Spirit Puisi Mbeling (Puisi Protes Sosial) dalam Hikmah Puisi Balsem A. Mustofa Bisri
Eksplorasi estetik A. Mustofa Bisri dalam puisi balsem
sesungguhnya bersandar pada karakteristik puisi mbeling dan puisi slogan.
Konteks puisi balsem A. Mustofa Bisri tidak serta-merta sembranan (dalam istilah Sapardi Djoko Damono) dalam diksi atau
aksentuasinya. Karakteristik kelakar
dalam puisi mbeling, masih
menurut Sapardi Djoko Damono, bukan sekadar parodi atau ungkapan jenaka tanpa
makna, melainkan substansi dari realitas masyarakat yang paradoks. Realitas
masyarakat yang paradoks terjadi karena fenomena distabilitas sosial, ekonomi,
dan politik yang tidak selaras dengan cita-cita kemerdekaan dan amanat
konstitusi, setidaknya pada masa rezim Soeharto.
Nalar kultural-transendental A. Mustofa Bisri menjadi teaching
point dalam merumuskan karakteristik puisi balsem.
Karena kehidupan adalah representasi dari eksistensi wujud Allah Swt. (QS
Fushilat: 53; QS ali-Imran: 191; QS Yunus: 101), segala bentuk dinamika
kehidupan manusia, termasuk kekacauan (chaos)
dalam rezim represif politik serta gejala disintegrasi sosial, dapat dikaji
melalui sudut pandang ketuhanan dan kenabian (profetik) sekaligus. Sudut
pandang tersebut tidaklah bertujuan untuk menjadikan puisi-puisi A. Mustofa Bisri
sebagai puisi ceramah atau verbalisme-teologis, tetapi untuk mencari makna atau
hakikat di balik peristiwa.
Kaidah Epistemologis Puisi Balsem
Kaidah epistemologis puisi balsem A. Mustofa Bisri
mengikuti gerak kosmis, baik peristiwa alam maupun kemanusiaan.
Oleh sebab itu, dalam puisi balsem secara tersirat A. Mustofa Bisri mengukuhkan
standar ganda: pertama, interpretasi dan pengembangan estetika dari puisi mbeling;
dan kedua, dekonstruksi terhadap puisi slogan. Dalam konteks yang pertama,
nuansa kelakar, jenaka, dan sembranan menjadi sebuah gaya an sich, tetapi tidak menghilangkan
substansi. Dalam konteks yang kedua, Remy
Sylado mengatakan bahwa menulis puisi itu seperti membuang ludah atau ingus, sedangkan
A. Mustofa Bisri justru sebaliknya. Dia “memungut” kembali sesuatu yang seolah-olah
sia-sia dan tidak bermakna menjadi subjek yang simbolik sehingga A. Mustofa
Bisri memiliki kepekaan sosial yang kokoh.
Pada tingkat dekonstruksi, puisi balsem A. Mustofa Bisri
memberikan efek relaksasi dan berkelanjutan, yang berbeda dari puisi slogan, puisi
demonstrasi, atau puisi kritik sosial. Bagaimanakah indikasinya? Emha Ainun
Najib mengatakan hal berikut tentang A. Mustofa Bisri: “Kiai yang satu ini
adalah pengacau kesusastraan Indonesia. Mentang-mentang dia sudah berada di atas
kata-kata” (via Bisri, 1996: viii).
Apa yang diucapkan oleh Emha Ainun Najib menjadi penguat argumen sifat
dekonstruktif puisi balsem. Kata-kata dalam puisi adalah serumpun teks. Emha
Ainun Najib berpendapat bahwa A. Mustofa Bisri telah melampaui kata-kata, maka A.
Mustofa Bisri merupakan suprateks dan suprakonteks.
Walaupun merupakan suprateks dan suprakonteks, puisi balsem
A. Mustofa Bisri bukanlah puisi yang tidak tersentuh atau terlampau metafisik. Puisi
balsem Mustofa Bisri melebihi hakikat puisi slogan yang bersifat sementara,
oportunistik, dan pragmatis. Bahasa sajaknya yang makin sederhana menandakan
bahwa imajinasi penyairnya telah menjadi perilaku keseharian, bukan lagi sebagai
abstraksi. Dengan kata lain, puisi A. Mustofa Bisri menjadi saksi mata atas
ragam peristiwa.
“...
begitulah, akhirnya saya semakin “gila” menulis puisi. Lalu, seperti kata orang
sekarang, “tiada hari tanpa menulis puisi.” Dan dalam menulis “puisi”, saya
tidak pernah merasa terganggu dengan lalu-lalangnya segala “definisi” dan
“teori” sastra yang bermacam-macam, apalagi dengan anggapan orang tentang
“puisi” saya. Pikir saya, segala macam “definisi”, “teori”, dan berbagai
istilah perpuisian–seperti “puisi gelap”, “puisi religius”, “puisi pemplet,
“puisi protes sosial”, “puisi sufistik”, “puisi mbeling”, dan “puisi
titik-titik yang lain”–dan penilaian terhadap “puisi” saya, biarlah menjadi
urusan para ahli, kritikus, penulis skripsi tentang puisi, dan pengamat sastra (1996:
ix).”
Karena nirpretensi itulah, kekuatan puisi balsem A. Mustofa
Bisri berbeda dari puisi slogan, puisi pamflet, puisi demonstrasi, atau puisi
protes sosial karena puisi balsem bukanlah orasi, protes, pidato, atau
verbalisme belaka. Orientasi intensinya juga beragam, bukan hanya persoalan
sosial-politik, melainkan juga persoalan kehidupan secara holistik.
Kata balsam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ‘minyak kental yang mengandung
minyak damar dan minyak asiri, terasa panas jika digosokkan pada kulit sebagai
obat sakit kepala, masuk angin’. Komponen balsam adalah minyak damar dan minyak
asiri. Salah satu manfaat minyak damar adalah sebagai tanaman untuk penghijauan
dan bahan obat-obatan, sedangkan komponen susunan senyawa yang kuat dalam minyak
asiri memengaruhi saraf manusia (terutama di hidung) sehingga sering kali
memberikan efek psikologis tertentu. Setiap senyawa penyusunnya memiliki efek
tersendiri dan campurannya dapat menghasilkan rasa yang berbeda. Karena
pengaruh psikologis itu, minyak asiri merupakan komponen penting dalam
aromaterapi dan untuk kegiatan-kegiatan liturgi serta olah pikiran/jiwa,
seperti yoga atau ayurveda (wikipedia.org, dinkes 18/10/2018).
Apabila ditafsirkan secara literer, puisi balsam A. Mustofa
Bisri memiliki aksentuasi psikologis dan olah jiwa yang tinggi, sebagaimana
manfaat minyak asiri (unsur balsam) yang tidak mudah menguap, yang berarti
puisinya dapat menjadi kontrol situasi sosial, politik, agama, hingga
kebudayaan. Oleh karena itu, tumbuhlah kekondusifan dan keseimbangan kosmis. Dalam konteks ini puisi balsem A. Mustofa Bisri dapat menjadi narasi tandingan bagi wacana praktik
hegemonik, bahkan dalam dunia sastra sendiri.
Dalam buku kumpulan puisi Tadarus, Umar Kayam mengatakan sebagai berikut:
“...
dalam perjalanan sebagai kiai, saya kira, dia menyerahkan diri secara total
sembari berjalan dengan tafakur. Sedangkan dalam perjalanannya sebagai penyair,
dia berjalan, mata dan hatinya menatap alam semesta dan puak manusia yang ngungun, penuh pertanyaan dan
ketakjuban. ... Dalam menatap alam semesta dan polah tingkah manusia, A.
Mustofa Bisri mendengarkan firman Allah Swt. dan sabda Nabi Muhammad saw, yang
sesungguhnya adalah puisi-puisi (Kayam, 1993: viii).”
Oleh karena itulah, sebalsam apa pun puisi A. Mustofa Bisri, dia akan tetap menyuarakan visi sufistik dan profetik sekaligus. Baca saja karya A. Mustofa Bisri berikut.
NYANYIAN KEBEBASAN
ATAWA BOLEH APA SAJA
Merdeka!
Ohoi,
ucapkanlah lagi pelan-pelan
Merdeka
Kau
‘kan tahu nikmatnya
Nyanyian
kebebasan
Ohoi,
lelaki boleh genit bermanja-manja
Wanita
boleh sengit bermain bola
Anak
muda boleh berkhutbah di mana-mana
Orang
tua boleh berpacaran di mana saja
Ohoi,
Politikus
boleh main film semau hati
Kiai
boleh berlagak kiai semau hati
Ilmuwan
boleh menggugat ayat
Gelandangan
boleh mewakili rakyat
Ohoi,
Dokter
medis boleh membakar kemenyan
Dukun
klenik boleh mengatur kesejahteraan
Saudara
sendiri boleh dimaki
Tuyul
peri boleh diperbaiki
...
Ohoi,
seniman boleh bersufi-sufi
Sufi
boleh berseni-seni
Penyair
boleh berdzikir samawi
Muballigh
boleh berpuisi duniawi
Ohoi,
si anu boleh anu
Siapa
boleh apa
Merdeka?
1987
(Ohoi, 1991: 35—40).
Sajak di atas merupakan resepsi A. Mustofa Bisri terhadap
berbagai macam fenomena diskoneksi sosial, politik, dan agama. Wacana kemerdekaan
dan agama bukan lagi menjadi substansi, melainkan hanya menjadi, apa yang
disebut dalam filsafat eksistensial, aksidensi ‘sesuatu yang
eksistensinya sering ditiadakan’. Bandingkan dengan sajak Taufiq Ismail berikut.
MIMBAR
Dari
mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran
dunia
Suara-suara
kebebasan
Tanpa
ketakutan
Dari
mimbar ini diputar lagi
Sejarah
kemanusiaan
Pengembangan
teknologi
Tanpa
ketakutan
Di
kampus ini
Telah
dipahatkan kemerdekaan
Segala
despot dan tirani
Tidak
bisa dirobohkan
Mimbar
kami
1966
(Ismail
via Waluyo, 1987: 142).
Puisi Taufiq Ismail di atas merupakan nalar kolektif yang
terbangun dari tradisi atau budaya kampus atas rezim yang berkuasa. Artinya,
intensi privat sebagai upaya pemaknaan secara holistik belum tergambar dengan
komprehensif. Herman J. Waluyo mengatakan bahwa seperti puisi pamflet, puisi-puisi
demonstrasi, atau dalam istilah Rachmat Djoko Pradopo puisi slogan, merupakan
ungkapan sepihak sehingga kebenaran sulit diterima secara objektif. Pihak yang
dibela diberikan tempat dan kedudukan yang terhormat dan serba benar, sedangkan
pihak yang dikritik dilukiskan berada dalam posisi yang kurang simpatik
(Waluyo, 1987: 142).
Dalam hal tersebut, perbedaan konseptual serta intensi
antara puisi balsem dan puisi slogan, puisi demonstrasi, atau puisi protes
sosial ada pada bentuk ungkapannya. Puisi demonstrasi atau puisi protes sosial
merupakan ungkapan sepihak dari kolektivitas tertentu dan keluarannya adalah pragmatik,
sedangkan puisi balsem merupakan ungkapan privat-filosofis yang validitas dan
kebenarannya bersifat jangka panjang.
Kritik terhadap puisi pamflet, puisi slogan, puisi demonstrasi, atau
sejenisnya juga dilontarkan oleh Herman J. Waluyo. Dia mengungkapkan sebagai
berikut:
“Puisi pamflet juga
mengungkapkan protes sosial. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah
bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan.
Munculnya kata-kata yang berisi protes secara spontan tanpa proses pemikiran
atau perenungan yang mendalam. Istilah-istilah gagah untuk membela kelompoknya
disertai dengan istilah tidak simpatik yang memojokkan pihak yang dikritik ....
(Waluyo, 1987: 142).”
Dalam puisi balsem, A. Mustofa Bisri tidak membiarkan puisi-puisinya
menjadi liar, tanpa pertimbangan. Fungsi balsam adalah menghangatkan dan
menghilangkan rasa sakit, sedangkan puisi balsem A. Mustofa Bisri menjadi
seperangkat pemikiran dan strategi penyampaian wacana dengan bahasa yang sederhana
serta membuka ruang relaksasi dan ruang refleksi secara mandiri.
MERDEKA ATAWA OKE-OKE
Bawah oke atas oke
Baru oke bekas oke
Dingin oke panas
oke
Kanan oke kiri oke
Duduk oke berdiri
oke
Belakang oke depan
oke
Bersama oke sendiri
oke
Beradab oke sopan
oke
Kursi oke dipan oke
Peri oke manusia
oke
Gadis oke janda oke
Kota oke desa oke
Salah oke benar oke
...
Benar oke salah oke
Dalil oke kilah oke
Menang oke kalah
oke
Setuju oke nentang
oke
Lirih oke lantang
oke
Bayar oke ngutang
oke
Kamu oke kami oke
Takut oke berani
oke
Hidup oke mati oke
Oke, oke
1415
(Rubaiyat Angin
dan Rumput, 1995: 20—21)
Pada puisi “Merdeka Atawa Oke-Oke”, kembelingan
A. Mustofa Bisri tampak dari bahasanya yang menerobos konvensi unsur intrinsik
puisi. Problematika kehidupan ditampakkan dengan sejelas-jelasnya di dalam
puisi, sedangkan pemaknaan akan dilakukan oleh A. Mustofa Bisri bersama
masyarakat secara kolektif. Oleh karena itu, puisi balsemnya memosisikan
masyarakat luas sebagai subjek kolektif, bukan lagi sekadar platform pragmatis puisi slogan, puisi
demonstrasi, atau puisi pamflet.
REFORMASI (d/h MERDEKA) ATAWA BOLEH
APA SAJA
.....
Ohoi,
Mereka yang tak pernah kenal rakyat
kini boleh mengaku mewakilinya
Mereka yang tak pernah tahu politik
kini boleh asyik mempermainkannya
Mereka yang dulu mengatakan haram kini
boleh mewajibkannya
Ohoi,
Mereka yang dulu tak pernah ngerti
kekuasaan
Kini boleh sibuk memperebutkannya
Mereka dulu yang tak pernah paham
demokrasi
Kini boleh giat belajar menekuninya
Reformasi, ohoi!
Ohoi, anak boleh memperkosa ibunya
Ohoi, ibu boleh membunuh anaknya
sendiri
Ohoi, saudara boleh menikam saudaranya
sendiri
Ohoi,
Katakanlah demokrasi
Ku kan tahu rasanya caci-maki
Katakanlah reformasi
Kau kan rasakan nikmatnya anarki
Ohoi, reformasi
Ohoi!
1422
(Negeri
Daging, 2002: 35—36).
“Kebudayaan lahir dari pikiran manusia. Keadaan sosial, politik, dan ekonomi yang menguasai manusia sekarang ini lahir dari pikiran manusia,” kata W.S. Rendra (1984: 72). Oleh karena itu, sajak A. Mustofa Bisri itu menggambarkan bahwa untuk mencapai sebuah tatanan masyarakat baru diperlukan reformasi, bukan hanya reformasi struktural, melainkan juga reformasi intelektual, mental, dan kultural.
Keunikan Puisi
Balsem
Puisi balsem A. Mustofa Bisri unik karena mampu melakukan kritik tajam dan
analitik, tetapi pihak yang dikritik masih dijaga muruahnya, tidak
seperti demonstrasi yang kerap menggerogoti nalar kemanusiaan. Puisi balsem A.
Mustofa Bisri selalu disampaikan dengan pernyataan jujur dan intonasi yang
tegas. Mengapa demikian? Agar nuansa amar
ma’ruf nahi munkar tetap memiliki ruang eksistensinya. Dia mengatakan
(2018: 157) bahwa pemahaman terhadap amar
ma’ruf nahi munkar sebaiknya dimulai oleh mereka yang memahami kebaikan, ma’ruf, munkar,
dan ditujukan kembali kepada diri sendiri, keluarga, dan lingkungan (QS
at-Tahrim: 6).
Puisi balsem A. Mustofa Bisri
menjadi upaya estetik untuk menyampaikan fenomena atau persoalan sosial secara
jujur dan tegas serta memosisikan masyarakat sebagai subjek kolektif. Artinya,
masyarakat pun diajak untuk menggali makna, baik secara privat maupun kolektif.
Selain itu, puisi balsem A. Mustofa Bisri dapat juga dikatakan sebagai
pengembangan dari puisi mbeling
karena puisi balsem A. Mustofa Bisri bukan sekadar mengutamakan ciri kejenakaan, sembranan, dan sebagainya, melainkan penekanan terhadap substansi
dengan menggunakan bahasa yang populer, juga dekonstruksi dari puisi slogan
yang cenderung reaktif dan pragmatis. Puisi balsem A. Mustofa Bisri memiliki
efek psikologis yang kuat sehingga terbukalah ruang relaksasi dan refleksi pembaca.
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah seorang penyair, dan Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto