Perihal Membaca, Pembaca, dan Pembacaan
Setelah dipaksa nasib
merampungkan studi di jurusan sastra, dan diseret menjadi guru bahasa selama
setengah windu di sebuah SMK tepian kota madya, serta serentetan perjumpaan
dengan kawan-kawan di seni pertunjukan dan seni rupa, ketertarikan saya pada persoalan
kepenulisan-penciptaan menjadi bergeser pada persoalan pembacaan. Meski demikian, pergeseran tersebut tidaklah berarti saya
hendak meninggalkan kerja penulisan-penciptaan bahkan pergeseran tersebut dapatlah
dikata sebagai suatu upaya penguatan. Karenanya, catatan pendek ini dapat lekas
dikatakan hadir sebagai upaya penelusuran jawaban, upaya meredakan semacam kegelisahan
atas limpahan pertanyaan tentang kerja pembacaan. Dengan kata lain, catatan
pendek ini, yang amatlah mungkin terbaca sebagai sejenis catatan liris, adalah
suatu studi kecil-kecilan sederhana yang tak genap formal, tetapi tetap
bersemangat pada penelusuran dan kesungguhan.
Awalnya, pertanyaan yang hendak dijadikan mula pada catatan
ini adalahsiapakah itu pembaca. Pertanyaan tersebut muncul di muka sebab selama
ini amatlah jarang kiranya dijumpai pengertian tentang pembaca—bila dibanding
dengan pengertian penulis ataupun pengarang. Adapun ketika pertanyaan tersebut
dilemparkan pada sekalian orang, akanlah lekas didapati jawaban bahwa pembaca adalah seorang yang membaca?
Jawaban yang demikian memanglah tidak keliru, tetapi jelaslah belum bisa
memberi rasa puas—meski secuil. Lebih lanjut, betapa pertanyaan tersebut dapatlah
dikejar dan disejajarkan dengan pertanyaan lain, seperti apakah seorang yang
menari, dengan serta-merta, bisa dikatakan sebagai penari; atau apakah seorang
yang melukis, dengan serta merta, dapat dikatakan sebagai pelukis. Agaknya,
sekalian orang dapatlah lekas bersepakat bahwa jawabannya adalah kurang tepat,
kurang memuaskan, dan kurang memenuhi pengertian. Karenanya, dapatlah disepakati
bersama bahwa pembaca bukan hanya orang yang membaca.
Akan tetapi, kemudian catatan
pendek ini menyadari, semestinya sebelum menjawab pertanyaan tentang siapakah itu
pembaca, lebih dulu menjawab pertanyaanapa itu membaca. Karenanya, pertanyaan
yang menjadi mula pun akhirnya dialihkan menjadi apa itu membaca. Pada bagian
ini, mestilah dipahami dan disadari bersama bahwa membaca bukanlah hanya
membunyikan aksara, bukanlah hanya mencitrarupakan di dalam kepala ketika
melihat rangkaian huruf atau aksara. Akan tetapi, di bagian ini mestilah lekas disampaikan
pula, agar tak genap terjadi kesalahpahaman, bahwa pemberantasan buta huruf itu
mulia, kerja yang baik dan mesti dirawat bersama. Akan tetapi, jelas berhenti
pada pemberantasan buta huruf adalah kekeliruan dalam kerja, adalah penyempitan
pada definisi membaca. Dengan demikian, pertanyaan yang hendak ditelusuri pun
menjadimembaca yang seperti apakah yang bisa disebut membaca.
Sebagai contoh kasus untuk
penelusuran, dapatlah diamati ketika ada seorang guru yang menjelaskan di kelas,
lalu bertanya pada salah seorang siswa tentang simpulan yang tertulis di papan
tulis. Ketika siswa tersebut tak bisa menjawab, besarlah kemungkinan sang guru akan
berkata, “Apakah kamu tidak membaca?” Dengan demikian, dapatlah dikatakan
membaca adalah perkara pemahaman; membaca adalah soal belajar dan menyimpulkan.
Adapun, sebagai contoh kasus yang lain ketika ada cenayang atau peneliti ahli yang
menyampaikan soalan masa depan atau kemungkinan tentang masa yang akan datang,
amat mungkin sekalian orang lekas mengatakan bahwa orang itu bisa membaca masa
depan. Selain itu, sebagai contoh kasus yang hampir serupa, seorang pembisnis-pedagang
yang sukses akanlah dikatai publik sebagai seorang yang pandai membaca pasar,
membaca peluang. Dengan demikian, dapatlah dikatakan, membaca adalah kerja menelusuri,
kerja merumuskan, dan kerja menghubung-sambungkan. Pernyataan yang barusan pun membuka
kemungkinan pemahaman bahwa membaca tidaklah hanya tekstual!
Lantas, ketika menilik kembali persoalan yang hendak dijadikan mula catatan pendek ini, yaitu tentang pembaca, dapatlah dikatakan bahwa seorang yang bisa disebut sebagai pembaca bukanlah hanya seorang yang sekali-kali membaca—terlebih bila hanya berpijak pada pengertian membaca sebagai mengeja dan membunyikan aksara. Pembaca bukan hanya seorang yang telah melek huruf dan aksara. Betapa, dari contoh di muka, dapatlah dipahami bersama, seorang penari barulah sah dianggap penari ketika dia menari dengan benar, dilakukan berulang kali, dan disertai dengan kerja evalusi. Oleh karenanya, dalam hal ini bisalah dikatakan pembaca barulah sah disebut pembaca ketika membaca dengan sungguh-sungguh, dengan memahami memakai akal budi, dengan menghubung-sambungkan persoalan di sana dan sini. Hal yang demikian barulah bisa dicapai ketika pengertian membaca telah genap didudukkan dahulu. Persoalan yang tak kalah penting ditimbang dan didudukkan adalah perkara pembacaan. Betapa bagaimana sebuah teks dibaca akan memengaruhi pemahaman atasnya karena tak jarang pula dijumpai seorang yang telah membaca berulang kali, tetapi tak memahami, tak bisa mencari intisari atau suatu nilai untuk diri sendiri. Karena itulah, persoalan selanjutnya yang mesti ditelusuri adalah perkara pembacaan.
II
Sebagai sejenis pemula yang lain, amatlah menarik kiranya tulisan memperhatikan
salah satu adegan dalam novel Kucing Penyelamat Buku karya Sosuke
Natsuke. Adegan tersebut adalah adegan perbincangan antara sang tokoh utama
dengan antagonis di bab mula—yang nantinya menjadi rekan di akhir. Adegan itu
agaknya bisa dipadatkan menjadi sebuah pertanyaan yang menarik untuk ditimbang,
yaknimana yang lebih baik, membaca sejudul buku sebanyak sepuluh kali atau
membaca sepuluh judul buku tetapi masing-masing hanya sekali. Menjawab
pertanyaan tersebut, tanpa genap konteks, agaknya memang bukan suatu yang mudah
dan tak bisa lekas-lekas sebab terbuka serentetan kemungkinan. Akan tetapi,
bila diminta menjawab, catatan pendek ini lebihlah menghendaki yang pertama,
yaknilebih baik membaca sejudul buku sebanyak sepuluh kali. Meski demikian,
catatan ini tak genap hendak memandang buruk pilihan kedua sebab terbuka pula
kemungkinan sepuluh buku tadi bisa saling menunjang, saling menguatkan suatu
besar pemahaman.
Catatan ini lebih memilih
pilihan pertama sebab meyakini sebuah buku, meski sejudul jumlahnya, bila
dibaca berulang dan diupayakan untuk terus paham, buku tersebut akan menubuh
dengan si pembaca bahkan pada taraf tertentu, tanpa melebih-lebihkan, pembaca
dan buku tersebut memanglah tak genap bisa dipisahkan. Di samping itu, dalam
kasus yang umum, atau yang jamak dijumpai, betapa banyak pula seorang yang
membaca banyak buku, tapi tak memahami satu pun di antaranya, tidak menubuh,
tidak meresap, dan tak membekas—selain memberi sejenis kesenangan dan kepuasan yang
sesaat. Meski demikian, sekali lagi, catatan ini tak menutup diri bahwa sebuah
buku yang baik dan bagus akanlah membawa sang pembaca untuk mencari dan membaca
buku yang lain, entah untuk menunjang, mencari kontra, atau melengkapi. Catatan
pendek ini pun juga meyakini bahwa pembaca yang baik tidak akan pernah puas
membaca sebuah buku dan hanya sekali; bahwa pembaca yang baik akan mencari buku-buku
atau teks lain guna bisa memahami dan menunjang pemahaman yang telah dimiliki.
Adapun pokok persoalan
yang amat menarik dari pertanyaan yang telah ditarik panjang lebar adalah persoalan
pemahaman—hingga muncul pernyataan membandingan tentang satu pilihan dengan
pilihan yang lain. Lantas, pertanyaan yang mengikuti dan mesti dijawab lebih
dahulu adalah apa yang dimaksud dengan paham. Secara sederhana, seperti telah
disampaikan pada akhir bagian sebelumnya bahwa paham bisa diartikan mengerti
dan hal tersebut memiliki indikator, seperti bisa menyampaikan kembali, bisa
menunjukan relasi, bahkan memungkinkan pula mengajukan evaluasi sebab telah
mengetahui lebih-kurang di sana-sini. Sebab itu pula, sekali lagi, pemahaman
atas definsi membaca dan pembaca mesti didudukkan dahulu.
Persoalan-persoalan yang demikian ialah persoalan
pembacaan!
Sebagai pijakan selanjutnya,
betapa menarik kiranya membaca esai pembuka dalam buku berjudul Telaah Puisi
karya M.S. Hutagalung, yang berjudul “Pemancar yang Baik dan Radio yang Rusak”.
Dalam esai yang tak panjang itu, muncul suatu perumpamaan yang menarik dan begitu
plastis guna melihat relasi antara seorang pembaca dan sebuah karya—juga kerja pembacaan
yang berlangsung di sana. Selama ini, tak jarang, pembaca mengutuki karya sebab
tak bisa memahaminya. Akan tetapi, betapa sedikit pembaca yang mau menilik
kembali dirinya sendiri. Dalam esai tersebut, M.S. Hutagalung mencontohkan
dengan sangat menarik, “Apabila sebuah pemancar yang baik menyiarkan simponi
Beethoven yang paling indah dan pesawat penerimanya radio yang paling baru, akan
sempurnalah siaran itu tertangkap.” Tentu tak dapat dipungkiri, posisi mula
yang dihadapi pembaca adalah penerima maka soalan yang mesti diperiksa di
bagian mula adalah sudah siapkah pembaca menerima, sudah sesuaikah segala
perangkat guna mencecap sebuah teks atau karya. Betapa tak jarang bahkan
agaknya cukup sering sebuah teks atau karya menuntut syarat tertentu terlebih dahulu
untuk dipenuhi, baik itu situasi batin maupun pengetahuan penunjang, sehingga
tercapai pemahaman.
Ketika menilik perkara
pembacaan, pembaca seringkali luput untuk berempati ketika membaca.Hal ini
sering kali terjadi sebab pembaca telah merasa paham dan telah merasa memiliki
pengetahuan yang banyak sehingga enggan membuka diri. Akan tetapi, tidaklah
dapat dipungkiri pula, ada jarak pengalaman tertentu yang menjadi jurang dalam
pemahaman. Berkait dua hal yang demikian, amatlah menarik kiranya ketika menilik
kembali catatan atas pementasan Menunggu Godot yang dipentaskan di rumah
tahanan. Pada buku The Theatre of The Absurd, Martin Esslin menuliskan catatan
pengalamannya mementaskan naskah Beckett itu. Di buku tersebut, ia menyadari ruang
empati dan kedekatan memanglah menjadi kunci. Saat drama itu tak dipahami dan
dibilang terlampau rumit, Esslin menyatakan ternyata para tahanan di penjara
bisa memahami—bahkan Esslin menjelaskan bahwa merekalah yang paling paham dan
mengerti—meski tetap dalam tafsiran yang bermacam. Dengan demikian, sebagai
suatu bahan pertimbangan, dapatlah dipahami bahwa penonton atau dalam hal ini
pembaca sudahlah disiapkan lebih dulu dengan kondisi bawaannya, sudah hadir
dalam kondisi hati dan pikiran yang terbuka dan menerima.
Dalam esainya yang berjudul “Pemancar yang Baik dan Radio yang Rusak” itu pula, M.S. Hutagalung menyebutkan bahwa mempelajari dan memahami seni, sastra dalam hal ini adalah pekerjaan yang sulit sekaligus gampang. Ia menulis, “Hal tersebut menjadi gambang, karena seseorang hanya tinggal membuka hati dan pikiran. Hal yang demikian jugalah yang menjadi kesulitaannya sebab banyak sekali pembaca yang tak dapat atau bahkan enggan untuk membuka pikiran dan hati.” Dalam esai pembuka buku Metode Kritik Teater, Benny Yohanes menyebutkan bahwa empati menjadi inti untuk memahami awal bagi kerja pembacaan yang lebih serius, yaitu kritik. Amatlah mustahil kiranya guna seorang bisa memahami buku atau teks atau karya seni apa pun tanpa membuka diri amatlah mustahil pula kiranya seorang bisa membuka diri bila tak mau berempati. Dan pada akhirnya, amatlah mungkin seorang pembaca yang baik adalah seorang yang senatiasa membuka diri dan mau berusaha untuk memahami—sebelum hadir guna mengkritisi dan mengevalusi. Karenanya, kerja membaca mestilah dipahami sebagai upaya untuk mengerti dan upaya berempati sehingga bagaimana sebuah teks dibaca mestilah juga dipahami dan ditimbang kembali .
(2020—2024)
Daftar Bacaan:
Hutagalung, M.S. 1974. Telaah Puisi: Kumpulan Kritik
dan Esei. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Natsukawa, Sosuke. 2023. Kucing Penyelamat Buku. Diterjemahkan dari Hon
o Mamoro to Suru Neko no Hanashi oleh Lulu Wijaya. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Soemanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.
Yohanes,
Benny. 2017. Metode Kritik Teater: Teori, Konsep, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Kalabuku.
Polanco S. Achri
Dia menulis puisi, prosa-fiksi, dan esai-esai tentang sastra dan seni ; serta sesekali menulis naskah untuk pertunjukan. Selain menulis, dia mengelola Pendjadjaboekoe dan Majalah Astro. Kini, ia tengah menempuh pendidikan lanjutan di Magister Sastra.