Membaca Sunyi dalam Mitos Puisi

Abstrak

Mampukah karya sastra Indonesia kini menembus level dunia? Dinamika sastra yang terus bergerak dan menggeliat senantiasa memunculkan penyair atau sastrawan yang memiliki bakat dan talenta bagus untuk bersaing ke level dunia. Sejarah sudah membuktikan bahwa sejak kejayaan Chairil Anwar melalui sajak-sajaknya ke level dunia, sastra Indonesia selalu memunculkan sosok penyair dan/atau sastrawan yang dikenal di pelbagai penjuru dunia. Sebut saja W.S. Rendra, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Pramoedya Ananta Toer, dan masih banyak lainnya.

Semarak sastra tentu hadir dalam segmen-segmen kehidupan hingga sajak-sajak pun menjadi alat propaganda semasa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Seorang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Ir. Soekarno, turut mewarnai gerakan-gerakan sastra pada masa itu. Dari tangan Ir. Soekarno terlahir sajak yang cukup fenomenal berjudul “Aku Melihat Indonesia”.

Sejatinya, karya-karya sastra juga memiliki fungsi dalam sendi-sendi kehidupan manusia sehari-hari. Karya sastra, khususnya  puisi, berfungsi sebagai didaktis, rekreatif, moral, religius, edukatif, dan humanis. Fungsi ini begitu elementer dan kemudian berkembang pesat dalam pelbagai aliran puisi.

Dalam filsafat klasik beberapa abad silam, Plato (filsuf) menganggap bahwa puisi adalah seni dan puisi bertentangan dengan pemikiran filsafat. Puisi dianggap dapat membangkitkan emosi dan menjauhkan orang dari pemikiran rasional, yang ia anggap jalan menuju kebenaran dan kebajikan. Hal ini terjadi semata-mata karena Plato menentang puisi bergenre epik dan elegi. Pertentangan ini bukanlah mencakup seluruh aliran puisi yang berkembang secara dinamis. Puisi memiliki wujud (entitas), seperti bahasa. Puisi memiliki kekuatan ekspresif yang kerap digunakan dalam dialog filosofi oleh Plato. Inilah menjadi titik pertemuan antara filsafat dan puisi, keduanya memiliki estetika dalam bahasa. 

Sastra Kini dan Mitos Puisi

Puisi tak pernah habis dibicarakan. Terkadang puisi menjadi polemik dan perdebatan di kalangan pelaku sastra. Puisi memiliki sifat unik, tidak hanya karena diksi yang digunakan, juga susunan gramatikalnya terkesan rumit. Hingga puisi selalu menjadi multitafsir. Puisi tidak bisa lepas dari kesastraan, sudah menjadi satu kesatuan tidak terpisahkan.

Dalam konteks ini, bagi penulis, ingin menyampaikan sudut pandang yang pastinya berbeda dengan sudut pandang orang lain terhadap salah satu penyair perempuan Indonesia kini, yakni Emi Suy. Ruang sunyi seakan menjadi bagian dari karakteristik puisinya. Apakah ini sebuah stigma atau mitologi bagi Emi Suy?

Berlatar dari pandangan prismatik, tentunya tidak akan mampu memuaskan sebuah objektivitas pemikiran. Dalam konsep sederhana, tulisan ini tidak mewakili pendapat orang lain. Ada yang menarik dari ruang kesunyian yang dituangkan ke dalam puisi. Hal ini bukan hanya sekadar mengolah diksi dan rima puisi, melainkan lebih dari itu sebagai simbol pergulatan sosial dan berorientasi kemanusiaan.

Bagaimana menembus pekatnya gelap, bagai cahaya putih yang tertutup oleh awan gelap gulita, dan cahaya putih itu dirindukan semesta alam? Tentu tidak mudah merebak kegelapan itu hanya dengan cahaya lilin yang senantiasa didera angin. Akan tetapi, kata-kata yang tertuang dalam puisi memiliki maujud jiwa yang mampu memberi warna dari kegelapan itu. Ini seperti salah satu cermin kesunyian.

Kesunyian sering dianalogikan dengan makna jauh dari hiruk pikuk keramaian. Meski sejatinya memiliki senyawa yang tidak hanya dilihat dari sisi kasat mata, tetapi lebih dari itu,mata hati. Kesunyian yang mendeskripsikan sebuah perenungan hidup senantiasa menjadi sahabat kata-kata terbaik bagi seorang penulis.

Kesunyian adalah lanskap terindah bagi seorang Emi Suy. Baginya sunyi menggegas makna yang lebih dalam dari kata sepi. Pembaca seakan tergiring pada suasana hati pengarangnya, meski bagi pengarangnya konsep “sunyi” dibangun dengan sebuah kiasan yang bisa bermakna lebih luas. Sunyi bermakns sebagai perenungan sekaligus permenungan dalam hidup.

Merujuk pada buku kumpulan puisi tunggal Ibu Menanak Nasi hingga Usia Kami Matang karya Emi Suy (2022) seakan menyisakan potret kehidupan sehari-hari yang tidak pernah tuntas dalam perenungan hidup. Ada beberapa judul puisi yang menarik kemudian penulis ingin menelisiknya lebih jauh.Dalam puisi berjudul ”Percakapan Tengah Malam”, apakah seseorang sedang bertikai dengan kamar sehingga memunculkan konstruksi sebuah kesunyian?

   tembok kamar bertanya
   “kepada siapakah sunyi dipersembahkan?
   “hanya untuk diri sendiri atau selebihnya kepada api, kepada sepi yang tak habis dikebiri?
   senyap berdiri –
   di atas duri waktu
   runcing bertubi-tubikalau hati melayari pilu berpulau-pulau
   membelah karang kesedihan
   hatiku bukan dermaga
   tempat menimbang bimbang (2021) 

Bagaimana puisi ini melibatkan pembaca seakan-akan pernah mengalami hal yang sama? Dengan penggabungan teknik imajinasi, penglihatan, sekaligus perabaan dalam tekstur puisi ini, pembaca digiring dalam kesimpulan masing-masing.

Pada sajian puisi yang lain dalam judul “ Api Kesadaran”, penyair Emi Suy menyajikan dengan latar (setting) berbeda.

   ia menyalakan api
   redup sekali,
   api membuatnya
   melihat lorong panjang lalu
   ia bakar kata-kata
   dari dada yang biasa busung
   ari kepala yang selalu mendongak setelah arangnya ditebar
   ia baru sadar : lorong panjang itu
   mengarah ke lehernya sendiri (2021) 

Di sini tersirat penyair Emi Suy mengalami konflik batin yang ingin melakukan  perlawanan terhadap kesombongan diri.Kesombongan yang merupa api menjadi hiperbolik dari frasa redup sekali sehingga kata-kata adalah sebuah sintesis yang menjadi antitesis dari sebuah konflik. Pada akhir dalam perenungan panjang, sebuah kesombongan diibaratkan senjata makan tuan.

Dalam pandangan Joko Pinurbo, puisi-puisi Emi Suy dalam bukunya adalah sebagai ibu. Ini menandakan betapa dalam imajinasi dan penghayatan penyair Emi Suy dalam menangkap pesan-pesan sosial yang tersembunyi di balik kata-kata. Kodrati perempuan dalam  perannya sebagai makhluk sosial tidak akan bisa dipisahkan dari fenomena sosial yang terjadi.

Jika kita bandingkan dengan karakteristik modernisasi, puisi-puisi Emi Suy terkesan lebih hidup dibanding puisi-puisi Marie Howe (penyair Amerika) yang bertajuk “singularitas” atau juga dalam buku What the living do (1997). Bagi Emi Suy, kesunyian bukanlah hakikat kesendirian, sementara bagi Marie Howe kesendirian seakan terkungkung dalam sebuah kesunyian.

Apakah puisi telah mengakhiri semua pesan yang telah dituliskan? Tidak! Masih ada rimba kata-kata yang tumbuh dalam setiap zaman. Kata-kata yang menjadi identitas dan simbol peradaban dan kita semua berpengharapan menjadi catatan sejarah. Masih ada regenerasi ibu yang lahir dan tumbuh dari satu musim ke musim lain dalam makna kata-kata inklusif.

Sunyi kerap menjadi misteri sekaligus mitos pada sajak-sajak Emi Suy, yang kemudian mampu menerobos dan membuka cakrawala baru dalam perpuisian Indonesia. Meski ada beberapa penyair lain yang juga mengolahnya dalam  topik yang sama menjadi karya kreativitas sastra, tentukarakteristiknya berbeda.

Di sisi lain, apakah keberadaan sajak-sajak Emi Suy telah memberikan warna dalam persajakan modern Indonesia? Setidaknya ketika kita membaca karya-karya sajak Emi Suy, tidak hanya menikmati suguhan tekstual yang tertuang dalam diksi-diksi indah,tetapi kita juga tergiring dengan kontekstual yang menggugah perasaan secara tersirat.

Kita sedikit merujuk pada pendapat dan analisis dari seorang pakar linguistik, Prof. A. Effendi Kadarisman, MA. Ph.D, tentang sajak-sajak yang ditulis Emi Suy berikut ini.

Puisi-puisi Emi Suy yang terbit di Kompas.id adalah karya sastra yang sudah matang. Serasa memetik mangga suluhan. Ada kreativitas yang dahsyat: judul keenam puisi ini bermula dengan kata “ayat”, namun setiap puisi hadir sebagai makhluk sastrawi yang unik dan merdeka. Dalam seluruh puisi ini, kata “ayat”—yang dalam bahasa Arab berarti ‘tanda’—hadir dengan tafsir yang amat kaya. Dalam Islam ada ayat qauliyah (al-Qur’an) dan ayat kauniyah (seluruh ciptaan sebagai tanda kebesaran Tuhan). Dalam puisi-puisi Emi Suy, kata “ayat”, yang secara literal bermakna ‘tanda’, membawa makna sugestif, variatif, dan terkadang elusif. Pembaca dimanjakan dengan pelangi makna. Empat dari enam puisi di Kompas itu mengisyaratkan “sunyi” yang telah jadi cita rasa penyair Emi Suy. Perhatikanlah, kata ayat yang masing-masing diikuti oleh kata kehilangan, rindu, penantian, dan cinta. Secara bersamaan, keempat kata tersebut menyarankan nuansa melangit yang sangat jauh dalam ungkapan rindu—dalam rongga jiwa ada sepi tak bertepi. Lukisan wajah perempuan berurai air mata merupakan ilustrasi visual yang mencoba menangkap bayang-bayang makna yang lembut menghunjam dari puisi-puisi itu.

Jangan lewatkan juga kata kopi, yang semula netral artinya. Lazimnya ia jadi bagian dari ritual pagi yang riang. Namun, dalam puisi “Ayat Kopi”, aku lirik bukan aroma yang menguar semangat, tapi zat yang melekat di jantung mengalir di nadi.  Bukan aku yang menepuk bahumu dengan telapak matahari, tapi aku yang hanyut mengikutimu kemana pun kau pergi.

Puisi-puisi Emi Suy mengingatkan pada Emily Dickinson (1830-1886), penyair sunyi Amerika abad XIX. Kedua penyair ini, lewat sajak-sajaknya yang begitu sugestif, menyerap jiwa pembaca ke relung sunyi yang asing, tetapisekaligus memukau dan menggetarkan. Emily memproklamasikan diri dengan I am nobody ‘Aku manusia hampa’. Emi Suy menyatakan “rindu” sebagai kesedihanku / sumur yang kerap ditimba / di musim kemarau. Ada kemiripan antara keduanya dalam melukiskan sunyi. Tentu, masing-masing hadir sebagai penyair yang merdeka dan mandiri. Emily, sepanjang kepenyairannya, hanyut dan larut dalam sepi yang meniada. Sementara Emi, masih menyempatkan diri berbagi aura dan cahaya. Puisi “Ayat Penantian” berakhir dengan baris-baris optimistis: engkau adalah terang / kulewati dan kujalani / dengan hati lapang / : juga riang.

Tambahan lagi, kepedulian sosial Emi Suy tampak jelas terhadap kaum yang menderita dan terpinggirkan. Dalam “Ayat-ayat Perih”, empati penyair tampak jelas sejak baris pertama:

tubuh-tubuh buruh adalah hutan rimba
yang pohon-pohonnya sibuk digergaji
menjelma kotak-kotak tanpa arloji
serupa peta luka: terbuka dan menganga. 

Berpihak pada yang lemah dan yang kalah oleh nasib, itulah posisi yang diambil oleh sajak ini. Kesengsaraan terus terbaca pada baris-baris berikut.

langkah mereka serupa duri
yang menjejaki nadi seluruh negeri.
Pada akhirnya, bahagiakah mereka? Ini jawabnya:
Tapi kami belajar untuk diam
Ketika negeri ini pelan-pelan
Menjelma menjadi nisan.
Yang melarat tersayat, bahkan sampai di tepi lubang kubur.

Akhirnya, apa yang layak dicatat dan diingat? Puisi Emi Suy telah dan terus membuka jati dirinya. Ia adalah puisi sunyi yang resah dan indah, selalu hadir dengan wajah baru lewat metafora-metafora yang segar dan mengejutkan (jauh dari klise). Dengan canggih sang penyair bermain bunyi bahasa. Rima dan larik hadir begitu wajar, begitu santai, padahal itu adalah hasil dari jurus-jurus sastrawi tingkat tinggi.

Tentu tak akan takut kehabisan wacana, tanpa ulasan ini pun puisi-puisi Emi Suy telah berbicara begitu gamblang.  Mahkota puitika itu mimpi, tapi sekaligus nyata. Sunyi yang teramat sunyi; ia hadir lewat kata-kata. Ulasan ini, bukanlah sesuatu yang berlebih-lebihan dalam kesan dan pesan yang disampaikan oleh seorang pakar linguistik. Ulasan dilakukan karena sisi karakteristik bahasa dalam puisi ini yang layak untuk dikupas dan sebagai harapan dalam khazanah bahasa. Dengan demikian, bahasa-bahasa puitis juga sangat layak untuk dipelihara dan dikembangkan. Salah satunya sebagai unsur anatomis diplomasi hubungan antarbangsa.

Emi Suy hanyalah seorang di antara sekian banyak penyair masa kini di negeri ini yang telah mencapai prestasi, tetapi jauh dari perbincangan sejarah sastra Indonesia. Dia tidak akan bisa dibandingkan dengan Chairil Anwar, WS Rendra, atau penyair yang telah dikenal dalam sejarah kesastraan Indonesia. Ini karena ada persoalan klasik yang menjadi benang merah sastra Indonesia.Kita masih gagal dalam menetapkan standar direktori kepenyairan sertakurang dukungan maesenas yang seharusnya berpikir positif dan kritis terhadap sastra Indonesia ke tingkat dunia. Tanpa bermaksud sebagai sebuah propaganda,  Emi Suy tentu hanya bagian kecil dari keseluruhan penyair lain yang tidak kalah bobotnya.

Puisi-puisi yang bertajuk “sunyi” menjadi riwayat sejarah sastra, sekaligus menjadi autobiografi dalam berkarya. Bagaikan mantra kata-kata, ada kalanya puisi tidak hanya sekadar keindahan kata-kata, tetapi menjadi sublimasi dalam kehidupan; menjadi pendingin sekaligus menjadi penghangat di antara perjalanan waktu.

Tulisan ini hanya gambaran realita sosial yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, puisi tereduksi dalam subjektivitas mitologi dari kerumitan kata-kata yang kini sering dianggap mitos atau pembatas dalam menelisik antara wujud dan bukan wujud.

Program sastra masuk kurikulum tentunya akan menumbuhkan cakrawala baru, tidak hanya untuk pelaku sastra, tetapi juga sebagai ruang edukasi bagi peserta didik dalam menyempurnakan semangat bersastra. Sunyi adalah penggalan rindu dalam sebuah mitologi, tetapi tentu diharapkan karya sastra menjadi bagian penting dalam edukasi moral. ***** 

Vito Prasetyo dan Prof. A. Effendi Kadarisman M.A, Ph.D

Vito Prasetyo adalah sastrawan dan peminat bahasa dan Prof. Effendi Kadarisman M.A, Ph.D adalah guru besar linguistik Unisma

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa