Kemodernan Perpuisian Chairil Anwar (1): Pandangan Eksistensialisme, Penggambaran Kehidupan Sehari-hari
Pembicaraan puisi Indonesia modern pada umumnya tidak memulai pembahasan puisi dan penyairnya dengan mengatasnamakan Angkatan Balai Pustaka dengan beberapa alasan, yang menurut penulis berhubungan dengan hal-hal berikut ini. Pertama, menurut Herman J. Waluyo, “pada Angkatan Balai Pustaka puisi masih banyak dipengaruhi oleh puisi lama seperti pantun dan syair maka pada Angkatan Pujangga Baru diciptakan puisi baru” (2010:17). Kedua, menurut Rachmat Djoko Pradopo (1995:40):
“Periode Pra-Pujangga Baru itu merupakan awal periode puisi Pujangga Baru yang menunjukkan ciri-ciri yang tidak berbeda dengan Pujangga Baru. Oleh karena itu, periode Pra-Pujangga Baru itu dapat disatukan dengan periode Pujangga Baru. Dengan demikian, dalam periodesasi puisi periode Pujangga Baru itu meliputi kurun waktu 1920—1942. Hal ini sesuai dengan pengertian periode yang dikemukakan di depan, yaitu periode 1920—1933 merupakan timbul dan awal perkembangan suatu periode, yaitu periode Pujangga Baru, periode 1933—1940 merupakan periode integrasinya dari berkembangnya (keberbagaiannya) puisi Pujangga Baru dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada bulan Juli 1933 dan seterusnya, sedangkan periode 1940—1942 merupakan periode melemahnya norma puisi Pujangga Baru (dan kemudian lenyap).”
Ketiga, menurut H.B. Jassin, “Dalam tahun 1933 timbul satu angkatan yang menyatakan diri sebagai Pujangga Baru. Angkatan ini seperti juga tiap angkatan tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai pertunasannya jauh sebelumnya.
Namanya menjadi populer
oleh terbitnya majalah Pujangga Baru ...”
Selanjutnya H.B. Jassin menjelaskan (2013:10—11):
“Terbitnya Pujangga Baru tahun 1933 adalah suatu perwujudan dari suatu cita-cita yang sudah lama minta bentuk. Masa tunas Pujangga Baru jika dilihat perkembangannya sudah bermula jauh lebih dulu. Keluarga apa yang disebut Pujangga Baru kemudian seperti Muhammad Jamin (kemudian dieja: Yamin) sudah mulai kelihatan tulisannya tahun 1922 dengan terbitnya kumpulan sajaknya Tanah Air yang dipersembahkannya “ke dalam pedupaan bahasa Melayu”, untuk memperingati Jong Sumateranen Bond cukup 5 tahun. Demikian pun Rustam Effendi dan Sanoesi Pane sudah tampak tulisan-tulisannya tahun 1926. Semua ini adalah tanda-tanda kehidupan baru.”
Sekalipun Sutan Takdir
Alisjahbana berkeras mencitakan kesusastraan sekaligus kebangsaan Indonesia
yang baru, yang modern dengan belajar kepada Barat, dalam hal ini Belanda,
tetapi cita-cita Sutan Takdir Alisjahbana itu belumlah terwujud di dalam karya
puisinya dan puisi penyair Pujangga Baru lainnya. Hal tersebut, kecuali
perpuisian Sanusi Pane dan Amir Hamzah yang tidak hanya berorientasi kepada
puisi romantik Gerakan 80 Belanda (De Tachtiger
Beweging) saja, tetapi
juga belajar kepada kesusastraan Parsia, India, China, Jepang, Turki, bahkan
kembali menggali kearifan lokal Melayu melalui perpuisian Hamzah Fansuri. Belum
terwujudnya kemodernan puisi mereka disebabkan masih dominannya pengaruh pantun
dan syair, yang dikategorikan sebagai puisi lama, sebagaimana diungkapkan oleh
Herman J. Waluyo dan Rachmat Djoko Pradopo tersebut. Alasan tersebut untuk
memudahkan identifikasi perbedaan antara puisi lama dan puisi modern Indonesia
sekalipun hal ini mendapatkan koreksi Sutardji Calzoum Bachri berkenaan dengan pantun
dalam puisi modern Indonesia. Justru pembahasan Sutardji Calzoum Bachri tentang
pantun menyimpulkan bahwa “pantun dengan hakikat sampiran dan larik isinya,
memberikan pilihan bagi para penyair modern dan mutakhir kita untuk menampilkan
pengucapan mereka” (dalam Ismail dkk., 2004: 40—41).
Apa
yang dicita-citakan sebagai puisi modern Indonesia oleh Sutan Takdir
Alisjahbana itu terwujud pada perpuisian Chairil Anwar. Namun, bagi Sutan Takdir
Alisjahbana sajak-sajak Chairil Anwar dibandingkannya seperti makanan rujak yang
asam, pedas, dan asin, yang bermanfaat untuk mengeluarkan keringat bagi orang
yang terlampau banyak makanan yang bergemuk. Akan tetapi, rujak (sajak-sajak
Chairil Anwar) tidak dapat dijadikan sari kehidupan manusia dan tidak dapat
menjadi dasar kebudayaan yang sehat (Pradopo, 2002:123). Berikut ini dikutip
selengkapnya sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar (Ed. Eneste,
Cet.ke-21, Juni 2009:58).
Sajak Chairil Anwar
SENJA DI PELABUHAN
KECIL
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak
elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa
terdekap.
1946
(Ed. Eneste, Cet.ke-21, Juni
2009:58).
a. Meninggalkan Pantun dan Syair
Dalam sajak Chairil
Anwar tersebut, juga sajaknya yang lain, sudah tidak ada pola pantun dalam
pengertian harfiah sebagaimana perpuisian Pujangga Baru, yang biasanya terdiri
atas empat larik, berirama akhir silang a-b-a-b, larik pertama dan kedua berupa
sampiran, tidak mengandung maksud, dan hanya diambil rimanya saja untuk mengantarkan
maksud yang akan dikeluarkan pada larik ketiga dan keempat yang lazim disebut
maksud (isi) pantun. Larik pertama “Ini
kali tidak ada yang mencari cinta” bukanlah sampiran, dan larik ketiga “tiang serta temali. Kapal, perahu tiada
berlaut” bukanlah maksud atau isinya.
Dalam sajak Chairil
Anwar tersebut dan sajaknya yang lain juga tidak ada pola syair, yang juga dikembangkan
sebagai gaya ungkap dalam perpuisian Pujangga Baru. Setiap baris syair terdiri atas
10 hingga 12 suku kata, setiap baitnya terdiri atas 4 larik, berima a-a-a-a.
Setiap baris sajak Chairil Anwar tersebut bahkan lebih dari 12 suku kata, dan
skema rimanya tidak tetap a-a-a-a, dan hubungan antarbaris sajak bersifat enjambement (melompat):
...
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
...
Baris “// Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan/” diputus, padahal semestinya tidak ada istirahat, dan seharusnya kata “Berjalan” menyambung menjadi kalimat “Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap.” Susunan grafis sajak semacam itu berlawanan dengan susunan sintaksis, hal demikian banyak ditemukan dalam sajak Chairil Anwar.
b. Eksistensialisme
Sajak “Senja di
Pelabuhan Kecil” menggambarkan suasana muram senja di sebuah pelabuhan kecil, seseorang
dalam kesendiriannya berjalan, melewat “/...di antara gudang, rumah tua, pada
cerita/ tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut/...” Panorama itu
menjadikan “.../menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut//. Semakin terasa
kesendirian bahkan keterasingan itu dalam diri “aku” dalam sajak itu, “//Gerimis
mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang/...” semuanya “.../menyinggung muram,
...”
Metafora simbolik yang
personifikatif ini sungguh istimewa, baru, dan belum pernah ada sajak sebelumnya
(karya Pujangga Baru) yang menggunakan seperti ungkapan ini: “... desir hari lari berenang/ menemu bujuk pangkal
akanan. Tidak bergerak/ dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.//” Sajak
Chairil Anwar yang ini berhasil menampilkan setting
dan peristiwa begitu detail untuk memberikan gambaran suasana hati sekaligus
perlambang keterasingan manusia di tengah eksistensi hidupnya dalam “mencari
cinta”. Rasa kesendirian bahkan keterasingan ialah bagian hidup manusia modern:
//Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan/ menyisir semenanjung, masih pengap harap/...”.
Sekalipun masih “pengap harap”, tetapi tidak berdaya, sehingga puncak dari
kesendirian dan keterasingan itu satu-satunya ialah “.../sekali tiba di ujung
dan sekalian selamat jalan/ dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.”
Sekalipun tahu bahwa eksistensi manusia itu pasti ada
ujungnya, tetapi sajak tersebut menggambarkan esensi manusia itu justru pada bagaimana manusia membina dan menyusun melalui
eksistensinya (bandingkan dengan Hartoko, 1986:36). Bahkan, sedari sajak
“Nisan” dan “Penghidupan” (keduanya ditulis tahun 1942), sebagai sajak awal
Chairil Anwar, eksistensialisme itu sudah menjadi sudut pandang “Penghidupan”-nya:
“Lautan maha dalam/ mukul dentur selama/ nguji tenaga pematang kita// mukul
dentur selama/ hingga hancur remuk redam/ Kurnia Bahgia/ kecil setumpuk/
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk” (Ed. Eneste, 2009:4). Sampai kepada sajak-sajak
yang dia tulis di tahun 1949, tahun kematiannya pun, Chairil Anwar konsisten dengan
sudut pandang eksistensialisme itu. “Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa/
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata mereka/ pergi ikut mengunjungi
gelanggang bersenda/ kenyataan-kenyataan yang didapatnya./...” (Sajak “Aku
Berkisar Antara Mereka, Ed. Eneste, 2009:81). Esensi manusia dia tegakkan pada
“kenyataan-kenyataan yang didapatnya” sekalipun tahu pasti bahwa “pada akhirnya
kita menyerah”. Sebagaimana hal itu dia tulis pada sajak “Derai-derai Cemara”
(Ed. Eneste, 2009:83), sebuah sajak yang berhasil, selain sajak “Senja di
Pelabuhan Kecil” sebelumnya.
Sajak Chairil Anwar
DERAI-DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
c. Penggambaran Kehidupan Sehari-hari
Kemodernan perpuisian
Chairil Anwar juga dapat dilihat pada pandangan eksistensialisme Chairil Anwar terhadap
kehidupan yang ditulisnya melalui penggambaran kehidupan sehari-hari, baik
sebagai setting peristiwa dalam
sajak, maupun sebagai masalah yang diolah dalam sajak. Sajak “Derai-derai
Cemara” dibuka dengan bait pertama yang memberikan setting peristiwa: “cemara
menderai sampai jauh/ terasa hari akan jadi malam/ ada beberapa dahan di
tingkap merapuh/ dipukul angin yang terpendam//”. Selanjutnya, bait ke-2
dan ke-3 sebagai “masalah yang diolah dalam sajak” diekspresikan dengan gaya
pernyataan pikiran: “aku sekarang
orangnya bisa tahan/ sudah berapa waktu bukan kanak lagi//... //hidup hanya
menunda kekalahan/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah/...”
Sikap terhadap bahasa di
dalam sajak dengan mempergunakan kosakata bahasa sehari-hari ini justru yang
membedakan perpuisian Chairil Anwar dibandingkan dengan perpuisian Pujangga
Baru. Sebagaimana sudah ditunjukkan dengan contoh sajak dalam subbab
sebelumnya, dalam perpuisian Pujangga Baru mempergunakan kosakata bahasa nan
indah: dengan bahasa kiasan utama ialah perbandingan, bentuknya simetris karena
pengaruh puisi lama, ada periodisitas dari awal sampai akhir sajak, dan tiap
barisnya pada umumnya terdiri atas dua periodus dua kata. Gaya sajaknya polos
(diafan), hubungan antara kalimatnya jelas, kata-katanya selebral, hampir tidak
digunakan kata-kata yang ambigu seperti simbolik dan metafora implisit, dan
persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama. Gaya ekspresi
sajak yang demikian itu karena pengaruh kuat dari aliran romantik, yang
menonjolkan perasaan, melalui pelukisan alam nan indah (Pradopo, 1995:25).
Perpuisian Chairil Anwar
mempergunakan kosakata bahasa sehari-hari ini untuk menggambarkan pengalaman
batin yang dalam dan untuk intensitas arti, dan demikianlah aliran realisme. Realisme
dilukiskan sebagai “sastra mengenai kenyataan, kebenaran” (Hartoko dan
Rahmanto, 1986:114). Akan tetapi, sajaknya tetap memiliki nilai keindahan yang
unik sebab ungkapan bahasa sehari-hari itu pun dalam sajaknya membutuhkan
penafsiran estetik dan etik. Hal itu karena Chairil Anwar mendayagunakan
kata-kata, frasa, dan kalimat-kalimat yang ambigu, menyebabkan arti ganda dan
banyak tafsir, demikian misalnya:
Sajak Chairil Anwar
NISAN
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertahta
Oktober 1942
Metafora yang digunakan bersifat implisit sehingga tidaklah terasa bahwa nyaris setiap kata yang dia gunakan bertenaga simbolik. Menghilangkan bagian kata yang dirasa tidak penting (ada dalam tanda kurung) di dalam sajaknya berdampak kepada ambiguitas: “Bukan kematian (yang) benar (-benar) menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala (yang) tiba/ Tak kutahu (bahwa kematian) setinggi itu (di) atas debu/ dan (karenanya menjadikan) duka (sebagaimana) maha tuan bertahta.” Ambiguitas itulah yang pada akhirnya menjadikan kata di dalam sajak Chairil Anwar bertenaga simbolik.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi
Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Eneste, Pamusuk (Ed.). 2009. Chairil Anwar: Yang Terampas dan Yang Putus.
Jakarta: Gramedia.
Hamzah,
Amir. 1985-a. Nyanyi
Sunyi. Cet.X. Jakarta:
Dian Rakyat.
_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta:
Dian Rakyat.
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Ismail,
Taufiq., dkk. 2002. Horison
Sastra
_______. dkk. 2004. Horison Esai Indonesia, Jilid 1—2. Jakarta:
Horison.
Jassin, H.B. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
Yogyakarta: Narasi.
_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Mohamad. Goenawan.
1967. Majalah Horison, Edisi Maret.
Jakarta: Horison.
Pradopo, Rachmat
Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2001. Pengkajian Puisi.
Cet. VIII. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
________. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gama Media.
Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1—4. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1983. Tergantung pada Kata. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah seorang penyair, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan menjadi dosen negeri di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto