Lukisan yang Kesepian: Memotret Keunikan Santri Melalui Cerpen

Antologi cerpen berjudul Lukisan yang Kesepian merupakan karya perdana berbentuk buku dari santri bernama Abdul Khalim yang tidak hanya fokus pada ngajinya, tetapi juga menjenama dirinya sebagai cerpenis, pegiat seni lukis, gambar bahkan kaligrafi. Beberapa cerpennya tertuang di majalah dan media Bilqolam, sebuah komunitas yang mewadahi para santri Al-Iman Bulus Purworejo dalam hal literasi yang merangkap menjadi penerbit. 

Di antara banyaknya karya cerpen yang telah ditulis dan dipublikasikan, antologi cerpen Lukisan yang Kesepian ini menjadi istimewa. Antologi ini tidak hanya menjadi tulisan pertama yang dibukukan oleh Abdul Khalim, tetapi juga cerminan dari perjalanan kreatifnya. Judul Lukisan yang Kesepian menyiratkan nuansa introspeksi dan refleksi yang mungkin mencerminkan pengalaman pribadi atau observasi mendalam dari kehidupan sehari-hari. Potret kehidupan santri menjadi pijakan Khalim untuk mengeksplorasi kerja kreatifnya dalam menulis.

Dalam konteks yang lebih luas, keberhasilan Abdul Khalim dalam menerbitkan buku ini juga menunjukkan peran penting komunitas literasi, seperti Bilqolam dalam mendukung dan mempromosikan bakat-bakat muda. Dengan adanya dukungan dan platform yang memadai, para santri dapat mengembangkan dan mengekspresikan kreativitas mereka, serta berkontribusi pada kekayaan budaya dan intelektual masyarakat. Sebagaimana yang tertuang di laman Bilqolam bahwasanya Bilqolam merupakan komunitas kaum sarungan yang menyalurkan bakat santri di Ponpes Al-Iman Bulus dalam hal literasi, khususnya dalam bidang tulis-menulis. Komunitas yang resmi berdiri pada tahun 2018 ini, telah mewadahi hasil karya tulis para santri Al-Iman, baik melalui mading, majalah, laman, maupun karya ilmiah setiap angkatan.

Dengan demikian, Lukisan yang Kesepian tidak hanya merupakan pencapaian pribadi bagi Abdul Khalim, tetapi juga simbol dari potensi besar yang dimiliki oleh para santri dalam bidang seni dan literasi. Buku ini diharapkan dapat menginspirasi lebih banyak santri dan generasi muda untuk mengejar dan mewujudkan impian kreatif mereka.

Mengapa cerpen?

Murhadi dan Hasanudin dalam Rahmani (2021) mengatakan bahwa cerpen adalah karya fiksi atau rekaan imajinatif yang mengungkapkan satu permasalahan dengan ditulis secara singkat dan padat serta memiliki komponen atau unsur struktur berupa alur/plot, latar/setting, penokohan, sudut pandang, dan amanat. Pendapat tersebut setidaknya memberikan pemahaman bahwa cerpen merupakan salah satu karya rekaan dari penulisnya yang mengandung amanat/pesan, baik  tersurat maupun tersirat. Teeuw (1984) menjelaskan bahwa amanat adalah salah satu elemen penting dalam karya sastra yang berfungsi sebagai medium komunikasi antara pengarang dan pembaca.

Nurgiyantoro (2005) memberikan pengertian bahwa cerpen adalah karya fiksi prosa naratif yang relatif singkat, yang menyajikan satu peristiwa tunggal dengan jumlah tokoh yang terbatas, dan mempunyai alur yang tunggal. Dengan pengertian tersebut, dapat kita pahami bahwa cerpen merupakan karangan yang lebih menampilkan fokus pada satu kejadian utama dan dengan alur cerita yang tidak terlalu bersengkarut, sebagaimana sebuah novel. Hal ini menjadi nilai positif cerpen dalam menyampaikan pesan. Pesan yang terkandung dalam cerpen mudah untuk dipahami dengan alur yang singkat dan tidak terlalu bertele-tele.

Menurut saya alasan Khasim memilih cerpen sebagai media  penyampaian pesan adalah ia ingin mencari wajah baru dalam memotret pengalaman dan imajinasinya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Kosasih (2020) bahwa cerpen sebagai salah satu bentuk prosa yang efektif dalam menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai kehidupan karena kemampuannya menyentuh emosi dan logika pembaca secara bersamaan. Kosasih menekankan bahwa cerpen efektif dalam menggugah perasaan dan pemikiran pembaca karena narasinya yang singkat, tetapi padat memungkinkan penyampaian pesan yang kuat dan langsung.

Dalam Lukisan yang Kesepian, penulis tampaknya memanfaatkan potensi cerpen ini untuk mengejawantahkan pandangannya tentang kehidupan. Melalui cerita-cerita yang disajikan, penulis berupaya mengajak pembaca merenungkan berbagai aspek kehidupan, baik yang nyata maupun imajiner. Dengan demikian, cerpen menjadi medium yang ideal untuk menggambarkan kompleksitas emosi dan pikiran manusia serta mengajak pembaca untuk merenungkan makna-makna tersembunyi di balik narasi-narasi pendek. Setiap cerpen dalam buku ini menjadi cerminan dari perjalanan batin penulis serta usahanya untuk mencari dan menemukan wajah baru dalam dunia sastra. Dengan demikian, pilihan cerpen sebagai media penyampaian pesan bukanlah tanpa alasan, melainkan sebuah strategi kreatif untuk menghadirkan narasi yang kuat, menyentuh, dan memikat. 

Potret keunikan santri dalam Lukisan yang Kesepian

Buku ini memuat 14 cerita pendek dengan beragam tema, tidak terkhusus hanya berkutat ke satu tema, memperkaya karya antologi cerpen Lukisan yang Kesepian. Di sisi lain, penulis sengaja menampakkan beragam tema supaya para pembaca tidak cepat bosan dalam membacanya. Keberagaman tema yang demikian justru akan lebih memberikan warna kepada pembaca dalam menikmati lembar-lembar buku antologi ini.

            Tema dalam Lukisan yang Kesepian memang sangatlah beragam, tetapi berdasarkan pengamatan saya ditemukan tema yang lebih mendominasi, yaitu tema santri beserta keunikannya. Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat luas bahwa santri itu unik. Emha Ainun Najib (2001) mengungkapkan bahwa santri memiliki keunikan dalam adaptasi dan inovasi. Mereka mampu menjaga tradisi sambil tetap terbuka terhadap perubahan dan modernisasi.

Antologi ini memuat lima cerpen yang membahas persoalan santri. Hal ini wajar karena latar belakang penulis adalah santri. Fenomena ini menjadi nilai tambah bagi antologi Lukisan yang Kesepian karena menunjukkan kumplan cerpen ini berangkat dari pengalaman atau pengetahuan penulis sekaligus menunjukkan orisinalitas karya Abdul Karim.

            Lima cerita tersebut berjudul “Ayahku Pembohong”, “Semur Warteg Kang Bahar”, “Sarung Bapak”, “Bolehkah Aku Menjadi Penari?”, dan “Alif”. Kelima cerpen ini menceritakan persoalan santri dengan keunikan tingkah lakunya. Santri yang dari pandangan  kebanyakan orang hanya pencari ilmu yang hidupnya seputar ngaji, ngaji, dan ngabdi oleh penulis tidak ditampilkan gambaran santri yang sebatas demikian. Lebih dari itu, penulis menghidangkan fragmen dan drama-drama santri dalam panggung kehidupannya.

Seperti cerita dalam judul “Semur Warteg Kang Bahar” yang menceritakan dua orang santri, Saipul dan Wawan, yang mendorong motor dalam gelapnya malam karena terdampak ban bocor setelah mereka mengambil bekal dari rumah. Kemudian kedua santri itu rehat sejenak di sebuah warteg milik Kang Bahar. Awalnya mereka hanya hendak istirahat sejenak untuk meminum es teh, tetapi ditawari makan oleh Kang Bahar. Usut punya usut ternyata Kang Bahar merupakan alumni pondok yang sama, Angkatan 2015. Oleh karena itu, dia dengan senang hati menawarkan dan mengajak makan kedua santri tersebut (Hlm. 35). Saya berasumsi mungkin Kang Bahar pernah di posisi kedua santri itu sehingga ia tidak berat hati memberikan jualannya secara cuma-cuma.

Selama berada di warteg, kedua santri tersebut berdebat karena adanya keganjilan di Warteg Kang Bahar. Pertama, adanya suara gonggongan anjing yang terdengar jelas. Kedua, daging pada semangkuk semur terasa hangat dalam perut. Ketiga, bercak darah di lengan baju Kang Bahar. Kejanggalan-kejanggalan ini yang kemudian membuat mereka untuk segera bertolak dari Warteg Kang Bahar untuk melanjutkan perjalanannya menuju pondok pesantren. Saipul yang lebih waspada dan curiga terhadap Warteg Kang Bahar. Selama perjalanan, tatapan Saipul benar-benar kosong (Hlm. 43).

Dari cerita di atas, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat potret santri yang ditampar kenyataan yang tak terduga, yang mungkin tidak terbayangkan dalam pikirannya. Penulis menghadirkan keunikan santri ketika dihadapkan dengan persoalan halal-haram senantiasa berprasangka baik kepada sesama dan dilarang suudzon (prasangka buruk) terhadap yang lain. Membaca Lukisan yang Kesepian seolah-olah penulis mengajak kita untuk ikut terjun dan mengalami fragmen-fragmen yang yang ada dalam ceritanya.

Antologi cerpen ini cukup direkomendasikan untuk dibaca, baik dari kalangan santri maupun yang bukan santri. Bagi para santri, Lukisan yang Kesepian mengajak mengarungi samudra keragaman tingkah laku santri dan mengenang kembali masa-masa nyantri berikut dramanya dalam menghadapi aturan-aturan pondok. Bagi pembaca yang bukan dari kaum sarungan, akan diajak menonton potret santri dalam menimba ilmu dan pengetahuan di asrama pesantren. Pembaca umum akan melihat peraturan dan norma-norma pesantren yang harus dijalankan oleh para santri bersifat mengikat. Peraturan yang lebih ketat dibanding di sekolah-sekolah pada umumnya.

Cerpen berjudul “Bolehkah Aku Menjadi Penari?” (Hlm. 113) merupakan satu dari gambaran sebuah pondok pesantren memang secara fundamental mengedepankan nilai-nilai agama, akhlak, pendidikan karakter untuk melahirkan generasi  yang melek agama, budi pekerti, dan akhlaqul-karimah. Dalam cerpen ini diceritakan seorang santri baru bernama Fatma. Saat kecil ia diajak oleh ayahnya menonton sebuah pagelaran seni yang menampilkan tarian-tarian. Karena ia sangat antusias dalam menonton, seorang penari memberikan hadiah sampur. Seketika itu ia mengubah cita-citanya dari menjadi dokter menjadi penari profesional (Hlm. 116).

     Akan tetapi, setelah lulus SMP Fatma dimasukkan ke sebuah pesantren oleh ayahnya. Meski ia sempat bimbang, Fatma bersedia masuk pesantren karena dalam brosur pesantren tertulis “Ekstrakulikuler Kesenian”. Menurutnya masuk pesantren tidak akan menggagalkannya untuk menjadi seorang penari profesionel. Namun, pada hari pertama mondok semua santri baru, termasuk Fatma, harus menghadapi pengecekan barang-barang oleh pihak keamanan pondok. Fatma berdebat dengan keamaanan pondok karena tidak boleh membawa sampur ke pesantren. Dia bertanya mengapa hanya sebatas sampur merah yang dipakainya menari tidak boleh dibawa di pondok dan harus dibawa pulang atau disita oleh keamanan pondok (Hlm. 117).

Bagi saya pribadi, Lukisan yang Kesepian banyak mengandung nilai-nilai unik selain cerita-cerita di atas. Selain itu, setiap judul cerpena dilengkapi ilustrasi yang dapat membantu dan memicu daya imajinasi pembaca dalam menyelami setiap cerpen dalam buku ini. Akan tetapi, adag sedikit disayangkan tata letak tulisan kurang ke tengah, terlalu ke samping, membuat pembaca kurang nyaman. Ini penilaian subjektif saya pada kekurangan buku ini. Meskipun demikian, hal itu tidak terlalu berpengaruh karena tulisan tetap aman dan mudah dibaca. Agar Anda tidak penasaran, bacalah buku ini! Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!***

DAFTAR PUSTAKA

Khalim, Abdul. 2024. Lukisan yang Kesepian. Purworejo: CV. Bilqolam Al-Iman

Kosasih, E. 2020. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya

Nadjib, E. A. 2001. Markesot Bertutur Lagi. Yogyakarta: Bentang Budaya

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Sastra: Pendekatan Pragmatik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Rahmani, N. S. 2021. “Analisis Unsur Intrinsik Cerpen Perempuan Berkalung Sorban Karya Tere Liye Jurnal Ilmiah Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 6(1), 1-9

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Website resmi Bilqolam Al-Iman, diakses pada 3 Agustus 2024 https://www.bilqolam.or.id/

Fajrul Alam

Kecanduan kopi dan gorengan. Alumnus Al-Iman Bulus dan UIN SAIZU. Bergeliat di SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban) Purwokerto. Karyanya masuk di beragam koran, buku antologi puisi, majalah, dan media online dll. Bisa disapa via IG: fajrulalam_

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa