil adalah adanya kekerasan domestik dan kekerasan publik yang terjadi terhadap perempuan. Kekerasan yang terjadi sering kali membuat perempuan tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan seakan-akan perempuan diciptakan untuk benar-benar tunduk dan patuh kepada laki-laki yang menguasainya. Sebagaimana kasus yang baru-baru ini terjadi, seorang perempuan yang menegur suaminya pulang malam karena minum-minuman justru mendapat tuntutan 1 tahun penjara atau seorang perempuan yang minta pertanggungjawaban atas kehamilannya, jutru diminta melakukan aborsi dan akhirnya si perempuan bunuh diri di depan makam ayahnya. Belum lagi banyak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Ketimpangan yang menimpa perempuan di Indonesia dan juga belahan dunia lain memunculkan sebuah gerakan yang kita kenal dengan emansipasi wanita. Dalam dunia sastra pun mulai kita dapati gerakan-gerakan feminis yang menggugat dan mempertanyakan ketidakadilan yang diterima oleh perempuan. Hingga pada masa Reformasi muncul karya sastra yang bisa dikatakan sebagai ujung tombak bangkitnya Sastrawan Angkatan 2000, yaitu novel Saman karya Ayu Utami. Novel yang diterbitkan oleh kepustakaan popular, yaitu Gramedia ini langsung mendapat perhatian dari masyarakat ketika diluncurkan pada bulan April 1998. Novel ini juga berhasil memenangi Sayembara Penulisan Roman dari Dewan Kesenian Jakarta dan terjual hingga 55 ribu eksemplar dalam waktu 3 tahun.

Saman merupakan novel dengan orientasinya yang kuat membahas kesetaraan gender. Setiap tokoh perempuan yang digambarkan oleh Ayu Utami dijadikan sebagai tokoh penuntut kesetaraan, baik dalam ranah sosial, politik, maupun kehidupan seksual. Tokoh perempuan dalam novel ini adalah tokoh mandiri yang menentang sistem patriarki. Aliran feminisme yang berkembang dengan pesat ini menjadikan ketimpangan yang ada di antara perempuan dan laki-laki sedikit demi sedikit mulai tergeserkan. Karena alasan itulah, analisis novel Saman melalui pendekatan kritik sastra feminisme menjadi menarik.

Makna Feminisme

Kritik sastra feminisme merupakan sebutan dalam kajian sastra untuk pendekatan feminisme. Seperti yang telah disampaikan Nyoman Kutha Ratna (2005: 226), feminisme ini bermula dari kata femme yang berarti ‘perempuan’. Sugihastuti (2002: 18) juga berpendapat bahwa feminisme merupakan langkah gerak atau gebrakan untuk mendapat persamaan antara perempuan dan laki-laki di dalam semua bidang, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, maupun bidang lainnya. Tujuan feminisme sendiri adalah untuk mempertahankan hak-hak dan juga kepentingan yang melekat pada perempuan. Feminisme sendiri menjadi perwujudan kesadaran atas terjadinya ketimpangan yang menindas dan juga memeras kaum perempuan di ranah domestik dan ranah publik. Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 95) memberikan penjelasan tentang adanya perbedaan antara feminisme dan emansipasi. Menurutnya, emansipasi hanya menitikberatkan pada keterlibatan peran perempuan dalam pembangunan tanpa adanya persoalan hak dan kepentingan perempuan yang mereka anggap tidak adil. Sementara itu, feminisme sendiri dijelaskan sebagai perjuangan untuk menyamakan hak dan kepentingan perempuan atas dasar aktivitas dan inisiatifnya sendiri.

Kasiyan (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 8689) menjelaskan bahwa pergerakan perempuan dalam feminisme itu muncul dengan bentuk karakteristik yang berbeda-beda. Hal itu terjadi karena adanya asumsi dasar yang berbeda dalam memandang persoalan ketimpangan gender. Aliran dalam gerakan feminisme yang sering dijumpai, antara lain, ialah sebagai berikut.

a. Feminisme Liberal.

Mansour Fakih (2007:81) menyebutkan bahwa dasar asumsi feminisme liberal bersumber dari adanya kesamaan dan kebebasan yang berakar pada rasionalitas dan pemisahan ruang antara yang privat dan yang publik.

b. Feminisme Radikal

Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 97) menyebutkan bahwa feminisme radikal lebih menitikberatkan perbedaan gender yang dapat dijelaskan melalui perbedaan biologis ataupun psikologis, baik perempuan maupun laki-laki. Aliran ini mempercayai bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan karena didasarkan pada adanya kontrol dan pemilikan kaum laki-laki terhadap kapasitas reproduksi perempuan sehingga menyebabkan adanya ketimpangan dan penindasan pada perempuan. Oleh karena itu, timbul sebuah ketergantungan dari perempuan terhadap laki-laki secara fisik ataupun psikis.

Feminisme radikal menyalahkan adanya sistem patriarki yang menyebabkan adanya penindasan terhadap kaum perempuan. Objek penindasan atas kekuasaan laki-laki di sini adalah tubuh perempuan. Oleh sebab itu, feminisme radikal mengkaji tubuh, seksualitas (termasuk lesbianisme), hak-hak reproduksi, dan dikotomi domestik-publik. Pendekatan itu sangat menekankan bahwa perbedaan biologis menjadi sumber adanya ketimpangan antara perempuan dan laki-laki.

c. Feminisme Marxis

Feminisme marxis ini muncul karena adanya penolakan suatu kelompok terhadap aliran feminisme radikal yang menyatakan bahwa perbedaan biologis merupakan sumber ketimpangan gender. Kelompok ini meyakini bahwa penindasan terhadap perempuan merupakan bagian dari penindasan kelas yang kaitannya berhubungan dengan produksi (Mansour Fakih, 2007: 86). Perihal perempuan letaknya selalu berada dalam kerangka kritis atas kapitalisme. Kaum perempuan dalam pandangan kapitalis merupakan hal yang bermanfaat bagi sistemnya karena dengan begitu, reproduksi buruh menjadi lebih murah. Feminisme Marxis ini meyakini bahwa kapitalisme adalah akar dari adanya ketimpangan gender. 

d. Feminisme Sosialis

Aliran feminisme sosialis hadir karena ada sebuah keyakinan yang menganggap bahwa ketidakadilan terhadap perempuan disebabkan oleh konstruksi sosial. Hal itu sejalan dengan yang dikemukakan oleh Mansour Fakih (2007: 90), yaitu penindasan terhadap perempuan dapat terjadi di kelas mana pun, bahkan revolusi sosialis sebenarnya tidak menaikkan derajat dan posisi perempuan. Kemudian, di sini Herman J. Waluyo juga menambahkan bahwa kondisi yang dialami oleh perempuan ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya, adalah struktur produksi, seksualitas, reproduksi, dan sosialisasi yang didapat pada masa kanak-kanaknya. Jadi, kebebasan di sini dapat diraih dengan adanya status dan fungsi yang tinggi, seperti sikap rendah diri yang harus diubah menjadi sikap percaya diri.

e. Feminisme Moderat

Herman J. Waluyo berpendapat bahwa kodrat perempuan dan laki-laki memang berbeda dari awal. Yang seharusnya dibuat sama adalah perlakuan, hak, dan kesempatannya.

Dari beberapa penjelasan mengenai aliran feminisme, karya sastra dapat dikatakan menganut paham feminis ketika isi di dalamnya terdapat sebuah pertanyaan mengenai ketimpangan gender dan relasinya dalam tatanan sosial. Dapat kita simpulkan bahwa feminisme merupakan gerakan yang tercipta karena adanya tuntutan persamaan hak dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki di segala bidang, baik dari segi sosial, politik, ekonomi, pendidikan, maupun bidang lainnya. Kritik ini lebih mengarah pada analisis terhadap perempuan.

Nilai Feminisme dalam Novel Saman Karya Ayu Utami

Nilai feminisme yang terkandung dalam novel Saman karya Ayu Utami merupakan feminisme radikal, yaitu dasar dari pikiran yang menyusun asumsi bahwa kekerasan dan penindasan yang dialami perempuan terjadi karena jenis kelamin itu sendiri secara biologis. Novel Saman karya Ayu Utami ini menggambarkan sosok perempuan yang berperan aktif dan pintar. Tokoh perempuan di dalam novel Saman ini kebanyakan memiliki watak yang menentang sistem patriarkinya. Selain itu, perempuan di dalam novel Saman banyak yang mengabaikan persoalan norma dalam masyarakat, seperti kehidupan seks, perselingkuhan, hubungan seks sebelum menikah, dan mitos keperawanan.

Sebagaimana tokoh Shakuntala, di dalam novel Saman ia diceritakan memiliki karakter yang bandel dan liar serta menentang adanya kemapanan, apalagi sistem patriarki. Hal itu terlihat jelas dalam cerita bahwa Shakuntala sangat membenci ayahnya karena kemana pun dan kapan pun ia pergi, ayahnya akan selalu menyertainya. Bahkan, sampai dengan saat ia sedang mencari visa, nama ayahnya tetap melekat. Ketika diselami lebih dalam lagi, dirinya sering disebut-sebut sebagai sundal oleh ayah dan kakaknya yang perempuan. Sebutan itu muncul begitu saja karena tingkahnya yang sering tidur dengan laki-laki. Shakuntala memang kehilangan keperawannya sejak berusia 9 tahun dan ia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Hal itu sesuai dengan kutipan berikut.

Ketika umurku sembilan tahun, aku tidak perawan. Orang-orang tidak menyebut begitu sebab buah dadaku belum tumbuh. (Ayu Utami, 2006: 124)

Shakuntala menyatakan bahwa perempuan seharusnya hidup sebagai manusia yang aktif, tidak ditakdirkan untuk pasif. Ia menjadi salah satu tokoh yang memberontak deskriminasi gender. Hal itu terlihat saat ia melihat simbol-simbol tata upacara pernikahan sahabatnya, Yasmin. Begitu benci ia dengan nilai-nilai budaya dan perkawinan itu sendiri. Bahkan, ia menyatakan bahwa pernikahan hanyalah sebuah persundalan yang hipokrit sesuai dengan pernyataan berikut. 

Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itulah yang dinamakan perkawinan. Kelak, ketika aku dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Ayu Utami, 2006: 120-121) 

Selain Shakuntala, ada juga seorang tokoh dalam novel ini yang menganggap bahwa perempuan tak selamanya harus pasif, apalagi dalam kaitannya dengan seks. Ia menganut feminisme radikal yang meyakini bahwa peran perempuan dan laki-laki saat berhubungan seks adalah sama. Hal itu terlihat ketika Yasmin memberanikan diri mendatangi Saman dengan begitu aktif. Dalam feminisme radikal, peran laki-laki dan perempuan sama/sederajat dalam seks. Selain sebagai orang yang paham akan nilai-nilai norma, tokoh Yasmin di sini justru menentangnya dengan berselingkuh dengan Saman. Hal itu tampak dalam kutipan berikut. 

Saman, Aku terkena aloerotisme. Bersetubuh dengan Lukas tetapi membayangkan kamu. Ia bertanya-tanya, kenapa sekarang aku semakin sering minta agar lampu dimatikan. Sebab yang aku bayangkan adalah wajah kamu, tubuh kamu. (Ayu Utami, 2006: 194)

Terakhir, dalam novel Saman terdapat satu tokoh lagi yang mengemban aliran feminisme radikal, yaitu Laila. Ia begitu bahagia dan terbebaskan ketika dirinya berada di New York. Jarak geografis yang jauh membuatnya merasa mampu mengontrol dirinya sendiri atau kontrol penuh atas tubuhnya sendiri. Sekalipun diceritakan bahwa ia bekerja di tengah-tengah pekerja lelaki, tokoh Laila ini begitu menjaga keperawanannya. Namun, hal itu dilakukan bukan semata-mata karena pertimbangan religiusnya, melainkan karena ia lebih memilih untuk tidak merasa bersalah pada orang-orang terdekatnya, yaitu orang tua dan suaminya, Sihar. Kebebasan yang ia rasakan dapat kita lihat melalui kutipan berikut.

Barangkali saya letih dengan segala yang menghalangi hubungan kami di Indonesia. Capek dengan nilai-nilai yang kadang terasa seperti teror. Saya ingin pergi dari itu semua, dan membiarkan hal-hal yang kami inginkan terjadi. Mendobrak yang selama ini menyekat hubungan saya dengan Sihar. Barangkali. (Ayu Utami, 2006: 28) 

Simpulan

Dari seluruh penjelasan yang sudah dijabarkan, dapat ditarik simpulan bahwasanya novel Saman karya Ayu Utami ini memiliki unsur-unsur feminisme, yaitu sebagian penggambaran watak perempuan di dalamnya menganut aliran feminisme radikal yang menentang adanya sistem patriarki dan secara biologis menentang jika diperlakukan sebagai objek penindasan. Gerakan feminis di sini tujuannya bukan semata-mata ingin merendahkan kaum laki-laki, melainkan untuk mencapai kesetaraan sehingga perempuan juga memiliki hak privasi dan juga kontrol atas dirinya sendiri, baik dalam ranah domestik maupun ranah publik.

Daftar Pustaka

Fakih, Mansour. 2007. Analisis Gender dan Trasformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kutha Ratna, Nyoman. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ratna, N. K. (2007). Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti dan Suharto. 2005. Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan, Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Utami, Ayu. 2006. Saman. Jakarta: Gramedia.

Wicaksono, Andri. 2014. Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Garudhawaca

Rafli Adi Nugroho

Pegiat Literasi dan Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Jenderal Soedirman

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa