Sowan Puisi Bersama Raedu Basha

 Sebagaimana Abdul Wachid BS (Wachid B.S., 2023) mengakui kontribusi pesantren bagi perkembangan sastra Indonesia, Badrus Shaleh, yang akrab disapa Raedu Basha, menulis relasi pesantren dan sastra secara etnografis (Shaleh, 2020). Pada kesempatan lain, Raedu Basha menuliskan antologi Hadrah Kiai (Basha, 2017) dan Hadrah Nyai (Basha, 2022).

Seperti yang kita ketahui, gerakan literasi pesantren diawali dengan tradisi pembacaan kitab secara bandongan dan sorogan. Apabila dikembalikan pada konteks antologi Hadrah Kiai, pembahasan tradisi pesantren menjadi relevan ditautkan dengan sastra. Hal ini dapat kita temukan pada sajak “Tasrifan Kiai Maksum Jombang” berikut.

tak perlu ke Kairo mengaji nahu
tak perlu ke Ahgaff belajar sharraf
sebab di teras langgah sebelah, Otong
ada sebuah dampar kayu kosong
di sana seorang kiai sepuh menunggumu
untuk sorogan tasrifan

Sepintas, Hadrah Kiai memperkenalkan kita kepada sosok ulama di berbagai pesantren. Pada ranah tetentu, Hadrah Kiai memberi refleksi karya etnografi dalam bentuk puisi. Pada tahun 2017, Raedu Basha mengambil bentuk-bentuk kehidupan pesantren dan tradisinya yang kemudian diafirmasikan ke dalam bahasa sastra. Ini merupakan kabar baik yang seharusnya dirayakan lebih awal.

Melalui bentuk persajakan, tentu ini adalah “sowan” yang menggairahkan. Misalkan saja, pada sajak “Suluk Gus Dur”.  Raedu Basha menceritakan bagaimana kesaksiannya terhadap perjalanan Gus Dur sebagai ulama.

menatap wajahmu aku menyaksikan
Abul ‘ala Al-Ma’arri di mimbar syair
mendendangkan sajak-sajak perlawanan
kedua matanya buta tapi pelupuknya
menembus tahir ketauhidan
tatapan berada dalam tiada
istimewa dalam cacatnya
sekeras-keras hati kan bergetar
menyimak diksi-diksi ajaib Al-Ma’arri 

Cara Menghadirkan Tuhan

Apabila membicarakan ibadah personal, Husein Muhammad memandangnya sebagai aktivitas individu (ibadah) yang berkaitan dengan Tuhan (Muhammad 2021:38). Akan tetapi, mungkinkah ritus personal, seperti salat, puasa, dan zakat menjadi sesuatu yang paling esensial untuk mendekat dengan Tuhan? Faktanya, kerja pikiran dan tindakan kemanusiaan juga turut berperan mengendalikan spiritual.

Pada aspek penghambaan dan kedekatan dengan Tuhan, apabila ditarik pada ranah sastra, Gus Mus sebagai kiai dan sastrawan banyak mengafirmasikan upaya kedekatannya dengan Tuhan melalui puisi. Tentu dengan mengatakan demikian, pada kesempatan lain, saya (Nurfiana, 2023) telah melakukan analisis tentang simbolisme feminin dan relasi kedekatan dengan Tuhan terhadap antologi Sajak-Sajak Cinta Gandrung (Bisri, 2017).

Gus Mus menekan kecenderungan destruktif sebagai manusia dengan merefleksi perpuisiannya ke dalam ibadah personal. Apakah boleh mengatakan demikian? Ulama mengatakan dimensi pengabdian (ibadah sosial) dan kemanusiaan luas pemaknaannya. Dengan itu, tidak semata-mata memandang cara menghadirkan Tuhan secara tekstual (Muhammad, 2021:43)..

Hanya saja, perlu sedikit memperluas pemahaman bahwa dimensi yang disebutkan tadi tidak dengan terbuka membandingkan Gus Mus memiliki kecenderungan terhadap ibadah sosial. Analogi ini bekerja untuk menghubungkan korelasi menghadirkan Tuhan dengan perpuisian. Persoalan yang sama juga disabdakan Nabi, kesalehan personal dengan pahala besar dapat digugurkan oleh tindakan sosial yang bersifat destruktif.

Tradisi pesantren tentu tidak hanya memperluas khazanah perpuisian Indonesia, tetapi juga memperkuat karakter bahasa. Raedu Basha mengadopsi tembang-tembang pesantren dalam bentuk syair dan diakui keaktifan sastrawannya sejak tahun 2000-an. Dalam antologi Hadrah Kiai, Raedu Basha secara khusus merefleksikan penghormatan kepada ulama dan kiai sebagai tema perpuisiannya. Hal ini juga diakui oleh Acep Zamzam Noor ketika menuliskan prolog antologi tersebut.

Periode kreatif yang diambil Raedu Basha berlangsung mendekati realita alam dan sosial. Substansi itu yang seharusnya dikembangkan pada khazanah perpuisian kita. Hanya saja dalam alegori dan bahasa mengandung subsistem tradisi, yang mungkin saja lebih mudah dipahami oleh pembaca dengan latar belakang pesantren. Di sinilah kesulitan bahasa tradisi dalam perpuisian.

Tentu saja, kita kerap kesal dengan kalimat yang sukar dipahami, seperti elemen pencampuran bahasa Arab dalam puisi Raedu Basha. Kita sama-sama tahu, kalimat-kalimat dalam puisi tidak hanya sekadar mengutamakan keindahan diksi, tetapi juga kemudahan pembaca menerjemahkannya. Meminjam pandangan Lefevere yang juga ditulis Benny H. Hoed (Sarumpaet dan Budianta, 2010:221), karya sastra dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, “Pranata” yang mengatur berupa ideologi, ekonomi, dan status seniman dalam masyarakat. Kedua, “Batasan” yang melingkupi aturan perilaku dalam masyarakat. Demikianlah, karya sastra ditentukan oleh keberterimaan pembaca dalam masyarakat.

Saya lebih mengenal Raedu Basha sebagai penyair dengan gaya bahasa yang penuh dengan metafora, alegori, dan struktur kalimat yang panjang. Sistem perpuisian yang telah mapan itu mula-mula membuat saya berpikir bahwa Raedu Basha sepenuhnya tumbuh di lingkungan pesantren. Sejauh mana bahasa memperkenalkannya dengan cara-cara menghadirkan Tuhan melalui beberapa teknik menampilkan ideologi dan keterampilan menghubungkan penghambaan dengan kesejarahan pesantren yang cukup dalam dan tertata. Keyakinan religius ini bisa kita tangkap bersama dalam penggalan sajak “Riwayat Embun, Bunga dan Bibir Tua” berikut ini.                                                        

telah jatuh
sebutir embun dari ujung daun
menetes pada kening keriputmu
lalu kami yang meresapi dingin
mata hati permata bening
bunga mekar
kaupetik dari dahan firman
kupu kumbang saling berebutan
kala kau tabur kelopak dan putik-putiknya ke ulu jiwa 

Puisi yang ditujukkan kepada Kiai Quraish Shihab, apabila kita amati, secara esensial “embun” dan “bunga mekar” digunakan sebagai gambaran elegori dari keilmuan, yang juga disebutkan diambil dari “firman”. Berangkat dari elegori ini, kita memahami bahwa keilmuan itu bersumber dari Tuhan. Konteks keimanan bukan hanya menggambarkan aktivitas individual, yang hanya melibatkan penghambaan seseorang, melainkan juga bagaimana sosok Quraish Shihab mampu mengembangkannya kepada orang lain. Disebut dalam sajak itu sebagai kupu kumbang saling berebutan.

Puisi dalam Tradisi Pesantren

Sebagai penggambaran tokoh kiai yang tampak bersifat biografis, karakter kiai, kebiasaan, dan peristiwa, Raedu Basha membuat bentuk persajakan yang juga sedikit lain, mengacu syair dan tembang. Tak banyak penyair yang mengambil tema puisi semacam ini dengan serius. Termasuk di dalamnya narasi puisi panjang, seperti sajak “Serat Azmatkhan”, “Ziarah Walisongo”, “Tahlil Fadilah bagi Kiai Hasyim Asy’ Ari”, “Pamor Kembara Kiai Ihsan Jamper”, “Suluk Gus Dur”.

Rupanya pengalaman sowan kiai begitu membekas dalam diri Raedu Basha. Nah, saya ingin berandai-andai, bagaimana jika penyair pemula juga melibatkan pengalaman sosialnya pada produksi karya mereka. Barangkali sumber penciptaan tidak hanya ditangkap oleh aspek personalitas, berbicara kecintaan, luka, dan kedirian pengarang.

Sebab sesungguhnya, sumber yang mendasari karya memiliki pengaruh budaya dan bahasa. Saya kira catatan ini perlu dicantumkan pada parateks yang membingkai perpuisian pemula, yang akan dengan subtil dan elegan memerangi keterikatan penyair terhadap kebuntuan bahasa. Saya tidak akan berupaya menutupi bahwa pada kalangan perpuisian mahasiswa, realitas sosial kerap dihiraukan, nyaris hanya membicarakan konsep percintaan yang itu-itu saja.

Diikuti kilas balik itu, mari kita komentari konteks kesantrian Raedu Basha dalam kesaksiannya tentang budaya dan sosok kiai secara biografis atau kita lebih siap menunduk saja di hadapan bahasa cengeng dan kebuntuan kreativitas. Kita dapat menelusuri jejak-jejak tradisi pesantren dalam antologi Hadrah Kiai agar dapat memungut pelajaran daripadanya.

Raedu Basha secara umum mempersiapkan kemunculannya sebagai penyair dengan konteks perpuisian yang utuh dalam buku Hadrah Kiai. Di tengah kerumunan perpuisian dengan konteks pemberontakan, kecintaan, kritik politik, dan tahun-tahun riuh aksi mahasiswa, Raedu Basha mengajak kita mengunjungi tradisi dengan kesadaran religius. Strategi Raedu Basha ini berhasil.

Gabungan sosok kiai menjadi perkembangan baru dan tanda pertumbuhan perpuisian secara ideologi. Bila Hadrah Kiai dibayangkan sebagai gambaran lanskap perpuisian dengan perspektif yang mendekati tradisi pesantren, tak hanya menjadi latar, ideologi Raedu Basha dengan halus menilik kesejarahan dan digarap dengan mengambil objek detail. Sajak “Madah Ziarah Waliyullah”, misalnya, penggalan puisi itu memperlihatkan kepada kita ziarah secara esensial.

ziarah sebagian dari ibadah
kecuplah sejarah biar kelak tiada musibah
di barzakh aulia menghayat
wafatnya mulia daripada hidup kita yang mayat
aulia telah jumpa rahmat Allah
maka kita sowani mereka lewat wasilah ziarah 

Dengan kesadarannya sebagai manusia, Raedu Basha menyebutkan wafatnya mulia daripada hidup kita yang mayat. Penekanan pada puisi ini mengarah pada gambaran umum ziarah sebagai tradisi yang harus terus dikembangkan. Di samping itu, notabene Raedu Basha sebagai kiai tidak menyimpang dari harapan mengambil berkah dari waliullah. Dapat dikatakan demikian tentu bersebab dari keseluruhan material yang mengarahkan puisi itu pada khazanah pesantren, yang umumnya dengan baik kita kenal. Lebih jelasnya, terdapat pada penggalan sajak “Narasi Gandul Makna Miring”. Berkat puisi ini kita dapat melihat letak tradisi pesantren dalam antologi Hadrah Kiai.

di langgar pesantren
kiai menggelar pengajian bandongan
santri-santri mencatat kitab kuning
gaya gandul yang ditulis miring
di sana pun otong ikut mengaji
asyik khusyuk dalam lafzi dan maknawi 

Sebagaimana disebutkan pada bagian awal, literasi pesantren tumbuh dari tradisi pembacaan kitab kuning. Puisi yang ditulis sebagai warisan Sunan Gunung Jati oleh Raedu Basha memiliki kesatuan definisi tradisi pesantren. Secara sekilas, kemungkinan lain dapat juga dihadirkan pada sajak “Tadarus Gus Mus”.

sajak gandrung negeri sarung
memaktub kasidah generasi pedendang burdah
pada darat batu-batu terjal pada laut utara berangin sakal
seorang santri bermawal menabuh rebana sambil tercekal
pertanyaan-pertanyaan menghantu tapak jalan kembara
mencari, mencari kemungkinan air angin dan api 

Kita tahu, rebana merupakan tradisi yang sering ditemukan dalam pesantren. Dilihat dari isinya, Raedu Basha memperlihatkan oposisi. Pada bait pertama dan kedua, ia menceritakan tradisi pesantren, yang ditekankan pada kata sarung, kasidah, rebana, kaligrafi, dan huruf rajah. Deskripsi tradisi dikatakan cukup jelas, seorang santri bermawal menabuh rebana sambil tercekal dan Lukisan kaligrafi, huruf rajah di mulut pintu rumah. Peran Raedu Basha sebagai pengarang menampilkan betapa kuat daya tarik tradisi pesantren.

Pada gerakan berikutnya, bait ketiga dan keempat Raedu menceritakan sowan. Hal ini ditekankan pada kalimat sowanku menyepak jejak pondok-pondok Jawa bagian ini menjadi samar-samar, tetapi juga membuka kesempatan interpretasi yang naratif. Dengan demikian, kita akan menemukan pengalaman Raedu Basha secara denotatif.

Tahapan yang dapat ditemukan dalam puisi ini, bisa ditemukan pada gagasan Raedu Basha sebagai pengarang. Pada tahap pertama, ia menceritakan fenomena pesantren dengan melibatkan elemen sarung, rebana, kaligrafi, rajah, dan lainnya. Pada tahap kedua, ia menceritakan pengalaman sowan pada pondok-pondok Jawa. Percampuran ruang, peristiwa, dan waktu mungkin saja berpotensi memberi kejutan. Kelihatannya, untuk memahaminya diperlukan hubungan intertekstualitas.

Simpulan

Ungkapan yang dikehendaki Raedu Basha mengarahkan kesimpulan kita mengenai bagaimana kesejarahan tokoh (kiai). Pada konteks konstruksi puisi, Raedu Basha menawarkan estetika pengalaman sosial, pemanfaatan ideologi kesantrian, dan tradisi pesantren yang hampir selalu menyertai alegori.

Perlu diingat, dalam puisi yang terengah-engah, sejak awal Raedu Basha telah menampakan keteraturan ideologi. Dengan konteks perpuisian itu, saya memiliki konotasi kesadaran kemanusiaan Raedu Basha sebagai hamba, santri, dan penyair.

Daftar Pustaka

Basha, Raedu. 2017. Hadrah Kiai. Yogyakarta: Ganding Pustaka.

___________. 2022. Hadrah Nyai. Yogyakarta: Ganding Pustaka.

Bisri, A. Mustofa. 2017. Sajak-Sajak Cinta Gandrung. Rembang: Mata Air.

Muhammad, Husein. 2021. Spiritualitas Kemanusiaan. Yogyakarta: IRCiSoD.

Nurfiana, Efen. 2023. Gus Mus dan Simbolisme Feminin. Banyumas: Penerbit Rumah Kreatif Wadas Kelir.

Sarumpaet, Riris K. Toha, dan Melani Budianta. 2010. Membaca Sapardi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Shaleh, Badrus. 2020. Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren. Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Press.

Wachid B.S., Abdul. 2023. Kontribusi Pesantren dan Sastra di Indonesia terhadap Moderasi Beragama Abdul Wachid B.S. Sastramedia.com: Jurnal Sastra Melenial.

Efen Nurfiana

Karyanya terdokumentasi dalam kumpulan sajak Dadamu Serumpun Pohon (Wadas Kelir Publisher, 2023), Gus Mus dan Simbolisme Feminin (Wadas Kelir Publisher, 2023). Instagram Efennu.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa