Mengajarkan Puisi yang Interpretatif dan Kreatif

Ada yang istimewa dengan Sekolah Sastra Remaja (SSR) di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Apa itu? Mereka belajar sastra pada kesempatan kali ini dengan membaca dan mengapresiasi puisi Joko Pinurbo yang sederhana, penuh makna, dan viral di media sosial. Puisi itu berjudul “Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya”. Mengapa puisi itu sampai viral? Bagi saya penyebabnya sederhana saja. Puisi itu singkat dan mudah diingat, tetapi sekali baca, kita akan mengetahui maknanya karena puisi tersebut jelas-jelas sedang menyindir dan mengkritik kita semua (Idris, 2023). Kita pun dibuat malu dan sadar diri karena puisi tersebut walaupun bisa jadi hanya sejenak karena setelah itu kita sibuk kembali dengan ponsel. Namun, setidaknya, puisi itu telah mengingatkan kita dengan kreatif tentang keberadaan Tuhan yang telah kita lupakan karena kita sibuk dengan berbagai urusan dunia melalui ponsel kita. Atas dasar itulah, saya kemudian tertarik untuk memanfaatkan puisi ini sebagai sumber belajar sastra bersama para remaja yang menjadi anak-anak didik saya. Seperti apa cara belajarnya? Lalu, bagaimana hasilnya? Itulah yang akan menjadi pembahasan dalam esai eksperimen saya ini.

Tentu saja, saya mulai dari memilih puisi. Pengenalan awal yang berkesan dalam belajar puisi dapat dimulai dengan puisi yang mengesankan, yaitu puisi yang mudah diingat dan kontekstual dengan kehidupan anak-anak didik remaja saat ini. Tujuannya adalah agar puisi menarik, mudah diingat, serta dapat merefleksikan kehidupan anak-anak didik kita. Pilihan saya jatuh pada puisi karya Joko Pinurbo yang berjudul “Doa Orang yang Sibuk 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya”. Selain itu, untuk mendapatkan jawaban objektif atas kemenarikan puisi, saya bagikan puisi itu kepada anak didik saya. Saya meminta mereka untuk membaca puisi tersebut. Lalu, saya menanyakan pendapat mereka tentang puisi tersebut. Semua anak didik saya menjawab bahwa puisi itu sangat menarik. Jawaban itu menjadi bekal utama dalam konteks apersepsi sebagai modal dasar untuk memanfaatkan puisi sebagai media dan sumber belajar. Saya pun memantapkan diri untuk mengajarkan puisi dengan menggunakan puisi tersebut.

Dalam praktik belajar, langkah dasar yang ditempuh adalah melakukan pembacaan intensif dan repetitif atas puisi (Yuliantoro, 2018). Anak-anak didik saya minta untuk membaca puisi itu dengan pelan, penuh penghayatan, dan menekankan aspek ingatan melalui keharusan untuk menghafalnya. Karena puisi itu singkat, pembacaan dan pengingatan berlangsung dengan baik. Dalam satu sampai dengan dua putaran pengulangan membaca, anak-anak sudah dapat mengingat puisi itu dengan baik. Penilaian pun dilakukan dengan membacakan puisi tanpa teks, yaitu melalui hafalan. Anak-anak didik pun dapat membacakan puisi tanpa teks dengan baik. Mereka mudah mengingat puisi yang telah dibaca berulang. 

Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya

Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa
ialah nomor-Mu. 

Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomor
yang tak pernah kausapa.
(2018)

Setelah hafal, senyum kami merekah. Kami dapat menaklukkan tantangan mengingat sehingga dapat menghafal puisi tersebut dengan baik. Itu tentu saja bermanfaat bagi kami. Jika ada momen-momen tertentu, kami dapat membacakan puisi itu tanpa teks. Membaca puisi tanpa teks dapat lebih kontemplatif, komunikatif, dan apresiatif jika kita dapat lebih menjiwai dan mengomunikasikannya dengan baik sehingga akan mendapat apresiasi yang lebih dari pendengarnya karena kerja keras ingatan kita atas sebuah puisi. Dari sinilah, kerja kognitif dalam mengingat puisi dalam proses belajar telah berjalan dengan baik (Solso, 2021). Mempelajari puisi dapat menjadi sarana untuk memberdayakan dan mengembangkan ingatan kita. Ketercapaian belajar itu tentu menjadi perangkat dasar dalam mempelajari puisi.

Kemampuan kognitif pun perlu ditingkatkan ke kemampuan memaknai dan menginterpretasikan puisi (Anderson dkk., 2022). Yang saya lakukan adalah meminta anak didik untuk melakukan dua hal inti: (1) temukan metafora dalam kalimat yang membangun puisi dan (2) maknai puisi berdasarkan pengalaman. Dua hal itu merupakan rangkuman konsep dasar puisi yang dibentuk atas metafora dan makna (Pradopo, 2020). Mengungkap dua aspek ini berarti mengungkap eksistensi puisi itu sendiri. Untuk dapat mengungkap kedua aspek tersebut, tentu anak-anak didik akan bekerja keras dalam konteks memahami struktur bahasa puisi dan mengkontekstualisasikannya dengan pengetahuan dan pengalaman untuk mengidentifikasi makna. Artinya, dua perintah sebelumnya memandu anak didik untuk bekerja dalam ruang bahasa dan ruang nyata. Kerja ruang bahasa dilakukan untuk mengidentifikasi metafora, sedangkan kerja di ruang nyata untuk mengungkapkan  makna. Itulah kerja ideal dalam belajar karena belajar tidak semata untuk memahami pengetahuan, tetapi juga memaknai pengalaman (Nurhayati, 2022).

Dalam kerja mengidentifikasi metafora setiap anak didik diberikan kesempatan untuk mengutarakan hasil analisis tekstual bahasanya. Misalnya, Nanda Rakhmah Hidayah (21 tahun) mengungkapkan jawabannya sebagai berikut. Larik pertama, yaitu //Tuhan, ponsel saya rusak dibanting gempa// bermakna metaforis karena tidak mungkin ponsel rusak dibanting gempa. Yang dapat membanting itu makhluk yang memilik tangan, bukan gempa. Itu berarti bahwa ada sesuatu yang dibandingkan dan disembunyikan. Selain itu, Andini Nurul Fadhilah (19) menjelaskan bahwa larik ketiga, yaitu //Satu-satunya yang tersisa ialah nomor-Mu// merupakan metafora karena tidak mungkin di ponsel ada nomor Tuhan. Artinya, ada sesuatu yang tersirat, yaitu sesuatu yang bermakna lain.

Saya menyimpulkan bahwa anak-anak didik memaknai metafora sebagai bahasa yang tidak memiliki logika bahasa, yaitu menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk mendapatkan makna yang dalam. Pemahaman itu tentu saja memukau saya. Dari proses membaca yang intensif dan kognitif, mengulang membaca, mengingat, dan menganalisis yang telah dilakukan di awal membuat anak-anak didik memliki analisis yang tajam dan cermat. Itulah dasar dalam belajar sastra, termasuk puisi, yaitu membaca dengan menyeluruh, bahkan sampai hafal menjadi kunci pokok dalam melakukan analisis, dalam konteks ini, analisis atas metafora dalam struktur bahasa (Harun, 2019). Sampai dengan tahap ini, anak-anak didik dapat menjawab persoalan pembelajaran metafora.

Tugas saya kemudian adalah memberikan penekanan bahwa puisi itu ditulis dalam rangkaian metafora. Jadi, harus dapat dituliskan dalam kalimat yang hubungan antarunsurnya “tidak logis” karena untuk keperluan makna. Itulah pentingnya kreativitas dalam menulis. Jika kita menulis //ponsel saya rusak karena dibanting teman//, itu belum mengandung metafora karena bahasanya logis dan tidak sarat makna. Namun, saat kita menulis //ponsel saya rusak dibanting gempa//, di dalamnya terkandung metafora karena kehadiran kata gempa yang membuatnya tidak logis, tetapi memiliki makna mendalam. Gempa dalam kalimat itu dapat bermakna gempa sungguhan atau bermakna ‘persoalan kehidupan’. Jadi, saat menulis puisi, hadirkan kalimat metaforis yang hubungan antarbahasanya menjadi tidak memiliki hubungan logis.

Persoalan metafora pun terpecahkan. Persoalan selanjutnya yang harus diselesaikan adalah makna puisi. Pemahaman metafora menjadi kunci untuk memberikan wawasan bahwa kalimat-kalimat yang membangun puisi itu bukan kalimat biasa, tetapi kalimat metaforis yang memiliki makna lain, tidak sekadar makna harfiah. Makna itu sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman pembaca atau horison harapan pembaca. Untuk itu, memaknai kalimat dalam puisi harus memberdayakan pengetahuan dan pengalaman personal anak didik. Makna puisi selalu disesuaikan dengan pandangan dan pengalaman anak-anak didik. Dari sinilah anak-anak didik mampu mengungkapkan pemahaman makna puisi dengan baik sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya.

Gibran Eka Putra (19 tahun) dan Aisah Nur Oktavia, misalnya, mengungkapkan bahwa puisi “Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya” bermakna bahwa kita disibukkan dengan ponsel dan dunia maya. Saat kita ada masalah, sesungguhnya teman-teman di ponsel kita menghilang sehingga tidak ada yang dapat atau mau membantu atau selamatkan kita. Kita pun tahu bahwa yang dapat membantu dan menyelamatkan kita hanya Tuhan, tetapi sungguh ponsel telah membuat kita melupakan waktu untuk berdoa dan beribadah kepada Tuhan. Jadi, Tuhan pun kecewa dan mungkin tidak akan membantu menyelesaikan persoalan dan permasalahan hidup kita. Itu adalah gambaran kita semua. Semua anak didik memaknai hal demikian juga.


Saya sangat menyukai pemaknaan ini. Pemaknaan ini menunjukkan hasil komunikasi intensif antara puisi dan anak didik yang semuanya masih remaja. Mereka mampu menyadari satu posisi sebagai individu yang tidak dapat terlepas dari ponsel. Kelekatan tersebut berdampak pada waktu yang makin terbatas untuk berdoa dan beribadah kepada Tuhan karena keasyikan dengan ponsel. Ponsel pun telah menjadi kiblat penting dalam kehidupan remaja sekarang. Padahal, di satu sisi, mereka adalah individu yang sejak kanak-kanak ditanamkan nilai ketuhanan atau religiositas yang fundamental. Kenyataan itu membuat mereka dalam kegamangan antara pengaruh teknologi dan pengaruh keimanan. Dua hal yang terus beresisten dalam kepribadian anak-anak muda saat ini. Kenyataan itu membuat horison harapan (Pradopo, 2020) pemaknaan atas puisi sebagai hubungan antara ponsel, persoalan hidup, dan ketuhanan yang berkelindan. Pemaknaan mereka pun merujuk pada kesadaran problematik mereka sendiri.

Pada tahap ini, kegiatan belajar sastra melalui puisi telah mampu memberikan pemaknaan yang bersifat kontekstual. Pemaknaan tersebut didasarkan pada pengalaman empirik anak-anak didik. Pengalaman itu kemudian akan dimanfaatkan untuk dikreasikan dalam bentuk puisi dengan berdasarkan pada pemahaman metafora di awal. Untuk itulah, tugas belajar berikutnya adalah menuliskan puisi dengan berdasarkan pada pemahaman metafora dan pengalaman kehidupan remaja mereka. Saat saya instruksikan, “Sekarang tugas kalian adalah menulis puisi yang menghadirkan metafora dengan tema sesuai dengan pengalaman kalian,” Anak-anak didik pun langsung paham. Anak-anak didik langsung menuliskan puisi dengan durasi yang tidak terlalu lama. Pemahaman atas materi belajar dengan panduan eksplorasi pengalaman empirik menjadi modal yang membuat tugas akhir dapat diselesaikan dengan baik.

Nanda Rakhmah Hidayah (21 tahun) menuliskan puisinya dengan sangat mengesankan.  Satu puisi yang ditulisnya didasarkan pada pengalaman langsungnya sebagai mahasiswa kebidanan. 

Bertanya pada Takdir
Aku bertanya pada sebuah koridor
Berapa derap kaki yang ia dengar
Aku bertanya pada sebuah kursi roda
Berapa air mata yang ia tangkap
Kemudian aku bertanya pada sebuah ambulan
Berapa nasib yang ia antar 

Aku menunduk pada sebuah rumah sakit yang memelukku di dalamnya
Menyadari tak mampu aku membawakan masa
Sedang keluarganya sedang menanti asa

Lama-lama kusadari kuasa Tuhan
Yang tidak lunas dibayar dengan uang
Yang tidak selesai dengan tangisan
Kita adalah pemain takdir kita sendiri
Jadi kembalilah kita pada Ilahi
Sang Penguasa diri ini 

Juli 2024

Puisi tersebut merepresentasikan pemahaman yang baik atas metafora sehingga mampu memproduksi metafora dengan baik juga. Metafora yang dibangun juga berdasarkan pengalaman belajar di bidang kebidanan atau kesehatan yang dituliskan dalam diksi koridor, kursi roda, ambulans, dan sebagainya yang dipadukan dengan problematika kemanusiaan dalam kehilangan dan kematian. Ramuan metafora dan pengalaman itulah yang memukau dalam puisi. Hasil karya puisi itu kemudian menegaskan bahwa belajar terbaik menulis puisi adalah dengan pembacaan, pemahaman, pemaknaan, dan penulisan dengan pemanfaatan puisi sebagai sumber belajar. Dalam proses belajar itu ada keterlibatan kemampuan kognitif, empiris, dan kreatif yang membuat anak-anak didik kita dapat menghafal, menganalisis, memaknai, dan menulis. Kerja belajar tersebut lengkap untuk dapat menjadikan anak-anak didik paham, suka, dan terampil dalam menulis puisi. 


Sumber Rujukan

Idris, Akhmad. 2023. “Kritik Jokpin dalam Kaleng-kaleng Khong Guan” dalam https://www.sastramedia.com/2023/06/kritik-jokpin-dalam-kaleng-kaleng-khong.html

Yuliantoro, Agus. 2018. Pengajaran Apresiasi Puisi. Yogyakarta: Andi Publisher.

Solso, Robert L. 2021. Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anderson, Lorin W. dkk. 2022. Pembelajaran, Pengajaran, dan Assesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2020. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.

Nurhayati. 2022. Pembelajaran Bermakna. Yogyakarta: Alineaku Publisher.

Harun, Mohd. 2019. Pembelajaran Puisi untuk Mahasiswa. Banda Aceh: Syah Kuala Press.

 

 

 

Heru Kurniawan

Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Founder Rumah Kreatif Wadas Kelir

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa