Kesadaran Humanistik: Suara-Suara Wiji Thukul

Sastra memiliki berbagai agenda pada setiap tahunnya. Pada tahun 2023, misalnya, diadakan Festival Sastra Yogyakarta bertema “Sila” yang bermakna aturan’; moral. Tema “Sila” memiliki filosofi sebagai perayaan sastra dengan menggali kedalaman diri. Festival tersebut juga merefleksikan program-program yang bersinergi dengan ketertataan sosial melalui media sosial (Diana, 2023).

Keseimbangan yang sehat layak dipertahankan melalui agenda berbasis aktivitas sastra, khususnya yang berkaitan dengan keberanian untuk melihat kemungkinan berkembangnya pemikiran secara kreatif. Tidak cukup itu, sastra tidak hanya berkutat dengan cara kerja pemikiran kreatif, tetapi juga dengan memacu daya rasional, nalar, dan kritis. Aktivitas itu berupaya menghindari keterasingan intelektual dan membentuk prinsip kontrol sosial atas berbagai kebijakan yang dibuat secara adil dan mengembangkan kesadaran humanistik sehingga karya sastra betul-betul dapat berperan melayani publik.

Kesadaran humanistik berakar dari suara yang bersemayam dalam diri manusia dan tidak bergantung pada bentuk-bentuk sanksi dan penghargaan dari luar. Kesadaran humanistik didasarkan pada fakta bahwa sebagai manusia, kita memiliki pengetahuan intuitif tentang apa yang manusiawi dan tidak manusiawi serta apa yang kondusif dan destruktif bagi kehidupan (Fromm, 2020, hlm. 13).

Inilah persisnya yang dilakukan penyair kita, yaitu memberikan gagasan dan menghayatinya dalam realitas kehidupan serta mengembangkan akal sehat, nurani, keadilan, cinta, dan penderitaan yang berupaya mereka khotbahkan. Tidak sedikit kasus penyampaian gagasan humanistik yang berujung dijebloskan ke penjara, diburu, diasingkan, bahkan dihilangkan.

Mereka bukan produk manusia yang gagal memahami risiko, melainkan manusia yang memiliki rasa kemanusiaan yang berkelindan sehingga membuktikan bahwa hilangnya tubuh tak dapat menghentikan gagasan mereka mewarisi pesan yang secara alamiah dapat kita baca di berbagai naskah sejarah. Semasa hidupnya, Wiji Thukul berambisi menyuarakan sajak sederhana di tengah “perburuan”. Siapa yang tahu bahwa saya telanjur terpikat dengan sejarah pembuktian bahwa kesadaran humanistik memiliki kekuasaan gagasan.

Saya tidak mengelak bahwa hal ini menjadi bagian dari kehidupan teladan dan membeku pada sejarah sastra kita. Siapakah yang tidak berminat pada kehidupan stabil dan ketenangan yang mengalir pada dirinya sebagai manusia? Namun, bukan tidak mungkin, terdapat orang-orang yang rela keluar dari banyak pengejaran untuk mempertahankan gagasannya tentang kemanusiaan. 

Suara-Suara Wiji Thukul

Siapa yang tahu bahwa pada akhirnya gagasan Wiji Thukul dibaca dan dibicarakan jutaan manusia. Ia adalah penyair asal Solo yang hilang secara misterius setelah diburu aparat pada masa akhir Orde Baru. Siti Dyah Sujirah, istri Wiji Thukul, pun telah meninggal pada tahun 2023. Gagasan melawan penindasan yang ia dengungkan puluhan tahun lalu seolah melindungi kita dari kepentingan politik.

Dalam sejarah, gagasan perlawanan itu tidak lantas difosilkan, tetapi gaung gemanya dapat kita temukan di berbagai orasi Hari Puisi dan aktivitas sastra lainnya. Kendatipun suara-suaranya kian teredam dan kalah dengan tawaran eksistensi yang lebih kekinian, modern, dan “aman”, secara historis tercatat warisan dari suara kemanusiaan, yakni saat bagian esensial sebuah kepatuhan justru menjadi berita utama pemberontakan mahasiswa, seperti penolakan kenaikan BBM tahun 2012 (Tempo, 2024), aksi reformasi UU KPK tahun 2019, tuntutan pengesahan RUU PKS untuk kasus kekerasan seksual, seruan penyelesaian kasus pelanggaran HAM (Kompas, 2021), dan aksi tolak RKUHP tahun 2022 (Tempo, 2024).

Bukan tidak mungkin jika konteks historis ini berlangsung karena suara-suara penyair kita. Pada titik inilah gagasan humanistik digaungkan dengan situasi yang sedikit berbeda. Di antara manifestasi suara Wiji Thukul yang hanya mampu dibuktikan eksistensinya dalam sejarah adalah "Aku akan tetap ada dan berlipat ganda. Siapkan barisan dan siap untuk melawan,” serunya dalam puisinya yang berjudul Kebenaran Akan Terus Hidup.

Apabila konteks perpuisian Wiji Thukul dikaitkan dengan konsep perlawanan mahasiswa, lebih tepat kita singgung puisi berjudul Peringatan yang menceritakan perjuangan buruh sebagai berikut.

Peringatan

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gasat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan! 

Secara sekilas, puisi tersebut bekerja menyuarakan perjuangan melawan penindasan. Apabila kita berbicara tentang sistem kekuasaan dan pemerintahan yang kotor, potensi yang diperoleh dapat menjatuhkan manusia pada kondisi kritis. Materi tersebut pun akan menghubungkan kita pada nalar keadilan dan visi humanistik manusia.

Unsur kekuasaan yang tergolong rakyat kecil, seperti buruh dan kuli, dapatkah berada pada garis struktur sosial dan ekonomi yang tinggi? Kekuasaan biasanya lebih memihak pada kepentingan daripada nasib rakyat kecil. Imam Budhi Santosa dalam buku Profesi Wong Cilik memandang bahwa mata pencaharian wong cilik atau rakyat kecil kadang dijadikan sebagai semacam isyarat atau perlambang tentang sejauh mana yang bersangkutan berhasil memahami realitas hidup yang berisi sekian banyak tuntutan manusiawi berdasarkan kodrat kemanusiaannya. Padahal, dikotomi tinggi-rendah, halus-kasar, dan terhormat-tidak terhormat pada setiap pekerjaan sesungguhnya hanya kesimpulan yang bersifat mondial belaka (Santosa, 2023, hlm. 168).

Sepintas lalu, perspektif akan realitas sosial tersebut seakan-akan hanya karangan belaka. Namun, coba lihatlah mekanisme kerja yang sepi dan sedikit pada ranah sosial begitu memengaruhi penghasilan dan kedudukan sosial. Sementara itu, sekian persen lainnya berpengaruh pada cara pandang seseorang terhadap orang lain. Misalnya, sebagaimana disebutkan Santosa, seorang buruh sangat jarang menyandang jabatan struktural di kampungnya. Seorang kuli tidak duduk berkelompok dengan lurah, camat, guru, atau dokter pada sebuah acara.

Ironisnya, pada konteks sajak Peringatan, secara besar-besaran puisi tersebut menggambarkan situasi kritis akan ketimpangan struktur sosial di negara kita. Sampai-sampai kita dibuatnya bertanya-tanya tentang apakah istilah lawan! dengan tanda seru (!) bermakna peringatan atau perintah’. Sementara itu, pada roda politik, keberanian dan perlawanan menciptakan karakter penuh risiko. Pada konteks ini, apakah sastra dapat benar-benar mengontrol manajemen birokratis? Kita mengakui bahwa sastra merupakan bagian dari refleksi realitas. Namun, bagaimana kerja kesadaran humanistik mengikis ketidakadilan dan membaginya ke dalam bagian perlawanan, seperti yang digaungkan Wiji Thukul? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, tentu kita harus melihat lebih jauh lagi interpretasi dari sajak Peringatan.

Lazimnya para pembaca, saya tak meragukan keberanian Wiji Thukul dalam mewakili gagasan humanistik seorang diri pada sajak Peringatan. Tampaknya kendatipun ia menghilang, suara-suara itu tidak cukup digantikan hanya dengan kemakmuran pekerjaan dan label eksistensi. Empat larik pertama sajak tersebut, yaitu Jika rakyat pergi / ketika penguasa pidato / kita harus hati-hati / barangkali mereka putus asa//. Wiji Thukul menggambarkan situasi yang bertolak belakang dengan kesejahteraan rakyat. Aksen putus asa yang dibawakan Wiji Thukul seolah mengetuk ingatan kita tentang bagaimana rezim Orde Baru menguasai pemikiran masyarakat pada kala itu.

Babak baru muncul seiring dengan lahirnya sajak Peringatan, yaitu telah lahir manusia yang akhirnya percaya bahwa sebentuk pengorbanan lebih kondusif daripada kemewahan jabatan. Bukan hanya suara putus asa yang coba digaungkan Wiji Thukul, melainkan juga sebuah kekuatan rakyat kecil.

Kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar 

Tidak hanya berbekal gagasan dan pelariannya, Wiji Thukul juga mewarisi karya yang memiliki kekuatan puluhan tahun. Puisinya aktif menyuarakan kesadaran humanistik yang cukup memiliki dampak sosial secara signifikan sebagaimana Bertrand Russell yang menunjukkan gagasan rasionalisme dan humanisme dalam karya-karyanya. Ia aktif menunjukkan bahwa apabila hukum negara bertentangan dengan hukum kemanusiaan, manusia harus memilih hukum kemanusiaan (Fromm, 2020, hlm. 28).

Apakah menghilangnya Wiji Thukul secara misterius menunjukkan kemandulan bahasa dan gagasan? Saya termasuk manusia yang berani mengatakan tidak sebab berdasarkan prinsip kemanusiaan, Wiji Thukul sebagai “rakyat” yang memiliki kemampuan menangkap realitas telah berupaya mengumpulkan “demo-demo” di dalam dirinya, yang tidak hanya difungsikan untuk mewakili kepentingan dan eksistensinya, tetapi juga realitas yang berasal dari pengamatan akan situasi dan sistem sosial. Bahkan, apabila kita meminjam istilah ketidakpatuhan Erich Fromm, seorang psikoanalis, sosiolog, dan sosialis demokrat Amerika-Jerman yang dikenal melalui karya-karya klasiknya, seperti Escape from Freedom (1941) dan The Art of Loving (1956), Wiji Thukul menganut ketidakpatuhan sebagai revolusioner, bukan pemberontak. Wiji Thukul setidaknya berbicara mengenai kudeta akal sehat rakyat terhadap situasi politik, ekonomi, penindasan, dan kekuasaan.

Hanya Ada Satu Kata: Lawan

Melalui istilah lawan yang dipakai Wiji Thukul kala itu, dapat kita tengok kilas balik dari keadilan yang mungkin saja lenyap jika keberadaan gagasan itu tidak dipertahankan.
Bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gasat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Tentu saja, gagasan humanistik ini tidak boleh tercampur dengan konsep pemberontakan tanpa kejelasan prinsip dan tanpa otoritas kemanusiaan. Sastra kini terus dijejali polemik politik dan urusan rakyat kecil yang tak ada habisnya. Tanpa pikir panjang, naskah-naskah hanya menjadi berkas yang tak enak dimakan. Kunjungan toko buku atau bazar dengan banting harga habis-habisan masih lebih sepi daripada kedai kopi (coffee shop) yang melabeli segelas kopi dengan harga 50 ribu rupiah. Lantas apa yang lebih masuk akal dari pengulangan kisah dan bentuk-bentuk nyata dari populasi manusia yang memandang sastra sebagai kalkulasi kebosanan?

Jadi, mari, selangkah lebih dekat dengan tindakan afirmasi untuk menangkap nalar dan realitas menjadi nurani untuk mengatakan kemanusiaan sebagai jimat yang sepenuhnya berbicara mengenai kesadaran melalui sastra. Bagi saya, sangat jelas bahwa sajak Peringatan bukan hanya berbicara mengenai istilah peringatan, melainkan juga ketidakpatuhan seorang revolusioner yang berani menjajakan gagasan perlawanan untuk menyentak sistem birokrasi.

Kehidupan ini bukan milik gerombolan manusia dengan kepentingan dan ketertarikannya serta bukan pula naskah drama yang didakwahkan film dengan perpeloncoan dan kepalsuan adegan. Namun, dalam kehidupan diperlukan kesadaran yang betul-betul berprinsip pada kemanusiaan. Konteks sastra mewarisi gagasan dari moral dan realitas, bukan simpang siur artefak yang hanya diletakkan di museum. Agaknya, fakta ini perlu gentayangan menghantui gaya tulisan dan tindakan kemanusiaan.

Sajak Peringatan karya Wiji Thukul menunjukkan kesadaran humanistik yang diwujudkan melalui aktivitas membela rakyat kecil untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap kemanusiaan dan mewartakan tanda-tanda penindasan. Terlebih lagi, apabila kita dapat memahami manifestasi dari sajak tersebut, peradaban tidak akan sanggup menertawakan manusia yang menghilang tanpa sempat menyampaikan pesan perpisahan. 

Simpulan

Dari titik nadir pembahasan ini, melalui hubungan kesadaran humanistik Wiji Thukul, kita belajar memberi rasa hormat kepada segelintir manusia yang memihak cinta dan kemabukannya pada moral. Walaupun gagasan dan kemabukan itu terbawa melalui kelenyapan tubuh, gema dari suara-suara Wiji Thukul dapat kita rasakan sampai dengan hari ini. Masih ada bagian dari generasi yang menyuarakan gagasan dan tindakan perlawanan melalui sastra meski tidak sebanding dengan jumlah manusia yang memilih “terjerumus” pada kenikmatan kemajuan zaman serta memihak pada kecanggihan dan pernyataan skeptis tentang perlawanan.

Imbuh saya, menjadi hal yang kentara dalam mendominasi era saat ini bahwa sastra tidak terlepas dari manajemen kesadaran yang membangkitkan aspek humanistik di dalamnya, baik melalui gagasan maupun tindakan keberanian. Saat sastra menjadi alternatif refleksi kehidupan, sosok dan realitas yang hidup di dalamnya dapat memungkinkan terbentuknya peradaban yang memperhatikan moral. Manifestasinya dapat kita rasakan sekian tahun kemudian. Mungkin saja aksi-aksi dan lahirnya naskah kritis menjadi bagian dari tanda berkembangnya gagasan perlawanan Wiji Thukul.

 

Referensi

Diana. (2023). Festival Sastra Yogyakarta 2023 “Sila” Meriahkan Bulan Bahasa. Balai Bahasa Yogyakarta. https://balaibahasadiy.kemdikbud.go.id/laman/festival-sastra-yogyakarta-2023-sila-meriahkan-bulan-bahasa/

Fromm, E. (2020). Perihal Ketidakpatuhan. IRCiSoD.

Kompas. (2021). Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia, Sejak 1908 hingga Reformasi. Kompas.com. https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/29/110000279/sejarah-gerakan-mahasiswa-di-indonesia-sejak-1908-hingga-reformasi?page=all

Santosa, I. B. (2023). Profesi Wong Cilik. Basabasi.

Tempo. (2024). 5 Gerakan Mahasiswa Indonesia Terbesar Sepanjang Sejarah dan Pemicunya. Tempo.co. https://nasional.tempo.co/read/1829630/5-gerakan-mahasiswa-indonesia-terbesar-sepanjang-sejarah-dan-pemicunya

Efen Nurfiana

Karya-karyanya termuat dalam beberapa buku antologi serta media daring dan luring, seperti badanbahasa.kemdikbud.go.id, basabasi.co, sastramedia.com, SIP Publishing, Pikiran Rakyat, dan Suara Merdeka. Selain itu, karyanya terdokumentasikan dalam kumpulan sajak Dadamu Serumpun Pohon (Wadas Kelir Publisher, 2023) serta Gus Mus dan Simbolisme Feminin (Wadas Kelir Publisher, 2023).

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa