Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban dan Sastra Digital
Pandemi Covid-19 yang muncul secara tiba-tiba, menuntut para civitas akademica
untuk segera melakukan perubahan-perubahan dalam pembelajaran. Pembelajaran
konvensional yang selama ini dilakukan diharapkan untuk segera diperbaiki dan
diubah ke dalam domain pembelajaran dalam jaringan yang serbateknologi
(Mustafa, 2013; Pattah, 2014). Pembelajaran dalam jaringan merupakan suatu hal
yang tidak bisa dilakukan secara cepat dan terburu-buru. Pembelajaran dalam jaringan
harus dipersiapkan secara matang sehingga
produk learning outcome menunjukan
kualitas pembelajaran sebagaimana mestinya. Saat ini, pembelajaran dengan
aplikasi Google Meet, Zoom, Edmodo, dan lainnya, merupakan aplikasi pembelajaran dalam
jaringan yang sering digunakan.
Akan tetapi, bukan berarti bahwa aplikasi dalam jaringan tersebut dapat diimplementasikan secara optimal (Mulyono, 2020). Beberapa kendala ditemukan, seperti biaya kuota internet dan jaringan telekomunikasi yang tersendat jika pengakses terlalu banyak. Selain dari kendala teknis tersebut, pembelajar dituntut berpikir inovatif agar mampu mengembangkan model, strategi, keterampilannya dalam pembelajaran jaringan ini (Jordana, 2017).
Metode Multimodal
Dalam proses belajar, pendidik harus mengenalkan dan melatih peserta didik untuk memanfaatkan metode yang tepat dalam memahami teks (Suyitno, 2017). Metode yang bisa ditawarkan untuk pembelajaran sastra dan bahasa di era pandemi, yakni metode multimodal. Multimodal merupakan pendekatan analisis yang berorientasi pada semiotik sosial dalam mengungkap moda (bahasa, gambar, musik, suara, dan gerakan) sebagai pemroduksi teks dan wacana. Penekanan teks dan wacana sebagai konteks bahasa dikonstruksi secara sosial. Bahasa dipandang sebagai simbol sosial (Haliday dan Hasan, 1989; Kress, 2010). Bentuk bahasa ditandai sebagai representasi dunia yang selanjutnya dikonstruksikan secara sosial. Bahasa dikaitkan dengan pengalaman manusia, yakni hasil dari proses sosial. Dalam rangka tindakan sosial, konstruksi realitas tersistem berdasarkan kostruksi makna tempat realitas tersebut dimaknai. Oleh karena itu, makna akan bersifat ganda tergantung dengan semiotik sosial dan rangkaian informasi yang terdapat di dalam bahasa tersebut. Dalam tingkat sederhana, bahasa tidak hanya sebuah kalimat, tetapi juga berupa wacana (Haliday, 1978).
Metode pembelajaran multimodal sastra memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi multimodal sebagai
media, yakni berhubungan dengan kelaziman teks multimodal, khususnya teks-teks
multimedia yang diberikan oleh media digital sehingga menekankan perlunya
literasi untuk menghasilkan dan mengakses informasi (Kress & Leeuwen, 2001).
Pembelajaran multimodal mengakui pentingnya sumber daya semiotik dan modalitas
dalam pembuatan makna. Sumber semiotik tidak direduksi menjadi sumber daya paralinguistik
yang merupakan tambahan untuk bahasa, tetapi dipandang sebagai sumber semiotik
yang diberikan status yang sama dengan bahasa dan sama efektifnya semiosis. Fungsi bahasa
dan kendala dari masing-masing sumber semiotik, serta kontribusinya terhadap
wacana multimodal juga dipertimbangkan.
Perbedaan sumber daya
semiotik membawa serta kemampuan dan kendala, baik secara individu maupun dalam
kombinasi serta tantangan analisis dalam hal sifat-sifat media, detail dan
ruang lingkup analisis serta kompleksitas yang timbul dari integrasi sumber
daya semiotik lintas budaya (Cheng, 2014). Dengan begitu, yang dikatakan
mahasiswa berliterasi multimodal tentunya harus
peka terhadap potensi makna dan pilihan yang diberikan dalam produksi teks guna
meningkatkan kemampuan membuat pilihan yang disengaja dan efektif dalam
kontruksi dan penyajian pengetahuan. Bekal
tersebut membuat mahasiswa tidak hanya menjadi konsumen yang tahu akan
teks-teks semiotik, tetapi
juga menjadikan mahasiswa produsen teks-teks multimodal yang kompeten.
Kedua, dimensi multimodal sebagai pengalaman
pembelajaran multisemiotik dan multimodal, yakni membaca orang-orang dalam
kehidupan sehari-hari mulai dari bentuk wajah dan ekspresi, sikap, gerak tubuh,
tindakan dan pakaian khas (Coccetta, 2018). Sementara teknologi media baru
telah mengedepankan sifat multimodal
komunikasi, makna selalu dibangun dan ditafsirkan secara multimodal melalui
penggunaan sumber daya semiotik seperti bahasa, dan sumber daya jasmaniah seperti
gerakan dan postur di berbagai
modalitas sensorik yang berbeda melalui penglihatan, penciuman, rasa dan
sentuhan. Target pembelajaran multimodal tidak hanya sebatas pada komunikasi berdasarkan
teks cetak tradisional, tetapi juga
mencakup
teks multimedia dan teks multimodal (Ryu & Boggs, 2016). Dalam teks
multimedia dan teks multimodal, terdapat elemen-elemen visual, audio, dan teknologi
guna menciptakan makna sehingga
tujuan pembelajaran sastra multimodal
untuk meningkatkan kapabilitas abad 21 dapat terwujud. Strategi pembelajaran
multimodal merupakan kombinasi strategi pembelajaran jigsaw dengan persepsi guru tentang komposisi pembelajaran
multimodal (Ryu & Boogs, 2016).
Manfaat metode pembelajaran sastra multimodal, yakni pertama, pembelajaran lebih efisien karena mahasiswa dikenalkan dengan teks multimodal (visual, audio, dan teknologi) sehingga pembelajaran lebih mengarah pada pemanfaatan teks secara menyeluruh. Kedua, dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa yang memiliki kecenderungan (preferensi) ganda karena pembelajaran multimodal merupakan integrasi antara visual, audio, dan teknologi. Ketiga, metode pembelajaran multimodal merupakan sistem pembelajaran yang cepat dan dalam sehingga potensi keberhasilan dari pembelajaran ini tinggi. Metode pembelajaran multimodal mengarahkan pada atsmosfer atau iklim kondusif untuk optimalisasi kompetensi dan kreativitas mahasiswa dalam berkiprah di masyaarakat. Dari aspek praktis, metode pembelajaran sastra multimodal erat kaitannya terhadap pemenuhan kebutuhan mahasiswa abad 21. Kompetensi multimodal mengarah pada gaya belajar mahasiswa yang cenderung mengikuti perkembangan iptek (Firmansyah, 2020).
SKSP dan Sastra Digital
Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto sebagai salah
satu komunitas sastra yang peduli terhadap pembelajaran sastra di Kota
Purwokerto, membangun tradisi budaya baca dan tulis, salah satunya melalui
kelas menulis puisi. Sebelum era pandemi, pola pembelajaran di SKSP belum
menggunakan pendekatan multimodal atau dalam
jaringan (daring), tetapi dengan
pertemuan langsung. Dalam pertemuan langsung itulah, proses penyampaian materi
dan reviu terhadap puisi
peserta didik dilaksanakan.
Akan tetapi, sejak pandemi berlangsung, SKSP menerapkan prinsip alih
wahana, atau dalam istilah Sapardi Djoko Damono (2018), yakni ekranisasi.
Konsep alih wahana atau ekranisasi sebetulnya merupakan pola adaptasi naskah
kesastraan menjadi film atau pementasan teater. Akan tetapi, konsep
“ekranisasi” diterjemahkan oleh SKSP secara kreatif, sesuai dengan konteks
pembelajarannya. Oleh sebab itu, di masa pandemi, SKSP menerapkan konsep alih
wahana dalam pembelajaran apresiasi puisi dengan menggunakan kanal YouTube sebagai media pemuatan video pembacaan puisi, dan reviu puisi di laman Facebook SKSP.
Kanal YouTube SKSP Purwokerto telah di-subscribe sebanyak 267 kali. Sejauh ini sudah
terdapat 66 video pembacaan puisi, baik menggunakan audio-visual maupun hanya
menggunakan audio. Penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran menjadi
keniscayaan sehingga memungkinkan setiap individu mengembangkan keterampilan
multimodalnya (Flavin, 2017, Siemens, n.d.).
Di sisi lain, dipilihnya sastra digital sebagai pembelajaran untuk
menjawab problematika di era disrupsi. Dasar pertimbangannya adalah (1) sastra
digital merupakan alternatif pembelajaran dan bisa memunculkan estetika
interaktif (Montoro, 2015); (2) sastra digital sebagai studi inovatif. Dinamika
visual dan audio menjadi penekanan. Artinya, nuansa psikologis distimulan
melalui bunyi audio dan ekspresi penyair (Glazier, n.d.); dan (3) sastra
digital akan menjadi topik global yang berkembang sehingga kohesi sosial sastra
dapat dibangun melalui pendekatan multibudaya (Llamas, 2015).
Video pembacaan puisi di kanal YouTube bisa
menjadi tolok ukur distribusi estetika sastra (puisi) ke tengah masyarakat.
Maksudnya, apabila sastra berakar dari realitas kehidupan masyarakat, inovasi
dan pengembangan pembelajarannya harus bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Umpan balik yang dilakukan masyarakat biasanya dalam bentuk klik like atau subscribe dan memberi komentar (comment).
Selain video pembacaan puisi, SKSP juga melakukan inovasi pembelajaran
menulis dan reviu puisi melalui
laman Facebook (facebook.com/sksp-institute).
Tidak hanya menggunakan YouTube, SKSP memanfaatkan Facebook sebagai media apresiasi dan
reviu karya anggota SKSP yang
umumnya merangkap sebagai mahasiswa. Setiap anggota SKSP ditugaskan untuk mengunggah karya puisinya dan wajib menandai
rekannya sebanyak 25 orang. Hal itu dilakukan agar karya puisi dapat
diapresiasi dan dikritisi secara kolektif.
Setiap anggota dibebaskan untuk memilih genre, bentuk puisi, dan tema yang akan ditulis. Siemens (n.d.) mengungkap tiga tiga prinsip pembelajaran sastra digital, yakni (1) tradisi, (2) tekstualitas, dan (3) metodologis. Henriksen (dalam Firmansyah, 2018) menambahkan pembelajaran sastra digital mengacu pada teori belajar konstruktivis dengan peserta didik membangun pengetahuan dan makna dari pengalaman mereka. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman para anggota SKSP menjadi intuisi dalam menulis sebuah puisi, sesuai dengan tradisi, penguasaan dan khazanah tekstualitas, serta metode/cara penulisannya (juga distribusi karya).
Pasar dan Katalisator
Maraknya industri digital membuka kemungkinan “pasar” bagi dunia sastra
meskipun idealnya materi hanya imbas dari ketekunan dan komitmen kesastraan
yang tumbuh dalam diri setiap individu. Mengenai hal itu, artinya, masyarakat
(termasuk penyair) di era digital seperti sekarang telah mempersepsi dan
memperlakukan sastra dengan cara yang berbeda, dibanding penggemar atau pelaku
sastra sebelum teknologi informasi melaju cepat (Herfanda, 2013, A.A. Rasjid,
2017).
Pada akhirnya, inovasi pembelajaran apresiasi puisi dapat membuka
kemungkinan tradisi dan budaya baru yang lebih positif dan konstruktif sehingga
sastra (puisi) tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang konsumtif dan
kebanjiran informasi. Eksistensi sastra di era digital menjadi katalisator
masyarakat pada “Abad yang Berlari” ini, meminjam judul kumpulan puisi Afrizal
Malna.
Abdul Wachid B.S
Penulis adalah penyair, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia UNS Surakarta, dosen negeri di IAIN Purwokerto