Karena Sastra juga Bisa Membangun Karakter
Keliru besar kalau kita mengartikan sastra
sebagai khayalan, pada posisi semesta pun masih khayalan. Sampai saat ini,
bahkan yang saintifik-matematis sekalipun, masih berupa khayalan. Siapa yang
tahu berapa ukuran panas matahari secara akurat, menghitung jaraknya, sementara
kita belum pernah sampai ke sana? Siapa yang bisa menghitung jarak semesta dari
sudut yang satu ke sudut yang lain, sementara kita pun belum bisa hidup di planet
terdekat: Mars. Siapa yang bisa menemukan jalan bahwa setelah kematian pasti ada
kehidupan, sementara kita masih hidup dan belum pernah jumpa dengan orang yang
bangkit dari mati?
Dengan
demikian, benarlah apa yang kemudian dituliskan Conrad William Watson bahwa
cerita fiksi dan pendidikan karakter itu beririsan. Watson kemudian mengutip
Robin Dunbar yang menguraikan hasil penelitiannya bahwa manusia dari zaman
purba sampai sekarang sangat terpengaruh cerita fiksi. Manusia tak akan bisa
terbang kalau tak terpengaruh cerita fiksi. Itulah sebabnya Albert Einstein mengatakan
bahwa khayalan lebih “menakjubkan” daripada logika sebab logika hanya akan
mengantar kita dari A ke B, sementara khayalan mengantar kita ke mana-mana.
Kita
melewati masa nomaden adalah karena fiksi. Manusia selamat dari peradaban kuno bukan
karena adaptasi, melainkan karena imajinasi. Dinosaurus, meski kekar dan bahkan
ditengarai menjadi pucuk rantai makanan, tak bisa beradaptasi karena memang tak
bisa berimajinasi sehingga hewan paling besar sepanjang sejarah itu punah. Akan
tetapi, siapa dapat mengukur kebesaran dinosaurus? Siapa bisa membuktikan bahwa
ada suatu masa saat dinosaurus hidup? Siapa bisa mengatakan dinosaurus pernah
ada? Siapa pula bisa menerka bentuknya? Itu semua berkat kesukaan kita
berimajinasi.
Tindakan
Produktif
Di
sinilah nyata bahwa imajinasi hampir menjadi segalanya. Rachmawati dan Kurniaty
(2010) mengartikannya sebagai kemampuan berpikir divergen yang dilakukan tanpa
batas, seluas-luasnya, dan multiprespektif dalam merespons suatu stimulasi.
Itulah mengapa saya sangat setuju agar gerakan membaca selama15 menit di ruang
kelas sebelum mata pelajaran dimulai harus dilakukan berkelajutan sebab objek
bacaan akan membangun karakter kita. Kemampuan berpikir kita juga akan
diletupkan. Secara tak langsung, ini pasti akan memengaruhi tingkah dan cara
berpikir kita.
Dengan
ucapan lain, membaca (apalagi karya sastra) adalah tindakan produktif. Joko
Pinorbo mengatakannya begini, (jika) masa kecil kau rayakan dengan membaca; kepalamu berambutkan
kata-kata. Artinya, membaca
(karya sastra) adalah berinvestasi. David C. Mc. Clelland—psikolog
sosial asal Amerika yang sangat tertarik pada masalah-masalah pembangunan—telah
membuktikan itu dalam penelitiannya. Konon, Clelland meneliti faktor kemajuan
sebuah bangsa. Dia membandingkan Inggris dan Spanyol yang pada abad ke-16
merupakan dua negara raksasa.
Bedanya, sejak saat itu, Inggris makin jaya, tetapi
Spanyol melempem. Mengapa? Sebagaimana dimuat dalam buku Arief Budiman yang
berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995), ternyata faktor penentunya ada pada muatan cerita buku. Tampaknya, dongeng dan
cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang
menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit "butuh berprestasi" (need
for achievement). Sebaliknya, Spanyol malah didominasi cerita romantis,
lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati
dan meninabobokan.
Artinya,
sastra bukan semata karangan-karangan khayalan
biasa. Sastra adalah jiwa yang menubuh. Sastra adalah pelecut dan penentu.
Bahkan, sastra adalah pencipta. Konon, Indonesia
pun lahir dari puisi. Parni Hadi mengemukakan bahwa secara genealogis, teks
Sumpah Pemuda asalnya dapat dirunut dari puisi Muhammad Yamin (23 Agustus 1903—7
Oktober 1962), “Tanah Air” (Jong Sumatra, Juli 1920), “Bahasa, Bangsa”
(Februari 1921), “Tanah Air” (9 Desember 1922), yang lebih panjang dari puisi sebelumnya,
dan “Indonesia, Tumpah Darahku” (26 Oktober, 1928). Sumpah Pemuda dipahami
sebagai puncak prosa dari gabungan puisi itu.
Mohammad Iqbal, sang penyair dan filsuf Pakistan, juga
menguatkan hal yang sama bahwa negara lahir dari
tangan penyair. Riset bahkan membuktikan bahwa puisi
(sastra) dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas menjadi harmoni (International
Journal of Cardiology 6/9/2002). Ini semakin meneguhkan kepada kita bahwa sastra
itu tidak sekadar memberi hidup, tetapi juga menghidupi. Sastra bukan
khayalan-khayalan tukang cendol. Sastra adalah dorongan untuk berpikir.
Ini dapat diterima dengan analogi sederhana. Bahwa segala kenyataan saat
ini, misalnya, adalah imajinasi masa lalu. Itu sama dengan bahwa segala imajinasi
saat ini adalah kenyataan di masa depan. Hal itu berarti bahwa kalau tak
berimajinasi, kenyataan di masa depan hanyalah olok-olok. Karena itu, mengekor
pada Eagleton
(1983), imajinasi harus dipandang sebagai kekuatan yang berdiri sendiri,
otonom, yang dapat melampaui batas-batas realitas. Imajinasi adalah bibit
unggul sebuah kenyataan.
Anda pernah dengar
dongeng Atlantis dalam hikayat Timaeus dan Critias karangan Plato pada 428 SM—348
SM? Negeri dalam dongeng itu sangat menginspirasi sehingga kini sedang
dicari-cari. Padahal, kalau ngotot dengan logika, untuk apa itu dicari? Akan
tetapi, di sinilah sastra mampu melecutkan tindakan manusia. Oleh karena itu, tokoh
sekaliber Heinrich Himmler (ilmuwan NAZI) pada 1938 harus menelusuri Tibet. Pada
tahun 2005 Arysio Santos pun—pakar fisika dan nuklir dari Brazil—mencari dan
akhirnya mengeklaim telah menemukan Atlantis. Letaknya konon ada di Indonesia. Stepphen
Oppenheimer juga melakukan dan mengeklaim hal yang sama.
Imajinasi
Masa Depan
Tulisan ini bukan untuk
mencari kebenaran klaim itu. Tulisan ini lebih pada bagaimana agar kita kembali
mengakrabi dunia sastra. Sebab kini, sastra seakan tertanggalkan hingga dongeng
pun bertukar menjadi gim digital. Seperti kata Indra Tranggono, dongeng
sudah nyaris tak hadir dalam kehidupan anak-anak. Kehidupan makin
pragmatis-materialistis. Dunia keluarga lantas tak lagi menjadi sarang yang
hangat. Anak-anak bertukar sikap menjadi makin soliter, personal, dan
individual, bahkan egoistik.
Ini tak
terjadi—sekurang-kurangnya dapat diminimalisasi—andai sastra hadir pada
pendidikan, entah itu di rumah, terutama kalau diintegrasikan dengan sekolah.
Jangan lagi khawatir pada doktrin klasik bahwa sastra adalah khayalan. Dongeng
justru pekerjaan produktif dalam bentuk investasi. Harvard Business Review
pernah menurunkan artikel menarik “Storytelling
that Moved People” terkait kisah McKee. McKee adalah pendongeng inspiratif
sehingga tak kurang anak didik yang dia dongengi telah mengoleksi 18 Academy Awards, 109 Emmy Awards, 19 Writers Guild
Awards, dan 16 Directors Guild of
America Awards.
Ini logis karena kata McKee, cerita (dongeng) adalah perangkat terbaik
untuk merangkul orang lain dan menyentuh emosi mereka. Dengan kata lain, dengan
sastralah kita bisa menyentuh dan mengolah karakter siswa. Oleh karena itu,
sebagaimana dikutip Doni Koesoema yang meminjam istilah Blaise Pascal (hati
memiliki akalnya sendiri), bahwa pendidikan kararker (pekerti) akan berhasil
jika sudah menyentuh rasionalitas hati. Maksud saya, mari integrasikan sastra
dengan pendidikan karakter karena sastra adalah imajinasi masa depan!
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan di Toba Writers Forum (TWF), Guru Penggerak Humbang Hasundutan