Pengembangan Literasi Sastra Indonesia di Pesantren sebagai Upaya Moderasi Beragama

Literasi merupakan kemampuan berpikir dan belajar seumur hidup untuk bertahan dalam lingkungan sosial dan budaya. Literasi pada tataran yang paling bawah identik dengan kemampuan dan aktivitas membaca dan menulis. Aktivitas membaca sejatinya merupakan kegiatan yang rumit karena melibatkan banyak hal, bukan hanya melafalkan tulisan, melainkan juga melibatkan aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif. Sebagai proses visual, membaca merupakan proses menerjemahkan simbol tulis (huruf) ke dalam kata-kata lisan.

Pada buku kumpulan esainya yang berjudul Menggerakkan Tradisi, Gus Dur menulis tentang sastra dan pesantren. Dalam buku tersebut, dia mengetengahkan karya Djamil Suherman yang bernuansa agama (di pesantren), selain karya A.A. Navis, Robohnya Surau Kami (Wahid, 2016). Meskipun bukan kritikus sastra, Gus Dur memiliki literasi sastra yang sangat baik. Dia juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta. Gus Dur mengatakan bahwa sastra di pesantren atau pesantren sebagai tema karya sastra belum digarap secara optimal. Banyak karya sastra bertema agama, tetapi sedikit yang menyinggung kehidupan pesantren sebagai lokus dan modus penciptaan.

Terlepas dari kritik yang dilontarkan Gus Dur tersebut, pesantren sebenarnya sudah “membangun” konsep sastra dalam proses pembelajarannya. Bahkan, sejak semula, pesantren sering dijadikan tempat diskusi oleh pujangga Keraton Surakarta, seperti Yasadipura 1, Yasadipura 2, hingga Ranggawarsita. Ilmu tasawuf, fikih, akidah, dan akhlak diajarkan di pesantren melalui kitab-kitab berbahasa Jawa (pegon). Beberapa kitab, seperti Aqidatul Awam dan Alfiyah Ibn Al-Malik, dibaca dengan menggunakan langgam/nadam, selain wirid/hizib yang panjang (Abdullah, 2011; Muzakka, 1999; Tabroni, 2019).

Literasi di Pesantren

Aktivitas literasi di pesantren bermula dari pembacaan kitab yang dilaksanakan secara bandongan, selain sorogan. Bandongan adalah tradisi mengaji berjemaah dengan cara mencatat bacaan dan materi yang disampaikan oleh kiai berdasarkan kitab kuning. Di samping itu, kitab nahu dasar, seperti Jurumiyah, dibaca atau dilalar dengan menggunakan lagu-lagu tertentu agar santri mudah menghafal. Pola semacam itu berdampak pada psikologi santri dan membangkitkan imajinasi santri dalam menyerap hikmahnya (Burhanudin, 2017; Hayati, 2011).

Dalam pidato kebudayaannya yang berjudul “Sastra Pesantren, Semua Suara Berharga”, Raedu Basha mengatakan bahwa semua suara dari dalam pesantren sangat bermakna. Seluruh karya yang dihasilkan melaui pesantren, dengan intensi sastra yang baik, tetaplah akan menjadi karya sastra Indonesia yang indah. Dewasa ini novel Hati Suhita karya Khilma Anis dapat dijadikan contoh (Basha, 2020; Usman, 2019). Suara-suara yang keluar dari dalam pesantren ialah suara keindahan. “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (H.R. Thabrani).

Jauh sebelumnya, Djamil Suherman pada tahun 1955—1965 juga banyak menulis tentang kebudayaan pesantren di Indonesia. Tulisannya tersiar di Kisah, Sastera, Indonesia, Budaya, Mimbar Indonesia, dan Siasat (Gelanggang). Djamil hidup di dalam pesantren. Setidaknya, Perjalanan ke Akhirat (1985), Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984), dan Kabar dari Langit (1988) menjadi karya sastranya yang membicarakan isu agama medio 1980 dari dalam pesantren dengan beradab (Kustiawan, 2018).

Keindahan selalu berkaitan dengan adab. Kedua hal itu yang menjadi intensi K.H. Moh. Roqib dalam mendirikan pesantren. Basis pesantrennya adalah kepenulisan. Sejak awal pendirian pesantrennya, Roqib mengikrarkan pesantrennya sebagai pesantren kepenulisan. Oleh karena itu, dibuatlah komunitas bernama Pondok Pena. Di samping mengaji Al-Qur’an dan kitab, pesantrennya juga kerap mengadakan pelatihan menulis novel, puisi, dan artikel jurnalistik serta berbagai lomba kepenulisan. Sastra sangat penting untuk diajarkan di pesantren karena sastra, sama dengan tasawuf, mendekatkan hati manusia kepada Allah.

Integrasi sastra dan agama (tasawuf) inilah yang membawa Maulana Jalaluddin Rumi ke maqam tertinggi sebagai sufi-penyair. Dia memersepsikan dan memosisikan simbol agung ketuhanan ke dalam puisi-puisinya. Dari sanalah Rumi mengajarkan pentingnya penghambaan dan perilaku yang indah (Rumi, 2018; Santosa, 2018). 

Hubungan pesantren dengan sastra juga diteliti secara etnografis oleh Badrus Shaleh. Dia mengangkat Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, lumbungnya para santri-penulis. Di pesantren tersebut kitab dan nadam  dibaca dan dibawakan setiap hari, siang dan malam. M. Zamiel El-Muttaqien sebagaimana diungkap Shaleh mengatakan hal berikut.

“Pesantren Annuqayah, sejak beberapa belas tahun terakhir, dikenal sebagai tempat penangkaran penulis andal. Dari pesantren yang sudah tidak lagi salaf, tetapi belum juga modern ini memang telah lahir puluhan, bahkan mungkin ratusan, penulis. Ada banyak penyair, juga cerpenis. Ada penerjemah, juga peninjau buku. Ada penulis buku-buku serius. Ada pula penulis kolom-kolom ringan yang dimuat di pelbagai media massa. Secara formal, pelajaran menulis sebenarnya tidak mendapatkan perhatian yang memadai, baik di dalam kurikulum pesantren, maupun madrasah. Bahkan, pelajaran bahasa umumnya agak disepelekan. Kalaupun bahasa asing—Arab dan Inggris—mendapatkan penekanan, pastilah bukan untuk tujuan menulis. Akan tetapi, Pesantren Annuqayah bukanlah sejenis negara totaliter. Ada banyak ruang dan waktu yang selalu dapat dimanfaatkan para santri untuk kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Selain sepak bola, menulis adalah yang paling banyak peminatnya. Hal ini terlihat di sanggar-sanggar sastra/teater, OSIS-OSIS, majalah-majalah dinding dan terbitan-terbitan internal berskala kecil” (Shaleh, 2020). 

Tradisi kepenulisan di Annuqayah sesungguhnya mulai pada era 1980-an. Pesantren tersebut sama dengan pesantren lain, yaitu mengajarkan salaf dan tidak mengajarkan pelajaran bahasa Indonesia. Tradisi menulis muncul karena aktivitas mengaji yang telah lama dilakukan oleh para kiai dan santri. Bahkan, pada awalnya aktivitas menulis hanya dilakukan oleh para kiai yang keilmuannya matang. Karya berbahasa Indonesia mulai masuk karena Kiai M. Ashim Ilyas mengikuti pelatihan jurnalistik pada akhir tahun 1970-an yang diadakan oleh Departemen Agama. Dari sanalah muncul ide mengenai media publikasi dan majalah dinding (Shaleh, 2020).

Geliat sastra pesantren makin berjaya dengan makin banyak pengarang yang berlatar belakang pesantren dan menulis perihal pesantren. Sungguhpun begitu, secara literat, estetis, dan statistis, karya sastra pesantren perlu berbenah kembali (Rina Zuliana, 2019). Orientasi karya sastra pesantren mengalami perpecahan, yakni antara golongan sastrawan pendahulu dan bibit-bibit sastrawan muda. Sastrawan pendahulu, seperti Acep Zamzam Noor, K.H. A. Mustofa Bisri, K.H. D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahman, dan Ahmad Tohari, memiliki strategi simbolik yang cukup kuat dengan karya-karya fenomenalnya dalam mencapai sastra spesifik di arena sastra Indonesia. Sementara itu, penulis-penulis muda memasuki ranah kreativitas meskipun banyak di antara mereka yang melahirkan sastra pop pesantren.

Sastra, pesantren, dan moderasi beragama sama-sama mengedepankan makna dan hikmah dalam praktik. Abdul Hadi W.M. menengarai hal tersebut karena sastra (pesantren) selalu mampu membangkitkan sikap optimistis, demokratis, dan menjunjung budaya bangsa dalam lokus penciptaan (2014;  2016). “Tidak ada yang bukan sastra di pesantren, bahkan Al-Qur’an merupakan “kitab sastra” terbesar,” kata Nasr Hamid Abu Zayd (2005).

Sastra dan moderasi beragama tidak selalu hidup di dalam pesantren. Dalam novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan, misalnya, narasi moderasi beragama juga cukup representatif pada tokoh Miftah dan Fauzia. Mereka saling mencintai, tetapi dilarang karena berbeda agama. Mereka tetap menghormati kedua orang tua mereka meskipun kedua orang tua mereka sama-sama melarang dan menentang mereka. Sikap moderat semacam itu dapat menuntun manusia untuk selalu berpikir rasional dan kritis menghadapi persoalan hidup (Djihadah, 2022; Lestari, 2021).

Narasi moderasi agama dalam karya sastra selalu dibangun melalui modus penciptaan penulisnya. Ide dan gagasan penulis tak sedikit dipengaruhi oleh pemahaman, ideologi, dan kecenderungan mazhab penulisnya. Hal itu dapat kita lihat dalam karya K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang kerap mengedepankan cinta dan tasawuf sebagai modus penciptaan. Dalam cerpennya yang berjudul “Gus Jakfar”, Gus Mus mengurai persoalan hakikat ketuhanan dan kemanusiaan yang selalu paradoks jika hakikat itu dinilai sesama manusia. Gus Mus ingin mengatakan bahwa semua orang berpotensi untuk memperoleh surga yang abadi (Wachid B.S., 2019; Shandy, 2016; Ulistiani, et al., 2018).

Melalui pengajaran sastra Indonesia, pesantren dapat mengenalkan santri pada karya sastra yang menggambarkan keberagaman budaya dan agama di Indonesia. Kemampuan bersastra dalam diri santri dapat melembutkan hati dan perilaku. Hati dan perilaku yang lembut itulah pangkal dari sikap keberagamaan yang moderat (jalan tengah). Sikap moderat ini merupakan sikap Nabi Muhammad saw. karena beliau ialah sosok yang adil bagi kaumnya dan bagi orang lain.

Ajaran moderat atau moderasi selalu berkaitan dengan akidah, ibadah, dan dakwah. Jika ketiga unsur tersebut didasari dengan sikap moderat, umat manusia dapat menjauhi fanatisme berlebihan terhadap suatu pandangan atau kelompok (Awwaliyah, 2019). Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah wasatiyah yang bermakna tengah atau di antara. Dalam bahasa Latin kata itu disebut moderate yang artinya mengurangi atau mengontrol. Makna wasathan dalam Mu’jam al-Wasit bermakna sederhana, sedangkan khiyaran berarti terpilih (Wahidah, 2019). Al-Asfahaniy Afrizal Nur dan Mukhlis mendefinisikan wasathan dengan sawa’un, yaitu tengah-tengah di antara dua batas atau keadilan yang tengah-tengah, standar, atau biasa-biasa saja (Nur, 2015).

Allah juga menyebut kata wasath dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143 yang artinya sebagai berikut.

“Dan demikian Kami telah menjadikan kamu ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi (patron) atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu (sekarang), melainkan agar Kami mengetahui (dalam dunia nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” 

Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Syuyuthi dalam tafsir Jalalain menyebutkan bahwa makna ummatan wasathan adalah umat pertengahan, yang adil, dan pilihan (al-Mahalli dan as-Syuyuthi, 2011). Ibnu ‘Asyur melalui At-Tahrir Wa At-Tanwir juga menjelaskan bahwa makna ummatan wasathan pada surat Al-Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil dan terpilih.

Persoalan moderasi merupakan persoalan kesadaran. Setidaknya, kesadaran ini dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan keagungan akhlak, selain penghayatan atas firman Allah yang banyak menyinggung persoalan muamalah (Abdullah, 2019; Dakir dan Anwar, 2019). Pertanyaan yang muncul kemudian ialah bagaimanakah moderasi di pesantren dengan sastra sebagai representasinya?

Moderasi Beragama Melalui Sastra

Untuk menjawab pertanyaan itu, konsep wali sanga (atau ada yang menyebut wali sana) perlu dikemukakan. Pada zaman wali sanga, Sunan Giri adalah sosok ulama yang menggunakan pesantren dan sastra sebagai media berdakwah. Sunan Giri, dalam Serat Walisana, merupakan putra dari Syekh Maulana Ishak. Gelar kerajaan Sunan Giri ialah Pangeran Raden Wali Lanang. Nama ibunya, menurut sumber Babad Tanah Jawi, ialah Dewi Sekardadu. Dalam Serat Walisana ibunya bernama Retno Sabodi. Sunan Giri lahir di Blambangan pada tahun 1442 M. Ia juga disebut sebagai Raden Paku atau Muhammad Ainul Yaqin (Ismail, 2021).

Setelah dewasa dan keilmuannya meningkat, Sunan Giri mendirikan Pesantren Giri yang memiliki pengaruh kuat di berbagai daerah, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, hingga ke Ternate. Selain membangun pesantren, Sunan Giri juga mahir menciptakan karya sastra dalam bentuk tembang, seperti “Padang Bulan”, “Jor”, “Gula Ganti, serta “Cublak-Cublak Suweng”. Melalui dua entitas itu, pesantren dan seni (sastra tembang), Sunan Giri berdakwah dengan nilai rahmat (kasih-sayang) dan kearifan lokal (Ismail, 2021). Sisi moderasi Sunan Giri terlihat dari prinsipnya yang adil dan berimbang serta tidak menjustifikasi masyarakat di sekitarnya.

Selain Sunan Giri, Sunan Muria juga melakukan hal yang hampir sama. Dalam beberapa versi, ada yang menyebut Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga. Akan tetapi, dalam sumber lain, Sunan Ngudung disebut sebagai ayahnya. Selain mendirikan pesantren, Sunan Muria juga menggunakan Suluk Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram. Salah satu isinya ialah ora kena dhahar iwak ati ‘tidak boleh makan hati’. Suluk itu dapat juga disebut dengan proses penyucian jiwa (Arafat, 2020).

Kedua tokoh yang masyhur sebagai ulama dan wali tersebut menggunakan pesantren dan seni (sastra) sebagai pendekatan dakwahnya. Artinya, pola mereka sesuai dengan konteks fenomena pesantren saat ini. Dengan kata lain, sikap moderasi yang mengedepankan rahmat (kasih sayang), sebagaimana konsep Sunan Giri, dapat dibangun melalui pesantren dan sastra.

Literasi sastra dan pesantren tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, bukanlah hal yang mengherankan jika kemudian muncul istilah sastra pesantren. Sastra pesantren adalah karya sastra yang ditulis oleh para santri dan/atau kiai. Pengertian lain dari sastra pesantren adalah semua teks sastra yang bertalian atau berkelindan secara sosial-intelektual dengan pesantren dan bertema ihwal kesantrian dan kepesantrenan dengan membawa semangat kesantrian (religiositas), baik secara langsung maupun tidak langsung (Rosyid, 2019).

Tradisi sastra di pesantren sudah berlangsung sejak awal pendirian pesantren. Bangsa Indonesia memiliki tokoh besar yang dikenal sebagai pelopor sastra Melayu, yakni Hamzah Fansuri. Tokoh besar ini dilahirkan oleh pusat pendidikan Islam (tradisional) pertama di kota Barus, Provinsi Sumatra Utara, yang kemudian menjadi cikal bakal pesantren sekarang. Kegiatan literasi sastra di pesantren didukung oleh tradisi intelektual yang telah mengakar di lingkungan pesantren. Banyak sekali alim ulama yang menulis kitab dengan gaya sastra (Dedi, 2018).

Pondok pesantren pernah mengalami fase keberlimpahan buku sastra, baik di perpustakaan maupun di kamar para santri. Semangat membaca santri diiringi dengan semangat menulis agar karya tulisnya diterbitkan dalam bentuk kumpulan puisi dan cerpen. Terbitan-terbitan itu memancing santri-santri untuk membicarakan berbagai karya. Sesekali mereka mengundang sastrawan berkaliber nasional, seperti Ibnu Hajar, Edi A.H. Iyubenu, E.N. Hidayat, Turmedzi Djaka, Chumaidi H., Hidayat Rahardja, D. Zawawi Imron, dan Syaf Anton. Oleh karena itu, komunitas-komunitas pun terbentuk dengan sendirinya dari sanggar-sanggar di pondok “federal”. Kegiatan lomba berkarya di area pesantren atau di luar pesantren menjadi “hawa panas” bagi santri lainnya (Shaleh, 2020).

Pondok pesantren memiliki relasi yang kuat dengan literasi sastra dan kelahiran sastrawan. Persinggungan sastra dengan santri dimulai sejak awal pendirian pesantren, yaitu sekitar tahun 1742. Pada masa itu pesantren telah menjadi tempat para pujangga kreatif untuk menghasilkan karya sastra. Pujangga keraton, seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan Raden Ranggawarsita, adalah  santri yang tekun mengembangkan karya sastra dalam rangka berdakwah. Mereka menulis karya dalam beragam bentuk, seperti kakawin, serat, dan babad dari berbagai sumber inspirasi, termasuk pengalaman sejarah (Baso, 2012).

Pada tahun 1960-an muncul nama Syu’bah Asa, Djamil Suherman, dan Fudoli Zaini. Pada tahun 1970-an muncul Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (alumni Pesantren Gontor). Pada tahun 1980-an dan 1990-an muncul K.H. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus (pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang), Jamal D. Rahman,  Acep  Zamzam  Noor  (putra  mantan  Rais  Syuriah  PBNU Tasikmalaya, K.H.M. Ilyas Ruhiat), Ahmad Syubbanuddin Alwy (putra kiai dari Cirebon), Abidah El Khaliqy, Ahmad Tohari, Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Hamdy Salad, H.M. Nasruddin Anshory Ch., dan Kuswaidi Syafi’ie. Pada tahun 2000-an muncul novelis Habiburrahman El Shirazy, Ahmad Fuadi, dan lain-lain. Mereka ialah sastrawan yang pernah belajar di pesantren dan karya-karya mereka pada umumnya bernapaskan nilai-nilai religius pesantren.

Pesantren memiliki kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan gagasan, sikap, dan alternatif untuk mencegah perkembangan gerakan-gerakan dan paham radikalisme agama. Inti pembelajaran di pesantren adalah nilai-nilai Islami yang mengajarkan pemahaman tentang hablun minallah, hablun minannas, dan hablun min al-alam kepada para santri, pengajar, dan masyarakat di sekitarnya (Halim, 2017).

Kontribusi pesantren dalam menghasilkan santri berjiwa sastrawan tersebut tidak lepas dari tradisi keilmuan dan kultur keseharian para santri dalam mengenyam pendidikan. Sebagian besar kurikulum dan bahan ajar pesantren adalah teks-teks sastra dalam berbagai ragam, genre, dan bentuk. Pesantren, sastra, dan santri merupakan tiga variabel yang penting dan menjadi bukti bahwa literasi sastra tumbuh dan berkembang di kalangan santri.

Tradisi suluk, nadam, dan barzanji di pesantren berkaitan erat dengan literasi sastra sekaligus pemahaman keagamaan yang moderat. Melalui tradisi tersebut, santri tidak hanya memahami pengetahuan beragama, tetapi juga belajar seni yang transendental. Tradisi semacam itu merupakan presentasi tasawuf yang mendekatkan santri sastrawan dengan nilai-nilai kebenaran dan kerohanian. Pemahaman keagamaan yang diintegrasikan dengan tradisi atau budaya itu dapat berjalan dengan baik karena pada dasarnya kitab-kitab yang digunakan sebagai rujukan di pesantren ialah kitab-kitab klasik. Kitab tersebut ditulis musonif dengan menggunakan pendekatan sastra. Kitab-kitab nadam, misalnya, berisi kalimat-kalimat simbolis atau semiotik yang memang memerlukan interpretasi. Dengan demikian, pemahaman agama dan kemampuan interpretasi sastra saling berhubungan dan sangat mendukung upaya pemahaman keberagamaan yang baik. Sastra mengajarkan nilai secara tidak langsung dan membuat hati manusia sensitif sehingga otomatis akan memengaruhi pandangan seseorang ketika ia menghadapi perbedaan dalam beragama.

Internalisasi nilai-nilai atau paham agama dan budaya di pesantren biasanya dilakukan dengan beberapa metode. Metode yang lazim digunakan meliputi metode sorogan, bandongan, dan hafalan (muhafadzat). Pada metode sorogan, santri menyuguhkan materi yang ingin dipelajarinya kepada kiai yang akan membacakan materi pelajaran dari kitab kuning dan memberikan tafsiran dan ajaran yang diperlukan lalu santri mengikuti kiai tersebut dengan membaca kembali. Bandongan adalah metode pengajaran dengan pembacaan materi dan pemberian penjelasan yang diperlukan oleh kiai kepada sejumlah muridnya yang mengelilinginya pada waktu-waktu  tertentu, misalnya setelah salat wajib. Metode hafalan adalah pembelajaran yang dilakukan dengan menghafalkan naskah-naskah tertentu di bawah pengawasan kiai (Zulmuqim, 2017).

Secara garis besar penanaman nilai keagamaan melalui pendidikan di pesantren dilakukan dengan dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan, yang sering disebut sistem kolektif. Sistem pengajaran sorogan memberikan kesempatan kepada santri untuk belajar secara langsung kepada kiai atau santri senior, yang menjadi pembantu kiai di dalam pondok pesantren. Sistem bandongan atau wetonan menjadi metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Sistem ini dijalankan secara berkelompok. Setiap kelompok santri bersama-sama mendapatkan bimbingan dari seorang guru yang mengulas pelajaran dari kitab-kitab dalam bahasa arab. Guru akan membacakan, menerjemahkan, menjelaskan, dan menerangkan palajaran tersebut. Kelompok santri dalam sistem bandongan ini disebut dengan halaqah, yang berarti sekumpulan siswa yang belajar langsung dengan dibimbing oleh seorang guru.

Kiai dan santri, melalui pesantren, membumikan Islam dengan menciptakan budaya dan tradisi religius yang dilakukan secara bertahap dan menghormati kearifan lokal (local wisdom). Secara teori, dapat dijelaskan bahwa interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi sebagai berikut.

(1) Agama memengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya (nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan).

(2) Kebudayaan dapat memengaruhi simbol agama.

(3) Kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama (Kuntowijoyo, 2001).

Seorang santri yang tinggal di pesantren memiliki kesempatan yang lebih luas dan leluasa untuk menempa diri dengan berbagai kegiatan literasi sastra. Mereka yang bergiat dalam literasi sastra akan memiliki jiwa atau mentalitas sastrawan. Santri akan mampu menulis kreatif dan mengkaji karya kreatif. Kemampuan tersebut dengan sendirinya dapat terasah karena berbagai instrumen yang ada di pesantren sangat mendukung. Pesantren telah memiliki tradisi literasi sejak dahulu. Pesantren juga menganut tradisi pendidikan yang sangat bagus. Di pesantren diajarkan ilmu tafsir untuk mengkaji kitab-kitab yang menjadi rujukan dan sarat akan nilai budaya dan pendidikan literasi.   

Penutup

Kontribusi pesantren terhadap perkembangan sastra di Indonesia masih terus berlanjut hingga saat ini. Geliat tradisi bersastra di pesantren makin tampak nyata. Pesantren terbukti telah banyak berandil dalam melahirkan atau membentuk para santri yang berjiwa sastrawan. Mereka kemudian benar-benar menjadi sastrawan yang terus mengembangkan kreativitas dalam berkarya. Melalui karya sastra yang ditulisnya, mereka menjalankan misi dakwah, syiar keagamaan, sekaligus misi ibadah.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair dan guru besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa