Menulis Puisi dan Cara Pandang Terhadap Realitas
Menulis puisi bisa dari hal-hal kecil yang sedang kita
pikirkan, rasakan, atau alami. Misalkan, ketika saya di tepian jendela,
terlihat oleh saya sepasang kupu-kupu. Saya teringat bahwa banyak janji-janji
cinta yang diucapkan, tetapi tidak memberikan pengertian kepada orang yang dicintai.
Sementara itu, pada kedua orang tua lebih jauh pada kakek nenek, ungakapan cinta
itu tidak pernah diobral. Akan tetapi, mereka hidup abadi dalam cinta sejati,
saling menjaga cintanya, saling setia pada cintanya, saling mendoakan keselamatan
cintanya, karena keduanya ingin cintanya bertemu kembali di dalam surga Allah
Swt.Kemudian terbersit dalam hati saya kata-kata ini, "bila sepasang
kupu-kupu saling/ berkejaran di antara bunga-bunga/ bertanya lagikah kita/ apa
itu cinta?"
Pertanyaan retorika itu memang tidak perlu lagi dijawab sebab
semakin dijawab hanya dengan kata-kata, dan bukan dengan perbuatan-perbuatan
yang membuktikan bahwa hal itu adalah bukti cinta, semakin terlihat omong kosong
belaka.
Lalu, saya berpikir “judul apakah kiranya yang tepat?”.
Saya renungkanbahwa apa yang dilakukan oleh sepasang kupu-kupu itu sebuah pertemuan,
baik di tingkat kenyataan cinta maupun di tingkat makna hakikat cinta. Oleh
karena itu, dengan diberi judul "Pertemuan" semakin bertambah makna mendalam
dari puisi ini.
PERTEMUAN
bila sepasang kupu-kupu saling
berkejaran di antara bunga-bunga
bertanya lagikah kita
apa itu cinta?
1995
(Abdul Wachid B.S., Jalan Malam, 2020:5)
Pada hakikatnya, seseorang menulis puisi bukan sekadar curahan
hati (curhat) atas apa yang terjadi pada dirinya, melainkan dia merenungkannya
dan memberi makna. Semua orang memang bisa saja jatuh cinta kepada lawan
jenisnya yang dia gandrungi. Akan tetapi, belum tentu orang itu memberikan makna
pada apa yang dia rasakan. Bisa jadi dia memberikan arti cinta hanya dengan
tindakan nyata, yaitu memperlakukan lawan jenis yang digandrunginya dengan
ekspresi hawa nafsu belaka, yang tak ubahnya seperti ayam atau hewan lainnya. Naudlu
billaahi mindzaliq.
Akan tetapi, yang membedakan antara hewan dan manusia
itu ialah ketika dia memaknai cinta sebagaimana hakikat manusia, yaitu kemuliaan-kemuliaan.
Dalam keadaan demikian, manusia normal akan mengekspresikan rasa cinta dengan
kemuliaan-kemuliaan karena pihak lelaki akan merasa menjadi makhluk yang mulia
begitu pula pihak wanita. Oleh karena itu,, semua tindakan dari ekspresi cinta pasti
akan menjunjung nilai-nilai kemuliaan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dampaknya,
kedua belah pihak tidak akan bertindak sebagaimana hewan yang tidak sabar dalam
mengekspresikan rasa cintanya. Manusia mulia akan membawa semua tindakan cinta kepada
tautan Kemahasucian Tuhan karena nilai-nilai Kesucian Tuhan itu juga terpancar dari
mereka sebagai makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, cinta bukanlah sekadar harapan
akan kemuliaan atau bahkan ternodai dengan tindakan hewan.. Akan tetapi, jatuh
cinta bisa dimaknai sebagai berikut.
…..
Jatuh cinta kepadamu
Kata-kata menjadi harapan
Harapan menjadi doa-doa yang
Tidak berkesudahan
Dari pagi ke siang
Dari siang ke senja
Dan malam meluaskan pandangan
Betapa sedemikian kerdil aku
Untuk memeluk semesta cintamu
…..
(Sajak "Jatuh Cinta Kepadamu", Abdul Wachid B.S., Jalan Malam, 2020:67).
Selanjutnya, rasa cinta terus menerus dikuatkan dengan doa karena rasa cinta hadir dari Allah dan pemeliharaan atau pemaknaannya harus senantiasa dihubungkan dengan Allah. Jika tanpa dihubungkan dengan Allah, hawa nafsu yang akan memberikan makna sampai manusia terperosok ke dalam jurang kenistaan. Oleh karena itu, sebaik-baik doa adalah Umul Kitab yaitu surah Al-Fatihah, seperti dalam puisi berikut.
KANGEN
jika kangen merajam
kekasih
telponlah aku dengan Fatihah
sayapnya akan terbang
hinggap ke lubuk sanubari
tak ada sepeka ia
tak ada setunjam ia
yang hilangkan jarak ke paling
satu
sukmaku
sukma kau
berpelukan dalam tarian
abadi
2000
(Abdul Wachid B.S., Jalan Malam, 2021:6).
Itulah sebabnya, seseorang dalam menulis puisi memang semacam curhat, tetapi curhatannya dia renungkan, tidak sekadar waton muni (watoni) ’asal berbicara’. Curhatannya sudah dia renungkan dan sudah dia beri makna yang sejalan dengan cara pandangnya terhadap kehidupan dan Tuhan. Bisa dikatakan bahwa menulis puisi itu sama dengan menuliskan cara pandang penulis terhadap sesuatu, baik cinta, bercinta, rindu, setia, sedih, suka, gembira, bahagia, dan seterusnya. Puisi atau apapun di dalam kehidupan akan bermakna kalau kita memberikan makna keindahan dan kebaikan kita sebagai manusia yang tiada daya, upaya, dan arah, kecuali dengan menyelaraskan diri pada hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam sudut pandang agama akan bernilai ibadah jika segala
sesuatu yang bernama kebaikan sekaligus keindahan mencerminkan kemanusiaan yang
dihubungkan dengan hukum alam yang berpuncak kepada Tuhan Yang Maha Satu. Dalam
perspektif ilmu, manusia memaknai kebaikan yang indah dan keindahan yang baik selaras
dengan Tuhan disebut bernilai seni. Dengan begitu, semua ekspresi kemanusiaan yang
baik dan indah ,termasuk berpuisi, bernilai seni sekaligus ibadah. Manusia yang
mempunyai sudut pandang demikian merupakan pilihan hidup karena sebagian besar manusia
lain tidaklah demikian. Manusia yang mempunayai sudut pandang kebaikan yang
indah memperoleh ilmu hikmah dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga dia kuat untuk
selalu berakhlak mulia. Dia memuliakan manusia dan alam sebab Tuhan tidaklah menciptakan segala
sesuatu dalam keadaan sia-sia.
Berpuisi dengan memberikan makna kebaikan dan keindahan pada
setiap realitas akan memperoleh hikmah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
demikian, penulis akan menemukan kebenaran terbaik, bukan hanya kebenaran yang baik
untuk dirinya sendiri. Hal itu sebagaimana dawuh Sayidina Muhammad Rasulullah
Saw, "Sebagian puisi mengandung hikmah, hikmah adalah unta orang beriman
yang hilang di tengah padang pasir. Barangsiapa menemukan unta itu maka dia
akan menemukan kebenaran terbaiknya."
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah seorang penyair, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan menjadi dosen di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto