Absurditas Chairil Anwar di Mata Sastra
Seperti
membaca sajak-sajak Chairil Anwar, ada beberapa diksi yang membuat pembaca
berpikir untuk memahami maknanya. Mengapa harus ada kata—menggantung—yang
akhirnya pembaca harus menggiring pikirannya pada subjektivitas pikiran?
Hal
semacam ini, tentunya bukan hanya seorang Chairil Anwar menulis sajak seperti
itu, melainkan masih banyak penyair yang melakukan hal yang serupa. Artinya,
sublimasi pikiran yang dituangkan ke dalam sajak atau puisi adalah sebuah
dimensi untuk memerdekakan pikiran penyair.
Lantas,
jika kita melihat ratusan bahkan ribuan karya sastra kini, terutama puisi,
seakan mengetengahkan perpaduan diksi yang hanya dinikmati dengan relatif waktu
singkat. Setelah dibaca, mungkin esok akan muncul karya fiksi berupa puisi yang
lebih kuat diksinya. Akhirnya, karya yang telah lewat hanya sebatas pemenuhan
apresiasi di lingkup pegiat atau peminat sastra.
Apakah
karena dimensi sastra kini, yang mendorong seseorang untuk berpikir instan agar
mendapat gelar atau status sebagai penyair? Sementara kalau kita menyimak,
seorang sastrawan yang juga seorang kolumnis, Goenawan Mohammad, dalam sebuah
acara apresiasi sastra, mengatakan bahwa status penyair itu tidak jelas atau samar.
Sastra sebuah dedikasi dalam menghasilkan karya seni.
Atau
bisa jadi karena makin pesatnya perkembangan serta kemajuan dunia teknologi
digital, yang membuka peluang bagi siapa saja untuk menulis puisi secara instan,
tetapi seorang Chairil Anwar telah melalui fase dan proses itu. Rekam jejak
yang ditinggalkannya seakan menjadi arca puisi sehingga bagi pegiat sastra
terutama penyair ingin menjadi seolah-olah seperti Chairil Anwar.
Ini
seperti sebuah dilema dalam ruang kaca, sebuah karya tidak hanya menjadi
pendingin, tetapi juga membutuhkan kehangatan. Arus pertumbuhan untuk
menghasilkan sebuah karya fiksi terutama puisi, tidak berbanding lurus dengan
objektivitas pemikiran. Yang dimaksud di sini adalah sudut pandang dalam
pembedahan karya-karya sastra yang berkualitas sehingga sastra menjadi momentum
dari perjalanan fase panjang dari seorang penulis untuk menghasilkan sebuah
karya abadi.
Sebuah
paradigma yang kadang menjadi opini liar dalam masyarakat, bahwa puisi seolah
sebuah identitas penulis dalam merangkum isyarat zaman. Terkadang orang menjadi
heroik dengan hasil karya puisi. Tentu hal ini tetap sah-sah saja selagi karya
sastra tersebut dapat dijadikan komoditas seni sastra. Karena perjalanan zaman,
banyak dituangkan dalam karya-karya puisi.
Di
sisi lain, karya puisi menjadi tempat untuk mengejawantahkan nilai-nilai moral
dan estetika sehingga dalam perjalanan semarak kehidupan sastra, menjadi
isyarat atau pertanda bagi lahirnya karya-karya sastra, seperti puisi, cerpen,
novel dan juga esai. Ini yang kemudian, dengan munculnya persaingan di kalangan
sastrawan (baca: seleksi alam), akan memunculkan gaya dan aliran-aliran baru
dalam dunia sastra. Yang sering lebih populer dengan sebutan genre.
Pada
judul tulisan ini, penulis lebih fokus pada konsep absurd karena aliran absurd
lebih memancing pembaca dalam dunia nyata dan maya. Jika kita mengacu pada
referensi kata absurd seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
maknanya adalah ‘tidak masuk akal’; ‘mustahil’. Akan tetapi, mengapa saat ini
banyak penulis yang merefleksikan karyanya dengan karya sastra absurd?
Pada
awal paragraf, pembaca mungkin terkejut dengan menempatkan Chairil Anwar
seolah-olah seperti tokoh dalam absurditas puisi. Ini tentunya akan memantik
pertentangan ketika kita membaca sajak-sajak Chairil Anwar yang menggunakan
kata dengan gaya hiperbola dan simbolik. Apakah ini bisa dibaca atau dikategorikan
sebagai bentuk karya sastra absurd?
Dalam
relevansi perputaran masa yang dihadapi sastrawan atau penyair, ini tidak
terlepas dari situasi dan kondisi yang dihadapinya. Ini dapat dijadikan sebuah
tanda dalam era waktu. Jika era Chairil Anwar yang masuk dalam sastrawan/penyair
Angkatan 45 tentunya kebanyakan karya-karya sastra yang dihasilkan bernuansa
perjuangan karena kondisinya pada saat itu dalam pergerakan menuju kemerdekaan
Republik Indonesia. Artinya, sastra bergaya klasik sudah tidak relevan lagi
dengan masa yang dihadapi oleh Chairil Anwar dkk.
Jika
ditelisik lebih dalam tentang absurdisme sastra yang terserap dari kata dasar
absurd, konsep ini dapat diartikan sebagai sebuah aliran yang didasarkan pada
kepercayaan bahwa usaha manusia dapat disajikan dalam bentuk tidak memiliki
rasionalitas antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Yang kemudian
dalam perkembangan sastra, dijadikan sebuah aliran yang menggabungkan prinsip
eksistensialisme dan nihilisme, yakni peristiwa imajinatif di luar logika
manusia.
Pertanyaannya,
apakah sajak-sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar menjangkau ruang dimensi
ini? Sebagai catatan, tentunya kita harus melihat sejauh mana objektivitas kita
dalam mengupas sebuah gagasan dalam karya puisi. Sejauh ini ada sikap
skeptisisme (keraguan) untuk menetapkan indikator jelas yang menjadi dasar
dalam menentukan aliran seorang penyair. Relativitas zaman dengan
perubahan-perubahan sosial yang begitu drastis tentunya sangat memengaruhi
karakter puisi yang dihasilkan.
Dalam
sajak-sajak yang ditulis Chairil Anwar terlihat ada konsistensi. Ini yang
sangat jarang dimiliki oleh penyair masa kini. Karakter kuat yang
diimplementasikan dalam karya-karyanya membuat Chairil Anwar seakan tak
terpisahkan dari perjalanan puisi. Dengan demikian, momentum pengabadian puisi
Cahiril Anwar seakan mengarungi jagat sepanjang seribu tahun lagi: sebuah
surealisme—Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi—yang begitu tipis perbedaannya
dengan makna absurditas sastra.
Perjalanan
sebuah karya seperti sajak-sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar, tentunya
tidak semuanya berjalan mulus. Munculnya beberapa polemik, terutama dari
kritikus sastra meninggalkan jejak panjang untuk meneliti lebih mendalam.
Secara teorema analitik, karya sastra termasuk puisi, ada batasan-batasan yang
harus dihindari semacam pencomotan kata-kata atau kalimat dari karya orang lain
sehingga tidak dikatakan sebagai pelanggaran dengan melakukan plagiasi.
Beberapa
sajak yang dihasilkan oleh Chairil Anwar pun tidak luput dari pengamatan serius
para kritikus sastra. Dalam pertentangan dan polemik, ada beberapa sajak dari
Chairil Anwar yang merupakan karya saduran. Akan tetapi, ada yang berpendapat,
bahwa itu adalah bentuk plagiasi. Pada karya Cairil Anwar berjudul Karawang-Bekasi, nyaris sangat mirip
dengan The Young Died Soldier karya Archibald McLeish, tetapi menurut AACR
second edition 2002 Revision, karya saduran bukanlah plagiat.
Bagi
para sastrawan atau penyair, adakalanya untuk mengatasi kebuntuan dari
sumber-sumber ide pikiran, ada kecenderungan untuk mencari referensi lain,
misalnya dengan membaca buku dari karya-karya sastrawan atau penyair lainnya.
Tanpa disadari, jika apa yang dibaca seakan memancing pikiran penyair untuk
melakukan hal yang sama (tetapi dengan gaya bahasa yang berbeda). Sangat
mungkin hal seperti ini juga dialami oleh Chairil Anwar.
Pada
paragraf awal yang menyitir sajak-sajak Chairil Anwar, ada kata yang
menggantung seakan tidak tertuntaskan, menggiring sebagian pembaca untuk
memahami lebih mendalam. Ada makna yang terkesan ambigu. Sebagai contoh di sini,
mungkin bisa mengambil teks pada sajak bertajuk “malam”. Sesungguhnya apa yang
dimaksudkan oleh Chairil Anwar dengan menyelipkan kata Thermopylae?
/ Mulai kelam/ belum
buntu malam/ kami masih saja terjaga/ —Thermopylae?/ — jagal tak dikena / tapi nanti/ sebelum siang membentang/ ‘kami sudah
tenggelam/ hilang/
Sajak
ini sarat makna, tetapi begitu samar. Bagaimana mungkin kata Thermopylae
menjadi bagian penting dalam sajak ini? Jika kita menarik garis lurus dalam
perbendahaan literasi puisi, artinya kita diajak untuk melihat dimensi yang
lebih luas. Tidak semata-mata hanya bersinggungan dengan metafisik duniawi.
Puisi juga mempunyai ruang untuk menyentuh hal-hal yang sifatnya nonfisik.
Bukankah
kalau kita menelisik pada konteks linguistik, kata Thermopylae adalah
sebuah kata serapan asing yang menggambarkan sebuah tempat di Yunani, tempat terdapat
lorong pantai yang sempit di zaman kuno. Namanya berasal dari mata air panas
yang mengandung belerang. Dalam mitologi Yunani, gerbang panas seperti mata air
panas adalah pintu masuk menuju Hades.
Dalam
penajaman kata Thermopylae, dikatakan bahwa dalam sajak asli yang
ditulis pada tahun 1945 tidak dicantumkan kata ini. Akan tetapi, apakah kata
ini muncul seketika, atau dalam perjalanannya kemudian, Chairil Anwar perlu
menambahkan kata tersebut. Sungguh ajaib dan begitu absurd. Sebab sebuah puisi
punya keterhubungan kata satu sama lainnya, selama menjadi satu judul, karena
untuk mencapai tujuan dari tema yang ditulisnya.
Di
sini kita tidak berandai-andai, bahwa dalam perjalanan kekaryaan terutama
sajak, tentu ada ide-ide yang lahir di luar nalar logika. Yang kemudian seorang
penyair menghadirkan bentuk-bentuk kalimat puisi di luar logikanya seperti
menggabungkan aliran surealisme dengan simbolisme. Dalam pengertian absurdisme,
ada penyimpangan antara realitas dan logika pikiran, kemudian dituangkan dalam tulisan
sastra, seperti sajak. Apakah dalam perjalanan karyanya, seorang Chairil Anwar juga
sudah masuk dalam dimensi absurditas sastra?
Tentu
tidak elok jika kita hanya melihat hanya dari satu sisi karya sajak Chairil
Anwar. Sebagaimana kita ketahui, sepanjang hidupnya, Chairil Anwar sudah
menghasilkan puluhan judul sajak, bahkan dari beberapa sumber yang kurang kuat
legitimasinya, mengatakan ada sekitar seratus lebih judul sajak yang telah
ditulis oleh Chairil Anwar.
Dalam
tajuk puisi yang berjudul “Tak Sepadan”, ada beberapa kata, yang menurut
penulis sebagai kata yang menggantung dan seakan itu hanyalah permainan diksi
dengan menguatkan perpaduan karakter, antara materialisme dan eksistensialisme.
Tak
Sepadan
/ aku kira/ beginilah
nanti jadinya/ kau kawin, beranak dan berbahagia/ sedang aku mengembara serupa
Ahasveros// dikutuk sumpahi Eros/ aku merangkak dinding buta/ tak satu juga
pintu terbuka// jadi baik kita pahami/ unggunan api ini/ karena kau tidak ‘kan
apa-apa/ aku terpanggang tinggal rangka/
Bila
dicermati lebih mendalam, apakah sosok Chairil Anwar ada dalam sajak itu? Atau
apakah itu menggambarkan orang lain, yang kemudian diceritakan oleh Chairil
Anwar dalam sajaknya? Dalam pandangan ini, tentunya kita harus menghayati seakan-akan
saat membaca sajak Chairil Anwar, isi sajaknya adalah diri kita. Kemudian,
pemahaman absurditas dari sajak-sajak Chairil Anwar menjadi sebuah realitas
yang mungkin hanya harapan Chairil Anwar kepada pembaca.
Dalam
perjalanan sastra, tercatat bahwa karya-karya Chairil Anwar tidak masuk sebagai
kategori sastra absurd. Akan tetapi, sebuah apresiasi yang sangat tinggi, meski
dalam analitik teorema sastra tidak atau belum teruji, bahwa sangat mungkin
sajak-sajak Chairil Anwar mengilhami pengarang-pengarang generasi kemudian
untuk melahirkan absurdisme sastra. Dengan masa yang berbeda, Indonesia telah
menghadirkan penyair-penyair bernuansa absurd, seperti Soetardji Calzoum
Bachri, Yudistira Ardi Noegraha, Ibrahim Sattah, dan lain-lain.
Juga
dalam kekaryaan sastra, ada beberapa tokoh aliran absurdisme, seperti Iwan
Simatupang, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan lain-lain. Ada beberapa simpulan,
bahwa absurditas sastra itu terlahir dari perjalanan panjang beberapa karya,
konsistensi dan kepekaan sosial, yang menyublim pertentangan-pertentangan nalar
logika dan realitas. Ini yang dinamakan sebuah fase yang harus dilewati oleh
seorang penyair. Tidak semata-mata penciptaan sebuah karya dalam relatif waktu
singkat, kemudian mengatasnamakan sastra sebagai penyair beraliran ini dan itu.
Ada
pencapaian yang telah diraih oleh Chairil Anwar, sehingga membuat segan dunia
atas prestasinya. Bukan sebuah kebetulan, kemudian tanggal kematian Chairil
Anwar ditetapkan sebagai peringatan Hari Puisi Nasional pada tanggal 28 April
setiap tahun, hari untuk memperingati atau mengenang wafatnya Chairil Anwar. Artinya,
peringatan ini memaknai karya besar Chairil Anwar dan sajak-sajak Chairil Anwar
akan hidup seribu tahun lagi. Karya yang dibaca sekian generasi dan menjadi
karya yang abadi meskipun setiap saat bermunculan sajak-sajak baru dari para
penyair atau pegiat sastra.
Dalam
relevansi tematik peringatan Hari Puisi Nasional dan peringatan Hari Puisi
Indonesia yang diperingati setiap tanggal 26 Juli, bukanlah sebuah ambiguitas
dari perbedaan pemikiran, tetapi semata-mata karena sosok Chairil Anwar yang
menjiwai. Tanggal 26 Juli adalah tanggal kelahiran Chairil Anwar. Ini terlahir
dari sebuah gagasan dan konsensus yang dideklarasikan di Pekanbaru pada 22
November 2012. Dengan demikian, peringatan hari puisi sangat kuat dan erat
relevansinya dengan apresiasi sosok Chairil Anwar.
Termin
ini, bisa jadi sebuah simbol atas pengakuan karya-karya Chairil Anwar. Sebuah
masa yang dilewati oleh Chairil Anwar untuk menggagas karyanya, masih dalam
masa perjuangan, belum merdeka, tetapi melahirkan pemikiran ambisius yang
mewarnai kemerdekaan RI. Bagaimana karya-karya Chairil Anwar yang tidak secepat
informasi sekarang. Masa yang dilalui masih menggunakan teknologi konvensional.
Seandainya, dalam putaran waktu, Chairil Anwar masih hidup maka seribu tahun
adalah seribu judul karena bantuan teknologi digital yang begitu cepat.
Lebih
lanjut mengenai beberapa sajak Chairil Anwar, masa yang dilaluinya saat
berkarya seperti kisah heroik tanpa senjata, selain melawan penjajahan dengan
propaganda dalam sajak. Ini yang kemudian ada beberapa cerminan dalam penguatan
karakter sajaknya. Muncul ide atau gagasan bagaimana menentang imperialisme
dengan simbolik kata-kata yang menyiratkan bahasa abstrak, yang dari sudut
pandang beberapa kritikus sastra mengategorikannya sebagai bentuk-bentuk
absurd. Hal ini kalau kita baca dalam masa yang berbeda itu bukanlah sebuah
absurditas. Mengapa demikian?
Pada
masa penjajahan, kebebasan berpendapat atau mengeluarkan pikiran, sering
dianggap sebagai bentuk perlawanan sehingga kehidupan sastra sangat kental
dengan sastra barat yang berorientasi klasik dan neoklasik. Tentunya, pemikiran
Chairil Anwar dan kawan-kawannya sebagi bentuk pembodohan dan melegalkan
kekuasaan penjajahan. Pemikiran tidak boleh terpenjara meskipun di sana-sini
banyak penyair yang terpaksa raganya harus dipenjara. Begitu juga pengaruh
sastra klasik sebagai tipu muslihat yang dibawa oleh imperialis.
Kemampuan
olah kata yang dimiliki Chairil Anwar, yang dituangkan Chairil Anwar dalam
sajak-sajaknya tidak semata-mata menginginkan predikat penyair atau pujangga.
Penggunaan kata-kata simbolik sebagai implementasi bahwa pergerakan sastra
nusantara juga sangat maju. Apakah kemudian Chairil Anwar dapat dikategorikan
penyair beraliran absurdisme? Jika dari sudut pandang berbeda, ada yang
menyebutkannya demikian. Akan tetapi, dalam risalah penelitian karya-karya
sastra, termasuk sajak-sajak Chairil Anwar, tidak masuk dalam kategori ini meskipun
sajaknya menggagas sajak simbolik yang sangat tipis bedanya dengan absurdisme
sastra.
Pada
perkembangan sastra, memang sangat dibutuhkan sebuah pembedahan karya-karya
sastra, termasuk orijinalitas karya. Di sini harus ada penelitian secara
mendalam, bukan sekadar karya sastra tersebut. Pada analisis dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif, ini bisa melihat sejauh mana ide penulisnya.
Apakah nilai absurditas sudah memiliki syarat hubungan alam batin manusia dengan alam dunia
nyata mejadi penyebab untuk sumber inspirasi penulisnya?
Sebenarnya,
jika kita mengulik teori absurdisme yang dipopulerkan oleh Albert Camus
(penulis, filsuf dan jurnalis Perancis) yang memenangkan hadiah Nobel Sastra
pada tahun 1957, maka kita dapat menarik garis lurus perbedaan waktu antara
sajak-sajak Chairil Anwar (produktivitas Chairil Anwar antara 1942—1949) dengan
teori absurdisme tersebut. Bisa jadi juga sajak-sajak Chairil Anwar sebagai
pencetus absurditas, tetapi saat itu belum populer.
Untuk
menyimak lebih mendalam, ada baiknya melihat dan membedah sajak Chairil Anwar yang
berjudul “Derai-Derai Cemara”. Pada masa pembuatan sajak ini, sudut
pandang absurdisme belum pernah dilakukan oleh seseorang atau pencetus. Akan tetapi,
secara tekstual, seperti menggambarkan bagaimana keutuhan jiwa seorang Chairil
Anwar dengan kehidupan alam nyata. Bagaimana pemaknaan mendalam seperti pada
kalimat: /hidup hanya menunda kekalahan/.
Sepintas ada transisi batin yang dialami Chairil Anwar.
Sekian
puluh tahun setelah kematian Chairil Anwar, ada banyak tanda tanya dalam
karya-karya Chairil Anwar dan akhirnya mendorong sebuah penelitian terhadap
karya-karyanya. Dalam tinjauan pustaka dari beberapa disiplin ilmu, digunakan
metodologi semiotika untuk memperkaya referensi penelitian. Akan tetapi,
sayangnya penelitian ini hanya sebuah analisis yang bersifat tekstual sehingga
wujud absurdisme dalam sajak-sajak Chairil Anwar masih menyisakan polemik.
Seperti
pada paragraf sebelumnya yang menyinggung salah satu judul sajak berjudul Karawang-Bekasi, apakah ini sajak
plagiasi atau merupakan saduran dari The
Young Died Soldier. Kalau ini bentuk saduran semestinya tidak akan berjudul
Karawang-Bekasi. Dalam penilitian
metodologi semiotika, terhadap keseluruhan karya-karya Chairil Anwar, ada
subjektivitas yang sulit dihindari. Satu sisi, karena masa berbeda dengan makin
banyaknya sudut pandang dengan dalil kebenarannya sendiri-sendiri.
Terlepas
dari segala subjektivitas, sebenarnya dapat dilihat dari perpaduan kata-kata
dalam sajak-sajak Chairil Anwar. Bagaimana kemudian kata-kata bergenre abstrak
yang menunjukkan adanya perwujudan absurditas dan eksistensialisme, seperti
yang digambarkan dalam sajak-sajak Chairil Anwar. Bagaimana Chairil Anwar
melihat sebuah kematian dalam sajaknya. Sungguh abstrak!
Disadari
atau tidak, hampir semua sajak Chairil Anwar seakan menembus dimensi ruang
kasat mata yang tidak berwujud. Apakah kemudian entitas (wujud) seorang Chairil Anwar yang pada masanya belum
menemukan cinta sejati kisah roman sepasang manusia dewasa, atau apakah itu
bentuk kepeduliannya terhadap bangsa dan sastra? Begitu samar! Puisi memang
kadang sebagai manifestasi penyair untuk mempertegas keberadaan jiwanya.
Meskipun
dalam keraguan untuk merefleksikan sajak-sajak absurd yang kini banyak diminati
oleh penyair, kita tidak bisa menafikan bahwa hasil karya-karya Chairil Anwar
menjadi tinta emas dalam keberadaan sejarah sastra Indonesia. Keberhasilan pada
fase kini adalah buah perjuangan fase yang lalu, yang tidak hanya berjuang demi
kemerdekaan bangsa dan negara, tetapi lebih dari itu, sebagai cikal bakal bagi
tumbuhnya penyair-penyair dengan memerdekakan pemikiran sebenar-benarnya.
Bagaimana
sebuah perjalanan panjang kehidupan seperti gambaran sajak Chairil Anwar dalam
judul “Derai-Derai Cemara”?
/ Cemara menderai sampai
jauh/ terasa hari akan menjadi malam/ ada beberapa dahan di tingkap merapuh/
dipukul angin yang terpendam/ Aku sekarang orangnya bisa tahan/ sudah berapa
waktu bukan kanak lagi/ tapi dulu mada suatu bahan/ yang bukan dasar
perhitungan kini/ Hidup hanya menunda kekalahan/ tambah terasing dari cinta
sekolah rendah/ dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/ sebelum pada akhirnya
kita menyerah / (1949)
Sajak
ini tentunya sangat bermakna mendalam bagi Chairil Anwar menjelang kematiannya.
Mengapa pohon cemara yang dilambangkan dalam sajaknya ini? Atau apakah pada
bait terakhir itu telah menyiratkan pesan untuk kepergiannya selama-lamanya?
Memang sangat sulit dipahami karena pada akhirnya kita hanya membuat sebuah
simpulan. Mungkin itu pertanda atau sebuah isyarat yang tidak bisa dimaknai
secara nalar logika. Begitu absurd kata-kata dalam sajak di mata sastra.
Seperti
kata Chairil Anwar, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” maka itu mungkin
bermakna bahwa sajaknya memiliki nilai keabadian. Sangat diharapkan bahwa dalam
perayaan peringatan Hari Puisi Nasional dan Hari Puisi Indonesia sebagai refleksi
hari lahirnya dan tanggal kematian Chairil Anwar tidak hanya menjadi seremonial
belaka, tetapi menjadikan puisi sebagai pembaruan peradaban.
Vito Prasetyo
...