Puisi Imaji Transendental A. Mustofa Bisri

Gaya imaji dalam perpuisian Indonesia telah menjadi fenomena sejak adanya sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah (Pujangga Baru). Kemudian, itu ditanggapi dengan sajak yang tipikal imajistik, yaitu “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar (Angkatan ’45) dan dikembangkan oleh Goenawan Mohamad (sejak buku puisi pertamanya, Parikesit, Cet.I-1969, Cet.II-1971, dan puisi selanjutnya), Sapardi Djoko Damono (sejak buku puisi pertamanya, Duka-Mu Abadi [1968] dan puisi selanjutnya), dan Abdul Hadi W.M. (sejak buku puisi pertamanya, Laut Belum Pasang [1971] dan puisi selanjutnya). Kesamaan pola pencitraan yang dikembangkan dari sajak Amir Hamzah, kemudian ke sajak Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. ialah suatu keruntutan dari gambaran pikiran dan perasaan penyair yang boleh jadi menyertakan aku-lirik atau tidak, untuk secara urut memperhitungkan setting; peristiwa tidak dramatik, justru dalam kedatarannya bisa menggambarkan dunia dalam aku-lirik melalui kata dan kalimat. Pengembangan dari gaya ungkap sajak imaji itu sampai pula pada perpuisian A. Mustofa Bisri yang tentu saja dengan kekhasan masing-masing.

Dengan merunut jejak tradisi puisi imajisme, hal itu digambarkan secara singkat oleh Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986: 63) sebagai berikut.

 “Gerakan Imajisme dalam puisi dan kritik sastra di Inggris dan Amerika Serikat menjelang Perang Dunia I, dipengaruhi oleh T.E. Hulme, dan dikembangkan oleh Ezra Pound. Reaksi terhadap kesamar-samaran romantik dan emosionalitas pada puisi waktu itu. Ada pengaruh dari Simbolisme Prancis dan puisi China klasik (haiku). Puisi hendaknya merupakan “a direct treatment of thing”. Gambaran (image) hendaknya bersifat tajam, tepat dan mampu menimbulkan kontak dengan the thing. Bahasa yang dipakai oleh penyair supaya biasa saja dan bebas dari paksaan metrum. Apa saja, dapat digarap dan dijadikan sastra oleh seorang penyair. Gerakan ini membuka jalan bagi para pembaharu dalam puisi di Inggris seperti TS. Eliot, WB. Yeats, J. Joyce dan DH. Lawrence.”

Karakteristik puisi imaji di Indonesia dapatlah diidentifikasi letak persamaannya melalui sosok perpuisian Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M.

Pertama, ketiga penyair tersebut sama dalam hal menghindari menulis sajak-sajak yang merupakan pernyataan. Bagi Goenawan Mohamad, “Pertama-tama hadir sebagai keutuhan. Dalam keutuhan itu puisinya tampil sebagai puisi ide atau pernyataan.” (dalam Hoerip, 1982: 163). Goenawan Mohamad sesungguhnya ingin menjelaskan posisi perpuisiannya bahwa ia mengakarkan tradisi perpuisiannya dari percampuran antara perpuisian Amir Hamzah (sajak “Berdiri Aku”, Buah Rindu, Cet.VII, 1985: 51) dan Chairil Anwar (sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”), yakni melalui eksplorasi sajak suasana. Menurut Goenawan Mohamad, “Dalam puisi macam ini, makna kalimat demi kalimat terkadang tak sepenuhnya kita pahami. Akan tetapi, keutuhan suasananya, total merasuk ke dalam diri kita, langsung dan sekaligus” (dalam Hoerip, 1982: 164). Sementara itu, sajak “Bercerai” karya Chairil Anwar oleh Goenawan Mohamad dipahami sebagai bersifat platonik, ide, konsep atau pengertian baginya sangat pokok: aku ber-ide, baru aku berpuisi (dalam Hoerip, 1982: 166).

Kedua, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. sama dalam menyikapi benda-benda dan peristiwa di dalam sajak. Goenawan Mohamad tidak menggunakan istilah puisi imaji dengan alasan bahwa jika ia menggunakan istilah tersebut, belum tentu itu sesuai dengan yang lazim digunakan dalam sejarah kesusastraan lain. Sekalipun demikian, ia memberikan penegasan sebagai berikut.

“Dalam sajak-sajak “imajis”, yang sering berupa puisi “suasana”, imaji muncul atau bermunculan bebas-- mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu “mandiri”, bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen pada suasana, bukan diambil dari alam benda dengan disengaja sebagai bahan perbandingan bagi suatu gagasan.” (Hoerip, 1982: 167). 

Sapardi Djoko Damono (1983: 66) berposisi sama ketika menyikapi bahasa sajak.

“Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung itu tak bisa dilenyapkan, namun yang utama ia­lah sebagai obyek pendukung imaji.

Abdul Hadi W.M.  (dalam Dewan Kesenian Jakarta, 1984: 78) juga bersikap serupa dalam memandang bahasa sajak.

“Bagi penyair bahasa harus merupakan media ekspresi... dalam puisi, di mana bahasa merupakan bahasa ekspresi atau penghubung pengalaman intuisi penyair, mawar mungkin imaji atau simbol yang melukiskan kehidupan. Di situ keotomatisan arti sebuah kata dipreteli dan diganti dengan arti lain yang unik dan segar, serta hidup. Atau arti kata diperluas agar mampu menampung kebenaran kreatif yang bersegi-segi.”

Ketiga, baik dalam puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, maupun Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Abdul Hadi W.M. memiliki kesamaan dalam hal menggunakan bahasa sederhana di dalam puisinya. Mengapa kesederhanaan menjadi pilihan pengucapan puisi imaji? Ezra Pound (via Wachid B.S., 2002: 134), seorang tokoh imajisme, menjawab persoalan itu, “Kami beranggapan bahwa puisi harus menggambarkan hal-hal yang khu­sus dengan jelas dan tidak berurusan dengan hal-hal yang umum dan kabur, bagaimanapun enak kedengarannya.” Itulah sebabnya, Herman J. Waluyo (2010: 52) mengungkapkan dengan bagus aliran imaji dalam puisi ini tentang realitas.

“Kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual yang jernih dan jelas. Kata-kata dipilih secara cermat dan efisien... Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari-hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-kata dipandang segala-galanya. Di samping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata itu mendukung imaji penyair yang hendak diungkapkan... Puisi kaum imajis sering mirip prosa.”

A. Mustofa Bisri tidak pernah membicarakan perpuisian ketiga penyair sekaligus kritikus tersebut, yaitu Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M., tetapi mengatakan bahwa ia belajar dari berbagai puisi karya penyair Indonesia.

“Kalau saya ditanya siapa-siapakah penulis atau penyair yang saya anggap berhasil, saya akan mengatakan bahwa hampir semua penyair yang saya kenal, saya anggap berhasil. Bahkan harus saya akui, kepada merekalah sedikit banyak saya belajar menulis puisi. Justru mereka yang cermat meneliti karya-karya saya, insya Allah, akan dapat merasakan adanya berbagai pengaruh dari banyak penulis atau penyair lain di dalamnya. Ada “puisi” saya yang “berbau Ka’ab”, “berbau Ma’arry”, “berbau Khayyam”, “berbau Busheiry”, “berbau Iqbal”, “berbau Ibn “Shabaq”, “berbau Syauqy”, “berbau Goenawan”, “berbau Emha”, “berbau Danarto”, “berbau Taufiq”, “berbau Zawawi”, “berbau Sapardi”, “berbau Yudhistira”, dan sebagainya, dan seterusnya...” (Bisri, 1996: x).

Beberapa prinsip tentang puisi imaji yang sering berupa puisi suasana tersebut juga muncul dalam perpuisian A. Mustofa Bisri sekalipun dengan beberapa koreksi karena kekhasan perpuisian A. Mustofa Bisri.

Pertama, koreksi tersebut terutama dilakukan untuk menghindari penulisan sajak-sajak yang merupakan pernyataan. Jika sajak-sajak yang merupakan pernyataan itu dimaknai sebagai pernyataan verbal, perpuisian A. Mustofa Bisri tidaklah termasuk yang demikian. Namun, jika hal itu dimaksudkan dengan apa yang disebut oleh Goenawan Mohamad sebagai puisi platonik atau puisi ide, hal tersebut justru dominan di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri. Gagasan atau ide justru dihadirkan oleh A. Mustofa Bisri karena sudut-pandang transendentalnya melalui aku-lirik terhadap realitas. Realitas tidak perlu diindah-indahkan, baik di dalam maupun di luar realitas puisi karena hal itu berpengaruh pada penyikapan terhadap bahasa sajak. Bagi A. Mustofa Bisri, bahasa sajak disikapi sebagaimana “Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata”. Bahkan, sudut pandang aku-lirik yang transendental itu pun tidak saja ditampilkan melalui bahasa sajak yang simbolik, tetapi juga dinyatakan secara langsung seperti dikutip selengkapnya berikut ini.

Aku Tak Akan Memperindah Kata-Kata 

Aku tak akan memperindah kata-kata
Karena aku hanya ingin menyatakan
Cinta dan kebenaran

Adakah yang lebih indah dari
Cinta dan kebenaran
Maka memerlukan kata-kata indah? 

1997
(Gandrung, 2000: 21) 

Kedua,  Sama halnya dengan menyikapi benda-benda dan peristiwa di dalam sajak, hal itu pun dalam beberapa fenomena perpuisian A. Mustofa Bisri juga disikapi secara unik. Di dalam perpuisian ketiga tokoh puisi imaji Indonesia tersebut benda-benda dan peristiwa disikapi sebagaimana yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad, yakni “... imaji muncul atau bermunculan bebas--mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu mandiri sebagai bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen pada suasana, bukan diambil dari alam benda dengan disengaja sebagai bahan perbandingan bagi suatu gagasan.” Akan tetapi, di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri, benda-benda dan peristiwa, sekalipun tidak dengan disengajakan sebagai lambang, karena sudut pandang berpikir terhadap alam itu bersifat maknawi sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an tentang fenomena alam, realitas-realitas di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri tetaplah terbaca atau dibaca sebagai ayat-ayat kauniyah, lambang eksistensi Tuhan Yang Maha Esa melalui ciptaannya, alam manusia, alam tumbuhan, alam hewan, dan alam-alam yang lain dalam konteks kesemestaan. Hal inilah yang membedakannya dari perpuisian Goenawan Mohamad bahwa realitas terbebas atau dibebaskan dalam kaitannya dengan lambang. Hal tersebut sungguh tidak mungkin sebab sebagaimana yang diungkapkan oleh Paul Ricoeur dalam mendefinisikan teks bahwa teks adalah wacana yang dibakukan melalui bahasa. Dengan demikian, segala penyebutan atas realitas melalui bahasa adalah memunculkan pemahaman, penafsiran, dan penjelasan. Dengan demikian, sesuatu dari realitas itu pastilah dipersepsikan dan diposisikan sebagai lambang, bukan hanya latar (set).

Ketiga, benda-benda dan peristiwa di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri tetaplah ada relasinya dengan manusia sekalipun manusianya tidak bermaksud merekayasa makna keberadaannya sebab sudut pandang transendental melalui Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa Tuhan menciptakan segala dan semua ini, yakni bumi, manusia, dan alam semesta tidaklah sia-sia. Hal itulah yang menjadi penyebab benda-benda dan peristiwa di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri juga hadir secara unik. Dari segi sejarah sastra, apa yang dilakukan oleh A. Mustofa Bisri adalah estetika meneruskan tradisi puisi imaji. Namun, di segi lain, ia memiliki sudut pandang tersendiri di dalam menyikapi estetika tersebut terkait dengan etika sudut pandangnya yang transendental profetik itu.

Perpuisian A. Mutofa Bisri terkait dengan tradisi puisi imaji juga sama dalam hal menggunakan bahasa sederhana di dalam puisi, tetapi dengan beberapa perbedaan sudut pandang.

Di dalam perpuisian imaji Indonesia, kesederhanaan merupakan gaya ungkap bahasa sajak dengan maksud seperti yang dikatakan oleh Ezra Pound, “Kami beranggapan bahwa puisi harus menggambarkan hal-hal yang khu­sus dengan jelas, dan tidak berurusan dengan hal-hal yang umum dan kabur, bagaimanapun enak kedengarannya” atau sebagaimana yang dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono, “Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung itu tak bisa dilenyapkan, tetapi yang utama ia­lah sebagai objek pendukung imaji.

Kesederhanaan di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri itu disebabkan oleh sudut pandang penyair yang terepresentasikan melalui aku-lirik bahwa tiada suatu realitas pun jika ia tidak ilahiah. Hal itu merupakan perluasan dari pemaknaannya atas l? il?ha illall?h ‘tiada Tuhan selain Allah’. Karena Allah itu indah, setiap ciptaan Allah merupakan manifestasi dari keindahan Allah, innall?ha  jamil wa yuhibbuj jamal ‘sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan’. Sudut pandang demikian terhadap realitas keindahan yang menunjukkan eksistensi keberadaan Allah dihadirkan oleh A. Mustofa Bisri di dalam sajaknya “Aku Tak Akan Memperindah Kata-Kata”.

Dengan demikian, tradisi puisi imaji di Indonesia sedari sajak Amir Hamzah, ke Chairil Anwar, ke Goenawan Mohamad, ke Sapardi Djoko Damono, dan ke Abdul Hadi W.M., tetaplah dihidupkan di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri sebagaimana, “Suatu keruntutan dari gambaran pikiran dan perasaan penyair, yang boleh jadi menyertakan aku-lirik atau tidak, untuk secara urut memperhitungkan setting; peristiwa tidak dramatik, justru dalam kedatarannya bisa menggambarkan dunia dalam aku-lirik melalui kata dan kalimat.” Akan tetapi, karena pandangan-pandangan aku-lirik di dalam puisi merupakan representasi transendetal profetik dari A. Mustofa Bisri, sikap-sikap berbahasa sajak A. Mustofa Bisri tidaklah terlalu berorientasi estetik, tetapi berangkat dan berakhir pada tujuan pemaknaan atas realitas itu sebagai representasi dari keindahan Allah.

Realitas alam merupakan keindahan semesta sebagai bukti dari eksistensi Allah. Sementara itu, realitas budaya merupakan keindahan yang dibangun oleh manusia demi menyejahterakan kehidupan manusia. Keduanya, baik realitas alam maupun realitas budaya dihadirkan oleh A. Mustofa Bisri di dalam puisinya, bukan saja sebagai bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen pada suasana (perpuian Goenawan Mohamad), bukan pula sebagai objek pendukung imaji (perpuisian Sapardi Djoko Damono).

Akan tetapi, realitas alam dan realitas budaya yang dihadirkan di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri senapas dengan sudut pandang Abdul Hadi W.M., yaitu “... bahasa merupakan bahasa ekspresi atau penghubung pengalaman intuisi penyair, mawar mungkin imaji atau simbol yang melukiskan kehidupan ... atau arti kata diperluas agar mampu menampung kebenaran kreatif yang bersegi-segi.” Pengalaman intuisi penyair ini sangat jelas diperankan oleh gagasan atau ide penyair sehubungan dengan bagaimana ia membaca realitas. Penyair membaca realitas dengan iqra’ bismirabbikal ladz? khalaq ‘membaca dengan nama Tuhanmu Yang Maha Mencipta, semua realitas ialah ilahiah’. Dengan demikian, gagasan estetika puisi imaji dalam menyikapi bahasa yang utama sebagai pendukung imaji itu sebagaimana ditampilkan dalam bait pertama sajak “Al-‘Isyq” yang mendapatkan pemaknaan ke arah imaji-imaji kreatif yang meninggi, yang transendetal karena pengalaman intuisi penyair dalam membaca realitas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam bait kedua, yang kemudian diakhiri dengan pertanyaan, “...//Apakah cinta kita tak utuh/Mengapa kita tak juga bersetubuh?” Sekalipun diakhiri dengan pertanyaan, itu bersifat retoris yang tidak membutuhkan jawaban sebab kesadaran transendental menjadikan cinta itu utuh yang menghadirkan peleburan antara realitas budaya dan realitas alam, antara realitas lahir dan realitas batin, serta antara manusia dan Tuhan. Sajak tersebut dikutip selengkapnya berikut ini. 

Al-‘Isyq 

Bintang-bintang ceria. Kereta senja.
Tanganku yang manja.
Bangku-bangku tua. Betismu yang belia.
Warung siang. Majalah-majalah usang.
Lututmu yang merangsang.
Dingklik antik. Jemariku yang menggelitik.
Malam senyap. Kamar pengap.
Purnama di genting kaca. Pahamu yang menyala.
Mentari berseri. Gang-gang berkelok.
Pinggulmu yang elok.
Becak berlari. Kelelakianku yang menari.
Bus-bus nakal. Tiang-tiang terminal.
Nafsuku yang banal.
Jalan panjang. Lehermu yang jenjang.
Gardu telpon. Hujan rintik.
Rambutmu yang cantik.
Pasar asing. Dadaku yang bising.
Rumah kuna. Dipan sederhana.
Mataku yang terpesona.
Bantal tanpa warna. Tidurmu yang lena.
Baju hitam. Kutang kusam. Celana dalam.
Matamu yang terpejam.
Ketiak apak. Mulut mendongak. Puting papak.
Bulu-bulu rampak.
Setanku yang merangkak.
Langit fajar. Mushalla terlantar. Tikar terhampar
Sujudku yang hambar. 

Semua saksi
Tak mencatat kencan-kencan kita
Juga tanda-tanda sayang
Yang kutebar di sekujur dirimu
Sirna entah kemana.
Sementara hingga kini
Bau lipatan-lipatan tubuhmu
Masih mengganggu perjalanan
Ibadahku. 

Apakah cinta kita tak utuh
Mengapa kita tak juga bersetubuh?

1399/1415
(Gandrung, 2000: 15—16


Daftar Pustaka

Affifi, Abu al-Ala. 1964. The Mystical Philosopy of Muhyi al-Din al-‘Arabi. Cambridge: Cambridge University Press.

Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Jakarta Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets Need Words). Magelang: Indonesiatera.

Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 1993. Tadarus (Antologi Puisi). Cet.II, 2003. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

________. 1995. Pahlawan dan Tikus (Kumpulan Puisi). Cet.II, 2005. Yogyakarta: Hikayat.

________. 1995. Rubayat Angin dan Rumput (Kumpulan Puisi). Jakarta: Majalah Humor bekerja sama dengan PT Matra Multi Media.

________. 1996. Wekwekwek (Sajak-Sajak Bumilangit). Surabaya: Risalah Gusti.

________. 1998. Gelap Berlapis-lapis. Jakarta: Fatma Press.

________. 2000. Sajak-sajak Cinta, Gandrung. Rembang: Yayasan al-Ibriz.

________. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang Budaya.

________. 2006. Aku Manusia. Rembang: CV MataAir Indonesia.

________. 2008. Album Sajak-Sajak A. Mustofa Bisri. Ed. Ken Sawitri. Surabaya: MataAir.

________. 2009. “Meneguhkan Islam Budaya Menuju Harmoni Kemanusiaan”, Pidato Penganugerahan Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam Bidang Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.

_________.  2016. Saleh Ritual Saleh Sosial. Yogyakarta: Diva Press.

Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.

________. 2001. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit Paramadina.

________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.

_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.

Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Ismail, Taufiq. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.

Izutsu, Toshihiko. 2016. Sufisme: Samudra Makrifat Makrifat Ibn ‘Arabi. Jakarta: Mizan.

Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1). Jakarta: PT Gramedia.

_______. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.

_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1988.

Mohamad. Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.

Rachman, Budhy Munawar. “Pengalaman Religius dan Logika Bahasa”. Jakarta: Ulumul Qur’an, No. 6, Juli—September 1990.

Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Cet. II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Schimmel, Annemarie. 2005.  Menyingkap Yang-Tersembunyi. Terj. Saini K.M. Cet. I. Bandung: Mizan.

Wachid B.S., Abdul. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

________. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.


Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair, lulusan Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan dosen di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa