Intelektualitas Sastra Cermin Manifestasi Bahasa

Abstrak

     Sastra masuk kurikulum, meski ini bukan hal yang baru, tentu perlu direspons positif. Sejatinya karya-karya sastra tidak hanya sekadar dibaca, tetapi harus mampu memberikan kontribusi besar terutama dalam membentuk karakter dan perilaku positif. Sastra yang memiliki dimensi seni, seharusnya memunculkan paradigma keilmuan, baik terhadap pengarangnya maupun peminatnya (pembacanya).

     Kedua aspek ini, seni dan keilmuan, harus saling berhubungan dan bersinergi, walaupunmemang ada problem dasar yang sering tidak disadari oleh pengarangnya. Ia menjual karyanya ke pasar (pembaca) hanya berorientasi kepada pemuasan individu. Ini tentu tidak akan mampu mengakomodasi sastra masuk kurikulum. Sesuatu yang wajar jika kemudian pasar pembaca menjadi ambivalen dan kemudian menjadi polemik.

      Seorang ahli bahasa berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa memberikan bukti terbaik bahwa hukum yang diterima oleh suatu komunitas bukan aturan yang disetujui secara bebas oleh semua orang. Ini berarti bahasa menjadi penengah dari perbedaan-perbedaan secara sosial untuk merumuskan tujuan atau maksud kepada semua orang. Bahasa menjadi manifestasi dalam interaksi apa pun yang gunanya mengukur capaian maksud atau tujuan.

      Kemajuan teknologi yang merupakan ekses dari perubahan peradaban tentu memiliki dampak pada prinsip-prinsip kebahasaan. Dalam kajian linguistik modern  salah satu pelopornya adalah Ferdinand de Saussure. Pemikiran tentang linguistik modern telah disampaikan dalam bukunya yang berjudul Course de Linguistique Generale (1916).

Keadaan bahasa pada abadyang berubah secara cepat dan dianggap memasuki pascamodern ini secara implisit sudah terjangkau oleh pemikiran para pakar terdahulu. Lalu, bagaimana ruang kreatif sastra untuk menghadapi perubahan ini? Jawabannya dengan cara menjadikan sastra sebagai ruang intelektual dalam  menghadapi tantangan kemajuan ilmu dan teknologi modern serta menguasai informasi merupakan syarat mutlak.

 

Realisme Sastra

      Sedikit ulasan untuk mengenang sejarah sastra, khususnya dalam perjalanan sastra Indonesia, bahwa sastra pun mengalami pergantian yang disebut sebagai fase sejarah sastra. Di Indonesia dikenal dengan sebutan angkatan bagi penyair, yang kemudian dalam  realitas sastraberkembang melalui aliran atau genre.

      Dalam persaingan karya sastra di tengah derasnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, perabaan makna bahasa menjadi sebuah tantangan peradaban maju, baik dalam era modern maupun pascamodern. Penguasaan bahasa melalui sumber-sumber literasi yang ada tentu akan menghasilkan kematangan dalam karya-karya sastra.Sayangnya, dalam gerakan penguatan kesastraan tidak ada konvensi (kesepakatan) untuk menetapkan sebuah indikator bagi karya-karya sastra. Sastra cenderung melahirkan cara dan jalannya masing-masing karena munculnya pemikiran-pemikiran baru. Di sini, pemikiran realis sangat kuat memberi pengaruh dalam populasi karya-karya sastra.

      Realitas sosial yang dilakukan dengan pendekatan imajinatif dan dituangkan dalam perspektif karya sastra adalah rentetan peristiwa yang melahirkan kematangan sastra. Sebagai sebuah disiplin ilmu, sastra berkembang dalam prinsip-prinsip moderat yang mengikuti arah zaman. Oleh karena itu, pada masa silam ada batasan masa yang menerangkan tentang sejarah sastra.

      Beberapa tahun ini sastra bergeser secara alamiah dalam dinamika masa yang tidak lagi hanya dihasilkan oleh seniman sastra berlatar belakang akademisi. Ada beberapa momentum yang memunculkan sebuah paradigma baru, khususnya penulis fiksi. Ada banyak karya bagus terlahir dari pegiat sastra melalui seleksi alam atau belajar sastra secara autodidak. Ini mengingatkan kita pada Ajip Rosidi, Chairil Anwar, atau yang lain.

      Para pegiat sastra atau seniman sastra kini tidak lagi mengandalkan disiplin ilmu secara didaktis. Tak terhitung lagi, betapa banyak pegiat sastra atau seniman sastra melahirkan karya-karya bagus dan berkualitas. Artinya, perubahan ini disebabkan kematangan sastra secara individu oleh pola pikir penulis yang lebih berorientasi pada sebuah intelektualitas.  Hingga sebuah karya sastra yang bagus dan berkualitas adalah olahan penulis sastra atau penulis fiksi yang memanfaatkan sumber-sumber ide dari objektivitas pemikiran, bukan hanya olahan subjektivitas pemikiran yang terkesan intelektual.

      Bagai membaca tembok yang tak berwarna, sastra itu adalah penjara pemikiran yang penuh pergolakan. Sastra memiliki warna untuk mengukir kehidupan sosial. Akan tetapi, jika kita bicara tentang sastra, harus juga memadukan unsur literasi, bahasa, dan budaya. Ini adalah satu-kesatuan yang sulit untuk dipisahkan satu sama lainnya. Hal ini kadang diterjemahkan sebagai karakter aliran sastra oleh beberapa pegiat sastra.

      Kemampuan dalam mengolah seni bahasa pada karya sastra memunculkan konsep-konsep idealis sehingga melahirkan beberapa perbedaan karakter. Konsep sastra menggambarkan sebuah realisme yang terkadang menabrak kaidah bahasa (konsep gramatikal). Hal ini diebabkan karya sastra yang menjadi karya fiksi acapkali dianalogikan sebagai gerakan seni.

      Tanpa sadar, era modern dengan berbagai macam tantangan yang dihadapi telah memacu para pegiat sastra dan seniman sastra untuk mengangkat nilai-nilai kreativitas sastra ke dimensi ruang yang lebih tinggi. Sebagai contoh, karya-karya novel yang diangkat dan diedarkan secara luas banyak ditulis oleh novelis yang tidak mengenyam pendidikan sastra secara didaktis. Misalnya, Habiburrahman El Shirazy, Henry Tanjung, dan lain-lain.

      Dalam beberapa kasus, para penulis cerpen, puisi, dan fiksi lainnya, yang saat ini berkiprah di kehidupan nyata sastra, rata-rata bukan dari kalangan yang berlatar belakang sastra akademik. Rata-rata hanya mengandalkan olah rasa dan pikiran yang kemudian memberikan nilai dan simpulan dalam kekuatan sastrawi. Pada akhirnya diyakini sebagai teori-teori penulisan karya fiksi.

      Sebagaimana kita melihat dan membaca secara sederhana, munculnya gerakan-gerakan seni, termasuk seni sastra dalam bentuk kelompok atau komunitas, tidak terlepas dari keberadaan tradisi sastra itu sendiri. Meski terkesan pragmatis, pegiat atau pelaku sastra bisa dikatakan juga sebagai penjaga tradisi bahasa, tetapi lebih terkesan sebagai penggalan-penggalan tradisi sejarah sastra yang hanya berorientasi ke depan. Karya sastra dihasilkandengan jalan pintas yang bertujuan melahirkan sebuah naskah atau karya yang dengan cepat dijamah dan disentuh oleh pembaca atau audiens. Karena ruang kreatif sastra yang begitu luas (ruang digital), sastra sering hanya dimanfaatkan untuk identifikasi sosial, seperti pencitraan diri.

Edukasi dan Intelektual

      Ruang digital yang seyogianya juga sebagai medium bagi pembelajaran dan edukasi bagi para pelaku dan pegiat sastra memunculkan fakta-fakta baru bahwa siapa saja bisa mencapai tujuan, seperti menjadi penyair, sastrawan cukup dengan menguasai teknologi digital. Ruang kreatif digital bagai bola liar yang terkadang menabrak keterbatasan masyarakat dalam memahami makna bahasa secara benar. Kata atau frasa yang bermunculan di layar digital tidak selalu menunjukkan kemajuan intelektualitas bahasa. Ini karena  secara terminologi bahasa harus juga dipahami asal-usul kata atau frasa, tetapiionisnya sebagian besar masyarakat tidak peduli dengan hal-hal semacam ini.

      Berdasarkan data tahun lalu, sebagaimana disampaikan oleh seorang peneliti dan pakar linguistik Universitas Negeri Malang, Prof. A. Effendi Kadarisman. M.A, Ph.D, dalam uji banding penulisan karya sastra dan penggunaan literasi berdasarkan fungsinya bahwa ada konsep pemikiran yang terlepas atau ingin melepaskan diri dari keterbelakangan pemahaman masyarakat tentang bahasa. Sebagian besar masyarakat belum melek literasi digital, tetapi sangat bergantung pada teknologi digital. Hal ini juga dapat berbanding lurus dengan keberadaan karya-karya sastra yang mungkin mulai meninggalkan akar pohonnya. Faktanya, karya sastra yang dihasilkan belum mampu mengangkat minat baca terhadap karya sastra tersebut.

      Hal itu menyebabkan muncul beberapa polemik tatkala sastra masuk kurikulum . Apakah ini sebuah polarisasi dalam edukasi sastra yang enggan memberi kesempatan kepada generasi muda kini? Atau karena pegiat sastra itu sendiri kehilangan cinta pada ruh dan jiwa sastra sebagai nilai seni yang harus dilakukan revitalisasi? Ini mungkin bagai buah simalakama.

      Sejatinya, dalam kehidupan masyarakat, karya sastra berfungsi memberikan hiburan (rekreatif); sastra mengarahkan atau mendidik pembacanya kepada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan (didaktif); sastra memberikan keindahan kepada penikmat atau pembaca (estetis); sastra mampu memberikan pengetahuan tentang moral kepada pembaca atau penikmat (moralitas); serta sastra menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama (religius).

      Sejarah pasti akan meninggalkan sebuah jejak, meski perjalanan waktu tak dapat dibendung. Catatan budaya adalah peninggalan literasi dan bahasa yang tak bisa dihilangkan. Sastra sebagai subjektivitas pemikiran selalu berorientasi pada nilai-nilai bahasa yang mereduksi perkembangan masa dengan menggunakan perpaduan kata-kata personifikasi, hiperbola, metafora, dan lain-lain sebagai frasa kehidupan fiksi dalam konteks nyata.

      Intelektualitas sastra harus dimaknai dalam karya-karya sastra yang telah melalui seleksi alam secara ketat. Sastra bukan sebuah karya yang melegalkan istilah “nyastra tapi bukan sastra” dari pengakuan individu yang sangat tidak objektif. Ini tentu juga sebagai perenungan di dunia pendidikan, sejauh mana kemampuan para pendidik dalam melakukan transformasi keilmuan sastra dalam membentuk karakter dan perilaku positif bagi peserta didik.

      Kalau melihat judul di atas, mengapa harus sastra yang memiliki kajian intelektualitas? Apakah budaya juga bukan terlahir dan berkembang sesuai konsep kemajuan zaman? Dengan kata lain, budaya menjadi kumpulan pemikiran yang memiliki nilai murni atau hakiki untuk keseimbangan humanisme (kemanusiaan). Jika kita tempatkan pada tembok putih masa sekarang, budaya seharusnya sudah mengalami reinkarnasi (kelahiran kembali). Dalam arti, budaya bukan hanya dilihat sebagai satu konsep adat istiadat lokal. Kita juga harus memperhatikan adat ialah sebuah gagasan kebudayaan yang menyangkut norma, nilai-nilai dan kebiasaan pada suatu daerah, ermasuk juga memuat bahasa daerah setempat. Pelestarian budaya lokal juga dapat dilakukan melalui karya-karya sastra berbahasa daerah.

      Seiring perjalanan kehidupan, sastra tentu juga tidak akan terpisahkan dari ketajaman mata budaya agar bisa melahirkan warna yang mampu mereduksi tantangan zaman. Saat ini, banyak pelaku sastra belajar secara autodidak. Hal ini tentu harus disadari oleh para pegiat sastra yang tidak boleh melupakan keberadaannya untuk meningkatkan kualitas intelektual melalui penajaman pemahaman literasi dan bahasa. Berdasarkan beberapa riset, masih banyak ditemukan para pegiat sastra yang masih rancu dalam menggunakan bahasa.

      Literasi sastra seharusnya mampu membentuk perilaku positif bagi pembaca. Ada banyak kerancuan pada karya sastra yang lebih menonjolkan sisi emosional, cenderung menampilkan sosok karakter penulis atau pegiat sastra, tanpa mempertimbangkan aspek etika moral sebagai satu kesatuan yang melekat dalam nilai budaya. Sebetulnya sangat sederhana, prinsip dasar dalam literasi sastra adalah kuasai bahasa.

      Lalu, bagaimana dengan konsep intelektualitas sastra sebagai cermin manifestasi bahasa? Pada sebuah sisi, jika kita mau jujur, kita dihadapkan oleh sebuah problem ancaman era globalisasi yang muncul dalam bentuk isu-isu sosial sehingga kita dihadapkan oleh sebuah ketakutan yang luar biasa. Peran sastra sebagai sebuah ilmu mampu “menajamkan diri” atau lebih bermartabat jika dianggap sebagai sebuah intelektualitas dalam manifestasi bahasa.  Sastra sebagai subjektivitas pemikiran dalam dinamikanya begitu sulit untuk menjadi sebuah industri. Akan tetapi, sumbangsih pemikiran sastra harus mampu menjadi generalisasi pemikiranyang mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, tentu sastra tidak meninggalkan peran nilai humanisme (kemanusiaan). Nilai sastra yang berkualitas tentu tidak meninggalkan peran bahasa sebagai jembatan untuk membaca zaman.

      Sebuah intelektualitas tentunya memiliki nilai ukur yang jelas. Akan tetapi, ini cukup sulit karena sastra merupakan sebuah dimensi imajinasi subjektivitas pemikiran yang selalu dihadapkan dengan pilihan sulit untuk mengukur kualitasnya. Problem ini sering menjadi perspektif yang berbeda pada masyarakat karena memandang karya sastra terlahir dari para sastrawan yang telah memiliki nama besar. Kematangan dalam penguasaan literasi dan bahasa seharusnya menjadi salah satu standar rumusan bagi kehidupan sastra ke depan sehingga nilai intelektualitas semakin dapat diukur. *****

Vito Prasetyo

Penulis adalah sastrawan dan peminat bahasa, tinggal di Malang

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa