Keluhuran Bahasa Indonesia dan Legasi Malahayati di UNESCO
Menjelang akhir 2023, keluhuran bangsa Indonesia diperlihatkan dengan kehormatan tokoh Malahayati dan bahasa Indonesia di fora UNESCO. Bahasa menunjukkan bangsa!
Memori kolektif bangsa ini pun dibuat segar kembali akan gigihnya Indonesia dalam bergerak dan berjuang membebaskan diri dari belenggu asing. Lalu, apa hubungan pendasaran bahasa Indonesia dengan legasi nilai juang dari tokoh perempuan pejuang Aceh?
Apa pula relevansi bertambahnya bahasa resmi persidangan di forum-forum badan PBB dengan kehidupan bangsa Indonesia pada era kekinian? Sementara itu, tentu perlu langkah lebih lanjut untuk menapaki perjalanan bangsa ini menuju Indonesia abadi melalui keluhuran bahasanya.
Periode
Transisi Pergerakan
Inilah
perjalanan bangsa Indonesia yang bergerak membentuk jati diri dengan perjuangan
pembebasan diri dari belenggu bangsa asing. Duel
satu lawan satu di atas geladak kapal pada 11 September 1599 merupakan kisah
perjuangan bangsa yang berujung dengan cerita tewasnya Cornelis de Houtman di tangan
Laksamana Malahayati (Keumalahayati). Peristiwa heroik ini terjadi dalam pergerakan
kebahasaan dari periode pembibitan bahasa persatuan Indonesia yang diketahui berlangsung
hingga abad ke-16.
Pergerakan kebahasaan yang
dimaksud tercatat dalam kamus Frederick de Houtman. “Appa bowat pagy hary bankit? Lagy poysa kamoe?” Begitulah contoh
kalimat berbahasa (Melayu) Indonesia dalam kamus yang terbit pada 1603 di
Amsterdam. Jika ditulis sekarang, kalimat percakapan itu akan tersusun sebagai
berikut. Buat apa pagi hari bangkit/bangun?
Lagi puasa, kamu? Berbeda dengan nasib Cornelis, Frederick ditangkap dan
dibiarkan hidup selama 26 bulan dalam penjara Benteng Pidi, Aceh (Suratminto,
2012).
Selama hidup dalam penjara, Frederick menyusun kamus yang terbilang paling tua sepanjang sejarah pembentukan bahasa Indonesia, yaitu kamus bahasa Belanda-Indonesia yang pada awalnya bahasa Indonesia dikenal sebagai bahasa Melayu (https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/97/ ejarah-kamus-besar-bahasa-indonesia). Penyusunan kamus dwibahasa itu menandai pergerakan babak baru. Kebaruan ini dijelaskan oleh Lili Suratminto yang mengaitkan kebaruan itu dengan fakta bahwa kebanyakan buku pada waktu itu ditulis dengan huruf Jawi atau Arab Pegon.
Konsolidasi Pembangunan Berkelanjutan
Hasil Sidang Umum UNESCO Ke-42 pada tanggal 7—22 November 2023
memberikan petunjuk transformasi sosial kebahasaan dalam tiga tahapan
pergerakan: pembibitan, pembentukan, dan konsolidasi bahasa persatuan Indonesia.
Bahasa kebangsaan yang sangat transformatif ini dapat dibaca melalui asas trikon dari ajaran Ki Hadjar
Dewantara. Pertama, bahasa
Indonesia terbukti berkembang sangat luhur dalam gerak pembangunananya seturut dengan
asas kontinyu. Tidak seperti sebuah sulap (bak bahasa Esparanto), bahasa
persatuan ini hadir berkesinambungan, baik sebelum maupun sesudah bangsa Indonesia
sukses terbentuk pada abad ke-20 melalui Sumpah Pemuda 1928.
Dengan membebaskan diri dari belenggu asing sebagaimana perjuangan
Malahayati dalam perlawanan fisik terhadap bangsa Belanda, bangsa Indonesia mewujudkan
kemuliaan diri. Setelah empat abad membentuk jati diri, kini bangsa Indonesia mulai
terkonsolidasi dalam pembangunan kebahasaan secara berkelanjutan di dunia internasional.
Konsolidasi kehidupan berbangsa ini dilakukan atas penghormatan UNESCO kepada Malahayati
yang tanggal lahirnya dirayakan secara internasional dan pemuliaan badan PBB ini
terhadap bahasa Indonesia yang bertambah fungsi menjadi bahasa persidangan
antar-bangsa.
Kedua adalah asas konvergen dalam hal
bahasa Indonesia yang menerima sumber dari luar. Dalam hal ini, kehormatan
Malahayati di UNESCO tidak terpisahkan dari keluhuran bahasa Indonesia di badan
dunia itu. Legasi kamus Frederick de Houtman telah memberikan sumbangan
literasi keberaksaraan latin bagi perkembangan bahasa Indonesia terkini. Sebelumnya,
sumbangan Arab juga diterima lebih awal. Semua perolehan bahasa Indonesia dari
sumber luar itu berjejak di Aceh dan secara khusus bersumber dari bahasa Arab yang
diperoleh dari “titik nol” di kawasan kancah lebur Barus sebagai bagian Aceh
pada masa silam.
Terakhir, ketiga ialah asas konsentris dari ajaran Ki Hadjar Dewantara yang berarti
bahwa bahasa Indonesia berkembang sangat mulia atas landasan kesatuan bangsa
sebagaimana cerminan kesamaan bahasa daerah di seluruh wilayah NKRI. Bangsa ini
juga turut melestarikan bahasa daerah yang tersebar dari Papua hingga Aceh dan
terkonsentrasi dengan semboyan keabadian “Bhinneka Tunggal Ika”.
Nah, janganlah terbelenggu dengan berbahasa asing melulu di fora internasional. Untuk membangun bangsa yang amat terhormat ini, keluhuran bahasa tetap terjaga melalui trigatra bangun bahasa: utamakan bahasa Indonesia; lestarikan bahasa daerah; dan kuasai bahasa asing.
Sekali lagi, bahasa
menunjukkan bangsa!
Maryanto
Widyabasa Ahli Madya, Badan Bahas (Penghayat Trigatra Bangun Bahasa)