Kedhalu, Bahasa sang Peramu
Kalau boleh dikatakan, bahasa Indonesia itu seperti lukisan: elok dipandang dan beragam jenisnya. Lebih-lebih, jika bahasa ditilik dalam bingkai karya sastra. Bahasa puisi, cerpen, ataupun novel cenderung mendayu-dayu, elastis, sintesis, bahkan memiliki “rumus”. Demikian halnya dalam novel Nibiru dan Kesatria Atlantis karya Tasaro G.K. Sebuah bahasa baru terlahir darinya dan mulai “menggeliat”.
Novel ini ingin mengajak pembacanya masuk ke dalam dunia Atlantis. Apalagi pada awal kisah dipaparkan sebuah prasasti batu berbahasa Kedhalu yang merupakan akhir dari peradaban besar zaman Atlantis. Seolah-olah itu adalah siasat si Tasaro untuk menciptakan suasana nyata dan dramatis. Penyebutan bahasa Kedhalu pun kerap kali muncul. Kalimat perintah, makian, sumpah serapah, bahkan percakapan antartokoh tak lepas dari bertutur dengan bahasa daerah setempat.
Komposisi novel tersebut secara teoretis mencerminkan bagaimana pengarang mampu menciptakan hal-hal yang baik dan indah dibaca. Terkait dengan hal itu, Faruk (2010) mengatakan bahwa kehidupan yang dijalani adalah sebuah realitas. Kehidupan yang nyata dengan segala aspeknya membuat individu tertentu memandangnya dengan sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang (point of view) terletak pada cara pengungkapannya, yaitu melalui media karya sastra. Jadi, karya sastra adalah diorama mengenai kehidupan. Lukisan kehidupan itu disusun seorang pengarang dengan bernuansakan nilai-nilai humanisme yang bersifat realistis. Sastra diidentikkan dengan segala sesuatu yang ditulis. Sastra itu sendiri bermakna ‘tulisan’. Istilah susastra yang bermakna ‘tulisan yang indah’ ini didasari pada kenyataan yang ada, yaitu banyak karya pengarang yang ditulis untuk disebarkan ke tengah-tengah pembaca. Dengan demikian, pengertian sastra dipusatkan pada pengertian tulisan dengan berbagai cirinya.
Novel itu pun menunjukkan kepada kita bahwa pengarang menyusun kata-katanya dan mendramatisasi cerita agar makin menarik perhatian pembaca. Novel menurut Ratna (2012) merupakan karya sastra yang populer dan kejadian ceritanya pernah terjadi atau mungkin akan terjadi di dalam masyarakat. Novel menjadi suatu sandaran kenyataan dan harapan bagi pembaca atas kondisi yang sedang terjadi. Pengarang semestinya dapat mereduksi gap atau kesenjangan itu karena melalui karya sastra itulah pembaca merasa optimistis. Pun begitu ketika pengarang novel itu dapat menciptakan struktur bahasa tersendiri yang dimaui di dalam konteks bercerita. Nah, itu tampak sekali dalam novel Nibiru dan Ksatria Atlantis ini.
Buku setebal 690 halaman ini mengungkapkan petualangan yang fantastis dengan menyelipkan keunikan bahasa lokal (bahasa Kedhalu). “Nyedpanyu thingap nyapay sibha madhi, Dhaca!” (G.K., 2018). Di dalamnya juga terdapat kata pugabha, pohon pakabh, sanyipmany, bhimulay, pedhib, pughaba kiyrany, dan sebagainya. Kata-kata tersebut terdengar asing di telinga kita. Susunan huruf tersebut “aneh” dan bernuansa “lawas”, bahkan pelafalannya saja cukup susah. Namun, hal itu makin memperkuat alur cerita Atlantis yang konon pernah ada sekitar belasan ribu tahun sebelum Masehi.
Nah, arti kata-kata bahasa Kedhalu dapat dipelajari dengan mengetahui tatanan rumus seperti ini: ha-na, na-ya, ca-ja, ra-dha, ka-pa, da-nga, ta-tha, sa-ba, wa-ga, la-ma. Deretan rumus tersebut merupakan pelafalan huruf Jawa yang dikombinasikan sedemikian rupa (ulah penulis novel). Lafal yang disebutkan pertama kali begitu juga pada pasangan selanjutnya merupakan deret lazim pada huruf Jawa yang diurutkan sebanyak sepuluh baris. Kemudian, dilanjutkan urutannya dari lafal terakhir (dari baris pertama), lalu diurutkan ke atas hingga tuntas lafal huruf Jawa-nya. Gambaran lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.
ha = nya na = ya ca = ja ra = dha ka = pa da = nga ta = tha sa = ba wa = ga la = ma |
Mungkin pembaca yang budiman akan tersenyum atau bahkan terkekeh geli usai mengetahui rumusnya. Mungkin juga ada yang sambil membatin dan berujar, “Kreatif juga, nih, Tasaro.” Memang seperti itulah, bahasa bersifat manasuka (arbitrer). Tentu kita tak lupa dengan kemunculan bahasa gaul ala Debbi Nasution. Bahasa gaul dituturkan banyak orang, mulai dari ibu rumah tangga, selebritas, hingga pejabat pun tak mau dianggap tak gaul kalau belum menggunakan bahasa gaul ini.
(Fiska, n.d.) menguraikan bahwa bahasa itu bersifat arbitrer yang artinya ‘manasuka’. Pengarang novel sengaja menciptakan bahasa Kedhalu sebagai bentuk identitas novelnya untuk mendramatisasi cerita sehingga dapat dianggap sebagai kreativitas dari fungsi arbitrer itu sendiri. Dari pengertian tersebut, kita memaklumi bahwa sastra mengandung nilai dulce et utile. Dulce itu ‘menyenangkan/kenikmatan’, sedangkan utile bermakna ‘mendidik’ atau ‘mengedukasi’.
Kita kembali ke bahasa Kedhalu. Simak petikan berikut, ”Nyedpanyu limippu, Dhaca!” Dengan memperhatikan rumus tadi, kita akan mengetahui jika makna dari kalimat itu adalah ‘Engkau milikku, Dhaca!’. Contoh lain adalah kata pedhib yang berarti ‘keris’, jemapa yang bermakna ‘celaka’, atau pugabha yang berarti ‘kuasa’. Masih banyak lagi bahasa Kedhalu lainnya yang dapat dimengerti artinya jika digunakan rumus itu.
Bagaimana, Kawan? Tertarikkah untuk mempelajari bahasa Kedhalu atau malah mau menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari? Itu terserah Anda. Sekarang muncul pertanyaan, apa bahasa Kedhalu dari kata zona atau berzikir? Bingung, ‘kan? Itulah, bisa dikatakan bahwa salah satu kelemahan rumus tersebut adalah tidak adanya huruf z atau za.
Terlepas dari rekaan si pengarang novel, bahasa ini layak diperkenalkan kepada khalayak. Akan menjadi semacam kode rahasia jika rumus bahasa Kedhalu hanya diketahui oleh para pencinta novel tersebut. Dibutuhkan diskusi dan sosialisasi untuk memamerkannya. Bukan tidak mungkin bahwa bahasa itu dicap sebagai produk budaya. Jadi, bahasa layaknya sumber daya yang dapat diperbarui. Bahasa itu sendiri kita ketahui sebagai produk kebudayaan yang menjadi media komunikasi dan salah satu sumber peradaban manusia. Manusia, apalagi pengarang sastra dapat membentuk bahasa rekaan yang jika populer, itu akan menjadi viral sehingga menarik untuk diteliti lebih lanjut. Windiatmoko & Mardliyah (2018) menyampaikan suatu temuan bahwa bahasa dan budaya selalu saling melengkapi dan membuat dua hal tersebut satu kesatuan yang meliputi gagasan, perilaku/aktivitas, dan kebendaan. Dapat dikatakan bahwa wujud novel mewakili ketiga unsur tersebut yang memang sengaja diciptakan pengarang dalam novel itu. Tasaro G.K. merekayasa peradaban manusia melalui tokoh dan segala sesuatu yang melingkupinya, termasuk bahasa Kedhalu.
Coba simak tulisan dalam prasasti
batu berikut ini.
Sedhthelkudh nyidwa nyapidh. Bhesugany kedharakay thedwemal pe ngabhadh
manyuth. Dhanyabhinya sebhadh thednyudpak. Kedhabhanyay jiytha thap
thedhpathapay. Nyapidh bhesugany kedhcamayay nyapay leycangi nyagam
keyjadhinyay thedhalath kaycad.
Dhaca Suli leyumibh ngi nyadhi thedhnyaidh sawi kedunyabha seyunya sebhadh Atlantis.
Tidak usah berpusing-pusing. Solusinya, ya, gunakan
rumus tadi dan Anda pasti dapat mengetahui maksudnya. Jangan sampai Anda kalah dari Dhaca Suli, si Raja Bumi. Mari, kenali bahasa Kedhalu
alias Peramu!
Daftar Pustaka
Faruk, F. (2010). Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme. Pustaka Pelajar.
Fiska, R. (n.d.). Hakikat Bahasa: Sifat, Fungsi, dan Keistimewaan Bahasa Sebagai Alat
Komunikasi Manusia - Gramedia Literasi. Retrieved April 4, 2024, from
https://gramedia.com/literasi/hakikat-bahasa/
G.K., T. (2018). Nibiru dan Kesatria Atlantis. PT Bhuana Ilmu Populer.
Ratna, I. N. K. (2012). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar.
Windiatmoko, D. U., & Mardliyah, A. A. (2018). Refleksi Kultural dan Pendidikan Karakter dalam Tradisi Ruwahan di Dusun Urung Urung. Jurnal Matapena, 1(2), 40–52.
Doni Uji Windiatmoko
Seorang pengajar di Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Purbalingga. Selain mengajar, juga sebagai reviewer jurnal nasional bereputasi dan editor penerbit. Saya memiliki minat pada bidang pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, etnolinguistik, dan kurikulum.