Sastra Sufistik dan Sastra Transendental

Bagaimana gagasan sastra sufistik dalam memandang estetika dan dakwah itu? Setiap penyair besar melahirkan karya sastra yang khas yang memiliki ciri-ciri pembaruan yang tidak dimiliki karya sastra penyair-penyair sebelumnya. Pembaruan yang dimilikinya kemudian diterima oleh masyarakat sehingga menjadi konvensi baru sastra dalam masyarakat. Demikian pula sastra sufi Hamzah Fansuri. Hal itu dapat menjadi acuan dalam perbincangan wacana sastra sufistik di Indonesia. Pembaruan perpuisian Hamzah Fansuri yang menonjol menurut Abdul Hadi W.M. (2004: 103—105) adalah sebagai berikut.

Pertama, penekanan penyair terhadap individualitas atau kesadaran diri, yaitu kebebasannya untuk mengekspresikan pengalaman pribadinya, .... Semboyan “Puisi sebagai gerakan sukma yang mengalir ke indah kata” (Pujangga Baru) dan perombakan terhadap bahasa lama demi lahirnya pengucapan puitik baru (Chairil Anwar), sudah terlebih dahulu dilakukan Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16 M. Kedua, puisinya bukan sekadar ungkapan perasaan biasa untuk memuaskan pembacanya dari duka-lara sebagaimana umumnya karya sastra dalam masyarakat ketika itu. Puisinya untuk mengungkapkan pengalaman makrifat, kegairahan mistik, dan fana’ yaitu hapusnya ego rendah dalam Wujud Yang Hakiki (unio mystica). Ketiga, seiring dengan penekanannya terhadap individualitas, maka tema pencarian diri mendapat perhatian utama pula. Tema ini dapat dirujuk pada sebuah hadis qudsi “Barangsiapa mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya …. Keempat, dialah penyair Melayu pertama yang mengasaskan bahwa ungkapan-ungkapan puitik al-Qur’an dan kandungan maknanya, serta tamsil-tamsil yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan rujukan dan titik-tolak renungan puitik .... Kelima, tamsil-tamsil sufistik atau citraan-citraan simbolik yang digunakan dalam syair-syairnya diambil dari kehidupan budaya masyarakatnya dan lingkungan alam Nusantara ….

Penekanan terhadap individualitas dalam puisi sufi Hamzah Fansuri terjadi karena hakikat pengalaman sufi itu sendiri sangatlah personal. Hal itu sebagaimana diungkapkan Annemarie Schimmel (1981: 17), “Tasawuf berarti, pada periode perumusannya, terutama sebagai pendalaman ajaran Islam secara rohaniah, suatu pengalaman pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian (musyahadah) bahwa Tuhan itu Esa’”. Lebih praktis lagi, Abu al-Wafa al-Taftazani (1985: 6) mengatakan sebagai berikut.

“Tasawuf atau mistisisme secara keseluruhan adalah falsafah hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seseorang secara moral melalui latihan-latihan praktis tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan keadaan fana’ (hapusnya diri jasmani, nafs yang rendah) di dalam hakikat tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, bukan secara rasional, yang buahnya adalah kebahagiaan rohani ....”

Karena berfungsi untuk menyatakan pemenuhan keadaan fana’, sastra sufi mengungkapkan tahapan-tahapan (maqam) dan keadaan rohani (ahwal) yang dialami oleh sufi dalam menempuh ilmu suluk yang dilukiskan melalui tamsil-tamsil. Maqam yang dapat diartikan sebagai peringkat kerohanian dikatakan Ali Utsman al-Hujwiri (sufi abad ke-11 M) dalam Kashf al-Mahjub (melalui Hadi W.M., 2004: 111) sebagai berikut.

... merupakan tahapan pertama yang dicapai seorang sufi dalam memenuhi kewajiban yang disyaratkan, dan mampu memelihara peringkat rohani yang telah dicapainya seperti taubat, inabah (perubahan sikap), zuhud, dan tawakkal. Tahapan kedua ialah ahwal, yaitu keadaan rohani yang muncul sebagaimana cinta Ilahi (‘isyq), kemabukan mistik (shawq), ma’rifat, ketakjuban pada keindahan hakiki (hayrat), kadamaian agung (istighna), fana’, baqa’, dan tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin (kashf). Tahapan kedua ini disebut wajd, pertemuan dalam batin dan penyaksian (mushahadah) Yang Haqq, yang melahirkan kepastian mendalam (haqq al-yaqin). Kedaan ini menimbulkan kegairahan mistik (tawajjud). Tahapan ketiga disebut tamkin, yaitu keberadaan ahli makrifat di “tempat yang tinggi”, yaitu tercapainya keadaan bersatu dengan Yang Haqq (shahid al-haqq).

Tahapan dan keadaan rohani yang dicapai oleh seorang sufi tersebut dilukiskan melalui tamsil-tamsil. Kemabukan mistik ditamsilkan sebagai meminum anggur. Perjalanan rohani dari tingkatan awal mendaki menuju tingkatan rohani selanjutnya ditamsilkan sebagai perjalanan mendaki puncak bukit untuk menjumpai Sang Kekasih. Penyair sufi melukiskan perjalanan naik jiwa manusia dari kenyataan di alam rendah menuju kenyataan di alam tinggi. Perjalanan naik itu sesuai dengan tatanan kenyataan atau keindahan yang berperingkat sebagaimana terdapat dalam ontologi sufi (Hadi W.M., 2004: 111—116). Diungkapkan oleh Md. Salleh Yaapar (2002: 83) bahwa tatanan tersebut dari bawah ke atas.

Pertama, alam nasut (alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam syahadah); kedua, alam malakut (alam kejiwaan, psyche, disebut juga alam misal); ketiga, alam jabarut (alam rohani); dan keempat, alam lahut (alam ketuhanan).

Seorang manusia yang mengenal tatanan alam sebagaimana tersebut akan dapat menyempurnakan dirinya dan berpeluang mengenal hakikat dirinya yang selaras dengan hadis qudsi, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (‘Barang siapa mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya’). Kesahihan hadis tersebut diperdebatkan. Namun, apabila ditafsirkan secara benar, hadis tersebut merujuk pada asas tauhid yang akan relevan untuk menjelaskan pencarian jati diri sebagai tema utama dalam sastra sufi. Berkenaan dengan hadis qudsi itu para sufi merujuk pada ayat Al-Qur’an (Fushshilat, 41: 53), “Akan Kami tunjukkan mereka bukti-bukti Kami di segala penjuru, juga yang ada pada diri mereka sendiri,” (sanuriihim aayaatinaa fii al-aafaaqi wafii anfusihim hattaa yatabayyana lahum annahu alhaqqu awa lam yakfi birabbika annahu ‘alaa kulli syay-in syahiidun).

Berkaitan dengan tema utama tersebut, estetika sastra sufi bersumber dari dan bermuara pada pencarian jati diri sebagai manusia yang dihadapkan pada alam semesta dan Tuhan. Sejak abad ke-13 M, unsur-unsur tasawuf telah masuk ke dalam kebudayaan Melayu melalui tarekat, kemudian meresapi pula kebudayaan penduduk kepulauan Nusantara. Bersamaan dengan hal ini, penulis-penulis Melayu dan Nusantara mengenal estetika dan puitika sufi. Filsuf sufi yang karyanya berpengaruh luas terhadap sastra sufi di Nusantara ialah Imam al-Ghazali, Ibnu al-‘Arabi, Abu Nasir al-Sarraj, Abdul Qadir al-Jilani, Abdul Karim al-Jili, dan lain-lain. Menurut Abdul Hadi W.M. (2004: 118), sufi lain yang juga disebut-sebut oleh Hamzah Fansuri dalam risalah tasawufnya ialah Bayazid al-Bisthami, Mansur al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi, Fariduddin al-‘Attar, Jalaluddin Rumi, Fakhruddin al-‘Iraqi, Mahmud al-Shabistari, Maghribi, dan Abdul Rahman al-Jami. Para sufi tersebut membicarakan estetika dan seni terkait dengan ontologi, kosmologi, dan psikologi sufi.

Teori Sastra atau Ilmu Puitika Islam

Penulis-penulis Melayu termasuk Hamzah Fansuri berkenalan dengan teori sastra atau ilmu puitika Islam yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, Abdul Qahir al-Jurjani, dan lainnya. Dalam pandangan Abdul Hadi W.M. (2004: 119), puisi al-Jurjani sangat relevan dengan penulisan syair dan alegori sufi karena menekankan pada makna kerohanian dalam penciptaan karya sastra, di samping pesan moral.

Teori al-Jurjani yang bercorak strukturalis semiotik, seperti halnya teori Lotman pada masa modern, di antaranya, mengemukakan sebagai berikut.

Di dalam struktur puisi tersembunyi makna .... Komposisi bersajak (nazm) merupakan bangunan kejiwaan atau kerohanian karya sastra yang susunannya kompleks dan menimbulkan berbagai nuansa. Biasanya nazm seperti itu terjelma melalui tamsil (citraan puitik yang simbolik), yaitu pernyataan tidak langsung yang menggerakkan baik akal maupun hati dan perasaan pembaca .... Kalau ungkapan prosa melahirkan satu atau sedikit makna, ungkapan puitik menurunkan makna dari makna-makna (dalam Hadi W.M., 2002: 76, 89, 209).

Dalam penelitian Abdul Hadi W.M. (2002) ditemukan bahwa syair-syair Hamzah Fansuri bersesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh al-Jurjani tersebut, sedangkan asas estetikanya dapat dipahami melalui penjelasan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin dan Kimiya-i Sa’adah (Kimia Kebahagiaan).

Pandangan Imam al-Ghazali tentang keindahan tidak hanya terkait dengan keindahan karya seni, tetapi juga dengan keindahan pengalaman keagamaan dan kesufian. Sistem estetika yang dikemukakannya bercorak konsentrik (sepusat) karena tertuju pada keindahan Yang Maha Tinggi. Imam al-Ghazali berpendapat sebagai berikut.

Semua nilai yang berhubungan dengan keindahan dan bentuk-bentuknya yang dicerap oleh manusia, dicintai dan disukai bukan karena memberi keuntungan, tetapi disebabkan nilai-nilai yang diberikan oleh keindahan itu sendiri. Sebagai subjek yang hendak disajikan dalam karya seni, keindahan tidak terbatas hanya pada keindahan yang dicerap oleh kelima indra kita. Di atas keindahan indrawi yang lebih tinggi peringkatnya ialah keindahan yang dapat dicerap oleh indra keenam. Indra-indra keenam itu ialah akal pikiran, kalbu dan ruh, atau cahaya (nur) penglihatan batin (Ettinghausen melalui Hadi W.M., 2004: 120).

Imam al-Ghazali mengatakan, “Keindahan lahir atau bentuk luar yang dilihat dengan mata telanjang dapat dialami oleh anak-anak, sedangkan keindahan batin dapat dicerap hanya dengan mata hati atau cahaya penglihatan batin”. Untuk menjelaskan perbedaan penglihatan batin dan penglihatan indra itu, Imam al-Ghazali mengatakan sebagai berikut.

Penglihatan batin lebih kuat dari penglihatan indra, “hati” lebih peka dalam melakukan pencerapan dari mata, keindahan yang ditangkap melalui “akal” lebih tinggi dari keindahan bentuk luar yang tampak pada mata. Oleh karena itu, kepuasan hati terhadap kemuliaan dan kesucian objek yang kelihatan dan objek yang terlalu tinggi untuk dicerap oleh pancaindra berlainan. Keindahan batin niscaya lebih sempurna dan lebih tinggi nilainya, dan kecenderungan sifat dan pikiran ke arah itu menjadi lebih besar” (Hadi W.M., 2002: 87).

Abdul Hadi W.M. memersepsikan konsepsi keindahan dalam pandangan penglihatan batin dan indra dalam perspektif Imam al-Ghazali tersebut dengan dua sudut pandang. 

Pertama, Imam al-Ghazali, sebagaimana filsuf sufi secara umum, membangun sistem estetika yang meletakkan keindahan bukan sesuatu yang nilai-nilainya berdiri sendiri. Keindahan sebagai sifat yang ada pada sesuatu pada dasarnya memiliki kaitan dengan nilai lain seperti kebaikan, kemuliaan, dan kesempurnaan. Seorang penulis sufi harus menghubungkan keindahan dengan nilai-nilai tersebut untuk mencapai kebenaran hakiki dan keindahan tertinggi. Pengalaman-pengalaman jiwa atau rohani berkenaan dengan nilai-nilai inilah yang merupakan tujuan agama. Kedua, melalui pemaparannya itu Imam al-Ghazali membagi peringkat-peringkat keindahan sesuai dengan ontologi dan kosmologi sufi (2004: 121).

Peringkat-peringkat keindahan sesuai dengan ontologi dan kosmologi sufi berdasarkan perspektif Imam al-Ghazali (melalui Hadi W.M., 2004: 122) adalah sebagai berikut.

(1) Keindahan lahir atau bentuk luar yang diperoleh di alam syahadah dan dapat dicerap indra atau mata jasmani. Tempatnya di alam al-mulk atau alam nasut. Dalam hubungannya dengan keindahan lahir ini, termasuk keindahan sensual atau nafsani, yang timbul dari cinta jasmani; (2) keindahan akliah atau yang hanya menampakkan diri pada akal dengan bantuan imajinasi, seperti misalnya keindahan sebuah puisi atau lukisan yang bermutu, yang tidak dapat dicerap semata-mata dengan indra tetapi menggunakan pikiran. Tempatnya di alam malakut atau mental; (3) keindahan kalbiah, yang dapat dicerap melalui perenungan kalbu atau secara intuitif, misalnya kepribadian dan moralitas seseorang atau nilai-nilai keindahan yang berhubungan dengan moral dan pengalaman mistik. Tempatnya di alam jabarut atau alam kerohanian; (4) keindahan ilahi atau transendental, berupa pengalaman kesufian seperti cinta ilahi (‘ishq-i ilahi), makrifat, fana’ dan baqa’, sukr, wajd, dan lain-lain. Ini bisa dicerap melalui cahaya penglihatan batin, tertuju ke alam lahut (ketuhanan).

Demikianlah pandangan sufi tentang keindahan dalam karya seni yang menjadi acuan sastra sufistik di Indonesia seperti dinyatakan oleh Abdul Hadi W.M. sebagai penggagas utamanya, yaitu bahwa sastra sufistik di Indonesia menjadikan tasawuf dan karya sastra para sufi sebagai sumber ilham bagi karya sastra mereka. Dapat disimpulkan bahwa sastra sufistik secara hakiki merupakan ekspresi dari kebenaran universal yang di dalamnya terdapat cahaya yang merupakan penurunan dari cahaya kalam ilahi. Simbolismenya berwujud berbagai kias tentang tingkatan-tingkatan wujud yang tersusun vertikal. Karena wujud hakiki itu satu, tidak ada suatu realitas pun jika dia tidak ilahiah (laa ilaaha illallaah, tidak ada Tuhan kecuali Allah). Segala sesuatu mesti merefleksikan sumbernya yang asal. Oleh karena itu, seorang sufi penyair, Ibn ‘Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah (melalui Hadi W.M., 2002: 88), mengatakan, “Karya seni dan puisi akan mencapai puncaknya apabila didukung pemusatan pikiran sepenuhnya terhadap keesaan Tuhan. Dengan pemusatan pikiran, seseorang dapat menghidupkan afinitas rahasia (munasabah) antara lubuk terdalam hatinya dan asal-usul kerohaniannya di alam transendental.” 

Titik Temu Sastra Sufistik dan Sastra Transendental

Di mana titik temu antara sastra sufistik gagasan Abdul Hadi W.M. dan sastra transendental gagasan Kuntowijoyo? Dengan sudut pandang yang sama dengan sufisme, dalam memandang realitas dengan penglihatan batin, Kuntowijoyo menyerukan pembebasan diri dari aktualitas yang menjauhkan kejasmanian dari kerohanian manusia. Oleh sebab itu, Kuntowijoyo (Dewan Kesenian Jakarta, 1984: 154) menyikapi aktualitas sebagaimana yang disebutkan di dalam makalahnya.

Saya kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental. Oleh karena tampak aktualitas tidak dicetak oleh roh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial, dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah kita yang otentik. Kita terikat pada yang semata-mata konkret dan empiris yang dapat ditangkap oleh indra kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah sebuah kesaksian—jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membedakan diri dari peralatan indrawi kita.

Dalam kesadaran sufisme, demi mengungkapkan perjalanan rohani dari tingkatan awal, penglihatan batin itu mendaki menuju tingkatan rohani selanjutnya. Sastra sufi (dan sastra sufistik) melukiskan perjalanan naik jiwa manusia itu sehingga dapat disebut sebagai “sastra pendakian” rohani menuju Tuhan. Sementara itu, penglihatan batin yang dimaksudkan dalam sastra transendental Kuntowijoyo, setelah mencapai puncak kerohanian tertinggi, bukan hanya berhenti pada ketinggian rohani belaka, melainkan juga kembali ke bumi untuk melakukan peran-peran kemanusiaannya. Kata Kuntowijoyo (Ibid.), “Sastra transendental adalah kesadaran balik yang melawan arus dehumanisasi atau subhumanisasi.”

Peran-peran kemanusian itu merupakan usaha manusia untuk melaksanakan peran profetiknya sebab menurut Kuntowijoyo (2013:9), “Kesadaran ketuhanan barulah sepertiga dari sastra profetik.” Kesadaran ketuhanan harus mempunyai continuum (kesatuan) kesadaran kemanusian, dan sebaliknya.

Semangat transendental sebagaimana sudah diuraikan, baik yang mendasari sudut pandang sastra keagamaan, sastra religius, sastra religius Islam, sastra sufi, sastra sufistik, maupun sastra transendental, menguat dan mewarnai sebagian besar karya sastra Indonesia sejak 1970-an sampai dengan sekarang, termasuk puisi-puisi karya A. Mustofa Bisri.

Sejak gerakan sastra modern muncul di Indonesia, tidak banyak karya sastra yang menyajikan renungan kerohanian mendalam, selain karya sastra Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Sastrawan Indonesia sempat mengabaikan dimensi transendental dan spiritualitas dalam penulisan karya sastra, padahal aspek inilah yang menjadikan karya seni dan sastra akan mencapai puncaknya sehingga relevan hingga masa kini. Dari pernyataan Ibn ‘Arabi serta Kuntowijoyo dapat dipahami bahwa seorang sastrawan tidak akan dapat menyumbangkan gagasan segar dan bermakna untuk terbangunnya pandangan hidup yang khas (Indonesia) tanpa memiliki kesadaran kesemestaan yang mengandung nilai-nilai transendental dan semangat profetik. Kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang menjadikan karya sastra yang ditulis oleh Rabindranath Tagore, Kahlil Gibran, dan Muhammad Iqbal dari belahan Dunia Timur mendunia.*****


Daftar Pustaka

Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.

Al-Hujwiri, Ibnu Usman. 2003. Kasyf al-Mahjub (Menyelami Samudera Tasawuf). Terj. Ahmad Afandi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.

An-Nadwi, Abul Hasan. 1986. Jalaluddin Rumi, Sufi Penyair Terbesar. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Attar, Fariduddin. 2015. Musyawarah Burung. Yogyakarta: Titah Surga.

Bachri, Sutardji Calzoum.1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.

Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.

________. 1995. Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Penerbit Mizan.

________. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 2002. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit Paramadina.

________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.

_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.

Iqbal, Muhammad. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Terj. Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad. Jakarta: Tintamas.

Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo bekerjasama dengan Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Nadjib, Emha Ainun. 1983. 99 untuk Tuhanku. Bandung: Penerbit Pustaka.

_________. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasr, Sayyid Husein. 1994. Tasauf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Rozaq, Abdul. 1986. “Sastra dan Agama dalam Tiga Kategori Hubungan”. Jakarta: Horison, No. 5, Th. XX.

Schimmel, Annemarie. 1981. The Mystical Dimension of Islam. Chapel Hill: The University of North Caroline Press.

Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Ende, Flores: Nusa Indah.

_________ . 1983. Tergantung pada Kata. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya.

_________. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Yaapar, Md. Salleh. 2002. Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Zaini, M. Fudoli. 1999. “Ibnu Arabi dan Pemikiran-Pemikirannya”. Kata Pengantar. Dalam Ibnu Arabi. 1999. Pohon Semesta: Teori-teori Penciptaan Alam.  Surabaya: Pustaka Progresif. 


Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair dan guru besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa