Solusi untuk Gerakan Literasi pada Masa Digital
Pada Suara Guru Merdeka bersama P2G dibahas berbagai
tema secara teratur terkait dengan pendidikan.
Kebetulan, saya mendapatkan tema "Mengurai Tantangan Literasi
Digital". Pertanyaan pokoknya adalah pada masa teknologis ini, apa
tantangan gerakan literasi dan bagaimana seharusnya kita mendenyutkan gerakan
literasi? Saya teringat sewaktu saya masih SD. Kala
itu, buku sangat jarang. Saya mengingat bahkan dengan sangat mendetail bahwa
selain buku mata pelajaran, di sana hanya ada 6 buku
bacaan lain dengan perincian, yaitu
2 buku cerita dan 4 buku tutorial. Saya membaca habis semua buku itu.
Teman-teman saya juga rata-rata demikian.
Buku-buku itu cukup menginspirasi kami. Buku tentang tutorial
berenang, misalnya, menggerakkan kami supaya ramai-ramai ke rawa yang cukup
luas. Saya sendiri harus berjalan kaki sejauh 2 km untuk mencapai rawa dan
mempraktikkan isi buku tersebut karena tak mungkin mempraktikannya di kali.
Seminggu sekali, ketika kami jajan sepulang dari gereja
dan ada bungkusan koran atau buku, kami akan membaca bungkusan tersebut. Saya
sendiri sering mengutip bungkusan yang jatuh di jalan untuk dibaca. Setelah
sekolah di SMP Katolik di pusat kota, saya merasa beruntung karena di sana ada
perpustakaan. Banyak orang meminjam buku untuk dibaca pada masa senggang.
Saya sangat puas sewaktu SMP dengan banyaknya jumlah bacaan
tersebut. Saya sangat sering meminjam buku. Malah, jatuh-jatuhnya saya malah
mencuri buku dari perpustakaan. Saya masuk lagi ke SMA Seminari di Siantar.
Buku makin banyak. Kala itu, guru mewajibkan kami meminjam buku rohani dan buku
umum per minggunya. Saya sudah tak mencuri buku lagi, kecuali bukunya memang
benar-benar menarik. Semangat membaca saya pun makin meningkat. Saya malah
lebih mengutamakan membaca koran atau buku daripada mata pelajaran. Pada
akhirnya, saya menjadi penulis dan bagian redaksi majalah sekolah.
Tantangan
Literasi Digital
Saya makin termotivasi ketika banyak alumnus memberikan
kesaksian mereka setelah mengelola majalah. Beberapa menjadi wartawan Kompas,
seperti Simon Saragih. Barangkali karena banyak membaca, dengan mudah saya
diterima di PTN tanpa persiapan sama sekali. Saya bahkan tak pernah belajar
dari buku bank soal, apalagi bimbel. Setelah diterima di PTN, saya dan
teman-teman aktif berkegiatan literasi. Pada semester pertama, kami sudah
menerbitkan majalah baru untuk jurusan. Redaksi majalah
itu kini sudah ditutup. Di organisasi, saya dan
teman-teman juga menerbitkan majalah dan mengedarkannya ke
sekolah-sekolah Katolik di Medan.
Saya sengaja membeberkan cerita tersebut sebagai perbandingan
dengan siswa-siswi saat ini. Saya mengamati bahwa anak SD tak berminat membaca
lagi. Meskipun terdapat banyak
pilihan buku, mereka lebih memilih menonton video atau bermain
gim. Anak SMP juga demikian. Mading tak lagi diisi dengan karya siswa, tetapi
hanya dengan pengumuman. Gerobak baca tak lagi dihiraukan. Anak SMA juga
identik. Saya pernah bertanya kepada siswa dengan catatan anonim terkait dengan apakah
mereka akan mencuri buku jika perpustakaan sedang tidak dijaga? Jawaban mereka
sangat mengejutkan saya: ke perpustakaan saja tidak tertarik, apalagi
mencuri buku?
Setali dengan itu, ketika penjaga perpustakaan ditanya, jawabannya
adalah siswa sangat jarang datang ke
perpustakaan. Jika pun datang, mereka hanya mengambil
dan mengembalikan buku pelajaran. Artinya, selain buku bank soal persiapan
masuk PTN, jika belajar tanpa buku paket, niscaya siswa tak akan membaca buku
apa pun. Inilah bentuk tantangan literasi digital kita. Sangat mudah untuk
berspekulasi jikalau kiranya saat ini pembelajaran secara sepenuhnya
menggunakan moda daring. Buku
akan menjadi benda yang tak akan pernah disentuh, apalagi dibaca generasi muda.
Dalam hal ini, digitalisasi pendidikan akan menjadi ancaman tersendiri untuk minat baca bangsa kita.
Pasalnya, jika digitalisasi dilakukan secara masif, buku
pasti tak akan ada lagi. Orang mungkin berpikir bahwa alih wahana dari cetak ke
digital tak akan mengurangi minat baca. Justru, alih wahana seperti itu akan
membuat siswa tak perlu menjinjing tas lagi. Dengan demikian, hanya
dengan bermodalkan gawai, mereka bisa membawa banyak buku bacaan elektronik.
Sekilas, itu terlihat makin
mudah dan simpel. Hal itu berbeda dengan kisah heroik pejuang
bangsa kita. Dikabarkan kepada kita bagaimana Tan Malaka dan Mohammad Hatta
harus tertatih-tatih membawa buku ketika penjajah datang. Mereka hanya
membawa sebagian dan harus meninggalkan
sisanya.
Andai buku itu menjadi elektronik,
mereka tak akan kelimpungan dan tak akan kehilangan buku. Pertanyaan
mendasarnya tentu sederhana: apakah meski tak menjinjing buku lagi, anak didik pasti membaca? Tom Nichols mempunyai
jawaban tersendiri. Dalam buku Matinya Kepakaran, Tom Nichols
menyebutkan bahwa tak ada lagi perbedaan pendapat antara ahli dan anak kecil.
Hal itu menjadi bukti minimnya
minat baca masyarakat sehingga suara anak kecil dan suara pakar tak ada
bedanya. Pada zaman yang makin
terkoneksi, bacaan tersebar sangat banyak. Berjuta-juta informasi dapat
ditemukan dengan sangat mudah.
Namun, jutaan informasi tersebut kini saling tindih.
Akibatnya, dibutuhkan
konsentrasi yang penuh untuk mencari informasi yang akurat. Sayangnya, kita
cenderung lebih menyukai sensasi daripada esensi. Kita lebih suka membaca judul
provokatif daripada edukatif. Malah, ada gejala bahwa kita tidak membaca sama
sekali dan langsung membagikannya
ke grup-grup
pertemanan media sosial. Kita tak lagi suka membaca di tengah gempuran bahan
bacaan. Majalah The Economist pada terbitan 10 Maret 2018 menyindir
keadaan hari ini dengan subjudul “A lie is halfway
round the world while the truth is still putting on its shoes”.
Godaan
Digital
Berdasarkan penelitian oleh Laboratorium Mesin Sosial di
Massachusetts Institute of Technology (MIT),
terhadap kicauan di Twitter yang berisi informasi bahwa
ternyata penyebaran berita
benar membutuhkan
waktu enam kali lebih lama daripada
berita bohong untuk mencapai 1.500 orang. Kenyataan itu
menyemburatkan hal penting: kita memang tak membaca lagi di tengah gempuran
bacaan. Inilah tantangan utama pada
masa digital. Makin mudah
mendapatkan bacaan, makin ogah kita untuk membaca. Makin
murah bacaan, makin tak berharga semua pengetahuan. Praktis, zaman serbadigital
ini akan sangat mengacaukan gerakan literasi.
Meski ada calon pembaca budiman, mereka akan dihantam godaan
digital. Dalam penelitian yang dilakukan tim peneliti American Psychological
Association terhadap para pekerja yang diharuskan bertahan dalam alur
pekerjaannya, terungkap bahwa gangguan sesaat dapat menggagalkan alur pikiran
para pekerja tersebut. Interupsi yang terjadi dalam 4,4 detik saja memicu
terjadinya tiga kali lipat kesalahan dalam urutan alur pekerjaan (Journal of
Experimental Psychology, 2014). Hal serupa akan terjadi ketika pendidikan
dibuat serbadigital. Sampai di sini kita sudah melihat kabut tebal literasi dan
pendidikan.
Lalu,
bagaimana seharusnya kita menggerakkan literasi? Menerbitkan buku secara
selektif adalah solusi jangka pendek. Kita tak lagi kekurangan bacaan. Kita
justru memiliki kelebihan
bacaan sehingga
pembaca muak dan mual. Oleh karena itu,
solusi jangka panjang adalah mewajibkan guru untuk menagih siswa
mempresentasikan bacaannya. Hal itu sudah
kami lakukan di lapangan sekolah. Siswa pun membaca. Sekitar 40 menit
berikutnya, mereka diminta melakukan presentasi.
Manusia suka tampil di hadapan teman-temannya. Oleh
karena itu,
tak sedikit siswa kami yang sudah membaca dari rumah demi mempresentasikan bacaannya
di depan umum. Hal seperti itu sejauh ini menurut saya sangat efektif dan
pantas untuk ditiru. Semoga!
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Guru Pengajar Praktik PGP Humbang Hasundutan, Koordinator P2G Humbang Hasundutan