Suara-Suara dalam Puisi
Puisi
tak serta-merta hadir sebagai salah satu jenis sastra yang memiliki nilai romantis.
Di tangan beberapa penyair—seperti Widji Thukul—puisi berubah menjadi momok
yang menakutkan. Demikian halnya yang dikatakan Rendra dalam “Sajak
Sebatang Lisong”, “Apa arti
kesenian jika terlepas dari derita lingkungan, apa arti berpikir jika terlepas
dari masalah kehidupan. Oleh karena itu, dalam beberapa peristiwa
tak jarang sang penyair harus dilelapkan secara paksa. Dalih tersebut adalah
cara terbaik untuk membuat puisi tak lagi berkobar dan menjadi cikal bakal bentuk
perlawanan. Namun, hal itu sebenarnya klise
sebab ketika puisi telah dikumandangkan, puisi akan merongrong kepala
sang pembaca.
Puisi juga
hadir sebagai medium pencerahan dan menjadi wilayah untuk bermawas diri. Ketika
baris demi baris ditelusuri, mengartikan segala frasa-frasa, tanpa sadar
pembaca telah memasuki proses bermawas dengan (tentunya) menggunakan
pemahamannya sendiri dalam mengartikan yang tersirat ataupun
tersurat di
dalam puisi tersebut. Situasi itu tak jarang membuat
seorang pembaca merasa gundah dalam proses pengartian dan bermawas diri dari
sebuah puisi. Kemudian, dalam pelbagai fenomena, seorang
pembaca mengulang lagi dan lagi tiap baris puisi tersebut demi mendapatkan
pemahaman yang utuh.
Dalam beberapa peristiwa pun puisi
tak jarang dihadiahkan untuk mereka-mereka yang dianggap penulis sebagai orang-orang
yang patut diingat dalam sejarah. Itu menjadi upaya mengajak
para pembaca untuk mengenal sosok yang dahulu dianggap
vulgar. Proses tersebut atau bisa saya katakan sebagai sihir
terjadi dengan rentetan hal yang sebenarnya tak pernah dialami sosok yang
dibahasnya. Penulis hanya membuat apa yang ia tangkap, lalu ia
mengimplementasikannya. Pada akhirnya penulis sukses membuat pembaca lebih
mendalami sosok tersebut
terlepas dari puisi yang dibaca.
Dengan berangkat
dari Migrasi Kenangan gubahan Robi
Akbar (Basabasi, April 2019), Robi Akbar—selanjutnya Robi saja—sukses menghadirkan puisi di
atas dan membuat pembaca benar-benar bermigrasi dari peristiwa satu ke peristiwa
lainnya. Menghadirkan 82 puisi dan menempatkannya tak sesuai dengan kehadirannya merupakan
salah satu alasan mengapa buku ini mengusung judul migrasi, tak
seperti kebanyakan buku kumpulan puisi yang isinya telah
dipetakan dengan kehadiran yang sama.
Dimulai
dengan “Bayangan” (halaman 9), itu menjadi permulaan atau pemanasan untuk memulai bermigrasi yang terjadi
dalam tangkapan Robi.
Siapakah yang berjalan sendirian
bayang-bayang
menyusur ribuan kenang
aku mengingatmu
ketika angin sasa
senyap
lindap dan tuhan hilang di ujung ratap
Mulanya,
pembaca dibawa Robi untuk bermigrasi ke peristiwa yang paling fundamental
mengenai kenangan. Seketika pembaca membangun stigma bahwa kenangan yang
ada di buku itu ialah perisitiwa kita milik Robi sendiri.
Kemudian,
hal itu disusul, .../ membaca luka dan berjuta metafora di dada
yang sesak. Hingga makin nyata stigma itu benar.
Ketika pembaca mulai
bertamasya ke puisi selanjutnya, lekas stigma itu runtuh.
Dengan “Lelaki yang Pergi Sebelum Natal dan Tahun; Benediktus Joned Setiawan”
(halaman 30), Robi mulai menunjukkan kehadiran puisi dan migrasi yang
sebenarnya baru dimulai
aku pergi
dunia ini terlalu sakit untuk ditinggali
katanya lagi
padahal baru saja ia datang
ia susuri jalan luar cahaya dan prediksi tahun-tahun yang
mungkin kelak gemilang
Melalui kutipan tersebut Robi mengajak pembaca dan
mengimplementasikan kehadiran puisi pada poin ketiga: dihadirkan untuk
orang-orang yang
menurut penulis berharga dan perlu diingat dalam sejarah. Ia menyandang
nama Benediktus Joned Setiawan, seorang aktor yang berdomisili di Bandar
Lampung. Robi jelas menggambarkan suatu kematian. Kemudian, pada
baris padahal ia baru saja datang, Robi menunjukkan perihal waktu yang maksudnya
adalah jenjang kehidupan
Benediktus yang pergi dari dunia pada umur 37 tahun. Lalu, di
akhir puisi, ia susuri jalan luar
cahaya dan prediksi tahun-tahun yang mungkin kelak gemilang, ditunjukkan bagaimana Benediktus
dalam karier aktornya pada masa mendatang yang bisa saja menjadi
gemilang jika ia tidak benar pergi. Pada
judul yang digagas Robi disematkan Pergi Sebelum
Natal dan Tahun Baru yang berarti ‘kepergian yang menegaskan
bulan kepergian Benediktus’. Hal itu terjadi pada bulan
September, pada
hari Sabtu, tanggal 30, tahun 2017.
Pohon-pohon tumbang
satwa menghilang
hutan-hutan arang
sungai kerontang
ayah mati di ladang
burung-burung entah ke mana terbang
ibu mati di ladang
ikan-ikan ke mana berenang
ayah mati di ladang
jadi artefak tertimbun luban
ibu mati di ladang
tinggal kenang dan bayang-bayang
“Mati di
Ladang” (halaman 90) adalah tajuk pada puisi di atas. Di sini Robi mengajak
kita bermigrasi pada poin pertama: bentuk perlawanan dan kekritisan pada
masalah lingkungan dan kehidupan. Robi menggambarkan hutan yang
menjadi sasaran
pembalakan segelintir orang. Hutan
yang asri disulap menjadi agaknya sebuah pabrik. Dalam bait kedua begitu terasa
ketika Robi menempatkan ayah dan ibu akibat dampak pembalakan
tersebut. Secara tak langsung hal itu tidak hanya menyebabkan satwa tersingkir, tetapi juga kemiskinan yang mulai
bersinar. Lalu, pada bait ketiga, yang tersisa hanya legenda bahwa dahulu kebutuhan bergantung pada hutan.
Kehadiran
puisi terakhir pun menjadi bentuk bermawas diri. Hal
itu tak bisa
dijelaskan melalui seluruh puisi yang Robi muatkan. Namun, sebagaimana
yang tertera di atas, bermawas diri terjadi setelah membaca segala frasa dan
menelusuri baris demi baris. Jadi, untuk
mengutuhkan bermawas diri tersebut, sebaiknya para pembaca yang
belum memiliki buku ini, mulai membeli dan melihat alegori
yang disajikan Robi dengan begitu
pelik, meliuk-liuk, dan amat terpuruk
membahas pelbagai peristiwa yang dilihat dan dirasakan. Selamat membeli dan
membaca!
Radja Sinaga
Penulis adalah alumnus Kelas Menulis Prosa Balai Bahasa Sumut 2019. Sejumlah tulisannya telah dimuat di berbagai media, digubah menjadi naskah drama oleh Labsas Medan, dan dijadikan bahan pembelajaran Sastra Indonesia Unimed. Ia juga merupakan pegiat Komunitas Lantai Dua (Koldu).