Cerita Lisan, Transmisi Memori, dan Peristiwa 1965 Oleh Risen Dhawuh Abdullah
Mungkin Anda pernah merasa bergidik ketika mendengar seseorang bercerita
mengenai sebuah peristiwa mengerikan yang ia alami sendiri. Perasaan takut muncul di benak. Anda pun merasa bahwa narasi-narasi
yang dibangun oleh si pencerita begitu nyata. Anda kemudian juga membayangkan
bagaimana jika peristiwa yang diceritakan melibatkan Anda. Bayangan yang
memengaruhi psikologi itu makin menambah dan mengekalkan rasa ketakutan itu.
Padahal, Anda tidak pernah terlibat dalam peristiwa yang diceritakan. Sebagai contoh, peristiwa yang disampaikan kepada Anda itu adalah Peristiwa 1965.
Anda sebagai generasi masa kini, katakanlah, telah merawat trauma yang
diwariskan oleh pencerita. Dalam konteks yang lebih luas, banyaknya sebaran wawancara
ataupun cerita dari keturunan para penyintas mengenai kejadian-kejadian pada
tahun 1965 yang melibatkan keluarga mereka menjadi bukti generasi setelah
penyintas merawat trauma. Ketika mereka bercerita, narasi-narasi yang dibawakan
begitu hidup seakan generasi kedua atau setelahnya tersebut juga mengalaminya.
Generasi kedua atau setelahnya mewarisi trauma dari generasi mereka
sebelumnya. Hal itu kemudian oleh Marianne Hirsch disebut sebagai postmemory.
Hirsch
Postmemory is a powerful form of memory precisely because its connection to its object or source is mediated not through recollection but through an imaginative in- vestment and creation. Postmemory characterizes the experience of those who grow up dominated by narratives that preceded their birth, whose own belated stories are evacuated by the stories of the previous generation, shaped by traumatic events that can be neither fully understood nor re-created.
Mulanya
Hirsch melihat postmemory sebagai sebuah fenomena yang terkait dengan
individu-individu yang tumbuh sebagai anak-anak yang selamat dari Holocaust
Peran investasi dan kreasi imajinatif sangatlah besar terhadap ingatan
yang kuat sebab objek ataupun sumbernya tidak dimediasi oleh ingatan. Postmemory
mencirikan pengalaman yang tumbuh dengan didominasi oleh narasi yang mendahului
kelahiran generasi kedua atau setelahnya, yang kisah-kisahnya terlambat
dievakuasi oleh kisah-kisah generasi sebelumnya, dan dibentuk oleh peristiwa
traumatis yang tidak dapat sepenuhnya dipahami atau diciptakan kembali
Sastra
lisan—termasuk cerita lisan—adalah sastra yang disampaikan secara
turun-temurun. Sifatnya yang turun-temurun memungkinkan suatu wacana yang
disampaikan melalui tradisi lisan dapat mempunyai berbagai versi. Meskipun
demikian, ada sisi-sisi tertentu yang menjadi semacam ketetapan sehingga
dipertahankan seakan tidak dapat berubah ataupun diubah. Hal itu terjadi karena
salah satu fungsi sastra lisan menurut William R. Bascom dan Alan Dundes dalam
Selama 3 dekade Soeharto memimpin negara Indonesia, selama itu pula
Soeharto melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara tertentu. Salah satu yang
mencolok adalah penyajian narasi terkait dengan peristiwa Gerakan 30 September
atau G-30-S
Di Wonorejo, Gadingsari, Sanden, Bantul berkembang cerita lisan yang
berlatar peristiwa 1965. AM sebagai pencerita menyampaikan cerita lisan dengan
membawakan kisah-kisah yang khas—tidak ada di daerah lain. Dari yang penulis dengar langsung, setidaknya
ada tiga kisah, yakni kemunculan jenderal PKI yang berasal dari Srandakan; mayat-mayat
yang ada di permukiman warga; dan asal mula nama “rumput PKI” yang disebut oleh
warga Wonorejo II, Gadingsari, Sanden, Bantul, Yogyakarta.
AM tidak tahu kapan tepatnya jenderal PKI yang bernama Marcus Suwarno[1] ada. Meski ia bersinggungan dengan tahun 1965, ia tidak bersentuhan langsung dengan peristiwa-peristiwa yang ada. Cerita yang ia sampaikan tentang tiga cerita yang sudah disebutkan ia dapatkan dari generasi sebelumnya. Berikut ialah bagian penting dari cerita lisan yang dituturkan oleh AM.
“Dulu ada seorang jenderal terkenal. Kalau ia akan muncul, biasanya ada tanda-tanda barat (baca: angin kencang). Namanya Marcus Suwarno, ia adalah jenderal yang berasal dari Srandakan. Ia tidak lain jenderal PKI. Katanya, ia tidak mempan ditembak. Ditembak tidak mati-mati. Ia bisa mati kalau dikubur hidup-hidup.”
Berdasarkan penuturan AM, kemunculan jenderal yang bernama Marcus Suwarno
ditandai dengan angin kencang. Penulis tidak menanyakan kepada AM yang dimaksud
dengan barat atau angin kencang dalam pengertian yang sesungguhnya atau
sebatas kiasan bahwa setiap kemunculan PKI akan membawa ancaman-ancaman yang
ditujukan untuk penduduk setempat. Jenderal Marcus Suwarno yang dikisahkan
tidak dapat mati saat terkena tembakan juga bisa jadi sebagai kiasan bahwa
tidak mudah melenyapkan PKI. Organisasi tersebut dianggap sebagai organisasi
yang kuat walaupun kemudian jenderal tersebut pada akhirnya tiada karena
dikubur hidup-hidup.
Tindakan mengubur hidup-hidup tentunya merupakan tindakan yang sangat
kejam. Tindakan tersebut (baca: dapat dimaknai dari cerita tersebut seakan ada
wacana yang diselundupkan mengenai PKI yang dianggap sebagai musuh negara)
memberikan ketegasan bahwa organisasi PKI berbahaya atau jahat sehingga layak
dilenyapkan dengan cara apa pun.
Cerita lisan yang dituturkan AM pada kutipan di atas kemudian berlanjut setelah jenderal tersebut dikubur hidup-hidup. Seakan-akan ia menjadi perlambang bahwa akan banyak korban yang berjatuhan. Menurut penuturan dari AM, setelah jenderal tersebut tiada, korban kemudian berjatuhan. Mayat-mayat anggota organisasi PKI dikubur ala kadarnya sehingga liang kuburan mayat tidak begitu dalam sebagaimana pada umumnya. Satu liang lahat tidak hanya untuk menguburkan satu mayat. Berikut ialah kutipan penuturan AM.
“Marcus Suwarno dan orang-orang PKI yang tiada karena bentrok, dikuburkan tidak dalam, nah mayatnya kemudian bisa diambil sama anjing. Mayatnya itu sudah berupa potongan tangan, kaki, dan lain sebagainya, dibawa oleh anjing masuk ke pemukiman warga sini. Mayat orang-orang PKI benar-benar di mana-mana.”
Dari kutipan cerita lisan yang disampaikan oleh AM, dapat disimpulkan bahwa
pemusnahan organisasi terlarang PKI begitu keji dan kejam. Organ-organ manusia
diperlakukan seakan barang yang tiada harganya, yaitu dengan dipotong-potong. Kemudian, terkait dengan
cara menguburkan mayat orang-orang PKI yang seadanya, hal itu mempertegas bahwa
PKI adalah organisasi terlarang yang layak dimusnahkan karena dianggap
membahayakan negara.
Pembantaian di Indonesia pada 1965–1966 merupakan peristiwa pembantaian
orang-orang yang dituduh PKI ataupun komunis di Indonesia pada masa setelah
terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah
juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa
tersebut
Cerita lisan yang disampaikan oleh AM merawat ingatan tentang apa yang pernah terjadi di wilayahnya tinggal. Ingatan tersebut, yang pada kelak kemudian hari diturunkan kepada generasi berikutnya, kemudian menimbulkan trauma. Seperti yang sudah disampaikan pada penjelasan dalam pemikiran Marianne Hirsch tentang postmemory, peran investasi dan kreasi imajinatif sangatlah besar terhadap ingatan yang kuat sebab objek ataupun sumbernya tidak dimediasi oleh ingatan.
“Selain ke pemukiman warga, ada bagian tubuh yang sampai ke sawah. Di tempat menguburkan mayat-mayat tadi, tumbuh rumput, yang kemudian dinamakan sebagai ‘suket PKI’. Sebelumnya belum ada rumput itu.”
Penamaan rumput PKI menjadi bentuk transmisi memori. Marianne Hirsch menganggap bahwa foto, cerita, hingga perilaku menjadi penting sebab generasi kedua atau setelahnya tidak mengalaminya secara langsung sehingga itu dapat menjadi bukti peristiwa yang terjadi. Dalam hal ini, penamaan yang dilakukan berdasarkan cerita AM menjadi bentuk transmisi memori tentang peristiwa yang ada di balik penamaannya.
[1] Penulis menduga bahwa nama yang dimaksud hanya mitos. Artinya, itu hanya nama yang dibuat oleh warga setempat sebab berdasarkan penelusuran penulis, tidak ditemukan data-data yang merujuk pada nama tersebut.
Rujukan
Arta, K. S., & Purnawati, D. O. (2017). Ladang hitam
pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 (studi kasus tragedi kemanusiaan
anggota PKI di Desa
Penglatan, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali dan potensinya sebagai sumber belajar sejarah kontemporer Indonesia). Jurnal
Ilmiah Ilmu Sosial, 3(1).
Hirsch, M. (1996). Past lives: Postmemories in exile. Poetics Today, 659–686.
Hirsch, M. (2012). The
generation of postmemory: Writing and visual culture after the
holocaust. Columbia University Press.
Jati, G. P. (2020). Transmisi memori dan wacana rekonsiliasi
dalam cerpen “Perempuan Sinting di Dapur” karya Ugoran Prasad: Kajian
postmemory. JENTERA: Jurnal Kajian
Sastra, 9(1), 28–42.
Suantoko, S. (2016). Fungsi sastra lisan “Tanduk” masyarakat
Genaharjo Kabupaten Tuban bagi masyarakat pendukungnya. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI, 16(2),
246–256.
Zanynu, M.
A. (2019). Soeharto dan gerakan 30
September (G30s) dalam narasi memori media berita daring Indonesia. Inter Komunika: Jurnal Komunikasi, 4(1),
27–43
Risen Dhawuh Abdullah
Penulis adalah mahasiswa Magister Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM angkatan 2023. Ia juga merupakan alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015 pada kelas cerpen. Ia merupakan anggota Komunitas Jejak Imaji, dapat dihubungi melalui IG @risendhawuhabdullah