Puisi di Kepala Joko Pinurbo
Berkenalan dengan Puisi
Asumsi umum mengatakan bahwa tindakan kreatif sepenuhnya
merupakan tindakan proyeksi subjektif dan pengingat akan misteri tak terelakkan
yang melingkupi proses-proses kreatif, seperti visi seniman atau penyair yang
menentukan antara subjek (pribadi seniman atau penyair) dan kutub objektif
(dunia yang menunggu untuk ada). Keagungan sebuah puisi atau lukisan bukan
karena puisi sanggup menampilkan sesuatu yang diamati atau dialami, melainkan
karena puisi atau lukisan tersebut menggambarkan visi sang seniman atau penyair
yang dihasilkan dari perjumpaannya dengan realitas (May 2019, 138). Abdul Wachid B.S. juga menyebutkan
bahwa menulis puisi merupakan aktivitas memandang realitas.
Begitu pula Hamsad Rangkuti, yang meyakini
bahwa ilham datang ke dalam diri pengarang melalui peristiwa. Dalam perspektif
Hamsad, ilham tidak hanya datang melalui penyepian diri pengarang di sebuah
pantai atau pegunungan, tetapi dapat pula diperoleh melalui peristiwa, mimpi,
atau pesanan sebagaimana W.H. Auden yang mengatakan bahwa penyair itu mengawini
bahasa dan dari perkawinan ini lahirlah puisi. Demikianlah, keterlibatan bahasa menjadi aktif dalam penciptaan puisi
guna mengekspresikan gagasan-gagasan dan ide.
Sampai di sini, saya teringat Joko Pinurbo yang menerapkan
metode berpikir induktif dalam menuliskan sajak-sajaknya. Sebaliknya, metode
berpikir deduktif lebih cocok digunakan untuk menulis karya ilmiah sebab tulisan
ilmiah berangkat dari yang bersifat umum menuju ke khusus. Metode berpikir induktif itu diterapkan Joko Pinurbo pada kegiatan mengamati kaleng Khong Guan. Kaleng Khong Guan secara umum dipersepsikan dengan sebuah perayaan, Lebaran, atau Natal, sedangkan metode berpikir induktif diterapkan Joko Pinurbo dengan mengambil silaturahmi, toleransi, dan tema relevan lainnya.
Selanjutnya, kita mungkin akan bertanya-tanya, bagaimana bentuk puisi? Saya memiliki referensi yang menarik. Samuel Taylor Coleridge membicarakan puisi dengan
membedakannya menjadi dua bentuk. Pertama, bentuk mekanik adalah sesuatu yang eksternal dari penyair dan kita
dapat menyebutnya soneta. Ini dicapai melalui kesepakatan yang tidak dapat
diganggu gugat
bahwa soneta selalu tersusun dari empat baris
dalam sebuah pola tertentu. Kedua, bentuk organik merupakan sesuatu yang eksis di dunia batin. Bentuk organik itu tersusun dari hasrat-hasrat atau
gairah-gairah yang bersumber dari dalam diri penyair, yang selanjutnya
disuntikkan ke dalam sebuah puisi (May 2019, 202).
Gambaran
soneta barangkali dapat kita kutip dari penggalan karya M. Yamin berjudul “Pagi-Pagi”
berikut ini.
Teja dan cerawat masih gemilang,
Memuramkan bintang mulia raya;
Menjadi pudar padam cahaya,
Timbul tenggelam berulang-ulang.
Fajar di timur datang menjelang,
Membawa permata ke atas dunia;
Seri-berseri sepantun mutia,
Berbagai warna, silang-menyilang.
….
Jika diperhatikan,
karya M. Yamin ini terkesan menggunakan bahasa yang jadul sebab memang
ditulis pada tahun 1920-an. Bentuk soneta semacam ini menganut rima a-b-b-a.
Sapardi Djoko Damono menuturkan bahwa dalam perkembangannya di Eropa dan
negeri-negeri lain, susunan rima soneta dapat berubah-ubah, tetapi jumlah
lariknya secara keseluruhan sama sekali tidak boleh berbeda. Oleh karena itu,
tidak jarang kita temukan
soneta yang hanya terdiri atas satu
atau dua bait, yang masing-masing terdiri atas delapan dan enam larik (Damono 2016,
13). Soneta juga ditulis oleh Chairil Anwar
dengan judul “Kabar dari Laut”.
Setelah “diserang” berbagai uraian bentuk, kita sampai pada zaman sekarang dengan spontanitas yang muncul dan membawa bentuk-bentuknya sendiri. Pertemuan antara spontanitas dan bentuk tersebut berjalan melalui hasrat-hasrat dan pemberontakan melawan batas-batas zaman. Kontribusi imajinasi dan tindakan kreatif membentuk sistem penciptaan potensi-potensi yang tak terbatas. Lalu, apakah kita benar-benar dapat mengendalikan diri? Apakah tekanan dan hambatan-hambatan dalam diri mampu mendukung kerja imajinasi untuk menciptakan sebuah puisi? Kita akan segera membuka kemungkinan tersebut.
Memahami Kecemasan Penyair
Sebelum kita sampai pada jawaban untuk pertanyaan tersebut,
saya akan lebih dahulu mengidentifikasi tekanan-tekanan kecemasan yang turut
berkontribusi terhadap tindakan pengendalian diri untuk menciptakan sebuah
karya, khususnya puisi.
Dalam hal kreativitas, sekalipun secara nyata kita dapat meningkatkan
kecerdasan kita, kondisi fisik dan emosional tetap memberikan batasan. Kita
tidak dapat mengingkari realitas itu. Sebagaimana dialami oleh Alberto
Giacometti,
seniman dan individu kreatif lainnya menghadapi rasa takut dan gemetar. Saya membaca teori Rollo
May dan sedikit memahami kecemasan W.H. Auden yang mengatakan bahwa ia selalu
dirundung kecemasan setiap kali menulis puisi, kecuali ketika ia sedang
bermain-main. “Bermain-main” di sini mungkin dapat dianggap sebagai perjumpaan tempat kecemasan yang terkurung
sementara waktu (May 2019, 160).
Teori
kecemasan yang diurai Rollo May dapat dipahami sebagai suatu keguncangan
hubungan antara diri dan dunia yang terjadi dalam perjumpaan. Identitas
kedirian kita terancam; dunia yang kita alami tidak lagi seperti sebelumnya;
dan karena diri dan dunia selalu saling terhubung, kita kemudian tidak lagi menjadi
diri kita yang sebelumnya. Masa lalu, masa kini, dan masa depan membentuk suatu kesatuan baru. Terang saja,
situasi ini merupakan momen kebenaran yang sepenuhnya jarang terjadi (May 2019, 162).
Dengan meminjam istilah orang-orang Yunani Kuno, “kegilaan
yang dahsyat”, pribadi kreatif sanggup hidup dengan kecemasan sekalipun sebuah
harga yang mahal harus dibayarkan karena mereka harus mengalami ketidakamanan,
sensitivitas, dan ketidakmampuan bertahan. Mereka tidak lari dari kondisi
ketiadaan, tetapi justru menjumpainya, bergulat dengannya, dan memaksanya untuk melahirkan “ada”.
Mereka mengetuk kesunyian untuk sebuah musik sebagai jawabannya; mereka memburu
ketidakbermaknaan hingga mereka sanggup memaksanya untuk menciptakan makna (May 2019, 163).
Kemudian, apakah konsep kecemasan ini juga turut menyertai tindakan
kreatif para penyair kita? Dengan menyanggupi ini sebagai pertanyaan, mari kita urai bersama bagaimana
tindakan kreatif tersebut menghasilkan sebuah karya, yaitu puisi. Pada umumnya penyair memiliki pengelolaan indra dan
nurani yang bagus. Penyair memanfaatkan penglihatan atas hal-hal yang
kerap diabaikan kebanyakan orang, sebagaimana Sapardi Djoko Damono yang melihat
cinta secara sederhana dengan puisinya: “Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan; kayu kepada api yang
menjadikannya abu”. Sebelum
kata cinta diungkapkan dengan bahasa sederhana, seperti abu, kita kerap mengabaikannya sebagai
bentuk “buangan” dari bara api, yang lebih sering mencuri perhatian. Demikian juga Joko Pinurbo yang memandang seisi biskuit Khong Guan sebagai
toleransi atau upaya mencari celana.
Secara
lebih
sederhana, hal itu ditunjukkan saat Joko Pinurbo menulis kecemasan
atas pandemi Covid-19 yang menerpa negeri
kita. Sebagaimana dilansir Kompas, Joko Pinurbo
dalam diskusi virtual #TerasBentara yang digelar di Instagram Bentara Budaya
Yogyakarta pada 13 Mei 2020 mengatakan bahwa sudut
pandang utamanya ialah
jenazah. Banyak orang yang sedang dirawat di rumah sakit dihantui ketakutan: ketakutan
terkena Covid-19 hingga ketakutan meninggal dan jenazahnya ditolak masyarakat (Mediana 2020). Sebagai penyair, Joko Pinurbo
tentu memiliki kecemasan, terlepas dari apa yang terjadi di negeri ini. Hal itu
dibuktikan Joko Pinurbo yang memandang kondisi pandemi Covid-19 dan mengarahkan
kecemasannya pada persoalan kehidupan.
Di Rumah Sakit
Kalender
mengucapkan
selamat
tidur kepada mata ngantuk
yang
masih menyala.
Jam
dinding mengucapkan
selamat
tidur kepada dokter
yang
masih berjaga.
Obat
tidur mengucapkan
selamat
tidur kepada pasien
yang
masih berdoa.
KTP
mengucapkan
selamat
tidur kepada calon jenazah
yang
masih memikirkan
besok
akan dikuburkan di mana.
(Joko Pinurbo, 2020)
Mari kita perhatikan sajak “Di Rumah Sakit”
karya Joko Pinurbo agar kita sama-sama dapat memberi penerimaan atas kontribusi
kecemasan penyair dalam tindakan kreatifnya. Dalam bait pertama, “kalender
mengucapkan; selamat tidur kepada mata ngantuk; yang masih menyala”, seolah-olah
Joko Pinurbo sedang melemparkan “kode” yang ia ungkapkan melalui kata kalender,
mata ngantuk, dan masih menyala. Kata-kata tersebut secara lebih terperinci membuka kecemasan masyarakat dan/atau mungkin kecemasan Joko Pinurbo sendiri karena
banyaknya angka kematian pada 2020. Penekanan makna kecemasan ini diambil dari tubuh
yang mengantuk, tetapi tetap terjaga. Lebih lanjut, penekanan kata kalender secara nyata menunjukkan hari, yang
pada masa tersebut seolah-olah digunakan sebagai “mesin hitung” angka kematian.
Selanjutnya, bait kedua dan ketiga memberi citraan kondisi
rumah sakit:“Jam dinding mengucapkan; selamat tidur kepada dokter; yang
masih berjaga; obat tidur mengucapkan; selamat tidur kepada pasien; yang masih
berdoa”. Sebagaimana yang telah kita ketahui, rumah sakit berkaitan lekat dengan dokter, pasien, dan/atau
doa yang turut menyertainya. Namun,
bagaimana jika kondisi ini diterapkan pada masa pandemi Covid-19? Tentu kita, lagi-lagi,
akan terpelanting pada angka kematian yang makin bertambah, jam kerja dokter yang bertambah, pasien yang bertambah,
gangguan dan gejala yang bertambah,
kecemasan
yang bertambah, dan doa yang bertambah.
Hal-hal tersebut diambil oleh Joko Pinurbo untuk menggambarkan kericuhan pada
masa tersebut.
Ketika membaca bait terakhir, saya mengumpulkan cukup
keberanian untuk memaknainya. Realitas yang diambil oleh Joko Pinurbo
barangkali menjadi kekhawatiran masyarakat terhadap keluarga, rekan-rekan, dan/atau
dirinya sendiri. Bagaimana jika pada akhirnya saya terkena Covid-19? Bagaimana
rasanya meninggal? Di mana saya akan dimakamkan? Mungkin pertanyaan itu jugalah
yang menambah kecemasan masyarakat dan/atau justru Joko Pinurbo merasakan
kecemasan tersebut secara lebih personal pada waktu itu?
Melalui bait ketiga, “KTP mengucapkan; selamat tidur kepada
calon jenazah; yang masih memikirkan; besok akan dikuburkan di mana”, jelas
terlihat kecemasan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang telah saya sebutkan.
Lalu, bagaimana kedudukan KTP dalam
sajak tersebut? Sekali lagi, dalam pandangan saya, angka kematian di suatu
wilayah dapat
ditentukan dengan data KTP dan angka-angka itu dapat dikelompokkan serta diberitakan kepada masyarakat. Pada akhirnya, angka-angka
tersebut masihlah memenangkan kecemasan.
Namun, kita sama-sama tidak dapat dengan begitu saja meletakkan angka kematian dalam posisi tertinggi kecemasan. Oleh karena itu, Joko Pinurbo dalam sajak di atas justru meletakkan kecemasannya pada jenazah melalui bait “yang masih memikirkan; besok akan dikuburkan di mana”. Joko Pinurbo mengatakan, “Banyak peristiwa penolakan jenazah sehingga saya terinspirasi menulis ini. Selain itu, banyak pasien yang terinfeksi di rumah sakit yang mungkin ketakutan: jangan-jangan jenazahnya ditolak.” (Husna 2020)
Simpulan
Demikianlah, melalui sajak “Di Rumah Sakit” karya Joko Pinurbo, kita dapat melihat hubungan yang erat antara penyair dan kecemasan. Selain itu, kita tidak boleh mengesampingkan realitas sebagai sudut pandang penyair dalam tindakan kreatifnya sekalipun “perjumpaan” penyair dengan kreativitas tidak selalu melalui peristiwa-peristiwa besar. Kreativitas itu dapat muncul juga melalui hal-hal kecil di sekitar kita. Hal itu juga diungkapkan Joko Pinurbo, “Saya beranggapan bahwa seorang penyair hanya bisa menulis secara baik mengenai hal-hal yang dihayati dan diakrabinya sehari-hari. Saya tidak bisa menulis tentang salju, tentang pasir. Apa yang saya tulis betul-betul yang saya kenal, yang saya temui sehari-hari, dan itu merupakan bagian dari hidup saya.” (Husna 2020)
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 2016. Bilang begini, maksudnya begitu: buku apresiasi puisi. Cetakan kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Husna, Maruti Asmaul. 2020. “Joko Pinurbo Menulis Puisi Tentang Pandemi.” TribunJogja.Com,
Mei 2020.
May, Rollo. 2019. Kreativitas dan keberanian risalah tentang proses
kreatif dalam pandangan eksistensialisme. Yogyakarta: IRCiSoD.
Mediana. 2020. “Puisi Pandemi Joko Pinurbo.” Kompas, Mei 2020.
Efen Nurfiana
Ia telah menamatkan pendidikan magisternya di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, media online, dan koran. Selain itu, karyanya terdokumentasi dalam kumpulan sajak Dadamu Serumpun Pohon (Wadas Kelir Publisher, 2023) dan Gus Mus dan Simbolisme Feminin (Wadas Kelir Publisher, 2023). Selama menjadi mahasiswa, ia turut dalam kegiatan redaksi di galeri seni rupa Sksp-literary.com. Akun Instagram: @efennu.