Abad Konsolidasi Trigatra Bangun Bahasa (2)
Perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia pada tahun 2023 mengangkat tema "Terus Melaju untuk Indonesia Maju". Tema besar ini tampaknya tidak hanya menyiratkan adanya titik tuju kemajuan dimaksud, tetapi juga menyiratkan lajunya gerakan berkeindonesiaan dengan titik tumpu dan—sekaligus—titik temu kebahasaan.
Gerakan pembangunan (manusia) Indonesia yang diharapkan dapat terus melaju itu terlihat sangat bertumpu pada kekuatan praktik Trigatra Bangun Bahasa: Utamakan Bahasa Indonesia; Lestarikan Bahasa Baerah; Kuasai Bahasa Asing. Untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berkelanjutan, tentu gatra kebahasaan tersebut tidak boleh terbalik-balik atau dijungkirbalikkan (lihat ketentuan UU No. 24 Tahun 2009).
Tiga bahasa—Indonesia, daerah, dan asing—haruslah tetap terlihat dan terbaca jelas dalam satu garis gerakan yang solid yang setiap titiknya menunjukkan perjumpaan akbar berkeindonesiaan. Untuk itu, setiap insan manusia Indonesia perlu terus merawat diri dan—bahkan perlu sesekali—meruwat diri melalui konsolidasi nasional kebahasaan pada abad ke-21 yang amat disruptif; penuh dengan proksi atau peperangan tak bersenjata api.
Semangat Adibasa; Adiwangsa
Inilah abad ke-21 ketika di Indonesia tengah dilakukan konsolidasi nasional dengan semangat menuju titik keemasan: Indonesia Emas 2045. Keunggulan umat manusia yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa (Allah Swt.) yang berbangsa satu—Indonesia—diikhtiarkan melalui kebaikan (budi pekerti) bahasa manusianya. Begitu penting bahasa itu sebagai modal sosial dan sumber kekuatan bagi negara untuk terus melaju menuju bangsa (baca: wangsa/manusia bangsawan) Indonesia yang maju dan utama di dalam tata dunia global dewasa ini.
Demi kepentingan nasional yang diperteguh atau terkonsolidasi itulah, Kongres Bahasa Indonesia/KBI XII (Oktober 2023) pun mengusung semangat Adibasa; Adiwangsa. Selaras dengan tema besar dalam perayaan 78 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, tema yang diangkat pada KBI tahun ini adalah “Literasi dalam Kebinekaan untuk Kemajuan Bangsa”. Makna tema kongres ini ialah bahwa penguatan literasi baca tulis perlu secara terus-menerus ditumbuhkan dari kesadaran tentang kebinekaan yang menjadi fakta keindonesiaan yang meliputi adat istiadat, suku bangsa, bahasa, dan agama.
KBI XII akan dilaksanakan untuk mempertegas bahwa bahasa Indonesia bukan hanya pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan juga penghela ilmu pengetahuan. Pelaksanaan KBI ini akan sangat bermakna ketika nanti dibaca secara teoretis dari siklus gerakan sosial (social movement) pembangunan manusia Indonesia. Eyerman dan Jamison (1985) telah membantu membaca siklus gerakan sosial kemanusiaan dengan menerapkan tiga lini masa/tahapan yang terperinci sebagai berikut: pembibitan (gestation), pembentukan (formation), dan konsolidasi (consolidation).
Seturut dengan teori gerakan sosial tersebut, jelaslah bahwa peristiwa akbar 78 tahun yang lalu—Proklamasi 17 Agustus 1945—merupakan sebuah titik terpenting pada tahapan pembentukan Indonesia yang bersatu. Demikian pula halnya dengan bahasa (negara) Indonesia yang diperjuangkan kedudukan dan fungsinya untuk mengikat persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tahapan pembentukannya, keberadaan bahasa negara Indonesia diformulasikan melalui pembentukan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 (baca Pasal 36).
Selaku anggota tim pembentuk UUD itu, Soepomo berkata, “Dengan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara[,] kita akan mengekalkan persatuan seluruh rakyat Indonesia.” Pada saat pembentukan UUD itu, sesungguhnya, telah tumbuh kesadaran tentang kebinekaan (dalam ketunggal-ikaan) yang menjadi fakta keindonesiaan. Bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Itu sama sekali tidak berarti bahwa, misalnya, bahasa Jawa atau bahasa Sunda harus dihapuskan. “Sama sekali tidak!” tegas Soepomo dalam catatan sejarah yang telah dibukukan oleh Yudi Latif (2020: 179).
Pada saat terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, Soepomo mempertegas pernyataan bahwa bahasa-bahasa daerah, bahasa Jawa dan sebagainya, harus dihormati. “Kita harus memelihara sebaik-baiknya bahasa-bahasa daerah yang begitu luas dan tinggi kedudukannya dalam kehidupan masyarakat,” jelasnya dengan terang benar. Benar bahwa bahasa Jawa, Melayu, dan sebagainya tidak akan menjadi bahasa daerah tanpa adanya bahasa Indonesia. Demikan pula—tanpa adanya bahasa Indonesia—bahasa Inggris, Arab, dan sebagainya tidak akan menjadi bahasa asing.
Dengan mengusung semangat
berkeindonesiaan Adibasa; Adiwangsa, tentu sangat besar harapan akan
terlaksananya kongres kali ini untuk mengonsolidasi atau memperteguh keberadaan
bahasa Indonesia di tengah keberagaman: tidak hanya ragam bahasa daerah, tetapi
juga bahasa asing. Oleh karena itulah, melalui momentum KBI XII, bahasa Indonesia
hendak diperteguh sebagai penghela ilmu pengetahuan untuk mewadahi
keberagaman konsep pengetahuan: baik konsep yang berakar pada kearifan
Nusantara (dalam bahasa daerah) maupun konsep peradaban modern (dalam bahasa
asing).
Untuk mewujudkan harapan tersebut, panitia pelaksana KBI XII telah menetapkan
37 pemakalah terseleksi guna mendiskusikan pokok makalahnya masing-masing. Ruang
diskusi KBI XII nanti akan terisi dengan 10 makalah mengenai revitalisasi bahasa
daerah dan 17 makalah mengenai literasi bahasa dan sastra serta 10 makalah mengenai
penginternasionalan bahasa Indonesia. Secara umum, makalah KBI itu dapat terbaca
isinya untuk menggambarkan bahwa bahasa Indonesia merupakan simbol perikemanusiaan
Indonesia yang secara terus-menerus bertransformasi dalam kehidupan sosial pada
masyarakat pemilik/penuturnya sehingga pada tahap konsolidasi ini diharapkan bahasa
negara ini dapat berterima lebih luas di ruang tata kehidupan dunia global.
Pokok-pokok bahasan KBI dalam tiga subtema tersebut akan mendukung
arah kebijakan kebahasaan. Secara khusus, bahasa Indonesia tengah dirancang arah
pembangunannya sebagai lingua franca plus. Pada satu sisi, sebagai lingua
franca bagi masyarakat penutur Indonesia yang sangat majemuk dengan
berbagai ranah pemajanan (exposure), bahasa Indonesia dikonsolidasi
secara internal dengan merevitalisasi bahasa-bahasa daerah. Sebagaimana pandangan
Soepomo dalam rapat pembentukan UUD 1945, bahasa daerah harus digerakkan pelestariannya
agar tetap memiliki daya hidup dan daya dukung bagi bahasa Indonesia. Gerakan
termutakhir dilakukan melalui perancangan draf undang-undang tentang bahasa daerah.
Pada sisi eksternalnya, melalui beragam program ke-BIPA-an yang
digelar secara internasional, bahasa Indonesia juga diperkuat posisinya sebagai
bahasa asing oleh masyarakat penutur non-Indonesia. Posisi bahasa Indonesia memang
sekarang makin terbuka luas meskipun tak kecil
tantangannya, baik di
tingkat internal maupun eksternal. Meskipun begitu, tetap sangat besar peluang
bahasa Indonesia untuk melaju menuju titik kemajuan, yaitu kesejajaran fungsinya
dengan enam bahasa resmi di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (bahasa Inggris,
Perancis, Spanyol, Cina, Arab, dan Rusia).
Pada posisinya
yang berfungsi
sebagai lingua franca plus tersebut,
bahasa Indonesia dapat dipastikan makin terkonsolidasi sebagai penghela ilmu
pengetahuan di tengah keberagaman, tidak hanya
pada tataran lokal dan nasional, tetapi juga tingkat regional dan dunia global. Itulah yang akan
membuat pelaksanaan KBI XII nanti sangat distingtif dalam hal berkeindonesiaan
dengan semangat Adibasa; Adiwangsa.
Berabad-abad Pembibitan (Bahasa) Indonesia
Dari ruang diskusi 37 makalah yang terseleksi dalam KBI XII tersebut, nanti akan muncul gagasan pentingnya susur galur tentang pembibitan (bahasa) Indonesia yang berabad-abad lamanya. Gagasan penting ini dapat dibaca, antara lain dalam makalah Wati Istanti dan Yanuar Wijayanti (pemakalah gabungan dari Universitas Negeri Semarang dan Universitas Gadjah Mada) dengan tajuk berikut: “Analisis Komparasi Diksi Bahasa Hindi dalam Lirik Lagu Bollywood dengan Bahasa Indonesia serta Implementasinya pada Pembelajaran BIPA Aspek Keterampilan Membaca (Comparative Analysis of Hindi Diction in Bollywood Song Lyrics And Indonesian Language and It’s Implementation in BIPA Learning)”.
Makalah Wati
Istanti dan Yanuar Wijayanti tersebut merupakan laporan hasil penelitian
ilmiah melalui analisis dan deskripsi terhadap diksi atau kosakata bahasa Indonesia
yang memiliki kemiripan dengan bahasa Hindi. Sampel data penelitiannya diambil
dari lirik lagu Bollywood dan dimanfaatkan dalam pembelajaran BIPA,
khususnya untuk pemelajar yang berasal dari India. Persamaan dan perbedaan diksi
(antara bahasa Indonesia dan bahasa Hindi) yang diterapkan dalam pembelajaran
BIPA itu memperlihatkan adanya jejak awal kontak bahasa Indonesia—tentu, sejak masa
pembibitannya—dengan bahasa Hindi. Wacana susur galur pembibitan bahasa Indonesia
ini dibuka oleh makalah tersebut dengan berkata, “Indonesia dan India memiliki
hubungan diplomatik yang erat dan kedekatan secara budaya.”
Jalinan kontak bahasa (istilah khas dalam sosiolinguistik) antara Indonesia dan India diperkirakan telah berlangsung sejak tahapan pembibitan bahasa Indonesia. Memang, bibit awal bahasa Indonesia dan bahasa kebangsaan semua yang ada di muka bumi patut dipercaya berasal dari satu sumber bahasa yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa (Allah Swt.). Kisah penciptaan manusia pertama—Nabi Adam a.s.—memberikan petunjuk bahwa telah dijadikan manusia yang berbangsa Indonesia dan diajarkan pula bahasa manusia ini untuk mengenali benda-benda alam di atas bumi (Nusantara) Indonesia.
Sebagai maujud (entitas) simbol ciptaan yang melekat tak berjarak dengan manusianya, bahasa Indonesia patut diyakini telah berabad-abad—bahkan beribu-ribu atau jutaan tahun—mengalami pembibitan yang bersumber dari bahasa manusia pertama tersebut. Keyakinan seperti itu tentu berdasarkan cara pandang Pancasila sebagai simbol bernegara bangsa—sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009—yang di dalamnya persatuan (bangsa) Indonesia perlu dilihat sebagai umat manusia yang tidak berdiri sendiri atau terkucil dari perikemanusiaan yang adil dan beradab atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan mengambil hikmah dari makalah Wati Istanti dan Yanuar Wijayanti tersebut, patutlah disyukuri sebagai anugerah Tuhan bahwa bahasa Indonesia memperoleh bekal pembibitannya, antara lain dengan menjalin kontak budaya dan bahasa Hindi. Bahkan, terbukti begitu eratnya jalinan kontak kebudayaan dan kebahasaan itu sehingga dikenal adanya orang Hindia sebagai manusia Nusantara yang berdiam di wilayah Hindia-Belanda. Kontak dengan bahasa Hindi itu membuat bahasa Indonesia bertransformasi dari tahapan pembibitannya ke dalam pembentukan kehidupan sosial manusianya.
Mafhum bahasa negara Indonesia secara resmi terbentuk pada abad ke-20, antara lain melalui peristiwa akbar Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dan pembentukan BPUPKI pada 1945. Salah satu titik masuknya lini masa pembentukan bahasa Indonesia dari tahapan pembibitannya memperoleh konfirmasi dari Bernd Nothofer dalam buku Pengantar Etimologi (2013) dengan merujuk peristiwa geopolitik abad ke-19 akibat penandatanganan kontrak (perjanjian) antara Belanda dan Inggris (Treaty of London, 1824).
Alkisah, dengan adanya kehebatan teknologi perkapalan, navigasi, dan inovasi lain, Belanda memasuki pertengahan abad ke-17 dengan tampil sebagai penguasa perdagangan terbesar yang mampu menggantikan Portugis di berbagai pos perdagangan dan meminggirkan semua kekuatan pesaing Eropa lainnya, kecuali Inggris (British). Kisah sejarah dunia ini ditulis oleh Jun Russel dalam buku The Banda Islands: Hidden Histories & Miracles of Nature (2017), sebagaimana diceritakan kembali oleh Yudi Latif (dalam komunikasi pribadi) pada tanggal 13 Juli 2023.
Belanda ternyata tidak hanya bergerak ke belahan Timur untuk melakukan kontak perdagangan dunia dengan kesultanan India dan Nusantara (Hindia Timur). Akan tetapi, Belanda juga bergerak ke kawasan Amerika Utara dan berhasil menguasai berbagai wilayah yang disebut New Holland. Namun, kawasan Amerika Utara ini dipandang tak sepenting pusat rempah (Hindia). Akhirnya, kota New Amsterdam di pulau Manhattan berhasil diduduki Inggis pada tahun 1664 dan berganti menjadi New York. Dalam situasi itu, Belanda dan Inggris memasuki era Perjanjian Breda (1667) yang menukar Pulau Manhattan di Amerika Serikat (semula dalam kekuasaan Belanda) dengan Pulau Run di Kepulauan Banda (semula dalam kekuasan Inggris).
Seperti halnya Perjanjian Breda yang memasukkan Kepulauan Banda di Maluku dalam wilayah jajahan Belanda tersebut, penandatanganan Traktat London (1824) berimbas pada terjadinya tukar guling antara Bengkulu (semula dalam kekuasan Inggris) dan Singapura (semula dalam kekuasaan Belanda). Dalam hal itu, Nothofer (2013) juga memberikan konfirmasi bahwa imbas dari Traktat London itu ialah terbelahnya dunia (bahasa) Melayu “dengan Selat Malakka (sic) sebagai batas antara daerah jajahan Belanda dan jajahan Inggris”. Senada dengan Nothofer, pandangan Yudi Latif (2023) telah mengonfirmasi bahwa kisah kekuasaan Belanda dan Inggris itulah yang menjadi narasi titik tolaknya menuju pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pembentukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, apabila dilakukan susur galur pembibitan lebih lanjut, dapat diketahui telah dimulai dengan adanya modernisasi peradaban Nusantara pada era kekuasaan Belanda dan Inggris. Namun, perlu diketahui pula bahwa jauh sebelum mereka, India dan Arab telah terlebih dahulu datang, tentu dengan membawa konsep peradaban modern juga. Kedatangan Arab itu sendiri tercatat telah berlangsung pada abad ke-7 dengan bukti adanya situs memori kota kuno di Barus (wilayah Tapanuli Tengah, sekarang) sebagai titik nol peradaban Islam (di) Nusantara yang telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggl 24 Maret 2017.
Pada momentum pelaksanaan KBI XII, kelompok pemakalah lain—Risman Iye Saidna Zulfiqar bin Tahir, Fithriyah Inda Nur Abida, dan Nadir Ladjamun—juga tampak melakukan susur galur pembibitan bahasa Indonesia dengan adanya fakta kontak bahasa Arab. Pemakalah ini akan melaporkan kajian empiris “Kontekstualisasi Bahasa di Ruang Publik di Provinsi Maluku: Kajian Lanskap Kebahasaan”. Berdasarkan laporan makalah ini, di wilayah Provinsi Maluku ditemukan banyak variasi penggunaan bahasa, termasuk bahasa daerah, bahasa arab, dan bahasa Indonesia.
Seturut dengan kisah berlangsungnya era Perjanjian Breda (1667) tersebut, bahasa Indonesia dapat diketahui telah mulai terbentuk di wilayah Maluku pada abad ke-17. Buku Jun Russel (2017) telah memuat cerita sejarah tentang Kepulauan Banda yang di-tukar guling dengan Pulau Manhattan di Amerika Serikat. Tanpa dinamika kekuasaan Belanda dan Inggris sebagai dua kekuatan terbesar pada zamannya, kisah dunia—termasuk Amerika Serikat dan NKRI—akan berbeda untuk dinarasikan kembali pada abad ke-21 sekarang ini. Tanpa transformasi sosial seperti itu, narasi pembentukan dan pembibitan bahasa Indonesia boleh jadi beda lagi kisahnya.
Ruwatan Nasional dalam Ajang KBI XII
KBI XII merupakan ajang perjumpaan antara pemangku kepentingan
dan pengambil kebijakan di bidang kebahasaan untuk merawat semangat Trigatra
Bangun Bahasa. Perjumpaan akbar ini juga tampak bersifat konsolidasi atas
semangat berbahasa tiga itu dalam rangka transformasi sosial untuk meningkatkan
kualitas kehidupan
manusia dan menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, adil, dan
kohesif. Untuk itu, karena abad ke-21 amat disruptif, KBI XII sangatlah
urgen untuk dilaksanakan guna melakukan ruwatan nasional: pemulihan kembali
pada keadaan semula.
Betapa pun
pentingnya bahasa Inggris, misalnya dalam kehidupan sosial masyarakat
pemilik/penutur bahasa Indonesia, tetaplah didudukkan dan difungsikan di ruang
publik sebagai bahasa asing yang perlu dikuasai dengan menempatkannya di bawah
bahasa negara. Begitu pula bahasa Arab yang tak kalah
pentingnya dalam kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan
berbahasa daerah pun, bahasa Jawa, Melayu, dan sebagainya tidak boleh melampaui
kedudukan dan fungsinya untuk menyangga keberadaan bahasa Indonesia.
Demi terlaksananya
UU No. 24 Tahun 2009 (baca kembali ketentuan Pasal 1), bahasa Jawa dan bahasa
Melayu serta bahasa Tetun—misalnya—yang dituturkan secara turun-temurun di luar
wilayah NKRI haruslah tetap dipandang kedudukannya masing-masing sebagai bahasa
asing. Dalam kaitan bahasa asing itu, gerakan revitalisasi daya hidup bahasa
daerah—jika merujuk pada sebelas tangga kehidupan suatu bahasa dalam formula Expanded
Graded Intergenerational Disruption Scale/skala EGIDS ((0) skala International,
(1) National, (2) Provincial, (3) Wider Communication, (4)
Educational, (5) Developing, (6a) Vigorous dan (6b) Threatened, (7) Shifting, (8a) Moribund
dan (8b) Nearly Extinct, (9) Dormant, serta (10)
Extinct)—haruslah terangkai dengan gerakan pengutamaan bahasa negara Indonesia.
Gerakan
penginternasionalan bahasa Indonesia pada konsep awal di titik nolnya sebagai pendekatan
lingua franca plus tentu juga perlu didukung/ditopang dengan adanya kekuatan
daya hidup bahasa daerah yang tengah direvitalisasi di setiap provinsi agar
mencapai tangga kehidupan kedua dalam skala EGIDS tersebut. Tangga daya hidup pada
setiap bahasa daerah tentu tidak dirancang capaiannya hingga pada level pertama
di tingkat nasional. Itu semata-mata karena bahasa Indonesia tumbuh dan
berkembang atau dikembangkan dari bibit-bibit unggulnya dalam semua bahasa daerah
(di) Indonesia.
Sangatlah tepat tiga subtema bahasan KBI XII—revitalisasi bahasa
daerah, literasi bahasa dan sastra, penginternasionalan bahasa Indonesia—yang telah disodorkan kepada
pemangku kepentingan. Mereka mestinya peduli dengan pentingnya konsolidasi
kedudukan dan fungsi tiga bahasa: Indonesia, daerah, dan asing. Konsolidasi semangat
Trigatra Bangun Bahasa ini berlangsung pada abad ke-21 yang amat
menggoda untuk mengubah tatanan kebahasaan di Indonesia. Bagi mereka yang telah
tergoda oleh abad yang sangat disruptif ini, pelaksanaan KBI XII bolehlah
menjadi momentum melakukan ruwatan nasional.
Melalui momentum KBI XII, memori kolektif akan dipulihkan kembali. Bahasa Arab, misalnya, tetaplah bahasa asing yang dikuasai sejak jejaknya berabad-abad silam di Barus. Bahasa Melayu pun tetaplah lestari sebagai keragaman bahasa daerah dalam peradaban (bangsa) Indonesia.
Itu semua demi keutamaan bahasa Indonesia
guna menjaga keberadaan bahasa negara ini tetap solid dan terus melaju untuk Indonesia
maju. Transformasi sosial kehidupan bangsa ini pun tetap terjaga pada abad ke-21.
Maryanto
Widyabasa Ahli Madya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek