Sastra Gerakan dan Suara dari "Luka"

ha ha ha

          ("Luka" Karya Sutardji Calzoum Bachri)

Pada era Orde Lama dan Orde Baru, lalu jelang Reformasi, sastra lahir sebab situasi dan kondisi yang sangat represif. Karya-karya sastra yang hadir penuh meradang. Itu adalah situasi saat penyair merasa "sakit" dan "terluka" menyaksikan persoalan sosial masa itu.

Batin yang luka, berulang luka, pada akhirnya memang tiada lain untuk menghadapinya, kecuali kita menertawakannya ("ha ha ha" [SCB]).

Sutardji benar. Apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi situasi yang "banal", kekuasaan yang "bebal", dan rakyat "dikunci" pikiran dan gerakannya? Dalam segala aspek, bahkan lebih dari seorang kongkow yang dicurigai dan digelandang.

Sajak-sajak "luka" atau sajak yang lahir dari masyarakat yang "sakit" dan "terjepit" bermunculan. Sebut saja puisi-puisi Rendra, Emha Ainun Nadjib, Wiji Thukul, ataupun cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma, utamanya dalam Saksi Mata.

Sastra gerakan yang menolak kemapanan rezim, melebar pada ketidakpercayaan terhadap "pusat" yang bernama Jakarta. Adalah Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) pada dasawarsa 1985-an yang dipelopori, antara lain, Kusprihanto Namma, Triyanto Triwikromo, Sosiawan Leak, Beno Siang Pamungkas, dan Wijang Warekh yang membuka ruang penolakan atas pusat dalam kesenian.

RSP kala itu, setahu saya, menolak pusat yang seakan menjadi penentu bagi seniman/kesenian yang ada di daerah. Belum sah rasanya jika karya seniman daerah belum masuk/diterima media Jakarta atau belum disebut seniman Indonesia apabila belum dan/atau diundang tampil di Taman Ismail Marzuki.

Jauh sebelum gerakan RSP, titimangsa 1971, penyair Sutardji juga "meradang". Melalui puisi "Mana Jalanmu" dalam O Amuk Kapak, Presiden Penyair Indonesia itu menulis sajak sebagai berikut.

ikan membawa air
                   dalam mulut
            taman
bangku ngantuk
            angin bernapas sendirian
dedaunan harap
                    agar
angin menggoyanggoyang pinggul mereka

bulan senyum
                ikan mencubit pipinya
jalan bergegas membawa orang
                sedang kau kehilangan jalanmu
                                                (mana jalanmu 

bulan sebentar lagi habis
                diganggu ikan
                                cepat cari jalanmu!
lekas panggil
                siapa tahu
                            itu jalanmu 

kemarin perigimu telah dicuri orang
                    (untung masih ada kolam)
                                ayo kejar
                                                tanyakan!

            — hei jalan siapa kau bawa?
                        — akukah itu?
                    (gelap)
                            mana jalan
                                    mana orangnya?
                    bajingan!
                                bulan ditelan ikan
1971

Dengan menggarisbawahi bajingan! yang dipasang di atas baris terakhir, hal itu mengingatkan masalah teranyar di Indonesia, yakni pernyataan Rocky Gerung kepada Joko Widodo, Presiden RI.

Sajak-sajak Rendra, sebagai gerakan sastra, juga "meradang" kepada penguasa. Misalnya, sajak "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta" adalah bentuk keberpihakan penyair kepada masyarakat kelas bawah. 

Suara luka dari penyair ini bisa kita baca di sejumlah puisinya. Karena pilihan Rendra dalam berkesenian, ia menjadi "ancaman" penguasa Orba, lalu diburu. 

Namun, Rendra punya nasib baik. Berbeda halnya dengan Wiji Thukul yang tidak tertemukan sampai sekarang. Puisi-puisi Thukul memang menyuarakan ketertindasan masyarakat bawah. Sampai-sampai Thukul berujar, "Hanya satu kata: lawan!"

Sastra gerakan memang masih tetap ada. Hubungan antara Arief Budiman, Ariel Heryanto, dan sastra kontekstual itu nyata dan pernah menjadi fenomena di Tanah Air. Sastra kontekstual kala itu seakan menjadi lawan dari sastra transendental yang dimotori Abdul Hadi W.M.

Selain itu, Sosiawan Leak mengusung "Puisi Menolak Korupsi" (PMK) yang sampai saat ini masih bergaung. Sebanyak delapan jilid buku puisi membuktikan bahwa PMK masih menggeliat. Yang teranyar adalah gerakan sastra PMK yang menyiapkan antologi puisi "Mencari Presiden Anti Korupsi" (jilid ke-9) yang ternyata didukung banyak penyair dan pegiat sastra di Indonesia.

Sastra (puisi) gerakan yang dilakukan PMK, kini sudah mencapai delapan jilid, adalah himpunan puisi yang menolak rasuah. Gerakan ini pernah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kerja sama ini dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan puisi-puisi yang menolak korupsi bagi kalangan pelajar/siswa di Indonesia.

Gambaran "luka" yang terjadi di masyarakat karena para maling uang rakyat bisa disimak dalam puisi berikut.

     singgahlah ke negeriku
      negeri yang tak ada dalam pikiranmu
      negeri yang tentram dan damai
      negeri di mana semua masalah selesai
      sebab gampang menemukan akarnya
      gampang merampungkannya
      ; uang!

(Sosiawan Leak, "Negeri Uang" PMK, Mei 2013, hlm. 330)

Tentang Angelina Sondakh, politisi perempuan yang melakukan korupsi, dapat disimak pada puisi ini.  

Sus S. Hardjono

Kupu Kupu di Rambutmu
: Angelina Sondakh

kupu-kupu cantik di rambutmu
duhai cantik
di dalam bekas proyek-proyekmu
sekali hinggap tinggalkan telurnya
menjadi ulat bulu 

kupu-kupu di atas mahligai rambutmu
menjadi telur di atmmu, pesta dan senyum bibirmu
kau khianati kartini
kau sobek surat suratnya
kau remas angannya 

dan kau bakar buku habis gelap terbitlah terang
kau singkap kain dan kerudung
yang membebetnya
agung
terjatuh di kolong jembatan
menjadi bau dan kotor
kupu kupu hinggap di lentik matamu
tinggalkan ulat bulu
menjijikkan
aku malu menyebutmu Kartini 

parasmu cetar membahana
otakmu kepompong luka
meninggalkan ulat bulu
yang memakan buku-buku dan silsilah
kaumku

sragen, 2013

Kedua puisi di atas saya petik dari antologi puisi Menolak Korupsi sebagai karya sastra gerakan ketika "tradisi" maling uang negara menjamur di kalangan penguasa dan politisi di Indonesia.

Antologi PMK didukung, antara lain, oleh Agus R. Sarjono, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, Acep Syahril, dan Syarifudin Arifin.

Setiap rezim ternyata hampir sama; kekuasaan senantiasa tak berjarak dengan perilaku korup(si). Masyarakat yang sadar dan sehat akal akan menolak penyimpangan perilaku yang merusak kenyamanan dan keadilan manusia. Penyair (sastrawan) yang dianugerahi kepekaan sosial tentu merasa "luka" dan teriakan yang ditulis adalah "suara lain" dari pemberontakan massal.

Puisi-puisi yang menyuarakan "luka" rakyat yang terzalimi, bahkan kelakuan memperkaya diri sendiri menjadi "jemaat" dan sepertinya tak membuat jera mereka walau dibui dan dimiskinkan. 

Sastra gerakan juga digelorakan oleh komunitas puisi esai yang dimotori Denny J.A. Bahkan, gerakan ini hingga "menular" ke luar Indonesia. Betapa pun gerakan puisi esai dicibir, itu bisa subur karena uang. Namun, puisi-puisi dari gerakan sastra ini mengacu pada persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Bahkan, dasar dari gerakan puisi esai ini bersandar pada pemberitaan di media sebagai landasan menulis. Artinya, itu berangkat dari fakta.

Ini bisa pula kita simak dari sejumlah gerakan sastra pada masa pandemi Covid-19. Saya memperkirakan lebih dari antologi puisi diterbitkan dalam masa pandemi. Salah satu keterlibatan para wartawan (jurnalis) yang selama ini menekuni sastra adalah menerbitkan antologi puisi Covid-19. Remy Sylado diberi tempat menjadi pengulas.

Penggagas sastra gerakan dari kaum jurnalis ini, di antaranya, ialah Wina Armada, Eka Budianta, Beny Benk, Fakhrunnas M.A. Jabbar, Denny Kurnia, dan Sihar Ramses Simatupang. Meski hanya menerbitkan satu antologi puisi (buku elektronik [ebook]), gerakan para wartawan penyair Indonesia menjadi sejarah yang tidak akan terhapus.

Dapur Sastra Jakarta yang dikomando oleh Remmy Novaris D.M. juga tak ingin ketinggalan mencatat "samparnya kiwari dengan menerbitkan antolog puisi Pandemi Puisi: Antologi Bersama Melawan Covid-19 (Mei, 2020). Antologi ini menghimpun 459 penulis puisi dengan ketebalan buku 530 + xxiv. Itu cukup tebal untuk ukuran buku elektronik (dalam PDF).

Tentang "petaka" Covid-19, Joel Pasbar menulis puisi berikut sebagai bentuk jeritan luka.

Karena Corona

Dalam rahim kecemasan, israil menjelma tali pusar
berputar melilit leher. Mencekik napas-napas
ketakutan, tersengal. Seakan ajal bertengger di teguh
jantung ibu. Lambat nian pintu menguak,ketuban telah banyak gerogoti jiwa. Dalam
petuah, abai jua keyakinan diri disungkup ragu. 

Kaki menghentak dalam pelan putaran jarum jam.Tangan dihimpit sempitnya ruang, pengap sekujur
dekap lupa menampung harap. di mana ibu
meletakkan surga, ketika berlari bersama orang-orang mencari Tuhan di jalanan terang yang lengang? 

Sepulang gaduh meramaikan pasar-pasar, tempat hiburan, rumah-rumah tak bertungku. Lengking tangis itu akankah sebuah kelahiran? Atau kematian dalam tawa kehilangan?

Rumah duka, Maret 2020

Sastra gerakan belakangan ini seperti menjamur. Keuntungan dari cara ini adalah sastra makin memasyarakat dan bisa melibatkan banyak kalangan, "Yang bukan penyair boleh ambil bagian."

Terutama pada masa Covid-19, banyak bermunculan gerakan dalam sastra di Indonesia. Mereka sampai memanfaatkan media sosial, seperti FB dan IG. Komunitas ini hanya melakukan pertunjukan seni.

Kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng sawit, memanggil kegelisahan para penyair Indonesia. Dengan digagas Mustafa Ismail, saya, dan Nanang R. Supriyatin, kami menghimpun para penyair, di antaranya, Sapto Wardoyo, D. Zawawi Imron, Fitri Angraini, Riki Utomi, Agusri Junaidi, Acep Syahril, dan Tarmizi Rumahitam. Antologi ini bertajuk Minyak Goreng Memanggil. Buku ini diluncurkan di PDS H.B. Jassin, Jakarta.

Ternyata kelangkaan minyak sawit telah menimbulkan kecemasan di masyarakat. Hal itu ditambah dengan nyinyirnya Megawati Soekarnoputri menanggapi fenomena sosial di kalangan ibu-ibu. Mega yang mungkin tak merasakan langsung situasi saat para ibu mengantre untuk mendapatkan minyak goreng, menerima kecaman atas tanggapannya.

Cukup lama masalah minyak goreng ini berlangsung. Masyarakat mulai kelimpungan mengganti bahan menggoreng dengan apa. Rakyat jadi "luka" dan penyair menulisnya dengan *suara lain" dalam puisi.

  aku mencari rendra dalam kepalamu
  tapi cahaya mata itu telah mencair bersama
                                     buku-buku
  yang kau baca semalam, buram dan terasing
  di seberang sungai orang-orang membawa
                                    kentongan 

        ada perempuan yang mati dini hari tadi
        setelah berhari-hari merebus batu

(Kutipan sajak "Mencari Rendra" karya Mustafa Ismail, hlm. 72)

Dalam percakapan dengan Mustafa Ismail saat ingin menggagas penerbitan antologi ini, saya memahami bahwa pada saat persoalan sosial dan "menjeritnya" masyarakat yang disebabkan kesenjangan sosial, sejatinya penyair jangan diam dan meninggalkan persoalan tersebut.

Ketika penguasa tak lagi berpihak pada "wong cilik", keberpihakan itu harus ditunjukkan penyair (seniman). Sindiran Rendra sebagai "penyair salon" dapat dipahami sebagai sindiran menohok bagi penyair yang cuma bicara anggur dan bulan. Penyair mesti berpijak di bumi dan mendengar (merasakan) pula detak rakyat terluka.

Penyair diharapkan berada dalam arus perubahan. Untuk ke sana, diperlukan cara, yakni sastra gerakan. Tentu saja kata "sastra gerakan" jangan diartikan sebagai agen perubahan atau semacam NGO (lembaga swadaya masyarakat [LSM]). Gerakan ini hanya rumah untuk menyatukan persepsi dan misi agar sama-sama berjuang.

Misalnya, soal minyak goreng yang langka dan harganya selangit, perlu ada sikap dari penyair. Hal itu bukan untuk bersombong. Ternyata persoalan minyak goreng ini ada otaknya" yang kemudian ditangkap KPK.

Sastra gerakan juga dilakukan penyair Syaifuddin Gani (Kendari, Sultra) dengan Komunitas Pustaka Kabanti. Sebelumnya, ia membentuk Teater Sendiri, juga Peduli Kota Lama. Ketiga komunitas yang digagas Syaifuddin tersebut semata untuk merayakan sastra ke tengah-tengah masyarakat.

Dari gagasan itu, maka sastra bukan hanya asyik-masyuk hanya dinikmati kalangan sastrawan sendiri. Ibarat jeruk makan jeruk.

Suka atau tak suka, sememangnya sastra (puisi) gerakan harus disemangati lagi. Tentu itu dilakukan dengan menangkap atau melempar isu sosial (kesenjangan atau ketidakadilan) yang dirasa masyarakat. Dengan "luka", sense of sosial atau sejenis itu bisa menjadikan sastra sungguh-sungguh berpihak. Jika tidak, keberpihakan penyair kepada rakyat kecil makin jelas. Itu bukan malah asosial

Apa yang menjadi tema Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XII adalah "Luka, Cinta, Damai". Sebagian jalan ke arah itu: puisi yang berpihak kepada orang-orang terluka, yakni masyarakat yang disebut wong cilik yang digembor-gemborkan perlu diperjuangkan.

Saya kira itu dan demikianlah sebab jika terlalu banyak cakap, akan menjadikan diri saya "algojo" dalam majelis berharga ini. Wasalam.

Jelang Kemerdekaan RI, Lampung, 13 Agustus 2023

___________

**) Bahan diskusi pada Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XII di Kuala Lumpur, Malaysia, 13--15 Oktober 2023.

Pada tahun 2022 ia meluncurkan buku puisi terbitan Siger Publisher, yakni Nuwo Badik, dari Percakapan dan Perjalanan, Mendaur Mimpi Puisi yang Hilang, Ketika Aku Pulang, dan Masuk ke Tubuh Anak-Anak (Pustaka Jaya, Bandung) serta pada tahun 2023 meluncurkan Biografi Kota dan Kita (April 2023).

Pada tahun 2015 Isbedy pernah berada di Belanda selama sebulan, lalu lahirlah kumpulan puisi November Musim Dingin.

Buku puisinya, Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua, termasuk lima besar pilihan Majalah Tempo (2019) dan Kini Aku Sudah Jadi Batu! terpilih sebagai satu dari lima kumpulan puisi terbaik oleh Badan Bahasa, Kemendikbud RI (2019)

Isbedy Stiawan ZS

Penulis adalah sastrawan asal Lampung. Buku-buku dan karya puisinya kerap memenangkan lomba/sayembara atau masuk sebagai nomine.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa