Pesan-Pesan dalam Puisi Makna Sebuah Titipan Karya Rendra

Puisi merupakan sebuah seni yang kaya akan makna dan emosi. Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama serta bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif) (Kholifatu dan Fadhilasari, 2022). Kata-kata dalam puisi menghadirkan pesan-pesan tersembunyi di balik ide indah yang disusun oleh sang penyair. Setiap bait pada puisi terdapat lapisan-lapisan makna yang menanti untuk dijelajahi. Setiap kata yang dipilih dengan cermat oleh seorang penyair bukanlah kebetulan belaka, melainkan kumpulan makna yang disampaikan dengan tujuan tertentu.

            Keindahan bahasa yang dituangkan dalam puisi menjadi sarana untuk membawa pembaca atau pendengar dalam perjalanan yang memikat. Setiap kata membawa pesan tersendiri yang dapat menggugah emosi dan merangsang pikiran. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, tetapi maknanya sangat kaya (Kosasih, 2008). Di balik kata-kata yang kaya akan makna tersebut, banyak pesan yang bisa ditelusuri. Hal itu terutama pada puisi-puisi yang telah dikenali oleh banyak orang, baik dari karya maupun penyairnya.

            Pelajar mana yang saat ini tidak mengenal sosok penyair bernama Rendra atau W. S. Rendra? Rendra yang bernama asli Raden Mas Willibrordus Surendra Broto lahir pada tanggal 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah (Atisah et al., 2002). Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP.Saat itu, ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerpen, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya (Admin Badan Bahasa, 2022). Karena bakat dalam kepenulisan karya sastra, Rendra menjadi tokoh sastra yang banyak dikenal oleh masyarakat saat ini.

            Ada satu puisi yang dikarang oleh Rendra dan menarik untuk dibahas. Puisi yang pernah dikarang oleh Rendra itu bertajuk “Makna Sebuah Titipan”. Berikut adalah teks puisinya.

Makna Sebuah Titipan
Karya W.S. Rendra

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan-Nya
bahwa rumahku hanya titipan-Nya,
bahwa hartaku hanya titipan-Nya,
bahwa putraku hanya titipan-Nya,

 

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan
bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,

Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih-Nya
harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja" (Waridah, 2014)

           

Puisi “Makna Sebuah Titipan” termasuk puisi modern. Hal itu dapat dilihat dari struktur baris dan baitnya. Adanya tanda titik dan koma menunjukkan perbedaan puisi tersebut dari puisi lama dan puisi baru. Seluruh bait dan larik pada puisi ini mengungkapkan tema kedukaan atau kerendahan atas dasar penghambaan diri kepada Sang Pencipta.

            Pemilihan judul “Makna Sebuah Titipan” menunjukkan bahwa puisi tersebut menggambarkan pentingnya makna di balik sesuatu yang diserahkan atau dipercayakan kepada seseorang. Penyair kiranya memilih judul ini untuk menyoroti konsep kepercayaan, tanggung jawab, dan pentingnya menghargai nilai-nilai yang diberikan kepada kita dari Sang Pencipta. Judul tersebut memberi petunjuk tentang cara penyair ingin pembaca atau pendengar meresapi puisi, mendorong mereka untuk merenungkan makna di balik setiap kata dan larik puisi. Selain itu, pemilihan judul ini menciptakan rasa ingin tahu atau ketertarikan yang menginspirasi pembaca untuk mengeksplorasi isi puisi dengan lebih mendalam.

            Pada larik-larik awal, penulis menggunakan diksi yang kuat dan sederhana untuk mengekspresikan ide bahwa segala yang dimiliki dalam kehidupan ini sebenarnya hanya titipan dari Allah. Pemilihan diksi sering kali menunjukkan bahwa ini adalah sesuatu yang diucapkan secara konsisten atau berulang kali oleh seseorang. Diksi seperti ini menandakan pentingnya pesan yang ingin disampaikan. Lalu diksi memuji milikku menyoroti saat-saat orang lain memberikan pujian atau penghargaan terhadap apa yang dimiliki seseorang. Keadaan ini menciptakan kontras antara penghargaan manusia dan kesadaran spiritual seseorang. Penggunaan kata hanya pada larik kedua dan seterusnya menekankan bahwa apa pun yang dimiliki seseorang hanyalah titipan atau pinjaman sementara dari Allah. Kata-kata ini mengungkap pesan rendah hati dan berusaha menerima apa yang telah ada.

            Pada kata-kata berikutnya, ada diksi mobilku hanya titipan-Nya, rumahku hanya titipan-Nya, hartaku hanya titipan-Nya, putraku hanya titipan-Nya. Penekanan pada kata hanya titipan-Nya dalam setiap larik menegaskan ulang bahwa segala sesuatu, dari harta benda hingga orang yang dicintai, hanyalah sesuatu yang sementara. Penyair bermaksud memberikan pesan bahwa semua yang ada di dunia ini tidaklah abadi.

            Diksi pada bait kedua memperkenalkan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendalam tentang makna dan tujuan di balik segala sesuatu yang dititipkan kepada seseorang. Diksi mengapa aku tak pernah bertanya menyoroti kebingungan penyair tentang asal-usul dan tujuan apa-apa yang dititipkan padanya. Diksi seperti ini menunjukkan bentuk refleksi diri dan kesadaran akan kebutuhan untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam. Mengapa Dia menitipkan padaku? Pertanyaan ini mencerminkan keheranan penyair terhadap ketentuan Sang Pencipta dalam menitipkan sesuatu padanya. Situasi ini menggambarkan rasa tanggung jawab atau kewajiban akan sesuatu yang diberikan kepadanya.

            Lalu larik berikutnya untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Pertanyaan ini menggambarkan pencarian akan makna di balik apa yang dititipkan padanya. Keadaan ini mencerminkan kebutuhan manusia untuk mencari arti dalam setiap pengalaman hidup mereka. Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya ini? Pertanyaan pada larik ini mengeksplorasi tanggung jawab dan tindakan yang harus diambil oleh penyair dalam merawat atau memanfaatkan apa yang diberikan oleh Allah.

            Bait berikutnya, Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya? Seperti penjelasan sebelumnya pertanyaan ini adalah sebuah kalimat retoris. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah ada jawaban dan dibuat untuk memancing pembaca atau pendengar. Sikap ini seolah menunjukkan kesadaran akan kepercayaan dan amanah yang diberikan oleh Allah  terhadap segala bentuk pemberian.

            Bait selanjutnya mencerminkan reaksi seseorang terhadap suatu penyerahan titipan. Penggunaan diksi diminta kembali menunjukkan perubahan status atau kepemilikan yang mendadak dan tidak terduga. Pada larik kusebut itu sebagai musibah, ujian, petaka, penyair menggunakan serangkaian kata-kata yang kuat untuk menyatakan bahwa kehilangan suatu titipan itu dianggap sebagai bencana atau cobaan yang sulit bagi seseorang. Kata-kata musibah, ujian, dan petaka menunjukkan derajat penderitaan dan kesulitan yang dirasakan sebagai akibat dari kehilangan suatu hal. Larik berikutnya, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Diksi ini memberikan kesan tentang kesulitan penyair dalam menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan penderitaan atau kepedihan yang dirasakan. Tragedi seperti ini mencerminkan kebingungan, keputusasaan, dan intensitas emosional yang dirasakan oleh seseorang.

            Larik 21 sampai 26 menggambarkan keinginan manusia yang bercorak materialistis dan duniawi saat berdoa. Diksi ketika aku berdoa mencerminkan momen refleksi spiritual atau upaya untuk berkomunikasi dengan yang Maha Kuasa. Penggunaan diksi hawa nafsuku pada larik kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku menyoroti keinginan manusia yang didorong oleh keinginan duniawi yang mementingkan kekayaan, kekuasaan, dan popularitas. Pada larik aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, dan lebih banyak popularitas, penyair menggunakan serangkaian kata-kata yang menunjukkan keinginan untuk memiliki lebih banyak harta benda, mobil, rumah, dan popularitas. Hal ini mencerminkan sikap ambisius dan keinginan manusia untuk mencapai kesuksesan materi dan sosial tanpa adanya rasa sakit dan kepedihan.

            Kemudian, pada larik berikutnya menggunakan diksi yang menunjukkan pertentangan antara harapan dan kenyataan seolah semua 'derita' adalah hukuman bagiku. Penggunaan diksi hukuman menunjukkan pandangan penyair bahwa semua penderitaan yang dia alami dipandang sebagai hukuman yang tidak adil. Sikap ini mencerminkan rasa kekecewaan atau ketidakpuasan terhadap apa yang telah terjadi. Diksi pada larik Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika mencerminkan pemahaman penyair tentang hubungan antara perbuatan baik dan balasan yang diharapkan dari Allah. Diksi yang penyair gunakan dalam larik Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku untuk menyampaikan suatu harapan bahwa karena seseorang melakukan ibadah dengan rajin, maka seharusnya ia terhindar dari penderitaan dan dapat menikmati kenikmatan dunia. Namun, kenyataannya tidak sesuai dengan harapan tersebut karena penderitaan masih terus menghampiri.

            Pada larik-larik akhir, penyair menggunakan diksi-diksi harapan, usaha, dan tanggapan atas hal-hal yang melingkupinya. Diksi dalam larik kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih menggambarkan cara seseorang memandang hubungan dengan Allah sebagai sesuatu yang berbasis pada pertukaran atau transaksi, sungguh perilaku manusia yang tercela. Hal ini seperti hubungan antara mitra dagang yang terfokus pada keuntungan material, bukan hubungan yang penuh kasih. Lalu, larik kuminta Dia membalas 'perlakuan baikku', dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku mencerminkan sikap tidak terima dari seseorang atas takdir yang melingkupinya. Pada larik Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah menunjukkan bahwa meskipun seseorang menyatakan komitmen untuk beribadah setiap hari, sikap dan harapan egoisnya masih mendominasi.

            Kemudian larik-larik terakhir, yakni ketika langit dan bumi bersatu. Penggunaan diksi ini menciptakan gambaran metaforis tentang momen yang biasa dan luar biasa, di mana langit (simbol spiritualitas atau ketuhanan) dan bumi (simbol materialistis atau dunia fisik) bersatu. Hal ini menunjukkan suatu keadaan yang sangat langka dan penting. Larik bencana dan keberuntungan sama saja  menunjukkan bahwa dalam momen langka ketika langit dan bumi bersatu, perbedaan antara bencana dan keberuntungan menjadi tidak relevan atau tidak ada artinya lagi. Hal ini menandakan kesetaraan di mata Allah, penderitaan atau keberuntungan dianggap sama nilainya ketika setiap insan bertakwa.

            Kesimpulan atas seluruh paparan di atas menjelaskan bahwa puisi “Makna Sebuah Titipan” karya Rendra ini memberi pesan tentang pentingnya sikap rendah hati dan kesadaran akan sifat sementara dalam kehidupan manusia. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang arti sejati dari kepemilikan dan menghargai segala yang diberikan kepada kita dengan kesadaran bahwa semuanya adalah titipan dari Allah. Puisi ini mendorong pembaca untuk merenungkan makna dan nilai dari segala sesuatu yang diberikan serta tanggung jawab dalam merawat dan memanfaatkan suatu anugerah yang diberikan oleh Allah. Puisi ini juga berpesan untuk merenungkan bagaimana seseorang merespons tantangan dan penderitaan dalam hidup serta mencari cara untuk menemukan makna atau pengertian di tengah-tengah kesulitan tersebut.

            Parafrase kesimpulan puisi “Makna Sebuah Titipan” karya Rendra ke dalam bentuk prosa adalah seseorang yang menganggap kebahagiaan yang ia peroleh berupa rumah, mobil, harta, dan anak adalah titipan Tuhan semata (Nirmala & Rohayani, 2020). Terlihat jelas pada diksi-diksi puisi, penyair mengajak pembaca untuk merenungkan tentang prioritas hidup yang bukan hanya tentang dunia. Pesannya berisi tentang kesadaran akan tantangan dalam mempertahankan kesederhanaan, rendah hati, dan ketulusan. Kita diberikan nasihat untuk berusaha menerima kenyataan yang mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan atau keinginan. Puisi ini juga mendorong pembaca atau pendengar untuk merenungkan tentang makna sejati dari hubungan dengan Allah yang seharusnya didasarkan pada cinta dan kesetiaan, bukan pada tuntutan dan harapan yang egois.

Admin Badan Bahasa. 2022. W.S. Rendra. badanbahasa.kemdikbud.go.id. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/tokoh-detail/3302/w.s.-rendra

Atisah, Djati, W., & Hayati, N. 2002. Antologi Biografi Tiga Puluh Pengarang Sastra Indonesia Modern. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Kholifatu, A., & Fadhilasari, I. 2022. Buku Ajar Sastra Indonesia. Bandung: PT Indonesia Emas Grup. 

Kosasih E. 2008. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Nobel Edumedia.

Nirmala, M., & Rohayani, E. 2020. “Pendekatan Parafrastis Puisi ke Prosa Makna Sebuah Titipan Karya WS Rendra”. Jurnal ESTUPRO, 5(1).

Waridah, E. 2014. Kumpulan Majas, Pantun, & Peribahasa Plus Kesusastraan Indonesia (1st ed.). Jakarta: Ruang Kata.

Ikhsan Abdul Aziz, S.Pd

Guru Bahasa Indonesia Pesantren Al-Ma’tuq - Mahasiswa S-2 MPBSI Univ. Suryakancana

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa