Puisi Imaji Transendental A. Mustofa Bisri
Gaya imaji dalam
perpuisian Indonesia telah menjadi
fenomena sejak adanya sajak
“Berdiri Aku” karya Amir Hamzah (Pujangga Baru). Kemudian, itu ditanggapi dengan sajak
yang tipikal imajistik,
yaitu “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar (Angkatan ’45) dan dikembangkan
oleh Goenawan Mohamad (sejak buku puisi pertamanya, Parikesit,
Cet.I-1969, Cet.II-1971, dan
puisi selanjutnya), Sapardi Djoko Damono (sejak buku puisi pertamanya, Duka-Mu
Abadi [1968] dan
puisi selanjutnya), dan Abdul
Hadi W.M. (sejak buku puisi pertamanya, Laut Belum Pasang [1971] dan puisi
selanjutnya). Kesamaan pola pencitraan yang dikembangkan dari sajak Amir Hamzah,
kemudian ke sajak
Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. ialah suatu keruntutan dari gambaran
pikiran dan perasaan penyair yang boleh jadi menyertakan aku-lirik atau tidak,
untuk secara urut memperhitungkan setting; peristiwa tidak dramatik,
justru dalam kedatarannya bisa menggambarkan dunia dalam aku-lirik melalui kata
dan kalimat. Pengembangan dari
gaya ungkap sajak imaji itu sampai pula pada perpuisian A. Mustofa Bisri yang tentu saja dengan
kekhasan masing-masing.
Dengan merunut jejak tradisi puisi imajisme, hal itu digambarkan secara singkat oleh Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986: 63) sebagai berikut.
“Gerakan Imajisme dalam puisi dan kritik sastra di Inggris dan Amerika Serikat menjelang Perang Dunia I, dipengaruhi oleh T.E. Hulme, dan dikembangkan oleh Ezra Pound. Reaksi terhadap kesamar-samaran romantik dan emosionalitas pada puisi waktu itu. Ada pengaruh dari Simbolisme Prancis dan puisi China klasik (haiku). Puisi hendaknya merupakan “a direct treatment of thing”. Gambaran (image) hendaknya bersifat tajam, tepat dan mampu menimbulkan kontak dengan the thing. Bahasa yang dipakai oleh penyair supaya biasa saja dan bebas dari paksaan metrum. Apa saja, dapat digarap dan dijadikan sastra oleh seorang penyair. Gerakan ini membuka jalan bagi para pembaharu dalam puisi di Inggris seperti TS. Eliot, WB. Yeats, J. Joyce dan DH. Lawrence.”
Karakteristik puisi imaji di Indonesia
dapatlah diidentifikasi letak persamaannya melalui sosok perpuisian Goenawan
Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M.
Pertama, ketiga penyair tersebut sama dalam hal menghindari menulis sajak-sajak
yang merupakan pernyataan. Bagi
Goenawan Mohamad, “Pertama-tama hadir sebagai keutuhan. Dalam keutuhan itu
puisinya tampil sebagai puisi ide
atau pernyataan.” (dalam Hoerip, 1982: 163). Goenawan Mohamad sesungguhnya
ingin menjelaskan posisi perpuisiannya bahwa ia mengakarkan tradisi
perpuisiannya dari percampuran
antara perpuisian Amir
Hamzah (sajak “Berdiri
Aku”, Buah Rindu, Cet.VII,
1985: 51) dan Chairil Anwar (sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”), yakni melalui eksplorasi sajak
suasana. Menurut Goenawan
Mohamad, “Dalam puisi macam ini, makna kalimat demi kalimat terkadang tak
sepenuhnya kita pahami. Akan tetapi, keutuhan suasananya, total merasuk ke
dalam diri kita, langsung dan sekaligus” (dalam Hoerip,
1982: 164). Sementara
itu, sajak “Bercerai” karya Chairil Anwar oleh Goenawan Mohamad dipahami sebagai
bersifat platonik, ide, konsep atau pengertian baginya sangat pokok: aku
ber-ide, baru aku berpuisi (dalam Hoerip, 1982: 166).
Kedua, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. sama dalam
menyikapi benda-benda dan peristiwa di dalam sajak. Goenawan Mohamad tidak
menggunakan istilah puisi imaji dengan alasan bahwa jika ia menggunakan
istilah tersebut, belum tentu itu sesuai dengan yang lazim digunakan dalam
sejarah kesusastraan lain. Sekalipun demikian, ia memberikan penegasan sebagai
berikut.
“Dalam sajak-sajak “imajis”, yang sering berupa puisi “suasana”, imaji muncul atau bermunculan bebas-- mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu “mandiri”, bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen pada suasana, bukan diambil dari alam benda dengan disengaja sebagai bahan perbandingan bagi suatu gagasan.” (Hoerip, 1982: 167).
Sapardi Djoko Damono (1983:
66) berposisi sama ketika menyikapi bahasa sajak.
“Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung itu tak bisa dilenyapkan, namun yang utama ialah sebagai obyek pendukung imaji.”
Abdul Hadi W.M. (dalam Dewan Kesenian Jakarta, 1984: 78) juga bersikap serupa dalam memandang
bahasa sajak.
“Bagi penyair bahasa harus merupakan media ekspresi... dalam puisi, di mana bahasa merupakan bahasa ekspresi atau penghubung pengalaman intuisi penyair, mawar mungkin imaji atau simbol yang melukiskan kehidupan. Di situ keotomatisan arti sebuah kata dipreteli dan diganti dengan arti lain yang unik dan segar, serta hidup. Atau arti kata diperluas agar mampu menampung kebenaran kreatif yang bersegi-segi.”
Ketiga, baik dalam puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, maupun Goenawan Mohamad,
Sapardi Djoko Damono dan Abdul Hadi W.M. memiliki kesamaan dalam hal menggunakan
bahasa sederhana di dalam puisinya. Mengapa kesederhanaan menjadi
pilihan pengucapan puisi imaji? Ezra Pound (via Wachid B.S., 2002: 134), seorang
tokoh imajisme, menjawab
persoalan itu, “Kami beranggapan bahwa puisi harus menggambarkan hal-hal
yang khusus dengan jelas dan tidak berurusan dengan hal-hal yang umum dan
kabur, bagaimanapun enak kedengarannya.” Itulah sebabnya, Herman J. Waluyo (2010: 52) mengungkapkan dengan
bagus aliran imaji dalam puisi ini tentang realitas.
“Kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual yang jernih dan jelas. Kata-kata dipilih secara cermat dan efisien... Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari-hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-kata dipandang segala-galanya. Di samping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata itu mendukung imaji penyair yang hendak diungkapkan... Puisi kaum imajis sering mirip prosa.”
A. Mustofa Bisri tidak pernah membicarakan
perpuisian ketiga penyair sekaligus kritikus tersebut, yaitu Goenawan Mohamad,
Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M., tetapi mengatakan bahwa ia belajar dari
berbagai puisi karya penyair Indonesia.
“Kalau saya ditanya siapa-siapakah penulis atau penyair yang saya anggap berhasil, saya akan mengatakan bahwa hampir semua penyair yang saya kenal, saya anggap berhasil. Bahkan harus saya akui, kepada merekalah sedikit banyak saya belajar menulis puisi. Justru mereka yang cermat meneliti karya-karya saya, insya Allah, akan dapat merasakan adanya berbagai pengaruh dari banyak penulis atau penyair lain di dalamnya. Ada “puisi” saya yang “berbau Ka’ab”, “berbau Ma’arry”, “berbau Khayyam”, “berbau Busheiry”, “berbau Iqbal”, “berbau Ibn “Shabaq”, “berbau Syauqy”, “berbau Goenawan”, “berbau Emha”, “berbau Danarto”, “berbau Taufiq”, “berbau Zawawi”, “berbau Sapardi”, “berbau Yudhistira”, dan sebagainya, dan seterusnya...” (Bisri, 1996: x).
Beberapa
prinsip tentang puisi imaji yang sering berupa puisi suasana tersebut
juga muncul dalam perpuisian A. Mustofa Bisri sekalipun dengan beberapa koreksi
karena kekhasan perpuisian A. Mustofa Bisri.
Pertama, koreksi tersebut terutama dilakukan
untuk menghindari penulisan sajak-sajak yang merupakan pernyataan. Jika sajak-sajak yang
merupakan pernyataan itu dimaknai sebagai pernyataan verbal, perpuisian
A. Mustofa Bisri tidaklah termasuk yang demikian. Namun, jika hal itu dimaksudkan
dengan apa yang disebut oleh Goenawan Mohamad sebagai puisi platonik
atau puisi ide, hal tersebut justru dominan di dalam perpuisian A.
Mustofa Bisri. Gagasan atau ide justru dihadirkan oleh A. Mustofa Bisri karena
sudut-pandang transendentalnya melalui aku-lirik terhadap realitas. Realitas tidak perlu
diindah-indahkan, baik di dalam maupun di luar realitas puisi karena hal itu
berpengaruh pada penyikapan terhadap bahasa sajak. Bagi A. Mustofa Bisri,
bahasa sajak disikapi sebagaimana “Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata”. Bahkan,
sudut pandang aku-lirik yang transendental itu pun tidak saja ditampilkan melalui
bahasa sajak yang simbolik, tetapi juga dinyatakan secara langsung seperti dikutip
selengkapnya berikut ini.
Aku Tak Akan Memperindah Kata-Kata
Aku tak akan memperindah
kata-kata
Karena aku hanya ingin
menyatakan
Cinta dan kebenaran
Adakah yang lebih indah dari
Cinta dan kebenaran
Maka memerlukan kata-kata
indah?
1997
(Gandrung, 2000: 21)
Kedua, Sama halnya dengan menyikapi benda-benda dan
peristiwa di dalam sajak, hal itu pun dalam beberapa fenomena perpuisian A.
Mustofa Bisri juga disikapi secara unik. Di dalam perpuisian ketiga tokoh puisi
imaji Indonesia tersebut benda-benda dan peristiwa disikapi sebagaimana yang
dikatakan oleh Goenawan Mohamad, yakni “... imaji muncul atau bermunculan
bebas--mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana
pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu mandiri
sebagai bagian yang hidup dari latar (set)
yang memberi aksen pada suasana, bukan diambil dari alam benda dengan disengaja
sebagai bahan perbandingan bagi suatu gagasan.” Akan tetapi, di dalam
perpuisian A. Mustofa Bisri, benda-benda dan peristiwa, sekalipun tidak
dengan disengajakan sebagai lambang, karena sudut pandang berpikir terhadap
alam itu bersifat maknawi sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an tentang
fenomena alam, realitas-realitas di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri tetaplah
terbaca atau dibaca sebagai ayat-ayat kauniyah,
lambang eksistensi Tuhan Yang Maha Esa melalui ciptaannya, alam manusia, alam
tumbuhan, alam hewan, dan alam-alam yang lain dalam konteks kesemestaan. Hal
inilah yang membedakannya dari perpuisian Goenawan Mohamad bahwa realitas
terbebas atau dibebaskan dalam kaitannya dengan lambang. Hal tersebut sungguh
tidak mungkin sebab sebagaimana yang diungkapkan oleh Paul Ricoeur dalam
mendefinisikan teks bahwa teks adalah wacana yang dibakukan melalui bahasa.
Dengan demikian, segala penyebutan atas realitas melalui bahasa adalah
memunculkan pemahaman, penafsiran, dan penjelasan. Dengan demikian, sesuatu
dari realitas itu pastilah dipersepsikan dan diposisikan sebagai lambang, bukan
hanya latar (set).
Ketiga, benda-benda dan peristiwa di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri tetaplah
ada relasinya dengan manusia sekalipun manusianya tidak bermaksud merekayasa
makna keberadaannya sebab sudut pandang transendental melalui Al-Qur’an
berulang kali menegaskan bahwa Tuhan menciptakan segala dan semua ini, yakni bumi,
manusia, dan alam semesta tidaklah sia-sia. Hal itulah yang menjadi penyebab benda-benda
dan peristiwa di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri juga hadir secara unik. Dari
segi sejarah sastra, apa yang dilakukan oleh A. Mustofa Bisri adalah estetika
meneruskan tradisi puisi imaji. Namun, di segi
lain, ia memiliki sudut pandang tersendiri di dalam menyikapi estetika tersebut
terkait dengan etika sudut pandangnya yang transendental profetik itu.
Perpuisian A. Mutofa Bisri terkait
dengan tradisi puisi imaji juga sama dalam hal
menggunakan bahasa sederhana di dalam puisi, tetapi dengan beberapa perbedaan
sudut pandang.
Di dalam perpuisian imaji Indonesia, kesederhanaan merupakan gaya ungkap
bahasa sajak dengan maksud seperti yang dikatakan oleh Ezra Pound, “Kami beranggapan bahwa
puisi harus menggambarkan hal-hal yang khusus dengan jelas, dan tidak
berurusan dengan hal-hal yang umum dan kabur, bagaimanapun enak kedengarannya” atau sebagaimana yang
dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono, “Kata-kata tidak sekedar
berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair.
Meskipun perannya sebagai penghubung itu tak bisa dilenyapkan, tetapi yang
utama ialah sebagai objek
pendukung imaji.”
Kesederhanaan di dalam perpuisian A.
Mustofa Bisri itu disebabkan oleh sudut pandang penyair yang terepresentasikan
melalui aku-lirik bahwa tiada suatu realitas pun jika ia tidak ilahiah. Hal itu
merupakan perluasan dari pemaknaannya atas l? il?ha illall?h ‘tiada
Tuhan selain Allah’. Karena Allah itu indah, setiap ciptaan Allah merupakan manifestasi
dari keindahan Allah, innall?ha jamil
wa yuhibbuj jamal ‘sesungguhnya Allah itu indah
dan mencintai keindahan’. Sudut pandang demikian terhadap realitas keindahan
yang menunjukkan eksistensi keberadaan Allah dihadirkan oleh A. Mustofa Bisri
di dalam sajaknya “Aku Tak Akan Memperindah Kata-Kata”.
Dengan demikian, tradisi puisi imaji
di Indonesia sedari sajak Amir Hamzah, ke Chairil Anwar, ke Goenawan
Mohamad, ke Sapardi Djoko Damono, dan ke Abdul Hadi W.M., tetaplah dihidupkan di dalam perpuisian
A. Mustofa Bisri sebagaimana, “Suatu keruntutan dari gambaran pikiran
dan perasaan penyair, yang boleh jadi menyertakan aku-lirik atau tidak, untuk
secara urut memperhitungkan setting; peristiwa tidak dramatik, justru
dalam kedatarannya bisa menggambarkan dunia dalam aku-lirik melalui kata dan
kalimat.” Akan tetapi, karena pandangan-pandangan
aku-lirik di dalam puisi merupakan representasi transendetal profetik dari A.
Mustofa Bisri, sikap-sikap berbahasa sajak A. Mustofa Bisri tidaklah terlalu berorientasi
estetik, tetapi berangkat dan berakhir pada tujuan pemaknaan atas realitas itu sebagai
representasi dari keindahan Allah.
Realitas
alam merupakan keindahan semesta sebagai bukti dari eksistensi Allah. Sementara
itu, realitas budaya merupakan keindahan yang dibangun oleh manusia demi menyejahterakan
kehidupan manusia. Keduanya, baik realitas alam maupun realitas budaya
dihadirkan oleh A. Mustofa Bisri di dalam puisinya, bukan saja sebagai bagian yang hidup dari latar (set)
yang memberi aksen pada suasana (perpuian Goenawan Mohamad), bukan
pula sebagai objek pendukung imaji (perpuisian Sapardi Djoko Damono).
Akan tetapi, realitas alam dan realitas budaya yang dihadirkan di dalam perpuisian A. Mustofa Bisri senapas dengan sudut pandang Abdul Hadi W.M., yaitu “... bahasa merupakan bahasa ekspresi atau penghubung pengalaman intuisi penyair, mawar mungkin imaji atau simbol yang melukiskan kehidupan ... atau arti kata diperluas agar mampu menampung kebenaran kreatif yang bersegi-segi.” Pengalaman intuisi penyair ini sangat jelas diperankan oleh gagasan atau ide penyair sehubungan dengan bagaimana ia membaca realitas. Penyair membaca realitas dengan iqra’ bismirabbikal ladz? khalaq ‘membaca dengan nama Tuhanmu Yang Maha Mencipta, semua realitas ialah ilahiah’. Dengan demikian, gagasan estetika puisi imaji dalam menyikapi bahasa yang utama sebagai pendukung imaji itu sebagaimana ditampilkan dalam bait pertama sajak “Al-‘Isyq” yang mendapatkan pemaknaan ke arah imaji-imaji kreatif yang meninggi, yang transendetal karena pengalaman intuisi penyair dalam membaca realitas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam bait kedua, yang kemudian diakhiri dengan pertanyaan, “...//Apakah cinta kita tak utuh/Mengapa kita tak juga bersetubuh?” Sekalipun diakhiri dengan pertanyaan, itu bersifat retoris yang tidak membutuhkan jawaban sebab kesadaran transendental menjadikan cinta itu utuh yang menghadirkan peleburan antara realitas budaya dan realitas alam, antara realitas lahir dan realitas batin, serta antara manusia dan Tuhan. Sajak tersebut dikutip selengkapnya berikut ini.
Al-‘Isyq
Bintang-bintang ceria. Kereta senja.
Tanganku yang manja.
Bangku-bangku tua. Betismu yang belia.
Warung siang. Majalah-majalah usang.
Lututmu yang merangsang.
Dingklik antik. Jemariku yang menggelitik.
Malam senyap. Kamar pengap.
Purnama di genting kaca. Pahamu yang menyala.
Mentari berseri. Gang-gang berkelok.
Pinggulmu yang elok.
Becak berlari. Kelelakianku yang menari.
Bus-bus nakal. Tiang-tiang terminal.
Nafsuku yang banal.
Jalan panjang. Lehermu yang jenjang.
Gardu telpon. Hujan rintik.
Rambutmu yang cantik.
Pasar asing. Dadaku yang bising.
Rumah kuna. Dipan sederhana.
Mataku yang terpesona.
Bantal tanpa warna. Tidurmu yang lena.
Baju hitam. Kutang kusam. Celana dalam.
Matamu yang terpejam.
Ketiak apak. Mulut mendongak. Puting papak.
Bulu-bulu rampak.
Setanku yang
merangkak.
Langit fajar.
Mushalla terlantar. Tikar terhampar
Sujudku yang hambar.
Semua saksi
Tak mencatat
kencan-kencan kita
Juga tanda-tanda
sayang
Yang kutebar di sekujur dirimu
Sirna entah kemana.
Sementara hingga kini
Bau lipatan-lipatan
tubuhmu
Masih mengganggu
perjalanan
Ibadahku.
Apakah cinta kita tak
utuh
Mengapa kita tak juga
bersetubuh?
1399/1415
(Gandrung, 2000: 15—16)
Daftar Pustaka
Affifi, Abu al-Ala. 1964. The
Mystical Philosopy of Muhyi al-Din al-‘Arabi. Cambridge: Cambridge
University Press.
Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi.
1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Jakarta Rofi’ ‘Utsmani. Bandung:
Penerbit Pustaka.
Al-Qur’an dan
Terjemahannya. 1983/1. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.
Aveling, Harry. 2003. Rahasia
Membutuhkan Kata (Secrets Need Words). Magelang: Indonesiatera.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981.
O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Bisri, A.
Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi
Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.
________. 1993. Tadarus (Antologi Puisi). Cet.II, 2003. Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa.
________. 1995. Pahlawan dan Tikus (Kumpulan Puisi). Cet.II, 2005. Yogyakarta:
Hikayat.
________.
1995. Rubayat Angin dan Rumput
(Kumpulan Puisi). Jakarta: Majalah Humor bekerja sama dengan PT Matra Multi
Media.
________.
1996. Wekwekwek (Sajak-Sajak
Bumilangit). Surabaya: Risalah Gusti.
________.
1998. Gelap Berlapis-lapis. Jakarta:
Fatma Press.
________.
2000. Sajak-sajak Cinta, Gandrung.
Rembang: Yayasan al-Ibriz.
________.
2002. Negeri Daging. Yogyakarta:
Bentang Budaya.
________.
2006. Aku Manusia. Rembang: CV
MataAir Indonesia.
________.
2008. Album
Sajak-Sajak A. Mustofa Bisri. Ed. Ken Sawitri. Surabaya: MataAir.
________.
2009. “Meneguhkan Islam Budaya Menuju Harmoni
Kemanusiaan”, Pidato Penganugerahan
Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam Bidang Kebudayaan Islam. Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
_________.
2016. Saleh Ritual Saleh Sosial. Yogyakarta:
Diva Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sihir
Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dewan
Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh
Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.
Hadi
W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi:
Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.
________.
2001. Tasawuf yang Tertindas: Kajian
Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit
Paramadina.
________.
2004. Hermeneutika, Estetika, dan
Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta:
Mahatari.
Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.
_______. 1985-b. Buah Rindu.
Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.
Hartoko,
Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di
Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah
Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
Ismail, Taufiq. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan
Ananda.
Izutsu, Toshihiko. 2016. Sufisme: Samudra Makrifat Makrifat Ibn
‘Arabi. Jakarta: Mizan.
Jassin,
H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern
dalam Kritik dan Esai (1). Jakarta: PT Gramedia.
_______.
(Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar
Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.
_______. 2013. Pujangga Baru.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI., 1988.
Mohamad. Goenawan. 1971. Pariksit.
Jakarta: Litera.
Rachman,
Budhy Munawar. “Pengalaman Religius dan Logika
Bahasa”. Jakarta: Ulumul Qur’an, No.
6, Juli—September 1990.
Rendra. 1984. Mempertimbangkan
Tradisi. Cet. II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Schimmel, Annemarie. 2005. Menyingkap Yang-Tersembunyi. Terj. Saini K.M. Cet. I. Bandung: Mizan.
Wachid
B.S., Abdul. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri. Yogyakarta:
Grafindo Litera Media.
________.
2008. Gandrung
Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Waluyo,
Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi
Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah penyair, lulusan Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan dosen di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.