Orientasi Pendidikan Profetik

Moh. Roqib, dalam Filsafat Pendidikan Profetik, membicarakan persoalan rancang bangun pendidikan Islam integratif dalam sudut pandang kenabian Muhammad saw. Dia mengatakan sebagai berikut.

“Filsafat kenabian adalah pemikiran filosofis yang didasarkan pada nilai-nilai kenabian dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan berbagai upaya pemikiran reflektif-spekulatif sampai pada penelitian empirik sehingga menemukan kebenaran normatif dan faktual-aplikatif yang memiliki daya sebagai penggerak umat sehingga terbentuk khairu ummah atau komunitas ideal.” (Roqib, 2016: 11—12)

Roger Garaudy menegaskan bahwa filsafat Barat dari Yunani sampai dengan modern mengungkung diri hanya dalam batas manusia dan alam, tidak sampai merasakan adanya hubungan dengan Tuhan. Berbeda halnya dengan filsafat Islam, yang menurutnya, baik bersumber dari Al-Qur’an maupun yang ditulis oleh ahli sufi Ibnu Arabi (1165—1241) dan Suhrawardi (1155—1191) (via Roqib, 2016: 13).

Upaya Mendialogkan Manusia, Tuhan, dan Alam

Dalam paradigma Ibnu Arabi, nur Muhammad menjadi embrio penciptaan atau kejadian. 

“Adapun tujuan dari penciptaan (wujud) ialah untuk diketahuinya Dia yang menciptakan manusia. Kekhususan dan pengetahuan yang sempurna ialah hati Nabi Muhammad SAW karena pengetahuan mengenai semuanya hanyalah merupakan sikap pembenaran dan iman, sedangkan pengetahuan Nabi Muhamaad SAW adalah persaksian dan penglihatan.” (Arabi, 1999: 18—19)

Nur Muhammad diterjemahkan oleh Ibnu Arabi sebagai konsep epistemologis penciptaan, layaknya pohon kejadian. Dari sanalah akan tumbuh dan berkembang segala macam bentuk situasi, dinamika, dan nalar profetik sebagai basis penghayatan iman dan perilaku keseharian.

Kompleksitas rancang-bangun filsafat profetik yang dibangun oleh para filsuf Islam tidak jarang dijadikan referensi oleh filsuf Barat. Tercatat ada dua nama filsuf, yaitu Meister Eckhart (1260—1327) dan Jacob Boehme (1575—1624), yang menemukan Tuhan dari kemerdekaan kemauan. Mereka menganggap bahwa wujud itu hanya bekas yang mendingin dan membeku dari kemerdekaan kemauan.

Meister Eckhart, dalam catatan Abdul Hadi W.M., percaya bahwa bilamana watak jiwa (atman) yang mutlak dapat dibebaskan dari segala sesuatu yang tidak berjiwa atau apabila jiwa sanggup menjelmakan wujudnya dalam “pengetahuan diri” dan terbebas dari dunia dan rasa “keakuan” yang sempit, dia akan mencapai kekekalan dan dapat menyatu dengan Yang Satu, Yang Awal, serta Yang Kekal dan Tak Terhingga (Hadi W.M., 2004: 174—175). Oleh karena itu, argumen Meister Eckhart tentang pembebasan memiliki frekuensi yang sama dengan Ibnu Arabi dan Roger Garaudy, yaitu logika pembebasan (liberty), sebagaimana misi Kenabian Muhammad saw., “Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin.”

“Filsafat profetik atau filsafat kenabian sebagai upaya mendialogkan manusia, Tuhan, dan alam dapat dimaknai sebagai filsafat yang mengkaji tentang hakikat kebenaran dengan mendasarkan kepada wahyu yang masuk menginternal dalam diri manusia agung (an-nabiy), kemudian dikomunikasikan pada manusia dan keseluruhan alam agar kebenaran tersebut menjadi mungkin direalisasikan dalam kehidupan manusia sehingga tercipta manusia terbaik (khaira ummah) dengan kehidupan yang sejahtera (hayaun tayyiban).” (Roqib, 2016: 15)

 

Sebagai salah satu tokoh filsafat profetik, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa rasionalitas an sich tidak cukup untuk merumuskan dan memulai nalar kenabian dalam kehidupan manusia, seperti juga tidak mungkin mistisisme an sich bergerak tunggal. Muhammad Iqbal, dengan mengutip doa Nabi Muhammad saw., mengatakan, “Tuhan, berilah aku pengetahuan tentang inti dari sebuah benda” (Iqbal, 2008: 5). Berdasarkan doa itu, Muhamamd Iqbal meyakini bahwa hal tersebut merupakan kerja sintesis kaum rasionalis-mistikal, bukan mistik (sufi) an sich yang telah membentuk suatu babak yang luar biasa dalam sejarah kebudayaan manusia karena telah menemukan ide-ide yang sistematis, melainkan suatu pengabdian sepenuh hati pada kebenaran.

 Logika filsafat Islam menjadi fundamen atau dasar bagi filsafat profetik. Oleh sebab itu, siapa saja yang mengakui kerasulan Muhammad saw., sudah selayaknya dia harus menetapkan iman dan tauhidnya dalam diskursus akhlak sesuai dengan sifat-sifat Nabi Muhammad saw. Pandangan ini sekaligus bisa menjadi medium kritik terhadap isu krisis ilmu pengetahuan yang oleh Edmund Husserl, Bapak Fenomenologi, dikategorikan menjadi krisis internal ilmu dan krisis eksternal ilmu. Bahkan, dia begitu vokal terhadap aliran positivisme. Bagi Edmund Husserl, positivistik wajib dikritik karena keengganan atau ketidakmampuan ilmu-ilmu positif dalam mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Nilai dan makna baginya tidak bisa diabaikan oleh ilmu karena keberadannya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan  (Abidin, 2000: 142143).

“Kalau ilmu sudah kehilangan dasar-dasar teoretisnya yang kokoh, ia harus menjadi filosofi dan menjalankan kritik yang menyeluruh terhadap landasan-landasannya sendiri,” kata Whitehead (via Abidin, 2000: 142). Makna dan nilai sebuah ilmu pengetahuan ditentukan oleh seberapa jauh ilmu itu menjangkau dan mengentaskan persoalan manusia.

“Sungguh akan Kami tunjukkan tanda-tanda (ayat) Kami, di ufuk-ufuk (alam semesta) dan pada diri mereka sendiri ...,” (Q.S. Fushishilat: 53). Ayat tersebut, menurut Haidar Bagir, dengan jelas memberikan posisi yang sedemikian penting bagi lingkungan tempat manusia hidup. Dia disebut tak kurang dari bejana yang mewadahi tanda-tanda (ayat) Allah Swt. (vestigia dei) (Bagir, 2017: 99). Sebagai bagian dari penyampai ayat (tanda-tanda Allah Swt.), Nabi Muhamamd saw. sudah barang tentu menjadi “kajian dan rujukan utama” bagi manusia untuk melakukan observasi terhadap segala macam representasi mutlak yang ada di bumi. 

Berbasis Al-Qur’an, Sunah, dan Kajian Saintifik

Hamdani Bakran Adz Dzakiey dalam bukunya Kecerdasan Kenabian menyatakan bahwa manusia harus memahami hakikat af’al Nabi Muhammad saw. Af’al dalam pengertiannya adalah perbuatan, perilaku, serta tingkah laku Nabi Muhammad saw. yang terimplementasi dalam aktivitas hidup dan kehidupannya sehari-hari sejak anak-anak, akil balig, hingga wafatnya (Dzakiey, 2006: 250). “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki tingkah-laku (budi pekerti) yang agung,” (Q.S. al-Qalam: 4). Dalil yang lain juga menyebutkan, “Sesungguhnya aku telah diutus untuk menyempurnakan tingkah-laku (budi pekerti) yang mulia” (H.R. Ahmad dari Abu Huriarah R.A.).

Dalam istilah syara’ (hukum), af’al Nabi Muhammad saw. lebih kental disebut sebagai as-Sunnah, yaitu perkataan (sunnah qawliyyah), perbuatan (sunnah fi’liyaah), dan persetujuan (sunnah taqririyyah). Sunnah qawliyyah adalah sabda atau perkataan Nabi Muhammaad saw. yang disampaikan dengan berbagai maksud, tujuan, dan peristiwa. Sunnah fi’liyyah, merupakan segala tindakan Nabi Muhammad saw. yang berupa gerak dan sikap yang ditampakkan secara lahir, misalnya tindakan Nabi Muhammad saw. ketika melaksanakan salat lima waktu dengan menyempurnakan cara serta rukunnya. Sementara itu, sunnah  taqririyyah adalah persetujuan atau restu Nabi Muhammad saw. atas perkataan dan perbuatan sebagian sahabat secara diam-diam atau melalui pujian yang baik (Dzakiey, 2006: 251—252).

Dengan berangkat dari rumusan Hamdani Bakran Adz Dzakiey tersebut, filsafat pendidikan profetik memiliki basis legal formal berdasarkan pada Al-Qur’an, sunah, dan kajian saintifik yang bersifat penyelidikan secara mendalam (fenomenologi) sebagaimana rumusan Edmund Husserl.

Konsep filsafat pendidikan profetik secara tersirat juga pernah dibahas oleh Ali Syari’ati.

Para Nabi Ibrahmiyah --yang dia bedakan dari nabi-nabi non-Ibrahimiyah seperti Confusius, Budha, Zarathustra-- adalah pelanjut-pelanjut perjuangan Habil. Nabi Ibrahim berdiri menghujah raja Namrud. Nabi Musa membela Bani Israil yang lemah melawan Fir’aun yang perkasa. Nabi Isa datang menggembirakan kaum fuqara dan melecehkan Kaisar. Nabi Muhammad SAW duduk di samping orang miskin dan budak belian, lalu menggiring mereka ke arah pembebasan.” (Syari’ati, 1993: 13)

Syari’ati menegaskan bahwa tugas dan fungsi nabi-nabi adalah spirit pembebasan serta memberikan ruang seluas-luasnya untuk menegakkan hak-haknya. Para nabi adalah orang yang lahir pada tengah-tengah masa (ummi), lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah) yang sanggup mengubah satu masyarakat yang korup dan beku menjadi kekuatan yang bergejolak dan kreatif yang pada gilirannya melahirkan peradaban, kebudayaan, dan pahlawan (Syari’ati, 1993: 13).

Nalar epistemologi pendidikan profetik juga dapat ditemukan dalam argumen sejarah Fazlur Rahman tentang kenabian dan wahyu. Menurutnya, para nabi adalah orang-orang terpilih yang dengan kepribadian yang jernih dan kuat serta kegigihannya mendakwahkan risalah Allah Swt. serta mengguncang kesadaran manusia dari kelesuan dan kerendahan moral menjadi tercerahkan sehingga mereka secara jelas melihat Tuhan sebagai Tuhan dan setan sebagai setan (Rahman, 2017: 117).

Al-Qur’an mengakui hal tersebut sebagai fenomena universal, “Di seluruh dunia, telah diutus rasul-rasul Allah Swt., baik yang disebut atau yang tidak disebut dalam Al-Qur’an” (Q.S al-Mu’minun: 78; Q.S. an-Nisa: 164). Fazlur Rahman melanjutkan bahwa tiap-tiap rasul awalnya diutus hanya kepada umatnya, tetapi risalah yang mereka serukan itu tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga memiliki pesan universal sehingga harus diyakini dan diikuti oleh seluruh umat manusia dan itulah makna dari kesatuan kenabian (Rahman, 2017: 118).

Nabi Muhammad saw. didorong untuk mendeklarasikan risalah tanpa kesempitan di dalam dadamu (Q.S. al-A’raf: 2) dan secara terang-terangan dan tanpa kompromi (Q.S. al-Hijr: 94), dan Nabi Isa a.s. dihadap-hadapkan dengan umat Kristiani (Q.S. al-Maidah: 116-117). Dari setiap umat, seorang “saksi”, yakni seorang nabi yang diutus kepada mereka, akan dihadap-hadapkan (Q.S. an-Nahl: 89; Q.S. al-Qasas: 75).  Artinya, dengan berangkat dari firman Allah Swt. tersebut, fungsi profetik nabi membawa perubahan signifikan kepada umatnya masing-masing sehingga nabi-nabi dapat memastikan bahwa risalah etika, moral, dan pembebasannya dapat diaktualisasikan.

Karena itulah, pendidikan berbasis profetisisme menjadi penting untuk digalakkan. Khoiron Rosyadi dalam Pendidikan Profetik mengungkapkan sebagai berikut.

“Pada dasarnya pendidikan adalah permasalahan kemanusiaan, maka sebagai sasaran bidik yang pertama adalah manusia (antropologi). Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan mengandung pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teosofi-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi.” (Rosyadi, 2009: 304—305) 

Orientasi Khaira Ummatin Ukhrijat Linnas

Orientasi pendidikan profetik, apabila mengacu pada konsep Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw., tentunya memiliki dimensi ritus dan sosial sekaligus. Ritusnya ada pada bentuk dan praktik tauhid yang kafah kepada Allah Swt., sedangkan relevansi sosialnya adalah misi kekhalifahan sebagai ukhrijat linnas atau khair al-ummat. Padanan teologisnya untuk menguatkan orientasi pendidikan profetik itu adalah firman Allah Swt. berikut, “Engkau adalah umat yang terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan (amar ma’ruf), mencegah kemunkaran (nahi munkar), dan beriman kepada Allah Swt.” (Q.S. Ali-Imran: 110).

Konsep khair al-ummat inilah yang menjadi penekanan Moh. Roqib dalam melakukan konstekstualisasi pendidikan profetik. Dengan menukil dari Imad al-Din Abi al-Fida’ Ismail Ibn Kasir al-Qurasyi al-Damsyiqy, khari al-ummat berarti ‘kelompok atau komunitas terbaik manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain’ (khair al-umam wa anfa’ an-nas li an-nas) (Roqib, 2016: 167). “Sebuah predikat yang menggembirakan jika bisa dilaksanakan dengan baik. Potensi ajaran telah ada, tinggal melakukan konstruk sebagai konsep yang aplikatif dalam bangunan pemikiran yang jelas sehingga lebih operasional,” lanjut Moh. Roqib.

Dalam terminologi yang lain, ummah menurut Ali Syari’ati, sebagaimana dikutip oleh M. Dawam Raharjo mengandung berbagai pengertian baru. Kata ummah berasal dari kata amma yang berarti berniat dan menuju. Hal ini berkaitan dengan kata amam yang artinya di depan’ sehingga berlawanan dengan kata wara’a atau khalfa yang artinya belakang. Dari situ dia menarik tiga arti, yaitu gerakan, tujuan, dan ketetapan kesadaran. Dalam amma, tercakup pengertian taqaddum atau ‘kemajuan’ sehingga dia menarik empat makna, yaitu ‘ikhtiar’, ‘gerakan’, ‘kemajuan’, dan ‘tujuan’ (Raharjo, 1992: 54—56).

Oleh karena itu, filsafat pendidikan profetik yang diidealkan oleh Al-Qur’an dan sunah harus “diturunkan” ke beberapa variabel atau metode operasionalisasinya. Hal itu dapat dimungkinkan apabila nalar transendensi, humanisasi, dan liberasi, sebagaimana dalil teologisnya melalui Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 110, bisa diterjemahkan dalam ranah pemikiran (abstraksi, konsep) atau implementasi sekaligus. ***

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2000. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Adz-Dzakiy, Hamdani Bakran. 2006. Kecerdasan Kenabian. Yogyakarta: Pustaka Al-Furqan.

Arabi, Ibnu. 1999. Pohon Semesta: Teori-teori Penciptaan Alam. Surabaya: Pustaka Progresif.

Bagir, Haidar. 2017. Islam Tuhan Islam Manusia Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau. Bandung: Mizan.

Roqib, Moh. 2016. Filsafat Pendidikan Profetik. Purwokerto: An-Najah Press.

Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

Iqbal, Muhammad. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Terj. Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad. Jakarta: Tintamas.

_________. 2008. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Yogyakarta: Jalasutra.

Raharjo, M. Dawam. 1992. “Ensiklopedi Al-Qur’an” dalam Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vo. III, No. 1, Tahun 1992.

Rahman, Fazlur. 2017. Tema-tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Syari’ati, Ali. 1993. Ideologi Kaum Intelektual. Bandung: Mizan.



Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair, lulusan Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan dosen ASN-PNS di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa