Rapor Merah: Bahasa Daerah di Indonesia Akan Punah!
“Bahasa adalah elemen paling mendasar
dari perkembangan peradaban manusia.”
(Richard Saupia)
Fenomena kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia tampaknya telah menjadi persoalan yang cukup menarik perhatian banyak kalangan ilmuwan, terutama para linguis. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan dalam rangka menyelamatkan bahasa-bahasa daerah yang cenderung mengarah pada proses kepunahan. Tentu saja hal itu cukup beralasan mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini (Tondo, 2009).
Sumber gambar: @linguist_id
Sumber gambar: @linguist_id
Sementara itu,
terdapat dua bahasa
yang berperan sebagai
bahasa kedua tanpa
penutur bahasa ibu
(mother-tongue), sedangkan
tiga bahasa lainnya
telah punah. Beberapa
di antara bahasa-bahasa yang
masih hidup tadi
diperkirakan berada di
ambang kepunahan. Ada yang
disebabkan oleh berkurangnya jumlah penuturnya karena penutur
aslinya tinggal beberapa
orang saja, tetapi
ada pula bahasa-bahasa
yang terdesak oleh
pengaruh bahasa-bahasa daerah
lain yang lebih
dominan. Tak dapat dilupakan pula bahwa pengaruh
bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, terutama
dalam berbagai ranah
resmi (formal) seperti
pemerintahan dan pendidikan
sering kali menyebabkan
frekuensi pemakaian bahasa
daerah makin berkurang.
Selain itu, kondisi
masyarakat Indonesia yang
multietnik dengan bahasa
dan kebudayaannya masing-masing sudah
tentu membuka peluang
terjadinya kontak melalui
komunikasi dan interaksi
antaretnik yang berbeda bahasa dan kebudayaan tersebut. Berdasarkan pada
data yang diperoleh dari Ethnologue (2023), setidaknya
terdapat 24 bahasa daerah di Indonesia yang tidak lagi memiliki penutur atau jumlah penuturnya 0. Hal itu menjadi rapor
merah bahasa sejauh ini.
Kondisi masyarakat yang multietnik dan diikuti oleh kontak antaretnik termasuk kontak bahasa dapat menyebabkan terjadinya berbagai fenomena kebahasaan seperti bilingualisme (atau bahkan multilingualisme) yang sering terjadi pada kelompok-kelompok bahasa minoritas. Kontak bahasa tersebut dapat pula mengakibatkan terjadinya pergeseran bahasa (language shift), yakni perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari, terutama sebagai akibat migrasi atau terjadinya perubahan bahasa (language change), yakni perubahan dalam bahasa sepanjang suatu periode. Selain itu, arus informasi dan komunikasi beserta berbagai gejala lainnya yang muncul akibat spektrum aktivitas dan orientasi pemakaian bahasa masyarakat dewasa ini yang makin global turut pula memicu munculnya berbagai persoalan kebahasaan, termasuk persoalan kepunahan bahasa daerah.
Kronologi Punahnya Bahasa Daerah
Punahnya sebuah bahasa daerah adalah
proses yang kompleks dan dapat dipengaruhi berbagai faktor. Berikut adalah
beberapa faktor umum yang dapat menyebabkan punahnya sebuah bahasa.
Pertama, globalisasi dan
modernisasi dapat menyebabkan dominasi beberapa bahasa besar yang digunakan
dalam perdagangan internasional, media, dan teknologi. Bahasa-bahasa besar ini
sering kali memiliki
dukungan dan daya saing yang lebih besar sehingga bahasa daerah dapat
terpinggirkan dan diabaikan.
Kedua, perubahan demografis, seperti migrasi
massal dan urbanisasi dapat menyebabkan perpindahan populasi dari daerah perdesaan ke
kota-kota besar. Di kota-kota sering kali bahasa yang dominan adalah bahasa resmi atau bahasa
utama yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa daerah di daerah perdesaan mungkin
kehilangan pemakainya karena banyak yang berpindah.
Ketiga, proses asimilasi
budaya dapat menyebabkan hilangnya bahasa daerah. Ketika masyarakat mulai bercampur dengan
kelompok-kelompok budaya lain, bahasa daerah dapat tergantikan oleh bahasa yang
lebih dominan atau dianggap lebih prestisius.
Keempat, bahasa sering kali menjadi alat kekuatan politik dan
sosial. Jika dianggap tidak mendukung kepentingan politik atau sosial tertentu,
bisa jadi sebuah bahasa akan diabaikan atau ditekan. Penerapan bahasa resmi tertentu
sebagai bahasa utama pemerintahan atau pendidikan dapat mendesak bahasa daerah
ke sudut yang lebih terpinggirkan.
Kelima, jika suatu bahasa
tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah atau masyarakat, pendidikan
dalam bahasa tersebut mungkin terbatas. Tanpa pendidikan yang memadai, jumlah pemakai bahasa
daerah dapat menurun sehingga menyebabkan
bahasa tersebut makin terancam punah.
Keenam, perkembangan teknologi
dan media massa juga dapat berperan dalam punahnya bahasa daerah. Jika bahasa
tersebut tidak diwakili di media atau teknologi modern, generasi muda mungkin
tidak tertarik untuk mempelajari atau menggunakan bahasa tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
Proses punahnya bahasa daerah dapat berlangsung
secara bertahap,
tetapi terkadang sulit ditentukan titik waktunya yang jelas. Persoalan kepunahan
bahasa-bahasa daerah ini
tentu saja dapat berpengaruh
pada kebijakan pemerintah secara nasional yang menghargai keberagaman dan turut
memajukan bahasa daerah dalam rangka melestarikan aset kultural bangsa di
bidang kebahasaan. Apabila proses kepunahan tersebut terus saja berlangsung
tanpa ada usaha untuk mempertahankan dan mendokumentasikannya,
kita akan kehilangan
aset kultural yang sangat
berharga bagi bangsa ini karena bahasa merupakan realitas budaya
penutur sebuah bahasa.
Selain itu, punahnya
sebuah bahasa daerah
dapat “mengubur” nilai-nilai
budaya yang tersimpan
dalam bahasa itu,
kecuali apabila bahasa
tersebut telah didokumentasikan dan ditransmisikan kepada
orang lain sehingga nilai-nilai budaya
yang bermanfaat dapat
digunakan untuk kepentingan
bersama.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi fenomena kepunahan bahasa, perlu dilakukan berbagai upaya cerdas dan serius. Hal itu tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak pemerintah, tetapi juga oleh komunitas etnik penutur bahasa tersebut dengan cara tetap menjaga loyalitasnya pada bahasa daerahnya sendiri agar tetap tinggi jumlah penuturnya sehingga tidak terjadi pergeseran bahasa yang pada akhirnya dapat menjurus pada kepunahan. Di samping berbagai upaya pendokumentasian, kajian-kajian dalam berbagai perspektif dan bahkan upaya-upaya revitalisasi terhadap bahasa-bahasa yang berada dalam proses kepunahan sebagai usaha agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang multilingual barangkali perlu dipikirkan secara lebih serius. Artinya, masyarakat diharapkan dapat menguasai sekaligus tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional, dan bahasa etniknya sendiri dalam rangka melestarikan bahasa dan budaya daerahnya.
Daftar Bacaan
Tondo, Fanny Henry. (2009). Kepunahan bahasa-bahasa daerah: Faktor penyebab
dan implikasi etnolinguistis. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 11(2).
https://www.ethnologue.com/country/ID/
https://www.instagram.com/linguist_id/
Mukhamad Hamid Samiaji
Pemerhati Bahasa di Lembaga Kajian Nusantara UIN Prof. K.H. Saifudin Zuhri Purwokerto