Sastra Sufi dan Sastra Sufistik di Indonesia

Pada permulaan tahun 1970-an muncullah gerakan dalam sastra Indonesia yang oleh Abdul Hadi W.M. disebut kembali ke akar, kembali ke sumber (1999: 3). Salah satu buah dari gerakan tersebut ialah kelahiran sastra sufistik. Abdul Hadi W.M. (1999: 21) menegaskannya sebagai berikut.

“Sejak awal, semangat dan pandangan dunia yang melatari kemunculannya mempunyai pertalian dengan tasawuf dan sastra sufi. Sejak awal pula para pendukungnya menjadikan tasawuf dan karya para penulis sufi sebagai salah satu sumber ilham penulisan karya mereka. Di antara penulis sufi yang memberi ilham mereka ialah Rabi’ah al-Adawiyah, Mansur al-Hallaj, Fariduddin ‘Attar, Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Rumi, Hafiz, Sa’di, Hamzah Fansuri, dan Muhammad Iqbal.” 

Di antara karya mereka yang dikategorikan sebagai sastra sufistik oleh Abdul Hadi W.M. ialah kumpulan cerpen Godlob, Adam Ma’rifat, dan Berhala karya Danarto; novel Khotbah di Atas Bukit dan kumpulan sajak Isyarat dan Suluk Awang-uwung karya Kuntowijoyo; kumpulan cerpen Arafah karya M. Fudoli Zaini; dan kumpulan sajak O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri. Di samping itu, karya sastra sufistik tampak dalam beberapa karya Taufiq Ismail, Ikranagara, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, Ibrahim Sattah, Ahmad Nurullah, Ahmadun Y. Herfanda, Ajamuddin Tifani, Hamid Jabbar, dan beberapa lainnya.

Emha Ainun Nadjib yang karya sastranya dikategorikan sebagai sastra sufistik oleh Abdul Hadi W.M. menolak kategori-kategori sastra sufi, sufistik, tasawuf, dan sebagainya. Namun, Emha Ainun Nadjib (1995: 56—62) sempat memberikan identifikasi terdekat sastra sufistik yang berangkat dari tasawuf, “Sastra tasawwufi atau bisa juga disebut sastra ‘isyqy, titik pandangnya hanya satu: Allah.” Dalam hal ini Emha Ainun Nadjib memilih lebih arif untuk berhati-hati dan mengucapkan, “Tak ada sastra sufi di Indonesia.” Emha Ainun Nadjib mengungkapkan alasannya, “... kita tak bisa mengelak bahwa menemukan sufi haruslah dengan mengandaikan bahwa kita telah memiliki ‘mata’ dan ‘kerangka’ ilmu untuk memahami kontinum dialektika multidimensional antara gejala hasil karya sastra dan manusia pekerjanya.”

Dalam perspektif Abdul Hadi W.M. (1999: 23), sastra sufistik dapat juga disebut sebagai sastra transendental sebab pengalaman yang dipaparkan oleh penulisnya sama, yaitu pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden (Tuhan). Pengalaman yang demikian itu berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis. 

Apakah Sama Sastra Sufi dan Sastra Sufistik Itu?

Sastra sufistik di Indonesia menjadikan tasawuf dan karya sastra para sufi sebagai sumber ilham untuk karya sastra mereka. Namun, Al-Hujwiri (melalui Hadi W.M., 1985: 27) mengatakan sebagai berikut.

“Sufi adalah sebuah nama yang diberikan, dan pernah diberikan, kepada wali-wali dan ahli-ahli kerohanian. Salah seorang Syeikh berkata: Man saffahu ‘l-hubb fa-huwa safin wa-man saffahu ‘l-habib fa-huwa Suffy; dialah yang telah dimurnikan oleh cinta adalah murni, dan dia yang telah terserap dalam Kekasih dan menyangkal selain Dia adalah Sufi.”

Dengan pengertian sufi yang diberikan oleh Al-Hujwiri itu, dapatlah dipahami bahwa kepribadian karya sastra sufi merupakan realisasi dari kehidupan kepribadian seorang sufi yang telah dimurnikan oleh cinta ketuhanan sehingga segala cinta kehidupan keduniawian ditolaknya selain cinta kepada Tuhan. Dalam kehidupan pada umumnya, yang hadir justru bertentangan dengan kemurnian (safa). Bagi para sufi, kemurnian (safa) adalah kewalian dengan sebuah tanda dan hubungan (riwayat), sedangkan tasawuf (tasawwuf) adalah peniruan yang setia terhadap kemurnian (hikayatun lil-safa bila shikayat). Kemurnian lantas merupakan gagasan cemerlang dan nyata, sedangkan tasawuf merupakan tiruan dari gagasan tersebut. Pengikut tasawuf dalam tingkatan rohani ini dapat diidentifikasi menjadi tiga kategori, yakni sufi, mutasawwif, dan mustaswif. Selanjutnya, keterangan Al-Hujwiri (melalui Hadi W.M., 1985: 28) tentang tiga kategori itu adalah sebagai berikut.

Sufi ialah dia yang “mematikan” dirinya dan dihidupi oleh Yang Maha Benar (al-Haqq); dia telah membebaskan diri dari tabiat manusia biasa dan benar-benar mencapai makrifat. Mutasawwif adalah dia yang berusaha mencapai tingkatan ini dengan jalan mati raga (mujahadat) dan dalam pencariannya mencuci tindakan-tindakannya meneladani sufi. Mustaswif adalah dia yang menciptakan dirinya seperti mereka (sufi) dengan tujuan mendapatkan uang, kekayaan, kekuasaan dan keuntungan dunia, namun tak memiliki pengetahuan mengenai kemurnian (safa) dan tasauf.

Dengan pernyataan bahwa sastra sufistik di Indonesia menjadikan tasawuf dan karya sastra para sufi sebagai sumber ilham bagi karya sastra mereka, Abdul Hadi W.M. menegaskan persepsi dan posisi dirinya. Pertama, ia memosisikan tasawuf dan karya sastra para sufi hanya sebagai sumber ilham, bukan sebagai sumber acuan perilaku. Kedua, sumber ilham itu hanya untuk karya sastra mereka. Artinya, belumlah tentu itu sumber ilham bagi kepribadian penulisnya. Oleh sebab itu, dalam banyak penyebutan di dalam karya tulisnya, Abdul Hadi W.M. lebih memersepsikan dan memosisikan gerakan sastra ini sebagai sastra sufistik, yaitu sastra yang bersifat sufi (kalau dalam perspektif Al-Hujwiri disebut mutasawwif), yang dalam pencariannya mencuci tindakan-tindakannya meneladani sufi. 

Mengidealkan Konsepsi Sufisme

Identifikasi sastra sufistik yang dikategorikan sebagai karya sastra Indonesia sejak tahun 1970-an itu oleh Abdul Hadi W.M. diidealkan sebagai pandangan kehidupan sebagaimana konsepsi sufisme. Akan tetapi, penulis hanya menemukan mozaik-mozaik pemikiran sastra sufistik ini dari analisis-analisis Abdul Hadi W.M. terhadap karya Kuntowijoyo, Danarto, M. Fudoli Zaini, dan Sutardji Calzoum Bachri. Tidaklah teridentifikasi secara utuh dan jelas apa yang menjadi karakteristik konsepsi sufisme setiap karya sastra yang dikatakannya sebagai sastra sufistik tersebut, kecuali hal-hal yang bersifat umum bahwa sastra sufistik berorientasi ketuhanan yang bersumber dari karya sastra para sufi.

Orientasi ketuhanan yang bersumber dari karya sastra para sufi itu justru dapat ditemukan pada kajian Abdul Hadi W.M. tentang perpuisian Hamzah Fansuri yang bukan termasuk puisi Indonesia modern, melainkan puisi Nusantara. Hamzah Fansuri adalah seorang sufi penyair yang hidup dan bekerja di Sumatra Utara, khususnya di Kesulatanan Aceh pada paruh kedua abad ke-16. Ia wafat pada tahun 1590. Namun, seorang pakar sastra Indonesia lama dan modern dari Belanda, A. Teeuw, menemukan kemodernan perpuisian Hamzah Fansuri sehingga menyimpulkan bahwa Hamzah Fansuri adalah sang pemula puisi Indonesia (1994: 45). Oleh karena itu, identifikasi gagasan sastra sufistik dalam sastra Indonesia modern itu bisa dapat digali dari sumbernya sebagaimana estetika puitika Hamzah Fansuri yang memang memiliki kepribadian seorang sufi dalam kehidupannya.***

 

Daftar Pustaka

Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.

Al-Hujwiri, Ibnu Usman. 2003. Kasyf al-Mahjub (Menyelami Samudera Tasawuf). Terj. Ahmad Afandi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.

An-Nadwi, Abul Hasan. 1986. Jalaluddin Rumi, Sufi Penyair Terbesar. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Attar, Fariduddin. 2015. Musyawarah Burung. Yogyakarta: Titah Surga.

Bachri, Sutardji Calzoum.1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.

Departemen Agama RI. 1983/1984. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.

Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.

________. 1995. Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Penerbit Mizan.

________. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 2002. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit Paramadina.

________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.

_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.

Iqbal, Muhammad. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Terj. Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad. Jakarta: Tintamas.

Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo bekerja sama dengan Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Nadjib, Emha Ainun. 1983. 99 untuk Tuhanku. Bandung: Penerbit Pustaka.

_________. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasr, Sayyid Husein. 1994. Tasauf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Rozaq, Abdul. 1986. “Sastra dan Agama dalam Tiga Kategori Hubungan”. Jakarta: Horison, No. 5, Th. XX.

Schimmel, Annemarie. 1981. The Mystical Dimension of Islam. Chapel Hill: The University of North Caroline Press.

Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Ende, Flores: Nusa Indah.

_________ . 1983. Tergantung pada Kata. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya.

_________. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Yaapar, Md. Salleh. 2002. Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Zaini, M. Fudoli. 1999. “Ibnu Arabi dan Pemikiran-Pemikirannya”. Kata Pengantar. Dalam Ibnu Arabi. 1999. Pohon Semesta: Teori-teori Penciptaan Alam.  Surabaya: Pustaka Progresif. 

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa