Mengurai Problematika Gender dalam Kumpulan Cerpen Bukan Permaisuri Karya Ni Komang Ariani

Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra mempunyai peranan yang penting dalam merekam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Segala bentuk peristiwa yang ada di dunia membuat sastra menjadi beragam dan berkembang. Selain bercerita tentang imajinasi, sastra juga menjadi sarana bagi para penulisnya untuk menumpahkan ekspresi dari penginderaannya terhadap realitas kehidupan.

Menurut teori, karya sastra merupakan hasil dari keterampilan atau kegiatan kreatif yang didasari oleh ekspresi manusia sehingga menghasilkan sebuah karya, baik berupa tulisan maupun lisan yang bernilai seni atau keindahan yang menggambarkan tentang imaji dari kehidupan yang ada (Wellek & Warren, 2016). Dari pengertian tersebut, karya sastra bisa juga dimengerti sebagai buah dari penginderaan penulis (manusia) terhadap realitas kehidupan yang ada dan dituangkan dalam media bahasa, baik lisan maupun tulisan sehingga hasil tersebut dapat dibaca atau dipelajari. Sebuah karya sastra yang lahir merupakan bentuk penggambaran dari kehidupan yang berlangsung pada masyarakat yang digambarkan. Beberapa latar atau pendekatan karya sastra menceritakan realitas kehidupan, seperti perpolitikan, sejarah, atau nilai-nilai agama. Pada ketiga hal tersebut, karya sastra tidak akan terlepas dari perempuan. Unsur perempuan selalu menjadi pelengkap dan penyempurna dari suatu karya sastra. Dalam karya sastra, hampir tidak pernah ditemui tanpa adanya tokoh dan unsur dari perempuan. Sastra dan perempuan selalu berdampingan dan tidak bisa dipisahkan. Perempuan menjadi penambah pesona dan estetika dalam karya sastra. Tanpa adanya unsur perempuan maka dapat dipastikan sastra menjadi sesuatu yang hambar.

Karya sastra dan perempuan akhirnya melahirkan sebuah pendekatan bernama feminisme sastra. Feminisme sastra secara singkat bermula dari feminisme, yang dalam kata berbahasa Prancis disebut femme, berarti perempuan. Dari istilah tersebut kemudian muncul gerakan kaum perempuan yang secara khusus menyuarakan dan menyoroti ketidakadilan terhadap gendernya hingga berakibat pada ketimpangan kehidupan, seperti dalam tatanan sosial, politik, dan ekonomi. Berkaitan dengan karya sastra, feminisme muncul sebagai ranah baru pemaknaan isi dan penulisan dalam karya sastra yang membahas pergolakan hidup, baik batin maupun sosial yang terjadi pada kehidupan tokoh perempuan. Emzir & Rohman (2015) menjelaskan bahwa feminisme dan sastra merupakan hal yang tidak sama. Akan tetapi, kedua hal tersebut memiliki kaitan yang saling erat. Pada definisi singkat, yaitu pada sastra, feminisme mempunyai keterkaitan pada cara memaknai sebuah karya sastra yang melingkupi proses produksi ataupun proses resepsi yang melibatkan perempuan sebagai tokoh, gagasan ataupun juga penulisnya.

Pada kancah kesusastraan modern di mancanegara, penulis perempuan yang karya sastranya mengandung unsur feminisme, misalnya Nawal el–Saadawi, Audrey Geraldine Lorde, Virginia Woolf, Margaret Atwood, Assia Djebar, dan masih banyak lagi. Dalam khazanah kesusastraan modern Indonesia, sastrawan perempuan yang terkenal, seperti penulis legendaris Nurhayati Sri Hardini atau yang terkenal sebagai Nh. Dini, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Leila S. Chudori, Fira Basuki, Oka Rusmini, Dewi Lestari, dan masih banyak lagi. Banyaknya penulis yang berhaluan feminisme di Indonesia menyebabkan perubahan yang masif dalam kaitannya dengan gerakan femimisme di Indonesia. Karya-karya sastra feminisme mencoba menyuarakan dan mengekspresikan berbagai aspek-aspek kehidupan yang menimpa perempuan, seperti citraan pada perempuan, diskriminasi dan penindasan terhadap gender tertentu, dan juga problematika gender yang terjadi pada perempuan.

Problematika gender merupakan sebuah permasalahan yang menyebabkan adanya kerugian-kerugian yang dialami oleh gender tertentu. Sulaiman & Hamid (2009) menyebutkan bahwa perbedaan antara gender bukanlah sebuah masalah ketika tidak menimbulkan permasalahan sosial budaya yang ada. Adanya perbedaan gender ini berdampak pada ketidaksetaraan gender tertentu yang mengakibatkan beragam bentuk penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Pada perempuan, problematika gender menyebabkan mereka memiliki kedudukan sebagai warga nomor dua sehingga membuat kesan sebagai pelayan dari laki-laki (Sugihastuti & Suharto, 2016). Mansour Fakih (2013) mengurai problematika gender dalam karya sastra. Beliau mengemukakan bahwa problematika gender termanifestasikan ke dalam lima pembagian, yaitu (1) marginalisasi, (2) subordinasi, (3) stereotipe, (4) kekerasan, dan (5) beban kerja ganda.

Dari beragamnya karya sastra yang mengandung unsur feminisme di dalamnya, salah satunya adalah kumpulan cerita pendek berjudul Bukan Permaisuri yang ditulis oleh penulis perempuan bernama Ni Komang Ariani. Kumpulan cerita pendek yang berisikan 16 judul cerita pendek ini menceritakan realita kehidupan masyarakat yang berlatarkan Bali. Dalam latar kehidupan tersebut terdapat istilah dalam bahasa Bali, seperti penyebutan Biyang (ibu), Aji (bapak), dan Luwe (penyebutan perempuan dalam ragam kasar bahasa Bali). Selain penggunaan bahasa, penamaan dalam tokoh juga mengindikasikan sebagai nama-nama Bali, seperti Nyoman Rindi, Wayan Suntrig, Seni, Bli Gede, dan Made Klanggi.

Dalam pembacaan feminisme sastra, kumpulan cerita pendek Bukan Permaisuri karya Ni Komang Ariani menggambarkan betapa sulitnya hidup dalam realitas masyarakat sebagai perempuan. Tokoh-tokoh perempuan dalam cerita pendek yang ditulis Ni Komang Ariani ini hampir selalu mendapatkan ketidakadilan dari orang-orang terdekat seperti keluarga dan juga mendapat perilaku yang sama pada kehidupan bermasyarakatnya (sosial). Problematika gender yang terjadi pada tokoh perempuan di dalam kumpulan cerpen ini terdiri atas subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja ganda.

Subordinasi

Subordinasi adalah anggapan atau pandangan irasional atau emosional yang mengakibatkan perempuan tidak bisa tampil di muka publik karena dipandang kurang mampu sehingga menempatkan kedudukannya pada posisi yang tidak penting (Fakih, 2013). Pada kumpulan cerpen Bukan Permaisuri karya Ni Komang Ariani, yang menunjukkan adanya subordinasi terdapat pada cerpen dengan judul “Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya.

“Tidak cukupkah ia menjadi perempuan yang biasa aja, seperti aku suaminya yang merasa cukup hidup sebagai orang biasa.” (Ariani, 2012:1).

Kutipan tersebut menggambarkan seorang lelaki atau suami yang tidak suka istrinya menjadi perempuan yang tidak biasa-biasa saja. Suami menganggap bahwa seharusnya istri dapat menjadi perempuan yang biasa saja, seperti perempuan pada umumnya. Data tersebut dapat dikatakan sebagai subordinasi karena tokoh perempuan dalam cerpen tesebut menjadi perempuan yang sering bekerja di ranah publik dan menyita banyak tenaga dan kesehatannya. Karena keputusannya itu, sang suami merasa kecewa hingga akhirnya tokoh perempuan tersebut dirawat secara intensif sebab mengalami kondisi kesehatan yang menurun dan sakit yang berat. Perempuan sulit mendapat pengakuan dari laki-laki jika mereka sering menyuarakan keputusan atau pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh laki-laki. Apalagi, dalam cerpen tersebut tokoh perempuan tersebut digambarkan bekerja sebagai penyalur advokasi. Perbedaan gender memang dirasakan dalam pekerjaan, apalagi pekerjaan yang dijalani perempuan dalam cerpen tersebut melibatkan banyak orang dan dikerjakan di ranah publik.

Stereotipe

Stereotipe merupakan suatu penandaan atau pelabelan terhadap kelompok atau golongan tertentu yang memberikan dampak diskriminatif terhadap ketidakadilan yang dilimpahkan terhadap kelompok atau golongan tertentu tersebut (Fakih, 2013). Pada kumpulan cerpen Bukan Permaisuri karya Ni Komang Ariani, yang menunjukkan adanya stereotipe terdapat pada cerpen dengan judul Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara.

“Sejak kecil Biyang selalu mengata-ngatai Dinaya dengan kata-kata yang menghancurkan harga dirinya. Perempuan kok bangun siang. Makan kok belepotan seperti babi. Itu badan atau gentong air. Mana ada sih laki-laki yang mau liat tampangmu. Sekali-kali ke salon dong biar tidak dikira babu. Di hadapan Biyang, Dinaya merasa menjadi manusia paling gagal (Ariani, 2012:25).

Kutipan cerpen tersebut menggambarkan Dinaya yang sudah mendapat perlakuan ketidakadilan sedari dia kecil. Dinaya kecil selalu menjadi bahan cibiran oleh Biyangnya sendiri. Perempuan selalu mendapat pelabelan buruk jika ia bangun tidur pada siang hari. Pelabelan tersebut memang nyata karena pada masyarakat umum perempuan selalu diharuskan untuk bangun pagi dan melakuan aktivias bersih-bersih di rumah. Pelabelan atau penandaan terhadap kelompok tertentu (dalam artian ini Dinaya) telah memberikan dampak diskriminatif terhadap ketidakadilan yang dilimpahkan terhadap kelompok tertentu.

Peristiwa inilah yang sampai sekarang masih banyak dijalankan walaupun memang ini bukan sebuah pelabelan yang dinilai negatif. Namun, apakah kegiatan-kegiatan tersebut harus selalu dikerjakan oleh perempuan? Misalnya di Jawa, perempuan mendapat nilai minus jika ia terbiasa bangun tidur di siang hari. Kebanyakan orang tua atau keluarga laki-laki selalu mengomentari perempuan yang bangun di siang hari sehingga banyak bermunculan kalimat, “Jangan nikah sama si Anu dia bangun tidurnya siang, nanti kebayang kan kalau sudah jadi istri pasti malas beres-beres.”

Selain perkara bangun tidur, perempuan juga harus selalu memperhatikan cara ia makan, perempuan pun harus feminim dalam melakukannya. Ia akan mendapatkan pandangan dan nilai negatif apabila makan dengan berantakan. Seorang perempuan memang harus banyak dituntut agar bisa dipandang dengan sangat baik oleh masyarakat. Selain terhadap kebiasan atau perilaku, tokoh Dinaya dalam cerpen juga mendapat pelabelan sosial terhadap status pernikahan dan usianya.

“Ah sudahlah, tidak ada gunanya ia mengeluh tentang laki-laki yang sudah dipilihkan Biyang untuknya dan Dinaya menerimanya ketika ia putus asa untuk menemukan seorang kekasih pada saat batang usianya semakin tinggi” (Ariani, 2012:12). 

Kutipan cerpen itu menggambarkan Dinaya yang pasrah atas dipilihkannya laki-laki oleh Biyangnya sebagai suaminya. Ini dilakukan Biyang karena merasa anak perempuannya tersebut sudah berumur dan harus menikah. Usia perempuan dan pernikahan merupakan stereotipe yang harus diterima perempuan karena pandangan tersebut melekat pada perempuan. Jika ada seorang perempuan yang sudah berumur lebih dari rentang usia 25—30 tahun dan belum menikah, masyarakat akan memandang perempuan tersebut dengan pandangan yang negatif. Bahkan, ada muncul istilah “perawan tua” dalam masyarakat. Stereotipe itulah yang dari dulu ada di masyarakat. Bahkan, pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang perkawinan, yang di dalam undang-undang tersebut usia perempuan boleh menikah di usia 19 tahun begitu juga laki-laki. Dengan kesepakatan usia yang sama itu menggambarkan keadilan gender. Akan tetapi, dengan usia yang sudah lewat dari 19 tahun pandangan masyarakat menjadi berbeda jika melihat perempuan dan laki-laki yang belum menikah pada usia menjelang kepala tiga. Perempuan lebih mendapat pandangan buruk dari masyarakat daripada laki-laki.

Kekerasan

Kekerasan merupakan upaya serangan atau intervensi yang ditujukan terhadap fisik ataupun mentalitas psikologi seseorang (Fakih, 2013). Pada kumpulan cerpen Bukan Permaisuri karya Ni Komang Ariani, yang menunjukkan adanya kekerasan terdapat pada cerpen yang berjudul Nyoman Rindi.

“Pun ketika Jinah berulang kali menghinannya dengan sebutan perempuan tonggos, sekalipun Klanggi merasa kehilangan kebanggaan terhadap dirinya sendiri” (Ariani, 2012:70).

Kutipan cerpen itu menceritakan bahwa Klanggi mendapatkan kekerasan yang diperbuat oleh Jinah, suaminya. Kekerasan yang didapati oleh Klanggi memang bukan kekerasan fisik, melainkan kekerasan verbal, yaitu menghinanya dengan sebutan perempuan tonggos. Kekerasan yang dialami Klanggi ini merupakan upaya serangan atau intervensi yang ditujukan terhadap fisik ataupun mentalitas psikologi seseorang.  Kekerasan yang diterima oleh perempuan baik secara fisik maupun secara verbal memang tidak bisa diterima. Kekerasan fisik dapat mengakibatkan korbannya mengalami luka-luka atau bahkan dampak terburukmya, yaitu korban bisa kehilangan nyawa. Kekerasan verbal yang diterima perempuan mengalami ketidakpuasan pada dirinya sendiri sehingga perempuan akan mengalami ketidakpercayaan pada dirinya sendiri. Perempuan yang mengalami kekerasan akan berubah sifatnya menjadi lebih pendiam dan pemurung. Ia merasa dirinya sudah hancur dan tidak berharga lagi.

Beban Kerja Ganda

Problematika gender yang dilekatkan kepada kaum perempuan ini juga menyentuh ranah penambahan beban kerja. Beban kerja ganda diyakini karena ada anggapan bahwa  perempuan mempunyai ciri khas yang rajin dan ulet, tetapi dinilai tidak tepat untuk menjadi pemimpin dalam ranah apa pun. Karena itulah, segala pekerjaan domestik (rumah tangga) menjadi tanggungan yang harus dikerjakannya (Fakih, 2013). Pada kumpulan cerpen Bukan Permaisuri karya Ni Komang Ariani, beban kerja ganda terdapat pada cerpen yang berjudul Kutuk Perempuan. 

“Seni begitu ingin merebahkan tubuhnya pada sebuah bidang datar demi melemaskan otot-ototnya. Namun, sekarang bukan waktunya untuk beristirahat. Seni harus mencoba bertahan untuk berjualan sampai sore nanti agar uang yang dibawanya pulang cukup untuk biaya hidup besok pagi” (Ariani, 2012:45).

Kutipan cerpen tersebut menggambarkan bahwa Seni sedang bekerja keras. Ia digambarkan sedang berjualan pada siang hari menjelang sore. Seni digambarkan sudah lelah karena berjualan. Seni bekerja keras dengan berjualan. Ia menjadi tulang punggung keluarganya karena Wari suaminya bekerja secara serabutan dan sedang sepi pekerjaan.

Seni mewakili perempuan yang bekerja dengan cara berjualan dan tetap melaksanakan tugas-tugas rumahnya. Perempuan yang bekerja di luar atau dalam konteks ranah publik dituntut juga untuk melakukan pekerjaan rumah atau domestik. Beban kerja yang digambarkan menimpa Seni ini merupakan bentuk yang diyakini karena ada anggapan bahwa perempuan mempunyai ciri khas yang rajin dan ulet, tetapi dinilai tidak tepat untuk menjadi pemimpin dalam ranah apa pun. Karena itulah, segala pekerjaan domestik (rumah tangga) menjadi tanggungan yang harus dikerjakannya.

Perempuan harus menerima problematika gender tersebut. Sementara itu, kebanyakan laki-laki yang bekerja di ranah publik setelah pulang ke rumah, ia akan istirahat dan tidak akan mengerjakan apa pun. Namun perempuan berbeda, mereka dipaksa terus-menerus bekerja. Oleh karena itu, perempuan mendapat beban kerja ganda dalam rumah tangga.

“Pekerjaannya tidak bisa dihitung dan tidak akan pernah habis sampai Seni terkapar dalam rasa lelah yang luar biasa.”

“Rupanya pekerjaan yang tidak habis-habisnya, membuat Seni nyaris tidak sempat berpikir. Seni hanya sempat memikirkan bagaimana ia bisa menyelesaikan pekerjaa berikutnya sebelum ia jatuh tertidur oleh rasa lelah yang amat sangat” (Ariani, 2012:48).

Kutipan dalam cerpen menggambarkan pekerjaan Seni yang tidak ada habis-habisnya. Seni bekerja seorang diri. Ia mengerjakan pekerjaan yang seakan tidak ada batasnya. Beban kerja ganda yang dilakukan oleh perempuan pada cerpen ini seakan menjadi contoh bahwa perempuan pun bisa melakukan semunya. Namun, perlu dicatat juga bahwa laki-laki pun sebenarnya dapat mengerjakan tugas-tugas rumah yang biasa dikerjakan oleh istri. Karena konstruksi kebudayaan masyarakat yang terbangun, perempuanlah yang mengerjakannya. Problematika gender berupa beban kerja ganda terjadi karena laki-laki abai atau tidak ingin mengerjakan tugas-tugas perempuan di rumah.

Problematika gender dalam kumpulan cerita pendek Bukan Permaisuri adalah sebuah penggambaran realitas yang dilakukan oleh Ni Komang Ariani berdasarkan penginderaannya pada kondisi kehidupan bermasyarakat di sekitarnya. Problematika gender ini diakibatkan oleh budaya patriarki yang sudah mengakar di dalam kehidupan masyarakat di Bali. Ketimpangan tersebut mengakibatkan perempuan dipandang sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada laki-laki. Pandangan dan kontrol sosial terhadap perempuan tersebut menyebabkan problematika gender. Hal ini terjadi pada perempuan dan seolah dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau lumrah. Problematika gender ini dapat juga dianalogikan seperti sebuah bangunan megah yang kokoh, yang sudah terbangun sejak lama pada masyarakat yang mengakibat pengukuhan sikap terhadap gender tertentu. Manifestasi dari perilaku dan aktivitas semacam itu sering kali terjadi pada perempuan yang akhirnya dipercayai sebagai kodrat dan dapat diterima secara umum.

Referensi

Fakih, Mansour. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti & Suharto. (2016). Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulaiman & Hamid. (2009). Pengarusutamaan Gender. Yogyakarta: Nun Pustaka.

Sumardjo, J., & Saini. (1986). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia,

Wellek, R., & Warren, A. (2016). Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia,

Bayu Suta Wardianto

Peneliti Bahasa dan Sastra di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa