Dongeng: Pelajaran Inti untuk Anak Usia Dini
Pada 20 Maret lalu, hari Dongeng tetap dirayakan dengan meriah oleh dunia. Dongeng memang sangat istimewa sehingga Indonesia secara khusus memperingati hari Dongeng setiap tanggal 28 November. Sejarah hari Dongeng Internasional berawal dari semangat menghargai para pencerita lisan tradisional. Pencerita lisan merawat peradaban dan membangun masa depan melalui imajinasi. Kesadaran kolektif bahwa pencerita lisan ini membangun imajinasi bahkan karakter melahirkan kesepakatan bahwa hari Dongeng harus ditetapkan. Adanya hari Dongeng diharapkan pencerita lisan tetap hidup untuk turut membangun masa depan anak-anak.
Akan tetapi, kenyataannya jauh dari harapan. Hari Dongeng sebatas perayaan dan dongeng tidak lagi menjadi kebiasaan. Orang tua saat ini tidak pernah lagi mendongeng di masa kecil anaknya. Anak kecil hanya diberi gawai agar tenang dan tidak mengganggu. Hal ini berakibat tidak sedikit kisah anak akan tantrum jika tanpa gawai. Kompas (26/07/2018) pernah mengangkat kisah sebelas anak di Poli Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah Koesnadi, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur yang dirawat secara intensif karena kecanduan gawai. Diberitakan bahwa selama 3 hari 2 malam anak itu tetap sibuk dengan gawai tanpa makan dan tidur. Jika dilarang, anak itu marah bahkan sampai membenturkan kepalanya ke tembok.
Gawai sudah menjadi seperti narkotika yang membuat anak kecanduan. Karena itu, para petinggi teknolog, mulai dari Google, Apple, E-Bay, dan Hawlett-Packard, mencoba “menyingkirkan” anak mereka dari gempuran gawai. Anak mereka disekolahkan di sekolah alam, Sekolah Waldorf. Sekolah ini sangat unik. Di saat sekolah-sekolah lain berlomba-lomba memasukkan perangkat teknologi, Sekolah Waldorf justru menolaknya. Kelas-kelas di Sekolah Waldorf didesain alami, tanpa sentuhan digital. Papan tulis dan kapur masih pilihan utama. Para pengajar di sekolah ini rutin mendongeng. Buku pengetahuan berasal dari buku ensiklopedia.
Bakat
Alami
Bagi Sekolah Waldorf, belajar tak melulu dengan alat tulis. Kecakapan dan ketangkasan, terutama orisinalitas alami, harus ditumbuhkan. Oleh karena itu, di sekolah ini siswa bermain dengan ceria. Siswa bercocok tanam dan dibiarkan berlumpur di tanah-tanah becek. Mereka mengamati daun, tanah, dan alam. Mereka menyatu dengan alam, bukan teralienasi dengan alam. Kalau dibandingkan ke konsep pendidikan kita yang pada jenjang PAUD sudah harus mengajarkan calistung karena syarat menjadi masuk SD, tentu seolah-olah Sekolah Waldorf tidak ada apa-apanya. Sekolah Waldorf adalah sekolah bermain, sementara sekolah kita adalah sekolah belajar bahkan berpikir dan bernalar.
Namun, setelah ditelisik lebih mendalam, justru terjadi hal sebaliknya . Sekolah kita dari tampak permukaan seolah-olah membuat siswa belajar, tetapi sebenarnya mencerabut siswa dari hakikatnya jika dilihat secara mendalam. Sekolah kita seoalah-olah tak ada belajar, yang ada pemaksaan belajar. Sekolah kita seakan-akan tak ada kesukacitaan belajar, yang ada penyiksaan belajar. Terbukti, pada studi yang rutin diadakan PISA, kita selalu terpojok di papan terbawah. Sebaliknya, meski Sekolah Waldorf adalah “sekolah bermain”, The New York Times mencatat bahwa sekolah ini mampu membelajarkan siswa sehingga mereka mengetahui banyak pola dan matematika. Begitulah hakikat belajar terjadi secara alami.
Mendongeng dan mendengarkan dongeng adalah bakat alami kita yang paling purba. Imajinasi kita tentang bulan sudah terbentuk sejak ribuan tahun lalu dengan mendengar dongeng tentang bulan sebelum akhirnya benar-benar mendarat di bulan. Karena itu, dapat diparalelkan bahwa mendongeng adalah proses belajar. Tak ada manusia yang tak belajar, artinya seharusnya tak ada manusia yang akan bertumbuh secara utuh tanpa mendengarkan dongeng. Jika sekolah terlalu otoriter dan kaku, kegiatan belajar akan terasa seperti formalitas belaka.. Siswa seolah belajar tanpa pembelajaran, bahkan tanpa berpikir kritis. Hasilnyaketika dihadapkan pada persoalan bernalar tinggi, siswa kita kelimpungan.
Hal ini berawal dari keadaan siswa tidak siap belajar, tetapi hanya datang ke sekolah. Mereka tidak membaca, kecuali mengeja. Alih-alih menyimak, siswa hanya mendengar penjelasan. Mendengar dan mendengarkan (menyimak) adalah dua keterampilan berbahasa yang jauh berbeda. Semua makhluk hidup bisa mendengar, tetapi belum tentu mampu menyimak. Mendengar hanya menggunakan telinga, sementara menyimak sudah sampai pada upaya memfungsikan nalar dan intuisi. Dengan mendongeng, kita menyentuh bagian terdalam dari manusia. Dalam bahasa Bobby de Porter, kita memasuki dunia seseorang untuk membawanya ke dunia yang ideal.
Dilansir dari kemdikbud.go.id, mendongeng bukan hanya kegiatan
menidurkan anak, melainkan upaya meningkatkan perkembangan pada otak kanan anak
yangberfungsi dalam hal psikologi, emosi, serta imajinasi. Dalam jurnal Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang bertajuk “Why Story Telling
Matters: Unveiling the Litteracy Benefits of Storytelling”, Profesor
Denise E. Agosto menyimpulkan bahwa mendongeng merupakan metode ideal untuk
memperkenalkan pendidikan kepada anak-anak.
Ada sebuah ilustrasi yang menurut saya sangat tepat. Ada ilustrasi seorang anak sedang menonton dan anak lain sedang membaca buku. Pada ilustrasi anak yang menonton televisi, tontonannya sangat terang dengan latar televisi juga terang, tetapi latar di balik anak sangat gelap dan imajinasi anak kosong. Sebaliknya, pada ilustrasi anak yang membaca, buku bersinar terang dengan latar yang gelap, tetapi latar di balik anak sengat terang dengan imajinasi yang beragam. Saya membayangkan kurang lebih begitulah keadaan anak-anaksaat ini. Mereka kelihatan cerdas di permukaan, tetapi rapuh di kedalaman berpikir. Pada posisi demikianlah kita memahami mengapa rata-rata anak Indonesia belajar selama 12,4 tahun, tetapi kekemampuannya setara dengan belajar 7,8 tahun (Human Capital Index, 2020). Lebih dari itu, kemampuan berhitung pelajar kelas II SMP pada tahun 2014 setara dengan kemampuan pelajar kelas V SD pada tahun 2000. Hanya 67 persen siswa kelas IIIyang bisa menuntaskan materi untuk kelas I.
Inti
Pembelajaran
Dapat disimpulkan, meski belum secanggih saat ini,
kedalaman berpikir dan belajar di masa silam jauh lebih baik dibandingkan saat
ini. Artinya, sering kali kita menyebutkan bahwa dongeng adalah media untuk
meninabobokan, pada dasarnya kita salah mengartikan dongeng. Dongeng adalah api
yang membakar pikiran. Dongeng adalah sumbu yang meletupkan imajinasi. Karena
itu, orang tua terhebat konon adalah orang tua yang pintar mendongeng. Setara
dengan itu, guru yang bijak adalah guru yang piawai memilihkan dongeng untuk
dibacakan.
Kita jadi teringat pada ulasan majalah Harvard Business Review pada 2003.Majalah tersebut pernah menurunkan artikel menarik “Storytelling that Moved People”. Artikel itu merupakan hasil wawancara khusus dengan Robert McKee. Robert McKee adalah seorang guru. Saat wawancara itu diturunkan, anak didiknya bahkan telah mengoleksi 18 Academy Awards, 109 Emmy Awards, 19 Writers Guild Awards, dan 16 Directors Guild of America Awards. Tak diragukan lagi, beliau adalah guru yang cukup berhasil. Pertanyaannya, mengapa dia seberhasil itu? Ternyata, jawabannya terletak pada dongeng. Menurutnya, cerita adalah perangkat terbaik untuk merangkul orang lain dan menyentuh emosi mereka.
Hal ini masuk akal sebab dengan menyentuh emosi, kita menyentuh apa yang disebut Blaise Pascal, yaitu rasional hati. Jadi, khusus untuk usia dini, dongeng haruslah menjadi pembelajaran inti. Kita tak boleh lagi membuat target berlebihan, seperti mahir calistung. Usia dini adalah usia produktif untuk menumbuhkan imajinasi dan bela rasa. Percayalah, dongeng akan menyelamatkan usia dini dari karakter jahat. Dalam studi yang banyak dikutip, Guru Besar Antropologi-Biologi dari Oxford, Rubin Dunbar, mengatakan bahwa dari zaman purba sampai dengan sekarang manusia sangat terpengaruh dan terbantu oleh cerita imajinatif. Jadi, dongeng haruslah menjadi inti pada pembelajaran usia dini. Semoga!
Selamatkan anak-anak usia dini dari target-target yang belum saatnya,
seperti mahir bahasa asing dan terampil calistung. Semua itu hanya keterampilan
semu di awal sekolah. Lebih dari itu, kita selamatkan anak-anak usia dini dari
adiksi gawai. Saya mempunyai anak kerabat yang sudah mahir calistung sebelum
masuk PAUD. Sudah tamat sempoa sebelum lulus PAUD. Akan etapi, ia menjadi anak yang rapuh. Jika
tidak memakai gawai, ia bisa melukai tubuhnya. Jika keinginannya tidak
dipenuhi, ia bisa mencakar temannya. Orang tuanya putus asa dan sampai harus
membawanya ke psikiater secara rutin. Sang Psikiater menyarankan orang tuanya untuk
rutin mendongeng, terutama kepada adik, agar tidak meniru abangnya. Begitulah berarti
kekuatan dongeng sehingga harus dijadikan inti pembelajaran.
Riduan Situmorang
Mahasiswa Pascasarjana IAKN Tapanuli Utara, TACB Humbang Hasundutan, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Guru Pengajar Praktik PGP Humbang Hasundutan, dan Koordinator P2G Humbang Hasundutan