Etnolinguistik: Pemantik Makna dan Melek Budaya Indonesia

Budaya Indonesia sangat luas cakupannya. Dengan ribuan suku bangsa yang tersebar di Indonesia, wajar kalau negeri kita demikian melimpah nilai budaya dan produknya. Dalam kajian budaya, kita mengenal entografi. Di sisi lain, kita juga mengenal antropologi. Tulisan ini sengaja dibuat dengan tidak mengambil sudut pandang dua cabang ilmu tersebut. Penulisan artikel ini berangkat dari sudut pandang ilmu etnolinguistik. Mengapa etnolinguistik? Etnolinguistik menitikberatkan kajian bahasa yang mempresentasikan budaya tertentu. Istilah etnolinguistik berasal dari kata etimologi yang berarti ‘ilmu yang mempelajari suku-suku’ dan linguistik yang berarti ‘ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia’ atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996). Menurut Kridalaksana (1983), etnolinguistik adalah (1) cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan atau disebut juga linguistik antropologi serta (2) cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap kebahasaaan terhadap bahasa. Menurut Abdullah (2013), etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh perhatian pada dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, dan unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya  (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, dan folklor) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat. 

Dengan kata lain, etnolinguistik ingin mengatakan bahwa bahasa adalah sumber budaya sekaligus mengatakan bahwa berbahasa adalah praktik budaya. Penulis menelaah bahwa bahasa yang muncul di sekitar kita itu mencerminkan budaya tertentu yang melekat erat dalam diri si penutur bahasa. Misalnya, kata kencot (artinya ‘makan’), maning (artinya ‘lagi’), dan kepriwe (artinya ‘bagaimana’). Contoh tersebut dipilih karena kebetulan penulis berasal dari Purbalingga, wilayah dengan dialek Banyumasan sebagai ciri khasnya. Dari mana si penutur berasal dapat terlihat dari kosakata yang diucapkan. Riset etnolinguistik masuk dari saluran penggunaan bahasa yang dapat mengungkap asal-usul bahasa tersebut dan cerminan kulturnya. Para peneliti etnolinguistik dapat mengambil bagian bahasa tersebut (fonologi, morfologi, semantik) sehingga memudahkan mereka untuk mengkajinya lebih lanjut. Sementara itu, menurut Spradley (dalam Windiatmoko, 2018), bagian pekerjaan etnografi (salah satu pusat cabang keilmuan etnolinguistik) ialah mendeskripsikan kebudayaan.

Dari sudut pandang semantik, makna kultural menjadi poin penting dalam penelitian etnolinguistik. Masyarakat yang notabene merupakan penutur bahasa itu memiliki konsep makna dari bahasa yang diucapkannya sehari-hari. Masyarakat menggunakan bahasa tersebut bukan hanya sebagai pengantar komunikasi, melainkan juga di dalam praktik sosial-budayanya, bahasa memiliki makna implisit yang dimaknai dan disepakati secara inheren. Masyarakat sering kali menandai bahasa dengan simbol. Simbol inilah yang digunakan masyarakat untuk menyatakan suatu pesan atau informasi sebagai kegiatan berbahasa. Simbol-simbol bahasa oleh para peneliti dikaji lebih dalam melalui interpretasi atau penafsiran. Untuk menafsirkannya pun diperlukan dukungan data dan metode riset yang efektif sehingga menghasilkan data yang cukup, relevan, dan valid.  

Hal itu telah penulis lakukan bersama mahasiswa bimbingan di daerah Mojokerto, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Jambuwok, Kecamatan Trowulan, ada ritual geret sapu. Secara leksikal, nama tradisi itu berasal dari kata geret yang artinya menyeret’ dan sapu yang artinya alat kebersihan berbentuk sapu. Pada tulisan ini, penulis akan mengungkapkan makna kultural dari tradisi tersebut. Berbeda halnya dengan makna leksikal tadi, makna kultural dari geret sapu ini adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jambuwok ketika akan melakukan proses berpindah rumah. Tradisi ini dilakukan tepat saat pemilik rumah akan berpindah ke tempat tinggal barunya. Kegiatan berpindah rumah ini diikuti oleh keluarga, kerabat, dan tetangga sekitar sehingga tampak sekali suasana gotong royongnya.

Ritual ini diawali dengan mempersiapkan sapu lidi yang disatukan dalam satu ikatan sebagai syarat terlaksananya tradisi tersebut. Sapu ini ditarik oleh pihak keluarga, lalu diikuti rombongan. Tidak dicukupkan pada menarik sapu saja, tetapi juga dibarengi dengan membaca doa sapu jagad, membawa tanah, mengucurkan air dari kendi di sepanjang jalan, membawa bantal-guling yang digulung dengan tikar bambu, kemudian melakukan arak-arakan dengan berjalan ke kediaman baru. Tradisi geret sapu ini merupakan permohonan tolak bala dan tradisi ini dilakukan sebagai bentuk harap kepada Tuhan agar proses berpindah rumah dilancarkan sehingga menjadikan orang yang mempunyai hajat betah tinggal di rumah barunya, tidak mengalami gangguan untuk kehidupan selanjutnya, rumah tangganya utuh, serta tidak mendapatkan halangan saat acara berlangsung.

1. Arak-arakan

Makna kultural dari arak-arakan adalah manusia hidup bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk hidup bermasyarakat, saling gotong royong, dan bekerja sama. Pada saat arak-arakan, masyarakat ikut andil, khususnya kerabat dan tetangga dekat pemilik hajat dalam prosesi tradisi geret sapu. Arak-arakan ini akan berawal dari tempat tinggal awal yang mempunyai hajat sampai ke kediaman barunya. Arak-arakan ini dilakukan oleh pemilik hajat beserta rombongan, baik sanak saudara maupun tetangga.

2. Ngucur Banyu

            Makna kultural dari ngucur banyu adalah ‘berharap kepada Tuhan agar diberikan kelancaran rezeki seperti lancarnya air yang dikucurkan dari kendi yang dibawa bersamaan dengan tarikan sapu di jalan saat mulai berpindah rumah. Pelaksana ritual tidak hanya mengucurkan air secara cuma-cuma, tetapi juga dibarengi dengan membaca doa sapu jagat yang berbunyi, “Rabban?, ?tin? fid duny? hasanah, wa fil ?khirati hasanah, wa qin? ‘adz?ban n?r”. Tidak lain pembacaan doa tersebut dimaksudkan untuk meminta keselamatan kepada Tuhan. Yang dipercaya adalah doa tersebut karena mayoritas penduduk yang masih mempercayai tradisi-tradisi dari pendahulu ini adalah muslim. Namun, makna leksikal dari ngucur banyu adalah menuangkan air yang ada di dalam kendi (tempat air yang berasal dari tanah liat) untuk dibiarkan tumpah sepanjang jalan yang akan ditempuh saat berpindah rumah.

3. Nggowo Lemah

Makna kultural dari nggowo lemah adalah memohon kepada Tuhan agar penghuni rumah kerasan’. Hal itu dimaksudkan agar acara tradisi geret sapu berjalan lancar dan sang pemilik hajat menjadi betah di tempat barunya. Makna leksikal dari nggowo lemah ini sendiri adalah membawa segenggam tanah liat yang dimasukkan ke dalam kantong dari rumah lama menuju tempat barunya’. Kemudian, pada saat sampai di tempat barunya, tanah harus ditabur agar bercampur dengan tanah di tempat barunya, baik tanah pekarangan depan, samping, maupun belakang rumah.

4. Bantal Guling Kloso

            Makna kultural dari nggowo bantal guling kloso tidak lain adalah agar perjalanan hidup mereka jumeneng. Jumeneng berarti ‘istikamah’. Maksud dari ini semua adalah agar sang pemilik hajat bersungguh-sungguh dalam menjalankan segala aktivitasnya serta tidak terpengaruh oleh perkara-perkara buruk dan tidak menghiraukan hal-hal yang tidak penting yang menggagalkan keberhasilan rumah tangga dalam keluarganya. Makna leksikal dari bantal guling kloso adalah membawa tikar bambu serta menggelarnya, kemudian mengisi bagian tengahnya dengan bantal dan guling, lalu menggulung dan mengikatnya’. Setelah itu, tikar dibawa oleh sanak saudara yang mengikuti arak-arakan dalam proses geret sapu pindahan rumah pemilik hajat.

Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa bahasa memiliki peran penting dalam ritual budaya setiap daerah. Simbol bahasa yang muncul di masyarakat dengan beberapa istilah itu memproyeksikan bahwa peradaban masyarakat tersebut dinamis. Dinamisme budayanya ditandai dengan bahasa yang digunakan untuk mewakili pesan tertentu dan mempresentasikan pemaknaan kultural. Etnolinguistik mengupas bagaimana bahasa dapat menerjemahkan kehidupan budaya masyarakat pada zaman itu. Serpihan bahasa milik suku bangsa tertentu dapat menggambarkan konsep budaya, politik, hukum, dan ritual yang dijalankan. Etnolinguistik betul-betul menjadi pemantik unsur-unsur budaya dan kajiannya dapat menjadi peta konsep melek budaya. Secara riil, kajian etnolinguistik yang dibukukan dan dikemas secara apik dan menarik akan dilirik oleh generasi muda. Menyasar generasi belia ini merupakan bentuk upaya regenerasi yang sadar budaya, ulet, dan tekun untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Abdullah, Wakit. 2013. Etnolinguistik: Teori, Metode, dan Aplikasinya. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah FSSR UNS.

Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Windiatmoko, Doni Uji. 2018. Refleksi Kultural dan Nilai Pendidikan Karakter dalam Tradisi Ruwahan Dusun Urung Urung. Jurnal Matapena 1(2), hal 4052.

Doni Uji Windiatmoko

Doni Uji Windiatmoko, S.Pd., M.Pd. adalah seorang pengajar di Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Purbalingga. Selain mengajar, juga sebagai reviewer jurnal nasional bereputasi dan editor penerbit. Saya memiliki minat pada bidang pendidikan dan pengajaran bahasa Indonesia, etnolinguistik, dan kurikulum.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa