Asas Sajak Chairil Anwar Awal Puisi Modern Indonesia (2)

Gaya Diafan dan Prismatik

Asas sajak harus dicari dari tendensi sajak untuk mencapai esensi dari pengertian, perasaan, suasana dan nada, pengucapan, dan penulisan yang dimungkinkan oleh bahasa. Di samping itu, asas sajak dicari dari pengalaman intelektual, emosional, dan fisis yang hendak dituju sajak pada inti sarinya. Segi dan kejadian aksidental yang tidak terpusat pada pokok pengalaman tidaklah menjadi perhatian sajak. Berangkat dari asas seperti itu, Subagio Sastrowardoyo membagi sajak-sajak yang dia bahas ke dalam dua golongan. Pertama, sajak-sajak yang bergaya diafan, yaitu sajak yang langsung bicara tanpa banyak mempergunakan perbandingan berupa simbolik dan metafora.  Sajak diafan lebih bersifat serebral. Kekuatannya pada kandungan pikirannya. Tema-tema sajak-sajak ini menyangkut persoalan sosial dan duniawi. Kedua, sajak-sajak prismatis, sajak-sajak kelompok ini lebih menuju kepada kesubtilan emosi, rasa dan kesadaran yang hanya dapat digamit oleh kata-kata melalui ketaklangsungan simbolik dan metafora. Sajak-sajak ini bertemakan rasa kehidupan serta kesadaran spiritual (Sastrowardoyo melalui Mohamad, Horison, Maret 1967).

Dalam perpuisian, Chairil Anwar memang lebih dominan sajak dengan gaya prismatis daripada gaya diafan. Salah satu contoh sajak Chairil Anwar yang bergaya diafan ialah sajak “Diponegoro” (Eneste, 2009:5) berikut ini.

Sajak Chairil Anwar

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali 

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati. 

MAJU

Ini barisan tak bergendrang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu. 

Sekali berarti
Sudah itu mati. 

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api. 

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Sungguh pun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai. 

Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

Februari, 1943

Sajak “Diponegoro” langsung berbicara kekaguman terhadap semangat perjuangan Pangeran Diponegoro, yang “api” perjuangannya dinyalakan kembali di tengah “pembangunan” menuju kemerdekaan Indonesia pada masa itu. Tanpa banyak mempergunakan perbandingan berupa simbolik dan metafora pula sajak semacam “Aku” (Eneste, 2009:13), “1943” (Eneste, 2009:39), “Persetujuan dengan Bung Karno” (Eneste, 2009:71), dan sajak saduran “Krawang-Bekasi” (Eneste, 2009:88-89), kekuatan puitikanya berada pada kandungan pikirannya. Sajak-sajak Chairil Anwar yang demikian dapat digolongkan sebagai sajak diafan.

Di luar sajak Chairil Anwar yang sudah diidentifikasi sebagai sajak yang bergaya diafan tersebut, gaya prismatis lebih dominan dalam perpuisiaannya. Sesungguhnya sejak awal kepenyairannya Chairil Anwar sudah menulis sajak-sajak dengan gaya yang subtil emosinya, tidak sebagaimana yang dikenal secara umum dengan sajak diafan yang meledak-ledak. Oleh karena itu, perpuisiannya juga dikenal sebagai sajak ekspresionistik dengan sajak “Semangat”,  “Siap-Sedia”, “Cerita Buat Dien Tamaela”, dan puncak karyanya untuk gaya ekspresionistik ini adalah sajak “Kepada Kawan”. H.B. Jassin dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan ‘45 menunjukkan pengaruh-pengaruh yang sifatnya positif dari beberapa sajak karya penyair Belanda H. Marsman dan J. Slauerhoff terhadap sajak “Kepada Kawan” itu (2013:108-119). Tentang keunggulan sajak “Kepada Kawan” ini juga diungkapkan oleh A.Teeuw dalam bukunya Tergantung pada Kata (1983:24-25).

Sejak awal kepenyairannya di usia 20 tahun, Chairil Anwar sudah menulis sajak-sajak dengan gaya yang subtil emosinya. Bahkan, ketika dalam kesedihan mendalam ditinggal meninggal dunia neneknya, Chairil Anwar mampu mengekspresikan rasa dan kesadarannya melalui sajak singkat, tetapi padat, dengan metafora yang unik-indah seperti ini, Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ dan duka maha tuan bertahta” (Sajak “Nisan”, ditulis Oktober 1942, Ed. Eneste, 2009:3).

Kesubtilan emosi, rasa, dan kesadaran yang hanya dapat digamit oleh kata-kata melalui ketaklangsungan simbolik dan metafora itu muncul dalam beragam tema, tidak hanya tema maut, tetapi juga tema percintaan yang mestinya meluap-luap pada usia remaja 20-an tahun. Akan tetapi, Chairil Anwar mengungkapkannya dengan lembut, romantis sekaligus nakal.

Sajak Chairil Anwar

LAGU BIASA

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.

Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari 

Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana .... 

Maret 1943 

“Lagu Biasa” bukanlah sajak yang istimewa, melainkan sajak yang biasa ditulis oleh Chairil Anwar dengan menceritakan hal biasa, yakni perjumpaan antara pria remaja dan wanita remaja. Sama-sama remaja bertemu di sebuah rumah makan, tetapi Chairil Anwar mampu dengan memberikan gambaran yang sedikit, tetapi memberi ruang imajinasi kepada pembaca sampai “... ke sana”. Setidaknya, dari sajak “Nisan” dan “Lagu Biasa” itu saja sudah membuktikan bagaimana Chairil Anwar mendayagunakan ketaklangsungan ekspresi melalui metafora dengan cara yang unik sehingga mampu memberikan tafsir simbolik terhadap dunia Chairil Anwar yang dia pandang secara eksistensialisme. Karenanya, esensi dunia Chairil Anwar justru ketika dia sebagai manusia menegakkan eksistensinya melalui “Penghidupan”, yang dia isi di antara “Kupu Malam dan Biniku”, “Dengan Mirat”, “Tuti Artic”, “Ina Mia”, “Buat Gadis Rasjid”, “Mirat Muda, Chairil Muda”, “Buat Nyonya N”, dan seterusnya, di samping dia terus merasa “Sia-sia”, “Sendiri”, “Pelarian”, “Hampa”, hingga “Yang Terampas dan Yang Putus”.

Penutup: Membuka Kesadaran Penyair Setelahnya Menggali Puitika dan Kearifan Lokal

Perpuisian Chairil Anwar dapat dijadikan penanda perkembangan perpuisian Indonesia dari puisi lama ke puisi baru. Puisi lama berorientasi kepada pantun dan syair yang terikat oleh bentuk teratur rapi dan simetris, mempunyai persajakan akhir, empat seuntai, tiap barisnya terdiri atas dua periodus, dan tiap gatra terdiri atas dua kata. Chairil Anwar dalam sajak-sajaknya membebaskan bentuk-bentuk terikat tersebut sehingga salah satu penanda yang utama dari puisi baru adalah apa yang disebut sebagai puisi bebas.

Kebebasan dari puisi bebas yang dijiwai perpuisian Chairil Anwar itu salah satu penyebab utamanya ialah membebaskan diri dalam proses kreatifnya untuk belajar dari sumber mana pun. Dikatakan oleh H.B. Jassin, sudah tidak ada lagi dikotomi antara Barat dan Timur, keduanya tidak lebih jelek atau lebih baik (1985:7). Perhatian angkatan sesudah perang (Angkatan 45) lebih intensif tertuju ke luar, seperti terbukti dari studi mereka tentang pengarang Rusia, Prancis, Inggris, dan Amerika yang dipelajari sungguh-sungguh dan buku-bukunya diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Perhatian demikian tidak begitu jauh pada Pujangga Baru, yang hanya sampai pada Angkatan 80 di negeri Belanda (1985:22).

Penolakan terhadap konsep perpuisian Nusantara klasik (pola seloka lama) itu ditegaskan oleh Chairil Anwar (1922—1949), “Kita anak dari masa yang lain”, “pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati”, akan dia panjat, dan akan dia potong cabang-cabangnya, yang merindang merimbun tak perlu. "Aku berani memasuki rumah suci hingga ke ruang tengah." Hal itulah penjelasan Chairil Anwar bagi pemberontakannya ter­hadap tradisionalisme (dalam Jassin, 2013:170—171).

Dalam praktik sastra, Chairil Anwar dan Angkatan 45 memperlihatkan seleranya yang besar kepada karya Marsman, E. Du Perron, J.J. Slauerhoff, Willem Elsschot, Archibald Nacleish, Multatuli, R.M. Rilke, John Cornford, Conrad Aiken, W.H. Auden, T.S. Eliot, dan lainnya. Chairil Anwar menerjemahkan karya mereka dan sebagian karya mereka itu kemudian dia sadur. Dengan berkiblat pada kesusastraan Eropa itu, tak bisa dihindarkan karya Chairil Anwar merupakan cerminan dari postur modern total, yakni dengan mengidentifikasikan dirinya sebagai individualis kota besar seperti penyair Barat yang dikaguminya. Keadaan dalam karya Chairil Anwar sangatlah kontradiktif dibandingkan nada santai lingkungannya, pemandangan udik dan kampung adalah tipikal kehidupan negeri (bekas) jajahan.

Perambahan Chairil Anwar pada konsep puitika barat itu, di satu sisi membawa pandangan baru terhadap puisi modern Indonesia sekaligus membuka kesadaran penyair setelahnya untuk menggali konsep puitika dan kearifan lokal, tetapi dengan kesadaran modern menyesuaikan perkembangan zaman.

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Eneste, Pamusuk (Ed.). 2009. Chairil Anwar: Yang Terampas dan Yang Putus. Jakarta: Gramedia.

Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.

_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.

Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Ismail, Taufiq., dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia Jilid 1, Kitab Puisi . Jakarta: Horison.

_______. dkk. 2004. Horison Esai Indonesia, Jilid 1—2. Jakarta: Horison.

Jassin, H.B. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.

_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Mohamad. Goenawan. 1967. Majalah Horison, Edisi Maret. Jakarta: Horison.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________. 2001. Pengkajian Puisi. Cet. VIII. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

________. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. 1983. Tergantung pada Kata. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.


Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) dan menjadi dosen negeri di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa