BERADIBASA

Setiap bangsa yang berada dalam kondisi merdeka pasti akan mengejar kemajuan dan kejayaannya. Jika itu dapat dikejar melalui berbagai infrastruktur yang mumpuni, akan dilaluilah jalan itu. Jika itu dapat dicapai melalui peningkatan teknologi informasi, akan ditempuh pula jalan itu. Jika itu dapat dicapai dengan penetrasi budaya, akan diutamakanlah jalan itu. Jika itu dapat diraih dengan revolusi industri, akan ditelusurilah jalan itu. Jika itu dapat dikejar melalui  politik bahasa, akan disusurilah jalan itu. Setiap bangsa akan mengoptimalkan potensi sumber daya yang dimilikinya untuk meraih kemajuan dan kejayaannya. Variabel yang digunakan pasti tidak satu.  Akan tetapi, jika dicermati, akan terdapat variabel tertentu sebagai unsur utama.

Selama lebih dari 25 tahun, misalnya, Korea Selatan telah dengan konsisten melakukan lomba penulisan esai tentang Korea Selatan dengan hadiah berupa perjalanan studi wisata ke sana. Untuk dapat menulis tentang Korea Selatan, tentu saja orang harus membaca atau mencari tahu tentang Korea Selatan. Korea Selatan juga memperkenalkan industri musik dan dramanya ke panggung dunia. Saat ini pengenalan manusia Indonesia terhadap Korea Selatan setidaknya buah dari konsistensi jalan yang dilalui Korea Selatan tersebut. Hal itu tentu berdampak bagi kemajuan Korea Selatan di masa ini.

Tanpa menafikan berbagai jalan yang telah dilalui bangsa Indonesia dalam hal meningkatkan kemajuan bangsa, manusia Indonesia yang bergerak di bidang kebahasaan dan kesastraan memandang bahwa bahasa juga dapat menjadi salah satu variabel pendorong kemajuan bangsa. Dalam salah satu hasil KBI XII disebutkan bahwa ihwal kebahasaan direkomendasikan untuk masuk  dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Semoga dalam diskusi hangat dengan lembaga penentu kebijakan nasional, isu ini bergulir dan mencapai muaranya dengan kemunculan bahasa sebagai bagian dari prioritas nasional.

Tahun 2023 menjadi momentum munculnya keberterimaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam forum internasional, sidang umum Unesco. Kemendikbudristek melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah melakukan berbagai upaya hingga mencapai keberterimaan tersebut. Hal ini dapat menjadi jalan baru pula bagi kemajuan bangsa.

Sebagaimana identitas bangsa yang selalu dikaitkan dengan bahasanya, suatu bahasa pasti akan dikaitkan pula dengan penuturnya, mungkin jumlahnya, persebarannya, atau pemerolehan dan pembelajarannya. Dalam konteks bahasa Indonesia yang ditopang oleh ribuan penutur jati bahasa daerah, akan didapat beragam dialek, subdialek, bahkan sampai pada idiolek yang ditunjukkan oleh para penuturnya. Dalam konteks bahasa Indonesia tersebut, bentuk bahasa Indonesia seperti apakah yang dapat menjadi jalan bagi kemajuan bangsa?

Adibasa

Ungkapan adibasa mengemuka dalam KBI sebagai bagian dari slogan, tepatnya adibasa, adiwangsa. Dalam diskusi di kalangan pejabat fungsional Widyabasa yang pada tanggal 28 November baru saja mendeklarasikan asosiasi profesi dengan nama Forum Widyabasa Indonesia, salah satu ungkapan yang akan lekat dalam slogan WIdyabasa adalah adibasa.

Adibasa secara umum dimaknai dengan arti ‘bahasa yang indah; bahasa yang luhung’. Kata luhung bersinonim juga dengan luhur, mulia, dan tinggi. Sementara itu, secara kontekstual menurut penulis, adibasa dapat dimaknai sebagai pilihan bentuk bahasa yang ketika digunakan dapat meningkatkan kualitas pesan dan informasi yang disampaikan penutur di mata dan telinga penutur lain yang dituju.

Penggunaan adibasa akan meminimalkan atau meredakan konflik karena ada pilihan ungkapan terbaik, baik lisan maupun tulis, yang akan menguatkan pesan dan informasi dengan cara terbaik. Penggunaan adibasa juga akan meningkatkan interaksi dan pemahaman penutur terhadap konsep-konsep yang dituturkan.

Genotipe dan Fenotipe Berbahasa

Terdapat suatu kisah ringan ketika dalam suatu masa ada perempuan paruh baya yang sering menyampaikan ungkapan kekesalannya dengan sesuatu yang sangat berlebihan untuk kesalahan sederhana dari rekan kerjanya, “Gue bunuh juga nih” atau “Gue bacok juga nih”.  Ungkapan ini terasa begitu aneh bagi penulis saat pertama kali mendengarnya. Apa saja yang ada di dalam minda sang ibu tersebut sehingga dengan mudah memunculkan ungkapan yang tentu sering memunculkan konflik bagi rekan-rekan di tempat kerjanya. Ternyata setelah ditelusuri, ungkapan itu memang sering didengarnya ketika yang bersangkutan menerima kekerasan verbal di keluarganya. Apakah yang bersangkutan akan benar-benar melakukan apa yang diucapkannya, itu suatu hal yang berbeda. Akan tetapi, pilihan berbahasa dengan cara sekasar demikian terbukti memunculkan konflik. Hal yang patut diwaspadai adalah persebarannya. Jika arus ungkapan negatif itu tidak ditangani, ia akan begitu cepat menular dan menyebar.

Dalam konteks yang lebih luas, di dunia media sosial yang demikian terbuka, penutur bahasa Indonesia, apakah ia seorang pelajar, mahasiswa, kalangan profesional, kalangan terdidik, atau masyarakat umum akan memiliki peluang yang sama untuk terpajan dengan aneka ungkapan yang dibacanya dalam respons netizen. Jika ungkapan buruk sering didengarnya, mau tidak mau, sengaja atau tidak disengaja, itu akan terpaut dengan neuron di otaknya. Itu akan menjadi sesuatu yang berkumpul, baik secara acak maupun teratur di mindanya, akan menjadi bagian dari skemata pikirannya.  Jika netizen merupakan orang dewasa yang memiliki cukup pengetahuan lain sebagai penawarnya, mungkin tidak terlalu terlihat pengaruhnya. Akan tetapi, bagi kalangan anak muda, ungkapan-ungkapan buruk akan menjadi sangat rentan sebagai model bertutur yang diikuti, tidak hanya dengan cara bertutur yang sama, tetapi juga dengan perilaku. Oleh karena itu, dapat dipahami jika kemudian kita dengar betapa sepelenya dan tidak masuk akalnya alasan anak muda yang dengan mudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Dalam situasi yang berbeda, jika penutur selalu terpajan dengan lingkungan adibasa, ia pun akan berpikir dan berperilaku sesuai dengan konsep-konsep yang terkandung dalam semua ungkapan yang dipahaminya tersebut. Dalam situasi yang buruk ia segera mendapati dalam mindanya konsep-konsep positif yang akan membuat situasi buruk itu menjadi tawar. Bukan sebaliknya, membuat ia terhubung dengan banyak konsep buruk lain di mindanya sehingga membuat dirinya makin lemah dan kondisinya makin buruk hingga tidak dapat mencapai kemajuan dalam hidupnya, apalagi bagi kehidupan bangsanya.

Kemampuan berbahasa memang secara genotipe telah dimiliki oleh seseorang yang memiliki fisik normal. Genotipe berbahasa akan terwariskan dari orang tua kepada putra-putrinya, baik secara sempurna maupun tidak sempurna. Salah satu wujud genotipe adalah fakta bahwa neuron otak manusia pada hakikatnya dapat memproses tiga miliar bit per detik. Ini adalah keluarbiasaan potensi otak manusia sebagai anugerah Tuhan YME yang dapat terwariskan sehingga seseorang dapat berbahasa.

Akan tetapi, bagaimana wujud kemampuan berbahasa itu di dalam kehidupan seseorang akan sangat bergantung pada fenotipe, yaitu interaksi genotipe seseorang dengan lingkungan berbahasa yang lekat dengan kehidupannya, baik saat pemerolehan, pembelajaran, maupun penggunaan. Misalnya, ada suku bangsa tertentu di Indonesia yang memang tidak mengenal ungkapan permintaan maaf. Anggota suku bangsa tersebut akan dapat mengenali atau bahkan memakai ungkapan ini hanya setelah  ia berinteraksi dengan anggota suku lain.

Kemajuan suatu bangsa yang besar pasti akan berkelindan dengan kemajuan penutur bahasanya. Ketika penutur memberi perhatian terhadap adibasa, hal ini akan memantik penutur untuk melakukan refleksi pula dalam dirinya. Ia akan berupaya melakukan penyesuaian bentuk bahasa yang dituturkan, baik secara lisan maupun tulis, dalam bentuk adibasa. Ketika penutur beradibasa, ia akan memantik penutur lain untuk melakukan hal yang sama. Kesadaran untuk memajukan bangsa dengan adibasa merupakan alternatif yang patut dipertimbangkan, baik melalui penguatan bentuk adibasa, pengutamaan adibasa dalam pertuturan, maupun pembentukan lingkungan adibasa sehingga dengan demikian kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia menjadi lebih lurus dan mulus perjalanannya. Semoga. 


Dr. Atikah Solihah, M.Pd.

Penulis merupakan Ketua Forum Widyabasa Indonesia bekerja di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa