Quo Vadis Bahasa? Menegaskan Hubungan Bahasa, Pendidikan, dan Budaya

Pendahuluan

Bahasa dan budaya adalah dua elemen yang sering kali dianggap saling melengkapi dalam kehidupan manusia. Namun, dalam konteks pendidikan, peran bahasa menjadi lebih dominan dan signifikan daripada peran budaya. Bahasa tidak hanya menjadi medium utama dalam proses komunikasi, tetapi juga merupakan alat yang memungkinkan terjadinya pembelajaran, pengembangan kognitif, dan penyampaian pengetahuan. Pendidikan modern membutuhkan bahasa sebagai fondasi untuk literasi, analisis, dan berpikir kritis, sehingga bahasa menjadi komponen esensial yang jauh lebih terkait dengan keberhasilan akademik daripada budaya.

Meskipun budaya memberikan kerangka nilai, norma, dan tradisi dalam masyarakat, pendidikan bergantung pada bahasa untuk menyampaikan pengetahuan secara efektif. Setiap disiplin ilmu—apakah itu sains, matematika, sastra, atau seni—mengandalkan bahasa untuk mengartikulasikan konsep-konsep yang kompleks, membangun argumen yang logis, dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan budaya, bahasa memiliki peran yang jauh lebih mendalam dan bermakna dalam konteks pendidikan.

Makalah ini akan mengeksplorasi hubungan antara bahasa, pendidikan, dan budaya dengan fokus pada peran dominan bahasa dalam pendidikan. Dengan menggali teori-teori yang relevan dan meninjau berbagai perspektif akademis, kita akan mencoba menjawab pertanyaan: Quo Vadis Bahasa, Pendidikan, dan Budaya? Apakah dalam konteks pendidikan, bahasa lebih mendominasi dibandingkan dengan budaya? Jawaban atas pertanyaan ini akan menyoroti pentingnya menempatkan bahasa sebagai prioritas utama dalam kebijakan pendidikan dan dalam pengembangan keterampilan siswa.

Bahasa dan Budaya

Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat, tetapi tetap merupakan dua entitas yang berbeda, yang memainkan peran masing-masing secara signifikan dalam membentuk pengalaman manusia. Untuk memahami relasi antara bahasa dan budaya, kita perlu mengeksplorasi secara mendalam berbagai perspektif yang menunjukkan bagaimana keduanya saling melengkapi dan membentuk satu sama lain.


Struktur Sosial Budaya Menentukan Struktur Perilaku Linguistik

Struktur sosial budaya memainkan peran penting dalam menentukan struktur perilaku linguistik seseorang karena bahasa pada dasarnya merupakan produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh norma, nilai, dan aturan yang ada dalam suatu masyarakat. Struktur sosial mengacu pada bagaimana kelompok dan individu dalam masyarakat diorganisasikan berdasarkan berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial, etnis, agama, dan status ekonomi. Faktor-faktor ini kemudian membentuk perilaku linguistik individu dan kelompok dalam berkomunikasi.

Bahasa berkembang dalam konteks budaya yang berbeda, sehingga mencerminkan keragaman nilai dan norma dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang berstruktur hierarkis, seperti masyarakat Jawa, bahasa digunakan untuk merefleksikan dan memperkuat stratifikasi sosial yang ada. Konsep unggah-ungguh atau tata krama dalam bahasa Jawa adalah contoh konkret bagaimana bahasa disesuaikan untuk menunjukkan rasa hormat, kesopanan, dan status sosial. Misalnya, penggunaan bahasa krama inggil (bahasa tingkat tinggi), ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau berstatus lebih tinggi, menunjukkan penghormatan dan pengakuan terhadap posisi sosial mereka. Sebaliknya, bahasa ngoko (bahasa tingkat rendah) digunakan dalam konteks yang lebih akrab dan informal, seperti saat berbicara dengan teman sebaya atau mereka yang memiliki status sosial yang setara atau lebih rendah (Geertz, 1960).

Selain struktur usia dan status sosial, struktur budaya juga mencakup peran gender yang sering kali tecermin dalam bahasa. Dalam beberapa masyarakat, cara berbicara pria dan wanita dapat berbeda secara signifikan dan mencerminkan peran dan harapan gender yang berlaku. Misalnya, penelitian oleh Holmes (1992) menunjukkan bahwa dalam banyak masyarakat, perempuan cenderung menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang lebih sopan, halus, dan bersifat kolaboratif, sedangkan laki-laki lebih cenderung menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang langsung, dominan, dan kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan hubungan sosial, tetapi juga dapat memperkuat norma-norma gender yang ada dalam masyarakat.

Bahasa juga digunakan sebagai sarana untuk memperkuat identitas kelompok dan membedakan diri dari kelompok lain. Misalnya, dalam konteks budaya etnis, komunitas tertentu mungkin menggunakan dialek atau variasi bahasa yang unik untuk menandakan identitas etnis dan solidaritas kelompok. Dalam masyarakat multietnis seperti Indonesia, bahasa daerah, seperti bahasa Sunda, Minangkabau, atau Batak, digunakan untuk memperkuat identitas etnis dan menjaga nilai-nilai budaya yang melekat pada kelompok tersebut. Penelitian Fishman (1972) menunjukkan bahwa penggunaan bahasa sebagai simbol identitas etnis membantu memperkuat kohesi sosial dan memberikan rasa kebersamaan di antara anggota kelompok.

Status sosial ekonomi juga memainkan peran penting dalam membentuk struktur perilaku linguistik seseorang. Mereka yang berlatar belakang ekonomi tinggi cenderung menggunakan variasi bahasa yang dianggap lebih prestise atau standar dalam masyarakat, sedangkan mereka yang berlatar belakang ekonomi yang rendah mungkin menggunakan dialek lokal atau variasi bahasa yang dianggap kurang formal. Misalnya, penelitian Bernstein (1971) tentang kode bahasa menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kode elaboratif yang lebih sering digunakan oleh kelas menengah atas dan kode terbatas yang lebih umum di kalangan kelas pekerja.  

Budaya juga memberikan makna dan konteks bagi penggunaan bahasa serta memengaruhi cara seseorang untuk memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan. Dalam budaya tertentu, penggunaan bahasa figuratif, metafora, atau peribahasa sering kali mencerminkan pandangan dunia dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Misalnya, ungkapan "seperti padi, makin berisi makin merunduk" dalam budaya Indonesia tidak hanya menunjukkan sikap kerendahan hati, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya yang menghargai pengetahuan, pengalaman, dan kebijaksanaan yang dipadukan dengan sikap rendah hati.

Struktur budaya juga terlihat dalam penggunaan bahasa untuk mentransmisikan nilai-nilai, tradisi, dan kepercayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasa menjadi medium utama dalam pendidikan budaya, baik melalui cerita rakyat, pepatah, nyanyian, maupun ritual. Proses ini memastikan bahwa nilai-nilai budaya tetap hidup dan terus diwariskan. Misalnya, dalam tradisi lisan suku Bugis di Sulawesi Selatan, penggunaan bahasa dalam bercerita tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana untuk mengajarkan nilai-nilai kepahlawanan, keberanian, dan kebijaksanaan kepada generasi muda.

Struktur Linguistik Memengaruhi Struktur Sosial Budaya

Struktur linguistik memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk dan memengaruhi struktur sosial budaya suatu masyarakat. Konsep ini ditegaskan melalui Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga berperan sebagai kerangka berpikir yang membentuk cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia. Bahasa, melalui struktur dan kosakatanya, memiliki kemampuan untuk membentuk persepsi, pemikiran, dan perilaku yang pada gilirannya memengaruhi masyarakat dalam memahami realitas mereka.

Menurut Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, struktur bahasa seseorang memengaruhi cara berpikir dan memahami dunia di sekitarnya. Whorf (1956) berpendapat bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga membentuk cara kita mengonseptualisasi pengalaman. Artinya, orang yang berbicara dalam bahasa yang berbeda akan memiliki persepsi yang berbeda tentang dunia, tergantung pada struktur linguistik yang mereka gunakan.

Sebagai contoh, dalam bahasa Inuit, terdapat lebih dari 50 kata untuk menggambarkan salju. Variasi ini mencerminkan tingkat kepekaan dan signifikansi fenomena salju dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga mereka dapat melihat dan memahami salju dengan cara yang lebih mendetail dibandingkan dengan penutur bahasa lain yang hanya memiliki satu atau dua kata untuk salju. Struktur linguistik ini tidak hanya mencerminkan lingkungan mereka, tetapi juga memengaruhi cara mereka untuk berinteraksi dan memahami dunia es yang mereka tempati.

Salah satu contoh klasik dari pengaruh struktur linguistik terhadap pemahaman sosial budaya adalah konsep waktu dalam masyarakat Hopi. Bahasa Hopi, menurut penelitian Whorf (1956), tidak memiliki bentuk gramatikal yang menunjukkan waktu linier seperti dalam bahasa Inggris atau bahasa Barat lainnya. Sebaliknya, bahasa Hopi mengungkapkan waktu dengan cara yang lebih siklis dan berkelanjutan. Hal ini memengaruhi cara pandang mereka terhadap kehidupan: waktu tidak dianggap sebagai rangkaian peristiwa yang terpisah, tetapi sebagai proses yang terus berlangsung. Akibatnya, konsep waktu yang berbeda ini membentuk struktur sosial dan budaya mereka, termasuk cara mereka merencanakan aktivitas sehari-hari, mengingat peristiwa masa lalu, dan memproyeksikan masa depan.

Bahasa juga berperan dalam membentuk dan mereproduksi relasi sosial melalui penggunaan kata ganti dan terminologi tertentu. Misalnya, dalam bahasa Jepang, kata ganti, seperti watashi, boku, dan ore, digunakan oleh pembicara yang berbeda dalam konteks sosial tertentu untuk menunjukkan tingkat keformalan, gender, dan status sosial. Watashi digunakan dalam konteks formal dan netral, sedangkan boku lebih umum digunakan oleh laki-laki dalam situasi yang lebih santai, dan ore digunakan dalam situasi informal dan cenderung menegaskan maskulinitas. Dengan demikian, struktur linguistik ini memengaruhi cara individu menempatkan diri mereka dalam konteks sosial: menciptakan dan mempertahankan hierarki sosial.

Selain itu, bahasa sering kali memengaruhi cara gender dipahami dan direpresentasikan dalam masyarakat. Dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Spanyol dan Prancis, kata benda dan kata sifat memiliki jenis kelamin (maskulin dan feminin) yang dapat memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap konsep gender. Studi yang dilakukan oleh Boroditsky (2001) menunjukkan bahwa penutur bahasa yang memiliki gender gramatikal cenderung menggambarkan objek tertentu dengan atribut yang sesuai dengan gender kata benda tersebut. Misalnya, penutur bahasa Jerman (yang menyebut jembatan sebagai feminin) lebih cenderung menggambarkan jembatan sebagai “anggun", sementara penutur bahasa Spanyol (yang menyebut jembatan sebagai maskulin) lebih cenderung menggambarkannya sebagai "kokoh". Hal ini menunjukkan bahwa struktur linguistik dapat memengaruhi cara penutur bahasa tersebut memandang dunia dan membentuk persepsi mereka terhadap konsep gender.

Metafora dalam bahasa juga memengaruhi cara kita memahami dunia dan membentuk identitas budaya. Lakoff dan Johnson (1980) dalam bukunya, Metaphors We Live By, menjelaskan bahwa metafora tidak hanya menjadi alat bahasa, tetapi juga membentuk cara kita berpikir dan bertindak. Misalnya, dalam bahasa Inggris, metafora “time is money" menggambarkan cara masyarakat Barat memandang waktu sebagai sesuatu yang bernilai dan harus digunakan secara efisien. Konsep ini berbeda dengan beberapa masyarakat tradisional di Asia Tenggara: waktu dipandang lebih fleksibel dan tidak selalu terkait dengan produktivitas atau keuntungan finansial. Metafora ini mencerminkan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat dan memengaruhi cara mereka berinteraksi dan membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari.

Struktur linguistik juga dapat digunakan untuk membentuk kesadaran kolektif dalam masyarakat. Bahasa menjadi alat untuk memperkuat ideologi dan nilai-nilai budaya melalui proses komunikasi dan pendidikan. Sebagai contoh, istilah dan slogan politik  Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia mencerminkan dan memperkuat kesadaran akan keragaman dan persatuan dalam masyarakat. Penggunaan frasa-frasa semacam ini secara terus-menerus dalam diskusi publik, pendidikan, dan media membantu membentuk dan memperkuat nilai-nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat.

Bahasa dan Budaya Saling Memengaruhi Secara Dinamis

Relasi antara bahasa dan budaya bersifat sangat dinamis, menciptakan hubungan yang terus berkembang, dan keduanya saling memengaruhi dan membentuk satu sama lain. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga sarana utama dalam mengekspresikan, merekam, dan mentransmisikan nilai-nilai, norma, tradisi, dan identitas budaya. Sebaliknya, budaya memberikan konteks, makna, dan fungsi bagi bahasa, sehingga memungkinkan bahasa untuk berkembang seiring dengan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang terjadi dalam masyarakat.

Bahasa mencerminkan perubahan budaya yang terjadi dalam suatu masyarakat, terutama dalam konteks modernisasi, globalisasi, dan teknologi. Ketika sebuah budaya mengalami perubahan, bahasa secara alami beradaptasi dan mengakomodasi unsur-unsur baru yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Contohnya, modernisasi dan kemajuan teknologi telah membawa banyak istilah baru ke dalam bahasa Indonesia, seperti internet, smartphone, startup, influencer, dan podcast. Istilah-istilah ini menunjukkan bahwa budaya digital yang berkembang telah memengaruhi bahasa, membuatnya lebih relevan dan kontekstual dengan kehidupan sehari-hari masyarakat modern.

Selain itu, bahasa juga berperan dalam menyebarkan dan memperkenalkan unsur budaya baru. Misalnya, fenomena budaya Korea (K-wave) yang dikenal sebagai Hallyu telah membawa kata-kata, seperti kimchi, hanbok, dan oppa ke dalam kosakata sehari-hari masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa memiliki peran aktif dalam menyebarkan dan memperkenalkan budaya baru ke masyarakat yang lebih luas.

Di sisi lain, budaya membentuk dan memengaruhi cara bahasa digunakan dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai, kepercayaan, dan tradisi budaya suatu masyarakat sering kali tecermin dalam kosakata, ungkapan, dan tata bahasa yang digunakan. Misalnya, dalam budaya Jepang, nilai kehormatan dan kesopanan sangat dijunjung tinggi, yang tecermin dalam bahasa mereka melalui sistem tata bahasa hormat (keigo). Penggunaan keigo menunjukkan bahwa budaya membentuk cara seseorang untuk berkomunikasi, sehingga bahasa menjadi alat untuk mengekspresikan nilai-nilai sosial, seperti penghormatan terhadap orang lain.

Budaya juga memengaruhi metafora dan cara pandang yang terkandung dalam bahasa. Misalnya, dalam budaya Indonesia, ungkapan seperti "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing" mencerminkan nilai gotong royong dan kerja sama yang menjadi bagian penting dari budaya Indonesia. Ungkapan ini tidak hanya merupakan rangkaian kata, tetapi juga menyampaikan makna mendalam tentang pentingnya solidaritas dan kebersamaan dalam masyarakat.

Bahasa memainkan peran penting dalam pelestarian dan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui bahasa, nilai-nilai, tradisi, cerita rakyat, mitos, dan sejarah budaya suatu masyarakat dapat didokumentasikan dan diteruskan. Misalnya, tradisi lisan, seperti cerita rakyat atau legenda, yang diceritakan dari generasi ke generasi dengan menggunakan bahasa sebagai medium utama untuk mentransmisikan pesan moral, pengetahuan, dan kearifan lokal. Contoh lainnya, dalam karya sastra, seperti puisi, prosa, dan naskah drama, bahasa digunakan untuk mengabadikan pengalaman, sejarah, dan identitas budaya suatu kelompok masyarakat.

Bahasa juga menjadi sarana utama dalam kegiatan ritual dan upacara adat, yang merupakan bagian integral dari budaya. Dalam banyak masyarakat tradisional, bahasa yang digunakan dalam ritual memiliki makna sakral dan simbolis, yang membantu mempertahankan identitas dan nilai budaya mereka. Misalnya, dalam upacara adat Bali, penggunaan bahasa Kawi (bahasa Jawa Kuno) menunjukkan bahasa yang digunakan untuk melestarikan elemen budaya yang sudah ada sejak zaman kuno.

Dalam konteks globalisasi, hubungan antara bahasa dan budaya menjadi makin kompleks dan dinamis. Globalisasi telah menyebabkan terjadinya kontak antara berbagai bahasa dan budaya yang berbeda, yang pada gilirannya menghasilkan fenomena, seperti multibahasa, serapan kata, dan campur kode (code-mixing). Misalnya, banyak penutur bahasa Indonesia, terutama di kalangan generasi muda, yang secara bebas menggunakan campuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-hari, seperti dalam kalimat "Aku lagi scroll Instagram" atau "Nanti kita meet up di kafe". Fenomena ini mencerminkan bahwa bahasa dan budaya saling memengaruhi dalam era globalisasi dan menciptakan identitas budaya baru yang lebih beragam dan inklusif.

Namun, dinamika ini juga menimbulkan tantangan dalam hal pelestarian bahasa dan budaya lokal. Dalam banyak kasus, dominasi bahasa global, seperti bahasa Inggris, dapat mengakibatkan penurunan penggunaan bahasa daerah dan mengikis nilai-nilai budaya lokal. Oleh karena itu, penting untuk dipahami bahwa bahasa dan budaya tidak hanya harus berkembang secara dinamis, tetapi juga harus dipertahankan dan dilestarikan sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya.

Bahasa juga berfungsi sebagai medium untuk mengekspresikan dan mentransformasikan budaya. Ekspresi budaya melalui bahasa dapat dilihat dalam berbagai bentuk seni, seperti puisi, musik, drama, dan film. Melalui karya-karya ini, nilai-nilai budaya, pandangan hidup, dan identitas masyarakat dapat diekspresikan, disampaikan, dan bahkan ditransformasikan. Misalnya, dalam karya sastra klasik Indonesia, seperti Sitti Nurbaya atau Max Havelaar, kita dapat melihat budaya dan nilai-nilai masyarakat pada masa itu yang diekspresikan melalui bahasa.

Perspektif Asosiatif

Perspektif asosiatif menawarkan pendekatan yang menempatkan bahasa sebagai entitas yang terlepas dari konteks sosial dan budaya, dengan fokus pada aspek kognitif manusia sebagai faktor utama dalam perkembangan dan pemahaman bahasa. Pendekatan ini diwakili secara kuat oleh teori Noam Chomsky yang memperkenalkan konsep universal grammar. Chomsky menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kemampuan bawaan untuk mempelajari bahasa, terlepas dari lingkungan sosial atau budaya mereka (Chomsky, 1965).

Menurut Chomsky, setiap manusia memiliki struktur kognitif bawaan yang memungkinkan mereka untuk mempelajari bahasa dengan cara yang sama meskipun bahasa yang mereka pelajari berbeda-beda. Teori universal grammar menekankan bahwa ada prinsip-prinsip dasar dalam struktur bahasa yang bersifat universal, yang diwariskan melalui genetik dan dapat ditemukan dalam semua bahasa manusia. Misalnya, konsep subjek, predikat, dan objek ada dalam berbagai bahasa meskipun mungkin diekspresikan secara berbeda. Dengan kata lain, Chomsky berpendapat bahwa kemampuan berbahasa adalah bagian dari "hard-wiring" otak manusia, yang berarti bahwa semua manusia memiliki perangkat linguistik internal yang memungkinkan mereka untuk memahami dan menghasilkan bahasa secara alami.

Namun, pandangan Chomsky ini telah mendapatkan kritik dari banyak ahli bahasa dan sosiolinguistik karena dianggap terlalu mengabaikan pengaruh konteks sosial dan budaya dalam perkembangan dan penggunaan bahasa. Salah satu kritik utama adalah bahwa teori universal grammar cenderung meminimalkan peran interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa. Penelitian oleh Labov (1972) menunjukkan bahwa variasi bahasa sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti kelas, gender, usia, dan etnis. Misalnya, penggunaan dialek atau variasi bahasa yang berbeda oleh individu dalam komunitas tertentu mencerminkan identitas sosial mereka dan bahasa sering digunakan untuk menunjukkan solidaritas, kekuasaan, atau perbedaan status.

Penelitian dalam sosiolinguistik juga menunjukkan bahwa bahasa berkembang dan berubah seiring dengan interaksi sosial. Misalnya, variasi penggunaan bahasa antara kelompok usia muda dan tua, antara laki-laki dan perempuan, atau antarkelompok etnis yang berbeda menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial. Dengan demikian, perspektif asosiatif yang berfokus hanya pada aspek kognitif dianggap kurang holistik karena mengabaikan peran interaksi dan pengaruh budaya dalam perkembangan bahasa.

Pendekatan antropologi bahasa juga memberikan kritik terhadap perspektif asosiatif dengan menekankan bahwa bahasa adalah hasil interaksi budaya dan sosial. Bahasa bukan hanya alat untuk mengekspresikan pemikiran, melainkan juga medium untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya, norma, dan tradisi. Sebagai contoh, istilah kekerabatan dalam berbagai bahasa mencerminkan struktur sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat. Dalam bahasa Inggris, istilah untuk saudara kandung hanya dibedakan berdasarkan jenis kelamin (brother dan sister), sedangkan dalam beberapa bahasa lain, seperti bahasa Hindi, terdapat istilah yang lebih spesifik berdasarkan usia dan urutan kelahiran. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya merupakan produk dari struktur kognitif, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma budaya masyarakat tersebut.

Meskipun perspektif asosiatif menekankan bahwa struktur kognitif dalam pembelajaran bahasa itu penting, banyak ahli berpendapat bahwa interaksi antara kemampuan kognitif dan pengalaman sosial sangat penting dalam pengembangan bahasa. Penelitian dalam bidang psikologi perkembangan, seperti yang dilakukan oleh Vygotsky (1978), menunjukkan bahwa bahasa berkembang melalui interaksi sosial dan bukan semata-mata hasil kemampuan bawaan. Menurut Vygotsky, pembelajaran bahasa terjadi melalui proses scaffolding. Di dalamnya, anak-anak belajar bahasa melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya dalam konteks budaya tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan bahasa melibatkan proses yang kompleks yang di dalamnya faktor kognitif dan sosial bekerja sama.

Untuk memahami bahasa secara lebih komprehensif, kita perlu mengakui bahwa bahasa adalah hasil interaksi antara faktor kognitif, sosial, dan budaya. Perspektif asosiatif memberikan wawasan penting tentang manusia yang memiliki kemampuan bawaan untuk mempelajari bahasa, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan bahasa yang digunakan dan dikembangkan dalam kehidupan nyata. Bahasa adalah proses dinamis yang dipengaruhi oleh konteks. Oleh karena itu, pemahaman bahasa memerlukan pendekatan yang holistik yang mengintegrasikan faktor kognitif, sosial, dan budaya.

Sebagai contoh, fenomena alih kode (code-switching) di kalangan bilingual menunjukkan bahwa individu menggunakan kemampuan kognitif mereka untuk beradaptasi dengan berbagai konteks sosial dan budaya. Dalam situasi tertentu, seorang bilingual mungkin menggunakan bahasa A untuk menunjukkan identitas atau solidaritas kelompok, tetapi kemudian beralih ke bahasa B untuk menunjukkan keformalan atau otoritas. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh struktur kognitif, tetapi juga oleh konteks sosial dan budaya.

Dalam perspektif yang lebih holistik, bahasa dan budaya dapat dipahami sebagai dua entitas yang memiliki keberadaan dan fungsi yang berbeda, tetapi secara mendasar saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Bahasa adalah alat utama yang memungkinkan manusia mengekspresikan, memahami, dan menyebarkan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sedangkan budaya memberikan konteks, nilai, dan makna yang membuat bahasa menjadi alat yang efektif dalam komunikasi dan interaksi sosial. Dengan kata lain, bahasa dan budaya adalah dua sisi mata uang yang sama: keduanya berdiri sendiri, tetapi beroperasi bersama untuk menciptakan pengalaman manusia yang utuh dan bermakna.

Bahasa berfungsi sebagai medium yang memungkinkan manusia untuk mengekspresikan dan merepresentasikan pengalaman, nilai, norma, dan identitas budaya. Melalui bahasa, manusia dapat menyampaikan ide, tradisi, cerita rakyat, dan sejarah yang menjadi bagian dari warisan budaya mereka. Sebagai contoh, cerita rakyat, pepatah, dan puisi tradisional merupakan bentuk ekspresi budaya yang memanfaatkan bahasa sebagai medium untuk mengajarkan nilai-nilai, norma, dan kearifan lokal kepada generasi berikutnya. Bahasa dalam hal ini menjadi sarana untuk mempertahankan identitas budaya dan menghubungkan masa lalu dengan masa kini.

Dalam konteks pewarisan budaya, bahasa juga memainkan peran penting dalam pendidikan formal dan informal. Misalnya, melalui pendidikan bahasa di sekolah, anak-anak tidak hanya belajar tentang struktur dan aturan bahasa, tetapi juga belajar tentang budaya, nilai, dan sejarah yang melekat pada bahasa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa menjadi instrumen utama untuk melestarikan dan meneruskan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Bahasa berperan sebagai medium ekspresi, sedangkan budaya memberikan kerangka dan konteks penggunaan bahasa. Budaya menentukan bagaimana bahasa digunakan dalam situasi tertentu, siapa yang dapat berbicara dengan siapa, bagaimana cara berbicara, dan apa yang dapat atau tidak dapat dikatakan. Dalam hal ini, bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh aturan tata bahasa, tetapi juga oleh norma-norma sosial, adat istiadat, dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat.

Misalnya, dalam budaya Jepang, ada sistem tingkat kesopanan (keigo) dalam bahasa yang mencerminkan struktur sosial dan hubungan antarpembicara. Penggunaan bahasa Jepang yang formal, semiformal, atau informal sangat bergantung pada konteks situasi, hubungan antarpembicara, dan status sosial. Hal ini menunjukkan bahwa budaya menyediakan kerangka kerja yang memandu penggunaan bahasa, sehingga memastikan bahwa komunikasi terjadi secara tepat dan efektif sesuai dengan norma-norma yang ada.

Dalam era globalisasi, bahasa berperan sebagai alat yang memungkinkan budaya lokal diperkenalkan ke kancah internasional, sekaligus menjadi medium untuk menyerap dan menyesuaikan pengaruh budaya asing. Misalnya, karya sastra, film, musik, dan seni pertunjukan dapat menjadi sarana untuk mengenalkan aspek budaya lokal ke dunia internasional. Bahasa, dalam hal ini, berfungsi sebagai jembatan yang memungkinkan pertukaran budaya dan pemahaman lintas budaya.

Sebaliknya, bahasa juga mengalami pengayaan dan perubahan sebagai akibat dari kontak dengan budaya lain. Serapan kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia, seperti gadget, selfie, startup, dan virtual, mencerminkan budaya global yang telah memengaruhi bahasa. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa dan budaya tidak statis, tetapi selalu berkembang dan beradaptasi sesuai dengan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang terjadi di masyarakat.

Konsep ethnography of speaking yang dikemukakan oleh Dell Hymes (1974) memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bahasa dan budaya yang saling terkait dalam interaksi sosial. Hymes menunjukkan bahwa penggunaan bahasa dalam interaksi sosial melibatkan berbagai aspek budaya, termasuk norma interaksi, nilai, peran sosial, dan konteks situasi. Menurut Hymes, ketika berbicara, kita tidak hanya menyusun kata-kata berdasarkan aturan tata bahasa, tetapi juga berpartisipasi dalam praktik budaya yang melibatkan pengetahuan tentang kapan, di mana, dan bagaimana berbicara.

Sebagai contoh, penggunaan bentuk sapaan, gaya bicara, dan pilihan kata dalam situasi formal dan informal menunjukkan bagaimana bahasa diatur oleh norma-norma budaya. Penggunaan bahasa dalam acara adat, upacara pernikahan, atau rapat resmi mencerminkan pemahaman tentang aturan budaya yang menentukan siapa yang berbicara, bagaimana berbicara, dan apa yang harus dikatakan dalam konteks tersebut.

Bahasa dan budaya juga berperan dalam pembentukan identitas dan solidaritas kelompok. Bahasa menjadi salah satu indikator utama dari identitas budaya seseorang dan sering digunakan untuk menandai keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Misalnya, penggunaan bahasa daerah, dialek, atau gaya bahasa tertentu dapat menunjukkan identitas etnis, kelompok usia, atau status sosial. Dalam konteks ini, bahasa berfungsi sebagai alat untuk memperkuat ikatan sosial dan menciptakan rasa kebersamaan di antara anggota kelompok.

Sebaliknya, budaya memberikan makna dan nilai yang melekat pada penggunaan bahasa tertentu. Bahasa daerah, misalnya, tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi simbol identitas dan kebanggaan budaya bagi masyarakat yang menuturkannya. Oleh karena itu, pelestarian bahasa daerah juga berarti pelestarian identitas dan warisan budaya yang melekat pada bahasa tersebut.

Hubungan antara bahasa dan budaya adalah hubungan yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Bahasa bukanlah subordinat dari budaya, melainkan entitas yang berdiri sendiri dan memiliki peran penting dalam merepresentasikan, menyebarkan, dan membentuk budaya. Sebaliknya, budaya memberikan konteks, nilai, dan makna yang memungkinkan bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi yang efektif dan bermakna. Keduanya beroperasi dalam sinergi yang dinamis, membentuk cara kita memahami, berinteraksi, dan mengekspresikan diri dalam masyarakat.

Dengan demikian, pemahaman bahasa tanpa pemahaman budaya akan menghasilkan pemahaman yang tidak utuh. Demikian juga, pemahaman budaya tanpa pemahaman bahasa yang digunakan untuk mengekspresikannya akan membuat kita kehilangan esensi dan kekayaan budaya tersebut. Oleh karena itu, untuk memahami sepenuhnya pengalaman manusia, kita harus melihat bahasa dan budaya sebagai dua entitas yang berbeda, tetapi saling melengkapi.

Bahasa dan Pendidikan

Bahasa dan budaya memiliki keterkaitan yang erat dan sering kali dianggap sebagai dua aspek yang saling melengkapi dalam pengalaman manusia. Namun, dalam konteks pendidikan, bahasa memiliki peran yang jauh lebih signifikan dan relevan dibandingkan dengan budaya. Bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga merupakan fondasi utama dalam proses pembelajaran, penyampaian pengetahuan, pengembangan kognitif, dan pembentukan identitas siswa. Oleh karena itu, jika kita harus mengaitkan antara budaya dan pendidikan, bahasa jauh lebih bermakna dan relevan sebagai medium dalam dunia pendidikan.

Bahasa sebagai Alat Utama dalam Proses Pembelajaran

Bahasa memiliki peran sentral dalam pendidikan, bukan hanya sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai fondasi untuk pengembangan kognitif, sosial, dan emosional siswa. Dalam perspektif sociocultural theory yang dikemukakan oleh Vygotsky (1978), bahasa berfungsi sebagai alat yang memungkinkan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan belajar dari pengalaman tersebut. Proses belajar terjadi melalui interaksi sosial dan bahasa menjadi medium utama yang memungkinkan individu untuk memahami konsep baru, menyusun pemikiran mereka, dan mengembangkan keterampilan kognitif yang lebih kompleks. Vygotsky menekankan bahwa bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai instrumen untuk perkembangan mental dan intelektual individu, terutama dalam konteks pendidikan.

Dalam konteks pendidikan formal, bahasa menjadi sarana yang sangat penting untuk menyampaikan materi pelajaran, baik melalui pembicaraan lisan, tulisan, maupun simbolis. Melalui bahasa, guru dapat memberikan penjelasan tentang berbagai konsep akademik, mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Misalnya, dalam pelajaran matematika, bahasa digunakan untuk menjelaskan konsep abstrak, seperti bilangan, operasi hitung, dan teori matematika yang sulit dipahami tanpa instruksi verbal. Demikian pula, dalam mata pelajaran lain, seperti sejarah, sains, atau seni, bahasa digunakan untuk memberikan konteks, mendeskripsikan fenomena, serta menjelaskan hubungan sebab-akibat. Dengan demikian, bahasa memfasilitasi pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang mereka pelajari dan membantu mereka untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.

Dalam konteks ini, peran bahasa tidak hanya terbatas pada instruksi verbal, tetapi juga mencakup media tertulis, seperti buku teks, artikel, dan bahan pembelajaran lainnya. Buku teks adalah bentuk bahasa tertulis yang sangat penting dalam pendidikan formal karena berfungsi sebagai sumber pengetahuan yang terstruktur dan sistematis: siswa dapat belajar secara mandiri atau dengan bimbingan guru. Buku teks memberikan landasan yang kuat bagi siswa untuk mengeksplorasi materi secara lebih mendalam dan membangun pemahaman yang holistik tentang suatu subjek.

Menurut Vygotsky, bahasa adalah alat berpikir yang mendasar, yang digunakan individu untuk mengatur pikiran mereka, merumuskan ide, dan memecahkan masalah. Dalam proses internalisasi bahasa, individu menggunakan bahasa untuk berpikir secara mandiri dan mmengembangkan keterampilan kognitif yang lebih tinggi, seperti pemikiran analitis, sintesis, dan evaluasi. Dalam dunia pendidikan, keterampilan ini sangat penting karena siswa tidak hanya dituntut untuk menghafal fakta, tetapi juga untuk menganalisis informasi, menarik simpulan, dan menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi nyata.

Sebagai contoh, dalam diskusi kelas, siswa diajak untuk menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pendapat mereka, berargumen, dan merespons pendapat orang lain. Melalui proses ini, siswa belajar untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan logis karena mereka harus menggunakan bahasa untuk menyusun argumen yang koheren dan meyakinkan. Diskusi kelas juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengklarifikasi pemahaman mereka, bertanya, dan berbagi ide, yang pada akhirnya memperkaya proses pembelajaran mereka. Interaksi bahasa ini membantu siswa untuk membentuk pikiran yang lebih terorganisasi dan mengembangkan keterampilan kognitif yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan akademik.

Selain berfungsi sebagai medium pembelajaran akademis, bahasa juga berperan penting dalam pengembangan sosial dan emosional siswa. Interaksi bahasa di dalam kelas, baik antara siswa dan guru maupun antarsiswa, membantu membangun hubungan sosial yang kuat dan mendukung perkembangan emosional yang sehat. Melalui bahasa, siswa belajar untuk mengekspresikan emosi, memahami perspektif orang lain, dan mengembangkan keterampilan sosial, seperti kerja sama, negosiasi, dan penyelesaian konflik.

Vygotsky menekankan bahwa perkembangan kognitif individu sangat bergantung pada interaksi sosial yang terjadi di sekitarnya. Dalam lingkungan pendidikan, bahasa menjadi jembatan yang memungkinkan siswa untuk berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain. Sebagai contoh, dalam kerja kelompok, siswa harus menggunakan bahasa untuk membagi tugas, berdiskusi tentang solusi masalah, dan mengoordinasikan upaya mereka. Proses ini tidak hanya memperkuat keterampilan berbahasa mereka, tetapi juga mengembangkan kemampuan sosial dan emosional yang penting untuk kehidupan di luar kelas.

Pendidikan modern menuntut keterampilan literasi yang lebih luas daripada sekadar kemampuan membaca dan menulis. Literasi informasi, yang mencakup kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif, makin penting dalam dunia yang dipenuhi dengan informasi digital. Bahasa, sekali lagi, berfungsi sebagai landasan bagi keterampilan ini. Untuk dapat memahami dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber, siswa perlu memiliki keterampilan berbahasa yang baik, termasuk kemampuan membaca dengan pemahaman kritis, menulis secara efektif, dan berkomunikasi dengan jelas.

Selain itu, kemampuan berbahasa yang baik memungkinkan siswa untuk mengakses dan memahami informasi dalam berbagai format, termasuk teks tertulis, media digital, dan sumber multimedia lainnya. Misalnya, saat mencari informasi di internet, siswa harus mampu menganalisis teks, mengidentifikasi sumber yang kredibel, dan memahami argumen yang disajikan. Literasi informasi ini sangat penting dalam dunia modern yang kompleks, yang di dalamnya kemampuan untuk mengelola informasi menjadi salah satu keterampilan utama yang dibutuhkan di berbagai bidang kehidupan.

Dalam pendidikan yang komprehensif, bahasa juga berfungsi sebagai alat untuk menjembatani berbagai disiplin ilmu. Melalui bahasa, siswa dapat menghubungkan konsep-konsep yang mereka pelajari dalam satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Misalnya, dalam pelajaran sains, siswa dapat menggunakan keterampilan berbahasa untuk menjelaskan temuan ilmiah mereka dengan cara yang dapat dipahami oleh orang lain, baik melalui laporan tertulis maupun presentasi lisan. Dalam seni, bahasa digunakan untuk mengekspresikan interpretasi dan analisis karya seni, musik, atau sastra. Dalam matematika, bahasa digunakan untuk menjelaskan proses berpikir dalam pemecahan masalah atau dalam menyusun argumen matematika yang logis.

Penggunaan bahasa lintas disiplin ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pemahaman yang lebih holistik tentang dunia di sekitar mereka serta membantu mereka untuk melihat keterkaitan antarberbagai bidang pengetahuan. Hal ini juga memfasilitasi proses transfer pengetahuan sehingga siswa dapat menerapkan keterampilan dan konsep yang mereka pelajari dalam satu disiplin ilmu ke dalam disiplin ilmu lain.

Peran Bahasa dalam Pengembangan Kognitif dan Pemikiran Kritis

Bahasa memegang peran sentral dalam pengembangan kemampuan kognitif dan pemikiran kritis, yang merupakan komponen utama dalam proses pendidikan yang efektif. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga instrumen kognitif yang memungkinkan individu untuk berpikir secara abstrak, logis, dan analitis. Menurut Piaget (1970) dalam teorinya tentang perkembangan kognitif, bahasa membantu individu untuk membentuk struktur mental yang diperlukan untuk memahami dan memproses dunia di sekitarnya. Dengan bahasa, siswa dapat mengklasifikasikan informasi, mengorganisasikan pengetahuan, dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya.

Bahasa adalah alat utama yang memungkinkan individu untuk membangun dan memodifikasi skema kognitif mereka. Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif tidak dapat dipisahkan dari bahasa karena melalui bahasa, seseorang mampu menginternalisasi pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari interaksi dengan lingkungan mereka. Penggunaan bahasa dalam proses pendidikan membantu siswa untuk mengonseptualisasi ide-ide abstrak dan berpikir di luar pengamatan langsung mereka.

Misalnya, ketika mempelajari matematika atau sains, siswa menggunakan bahasa untuk memahami konsep abstrak, seperti bilangan, persamaan, dan hukum-hukum ilmiah. Melalui bahasa, konsep-konsep ini dapat dijelaskan, dianalisis, dan dimanipulasi secara kognitif. Proses ini memungkinkan siswa untuk memahami konsep-konsep yang tidak selalu dapat diamati secara langsung, seperti gaya gravitasi atau interaksi molekuler. Bahasa juga memungkinkan siswa untuk mengatur informasi yang mereka pelajari dalam struktur yang logis, sehingga mereka dapat mengingat dan menerapkannya dalam situasi baru.

Dalam pengembangan kognitif, kemampuan untuk mengategorikan informasi dan membuat generalisasi sangat penting dan bahasa memainkan peran sentral dalam proses ini. Dengan menggunakan bahasa, individu dapat mengelompokkan objek, ide, dan peristiwa ke dalam kategori yang bermakna, yang membantu mereka memahami dunia secara lebih efisien. Misalnya, dalam mempelajari biologi, siswa dapat menggunakan istilah-istilah ilmiah untuk mengklasifikasikan organisme hidup ke dalam berbagai kategori, seperti hewan vertebrata dan invertebrata. Penggunaan istilah dan konsep bahasa ini tidak hanya memungkinkan siswa untuk memahami dan menyimpan informasi, tetapi juga membantu mereka untuk membuat generalisasi berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki.

Bahasa juga memungkinkan siswa untuk membangun hierarki konsep, yang merupakan langkah penting dalam pengembangan kemampuan berpikir logis. Melalui pengelompokan konsep dalam kategori dan subkategori, siswa belajar untuk menyusun informasi secara lebih sistematis dan menarik simpulan dari hubungan antarberbagai elemen pengetahuan. Proses pengelompokan ini merupakan landasan penting dalam pengembangan kemampuan berpikir kritis.

Kemampuan untuk memecahkan masalah juga sangat bergantung pada keterampilan berbahasa. Bahasa memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi masalah, mengklarifikasi informasi, dan menghasilkan solusi melalui eksplorasi berbagai alternatif. Dalam konteks ini, bahasa berfungsi sebagai alat untuk berpikir dan berkomunikasi, sehingga siswa dapat memetakan masalah, merumuskan hipotesis, dan menguji solusi secara sistematis.

Sebagai contoh, dalam pelajaran matematika, siswa sering kali diminta untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dengan menerapkan berbagai rumus dan konsep. Dengan menggunakan bahasa, siswa dapat menjelaskan langkah-langkah yang mereka ambil, mengevaluasi pilihan yang tersedia, dan memilih solusi yang paling tepat. Bahasa membantu mereka untuk mengorganisasikan proses pemecahan masalah secara logis dan menganalisis konsekuensi dari setiap langkah yang diambil. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis melalui pemecahan masalah yang terstruktur.

Pemikiran kritis, yang melibatkan kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menyintesis informasi, sangat bergantung pada keterampilan berbahasa. Melalui bahasa, siswa dapat mengajukan pertanyaan yang relevan, mengkritik argumen, dan merumuskan pandangan mereka sendiri berdasarkan bukti yang tersedia. Bahasa menjadi alat penting untuk mengeksplorasi berbagai sudut pandang, mengidentifikasi bias, dan menarik simpulan yang tepat dari informasi yang disajikan.

Kemampuan berbahasa yang baik memungkinkan siswa untuk menyusun argumen yang koheren dan meyakinkan. Dalam diskusi kelas atau debat akademis, bahasa digunakan untuk menyampaikan pendapat, mendukungnya dengan bukti, dan mengevaluasi pandangan orang lain. Proses ini tidak hanya meningkatkan keterampilan berpikir kritis, tetapi juga membantu siswa untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu yang sedang dibahas. Bahasa memberikan mereka kekuatan untuk mengekspresikan ide dengan jelas dan meyakinkan, yang merupakan bagian penting dari pendidikan yang berorientasi pada pengembangan pemikiran kritis.

Bahasa juga memainkan peran penting dalam proses refleksi, yang merupakan aspek penting dalam pengembangan kognitif dan pemikiran kritis. Melalui bahasa, siswa dapat merefleksikan pengalaman belajar mereka, mengevaluasi hasil yang mereka capai, dan mengidentifikasi area mana yang perlu ditingkatkan. Proses refleksi ini membantu siswa untuk menginternalisasi pengetahuan yang mereka peroleh dan memperbaiki pendekatan mereka dalam pembelajaran pada masa depan. Misalnya, setelah menyelesaikan tugas atau ujian, siswa dapat menggunakan bahasa untuk mengevaluasi kinerja mereka, mempertimbangkan apa yang mereka lakukan dengan benar, dan mencari tahu di mana mereka membuat kesalahan. Refleksi ini memungkinkan mereka untuk memperbaiki diri dan mengembangkan strategi yang lebih baik untuk tugas-tugas pada masa mendatang. Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai alat dalam pembelajaran metakognitif, sehingga siswa memahami bagaimana belajar dan meningkatkan kemampuan mereka melalui evaluasi yang berkelanjutan.

Kolaborasi dan pembelajaran sosial adalah bagian integral dari pendidikan modern dan bahasa merupakan alat utama yang memungkinkan interaksi sosial dan kolaborasi terjadi. Vygotsky (1978) menekankan bahwa perkembangan kognitif siswa tidak hanya bergantung pada aktivitas individu, tetapi juga pada interaksi sosial yang terjadi di lingkungan belajar. Melalui bahasa, siswa dapat bekerja sama, berbagi ide, dan menyelesaikan tugas secara kolektif.

Bahasa memungkinkan siswa untuk berpartisipasi dalam diskusi kelompok, berbagi perspektif, dan mencapai pemahaman bersama. Kolaborasi ini tidak hanya memperkaya proses belajar individu, tetapi juga membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis melalui dialog dan debat. Melalui interaksi dengan orang lain, siswa belajar untuk mempertimbangkan berbagai pandangan, mengevaluasi bukti, dan menghasilkan solusi yang lebih kreatif dan inovatif.

Bahasa sebagai Sarana Pembentukan Identitas dan Kepercayaan Diri

Bahasa memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses pembentukan identitas siswa dan pengembangan kepercayaan dirinya, khususnya dalam konteks pendidikan. Identitas siswa dalam lingkungan akademik tidak hanya terbentuk dari latar belakang budaya dan sosial, tetapi juga dari kemampuan mereka menggunakan bahasa untuk mengekspresikan diri, berkomunikasi secara efektif, dan berpartisipasi dalam kegiatan belajar. Kemampuan berbahasa memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengartikulasikan ide, perasaan, dan pandangan mereka dalam lingkungan yang mendukung perkembangan akademik dan sosial.

Kemampuan untuk mengekspresikan diri melalui bahasa merupakan fondasi utama dalam pembentukan identitas siswa. Bahasa memungkinkan siswa untuk mengomunikasikan pandangan, perasaan, dan pengalaman mereka, baik di dalam maupun di luar konteks pendidikan. Dalam pendidikan, bahasa memberi siswa kemampuan untuk menjelaskan dan mempertahankan perspektif mereka dalam diskusi kelas serta memungkinkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Partisipasi ini penting karena membantu siswa untuk merasa diakui dan dihargai oleh teman sebaya dan guru, yang pada gilirannya memperkuat rasa identitas mereka.

Menurut Fishman (1972), bahasa adalah salah satu aspek terpenting dari identitas budaya dan sosial. Dalam konteks pendidikan, bahasa yang digunakan siswa di sekolah, baik bahasa ibu maupun bahasa asing, dapat menjadi bagian integral dari identitas mereka. Misalnya, siswa yang berlatar belakang bilingual atau multilingual mungkin merasakan kebanggaan dalam menggunakan kedua bahasa mereka sebagai simbol identitas mereka. Dalam situasi ini, kemampuan berbahasa membantu siswa untuk membentuk identitas sosial dan budaya yang unik, yang juga memengaruhi cara mereka berinteraksi dalam lingkungan belajar.

Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana ekspresi, tetapi juga memainkan peran kunci dalam pengembangan kepercayaan diri. Penguasaan bahasa yang baik, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan, membantu siswa merasa lebih percaya diri dalam berbagai situasi akademis dan sosial. Menurut Cummins (2000), penguasaan bahasa, terutama dalam konteks BICS (Basic Interpersonal Communication Skills) dan CALP (Cognitive Academic Language Proficiency), memungkinkan siswa untuk berkomunikasi secara efektif dalam interaksi sehari-hari sekaligus memahami konsep-konsep akademis yang lebih kompleks.

Keterampilan berbahasa yang kuat membuat siswa lebih siap untuk menghadapi tantangan akademik, seperti memahami materi pelajaran yang sulit, menulis esai yang terstruktur, dan berpartisipasi dalam diskusi kelas. Ketika merasa percaya diri dengan keterampilan berbahasa mereka, siswa lebih cenderung untuk terlibat dalam proses belajar, mengajukan pertanyaan, serta berbagi ide mereka dengan teman-teman dan guru. Kepercayaan diri ini merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi motivasi belajar dan pencapaian akademik karena siswa yang percaya diri cenderung lebih proaktif dalam mengeksplorasi materi pembelajaran dan berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan akademis.

Identitas akademik, yaitu cara siswa melihat diri mereka dalam konteks pendidikan, sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa untuk menguasai dan memahami konsep akademis. Cummins (2000) menekankan bahwa CALP berperan penting dalam membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, menganalisis informasi, dan menyusun argumen yang kuat. Kemampuan ini membantu siswa merasa lebih nyaman dan kompeten dalam lingkungan akademik, yang pada akhirnya membentuk identitas akademis yang kuat.

Sebagai contoh, siswa yang dapat memahami dan menguasai istilah-istilah akademis yang kompleks dalam mata pelajaran, seperti sains atau matematika, lebih mungkin untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai siswa yang sukses dan kompeten. Identitas akademik ini mendorong mereka untuk terus belajar dan berprestasi lebih baik dalam lingkungan pendidikan. Bahasa menjadi alat utama dalam proses ini karena memungkinkan siswa untuk memahami dan menerapkan konsep-konsep yang diajarkan serta mengekspresikan pemahaman mereka dengan jelas dan tepat.

Bahasa juga berfungsi sebagai alat utama untuk membangun dan memperkuat hubungan sosial di lingkungan sekolah, yang memainkan peran penting dalam pembentukan identitas sosial siswa. Interaksi sosial yang terjadi melalui bahasa membantu siswa mengembangkan rasa kebersamaan dan inklusi dalam komunitas sekolah. Melalui komunikasi dengan teman-teman dan guru, siswa belajar untuk berkolaborasi, berbagi ide, dan bekerja sama dalam lingkungan yang mendukung perkembangan sosial dan emosional mereka.

Hubungan sosial yang positif yang dibentuk melalui bahasa, seperti persahabatan dan kemitraan akademik, juga berkontribusi pada peningkatan kepercayaan diri siswa. Ketika merasa didengar dan dihargai oleh orang lain, siswa cenderung merasa lebih nyaman dalam mengekspresikan diri dan mengambil risiko dalam proses pembelajaran. Proses ini, yang didukung oleh penggunaan bahasa, memungkinkan siswa untuk memperkuat identitas sosial mereka dan membangun kepercayaan diri yang diperlukan untuk sukses dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari.

Selain berfungsi dalam interaksi sosial dan pengembangan identitas, bahasa juga memainkan peran penting dalam membantu siswa menghadapi tantangan akademik. Siswa sering dihadapkan pada tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan berpikir kritis dan analitis, seperti menulis esai, melakukan presentasi, atau memecahkan masalah matematika. Penguasaan bahasa yang efektif membantu mereka memecah masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, menjelaskan solusi mereka, dan mengorganisasi pemikiran mereka dalam bentuk yang logis dan sistematis.

Bahasa juga memungkinkan siswa untuk merespons umpan balik dari guru dan rekan-rekan mereka. Proses ini tidak hanya meningkatkan kemampuan akademis mereka, tetapi juga memperkuat rasa identitas akademik mereka karena mereka merasa mampu berpartisipasi dalam diskusi akademik dan mengatasi tantangan yang dihadapi dalam lingkungan belajar. Dengan menggunakan bahasa secara efektif, siswa dapat menghadapi tugas-tugas yang lebih menantang dengan percaya diri dan menyelesaikannya dengan sukses.

Bahasa juga berperan dalam membentuk rasa kemandirian siswa dalam lingkungan belajar. Kemampuan untuk mengomunikasikan kebutuhan, perasaan, dan pemikiran mereka secara mandiri melalui bahasa memungkinkan siswa untuk lebih bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri. Ketika merasa mampu mengekspresikan diri mereka dengan jelas, siswa lebih mungkin untuk mengambil inisiatif dalam proses belajar, mengajukan pertanyaan, mencari informasi tambahan, dan berkolaborasi dengan guru serta teman sebaya untuk memecahkan masalah.

Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen yang mendorong siswa untuk mengembangkan rasa otonomi dan tanggung jawab dalam pembelajaran mereka. Kemandirian ini sangat penting dalam membentuk identitas siswa sebagai individu yang proaktif dan mandiri, yang siap menghadapi tantangan akademik dan sosial dengan percaya diri.

Bahasa sebagai Fondasi Literasi

Bahasa merupakan fondasi utama dalam pengembangan literasi, yang mencakup kemampuan membaca, menulis, mendengar, dan berbicara. Literasi ini merupakan keterampilan inti dalam pendidikan dan penguasaannya tidak mungkin terjadi tanpa kemampuan berbahasa yang baik. Bahasa menyediakan struktur yang memungkinkan individu untuk memahami, menginterpretasikan, dan mengekspresikan informasi secara efektif. Tanpa kemampuan berbahasa yang kuat, siswa akan mengalami kesulitan dalam memahami teks, menulis secara efektif, atau mengikuti instruksi guru. Oleh karena itu, bahasa memiliki peran fundamental dalam mengembangkan keterampilan literasi, yang sangat penting bagi keberhasilan akademik dan perkembangan intelektual siswa.

Literasi membaca dan menulis sangat bergantung pada penguasaan bahasa yang baik. Membaca adalah proses memahami dan menganalisis teks tertulis, yang membutuhkan penguasaan tata bahasa, kosakata, dan struktur kalimat. Tanpa keterampilan berbahasa yang memadai, siswa akan kesulitan memahami makna teks, menarik simpulan, dan menemukan hubungan antargagasan dalam bacaan mereka.

Menulis, di sisi lain, adalah kemampuan mengekspresikan ide secara tertulis dengan jelas dan koheren. Penggunaan bahasa yang tepat memungkinkan siswa untuk menyusun kalimat dan paragraf yang terstruktur dengan baik serta menyampaikan pemikiran atau argumen mereka secara logis. Penguasaan bahasa juga memfasilitasi proses penyusunan teks yang kompleks, seperti esai, laporan penelitian, atau karya tulis lainnya. Bahasa menjadi alat yang memungkinkan siswa untuk tidak hanya merangkai kata-kata, tetapi juga menyampaikan gagasan secara efektif.

Dalam konteks pendidikan formal, kemampuan membaca dan menulis yang baik sangat penting untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Siswa yang mampu membaca dengan pemahaman akan lebih mudah mengakses informasi dari buku teks, artikel, dan materi pembelajaran lainnya. Demikian pula, kemampuan menulis yang baik memungkinkan siswa untuk mengomunikasikan ide mereka dengan jelas, baik dalam ujian, esai, maupun tugas akademis lainnya. Bahasa berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pemahaman dan ekspresi, yang sangat penting dalam proses belajar-mengajar.

Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa literasi adalah alat untuk pembebasan dan pemberdayaan individu. Melalui literasi, individu dapat mengembangkan kesadaran kritis tentang dunia di sekitar mereka, mengajukan pertanyaan yang relevan, dan menghubungkan konsep-konsep yang dipelajari dengan realitas sosial. Bahasa menjadi instrumen yang memungkinkan siswa untuk berpartisipasi dalam diskusi akademik yang produktif dan mengeksplorasi ide-ide baru.

Bahasa juga memungkinkan siswa untuk menyusun argumen yang logis dan koheren, baik dalam konteks lisan maupun tulisan. Dengan menggunakan bahasa, siswa dapat menyampaikan pendapat mereka dengan cara yang meyakinkan, mendukung argumen mereka dengan bukti, dan merespons pendapat orang lain dengan cara yang kritis. Kemampuan berpikir kritis ini sangat penting dalam pendidikan karena membantu siswa mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang materi pelajaran dan dunia di sekitar mereka.

Dalam pendidikan, literasi berperan sebagai jembatan untuk memahami berbagai disiplin ilmu dan bahasa menjadi alat utama dalam proses ini. Penguasaan bahasa memungkinkan siswa untuk memahami konsep-konsep kompleks dalam berbagai mata pelajaran, seperti sains, matematika, sejarah, dan seni. Bahasa memfasilitasi komunikasi antargagasan dan memungkinkan siswa untuk menghubungkan konsep-konsep yang mereka pelajari dalam satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya.

Sebagai contoh, dalam sains, bahasa digunakan untuk menjelaskan fenomena alam, proses ilmiah, dan hasil eksperimen. Dalam matematika, bahasa membantu siswa memahami masalah dan menjelaskan proses pemecahan masalah secara lisan atau tertulis. Demikian juga, dalam sejarah, bahasa menjadi medium untuk menggambarkan peristiwa masa lalu, menginterpretasikan bukti, dan menyusun narasi sejarah.

Literasi berbasis bahasa memungkinkan siswa untuk melihat hubungan antarberbagai disiplin ilmu dan memahami konsep-konsep secara lebih holistik. Keterampilan literasi yang baik memberi siswa kemampuan menerapkan pengetahuan dari satu bidang ke bidang lainnya serta membantu mereka mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang dunia.

Bahasa dan literasi tidak hanya penting untuk kesuksesan akademik, tetapi juga untuk pemberdayaan sosial. Literasi memungkinkan siswa untuk berpartisipasi dalam masyarakat dengan cara yang lebih aktif dan kritis. Melalui penguasaan bahasa, siswa dapat memahami isu-isu sosial, politik, dan ekonomi yang memengaruhi kehidupan mereka serta menyuarakan pendapat mereka tentang masalah-masalah tersebut.

Freire (1970) berpendapat bahwa literasi adalah alat untuk pembebasan, sehingga individu dapat menyadari ketidakadilan dalam masyarakat dan berupaya untuk mengubahnya. Bahasa sebagai fondasi literasi memungkinkan siswa untuk terlibat dalam proses demokrasi, seperti membaca undang-undang, mengikuti debat publik, atau menulis opini di media massa. Dengan keterampilan berbahasa yang baik, siswa dapat mengkritik struktur sosial yang ada dan berkontribusi pada perubahan sosial yang positif.

Bahasa juga memainkan peran penting dalam pengembangan literasi di era globalisasi. Literasi yang baik memberikan siswa kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif di berbagai konteks internasional. Dengan penguasaan bahasa, siswa dapat membaca dan memahami teks dari berbagai negara, menulis untuk audiens global, dan berpartisipasi dalam diskusi lintas budaya. Dalam dunia yang makin terhubung, literasi yang kuat memungkinkan siswa untuk bersaing secara global dan beradaptasi dengan berbagai tantangan yang muncul dalam kehidupan profesional dan akademis.

Bahasa sebagai fondasi literasi memberi siswa alat yang diperlukan untuk mengeksplorasi dunia global, berinteraksi dengan individu dari latar belakang yang berbeda, dan memahami isu-isu internasional. Literasi yang baik memperkuat kemampuan siswa untuk berkontribusi secara efektif dalam masyarakat global dan memainkan peran aktif dalam membangun masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Implikasi Praktis: Bahasa sebagai Kunci Keberhasilan Pendidikan

Penguasaan bahasa yang baik memiliki korelasi yang sangat kuat dengan keberhasilan akademik dan efektivitas proses pendidikan secara keseluruhan. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen yang memungkinkan siswa untuk memahami, mengelola, dan memanfaatkan pengetahuan yang mereka terima. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan berbahasa yang baik memberikan keuntungan besar bagi siswa dalam berbagai aspek pembelajaran, mulai dari pemahaman bacaan hingga kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.

Kemampuan bahasa yang kuat sangat penting untuk memahami konsep-konsep akademis yang kompleks, baik dalam bidang sains, matematika, ilmu sosial, maupun seni. Menurut Snow (2002) dalam Reading for Understanding, siswa yang memiliki keterampilan berbahasa yang baik mampu membaca dan memahami teks yang lebih kompleks, yang memungkinkan mereka untuk mengakses pengetahuan yang lebih luas. Bahasa memungkinkan siswa untuk merangkai ide-ide yang abstrak menjadi pemahaman yang konkret serta menghubungkan konsep-konsep baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

Sebagai contoh, dalam pembelajaran sains, kemampuan untuk membaca dan memahami teks ilmiah secara mendalam memerlukan penguasaan bahasa yang baik. Siswa harus mampu menginterpretasikan istilah-istilah teknis, memahami hubungan sebab-akibat, dan menganalisis data yang disajikan. Dengan keterampilan berbahasa yang kuat, mereka dapat merumuskan hipotesis, mengkritik hasil penelitian, dan mengekspresikan simpulan mereka secara jelas dan terstruktur.

Bahasa juga berfungsi sebagai alat utama untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Keterampilan berbahasa yang baik memungkinkan siswa untuk menyusun argumen yang logis, mengevaluasi berbagai perspektif, dan membuat keputusan yang berdasarkan bukti. Dalam kegiatan akademis, seperti menulis esai atau terlibat dalam diskusi kelas, bahasa menjadi medium untuk mengartikulasikan ide, mengkritik informasi, serta menghubungkan gagasan-gagasan yang berbeda.

Proses penyusunan argumen yang kuat sangat terkait dengan kemampuan berbahasa karena siswa harus mampu menyusun premis yang koheren, mendukungnya dengan fakta dan data, serta menarik simpulan yang tepat. Penguasaan bahasa membantu mereka untuk menganalisis informasi yang rumit, menimbang pro dan kontra dari sebuah argumen, dan menyampaikan pemikiran mereka dengan cara yang dapat dipahami oleh orang lain. Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya mendukung pemahaman akademis, tetapi juga memperkaya proses pembentukan pemikiran yang lebih kritis dan reflektif.

Penguasaan bahasa yang baik juga memiliki implikasi penting dalam kemampuan siswa untuk memecahkan masalah secara efektif. Masalah akademis sering kali membutuhkan kemampuan untuk memahami instruksi, menganalisis situasi, dan mengembangkan solusi yang kreatif. Bahasa membantu siswa untuk mengidentifikasi masalah, menguraikan berbagai kemungkinan solusi, serta memilih strategi yang paling sesuai.

Sebagai contoh, dalam matematika dan sains, pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada kemampuan numerik, tetapi juga pada pemahaman konsep dan komunikasi. Siswa yang mampu merumuskan masalah dengan baik dan menjelaskan langkah-langkah penyelesaiannya memiliki keunggulan dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks. Bahasa memungkinkan mereka untuk berpikir secara sistematis, mengelola informasi yang tersedia, dan menyusun argumen yang mendukung solusi yang dipilih. Keterampilan ini sangat penting dalam pendidikan karena memungkinkan siswa untuk menghadapi tantangan akademis dengan percaya diri dan ketangguhan.

Bahasa juga memiliki peran penting dalam membangun interaksi sosial yang produktif di lingkungan sekolah. Siswa yang memiliki keterampilan berbahasa yang baik mampu berkomunikasi secara efektif dengan guru dan teman sebaya, yang meningkatkan kolaborasi dan pertukaran ide dalam kegiatan akademis. Dalam diskusi kelas, kerja kelompok, dan proyek kolaboratif, bahasa menjadi alat utama yang memungkinkan siswa untuk berbagi pandangan, memecahkan masalah bersama, dan mencapai pemahaman bersama.

Komunikasi yang efektif dengan guru juga sangat penting untuk keberhasilan akademik. Siswa yang mampu mengekspresikan pertanyaan mereka dengan jelas dan memahami umpan balik guru lebih mungkin untuk memperbaiki pemahaman mereka dan mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan. Penguasaan bahasa yang baik membantu siswa merasa lebih nyaman dalam berpartisipasi aktif di kelas, yang pada gilirannya meningkatkan motivasi dan keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran.

Penguasaan bahasa yang baik juga berdampak pada pengembangan identitas akademis siswa. Siswa yang mampu menggunakan bahasa secara efektif dalam konteks akademik lebih cenderung mengidentifikasi diri mereka sebagai pembelajar yang kompeten dan percaya diri. Identitas akademis ini penting karena memengaruhi cara siswa memandang diri mereka sendiri dalam konteks pendidikan dan cara mereka berinteraksi dengan materi pelajaran.

Menurut Cummins (2000), penguasaan bahasa akademis atau Cognitive Academic Language Proficiency (CALP) adalah kunci untuk memahami konsep-konsep yang lebih rumit dalam pendidikan formal. Siswa yang menguasai bahasa akademis lebih mampu beradaptasi dengan tuntutan akademik yang lebih tinggi, seperti memahami literatur ilmiah, menulis esai yang terstruktur, dan mengikuti diskusi ilmiah. Keterampilan ini membentuk identitas akademis siswa, sehingga mereka melihat diri mereka sebagai individu yang kompeten, berdaya, dan siap menghadapi tantangan intelektual.

Berdasarkan berbagai manfaat penguasaan bahasa yang telah diuraikan, menjadi jelas bahwa pengajaran bahasa harus menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan. Keterampilan berbahasa tidak hanya menjadi bagian dari kurikulum, tetapi juga merupakan fondasi yang mendukung semua aspek pembelajaran lainnya. Tanpa penguasaan bahasa yang baik, siswa akan menghadapi hambatan dalam memahami konsep-konsep akademis, berpikir kritis, menyelesaikan masalah, dan berkomunikasi dengan efektif.

Oleh karena itu, perhatian yang lebih besar harus diberikan pada pengembangan keterampilan berbahasa siswa, baik melalui pengajaran bahasa yang lebih terstruktur maupun dengan menyediakan lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk menggunakan bahasa dalam konteks akademik dan sosial. Guru harus dilatih untuk mengintegrasikan pengajaran bahasa dalam setiap mata pelajaran, sehingga siswa dapat mengembangkan keterampilan berbahasa mereka secara holistik dan sesuai dengan tuntutan akademis.

Simpulan

Meskipun bahasa dan budaya memiliki keterkaitan yang erat, bahasa jauh lebih memiliki keterkaitan yang mendalam dan relevan dengan pendidikan. Bahasa adalah alat utama dalam proses pembelajaran, pengembangan kognitif, pembentukan identitas, dan penyampaian literasi. Bahasa memungkinkan siswa untuk memahami, mengeksplorasi, dan mengekspresikan diri mereka dalam konteks pendidikan. Dengan demikian, bahasa jauh lebih fundamental daripada budaya dalam konteks pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan berbahasa harus menjadi fokus utama dalam pendidikan untuk memastikan bahwa siswa dapat mengakses, memahami, dan memanfaatkan pengetahuan dengan efektif.


Daftar Pustaka

Bernstein, B. (1971). Class, codes, and control: Theoretical studies towards a sociology of language. Routledge.

Boroditsky, L. (2001). Does language shape thought? Mandarin and English speakers' conceptions of time. Cognitive Psychology, 43(1), 1-22.

Chomsky, N. (1965). Aspects of the theory of syntax. MIT Press.

Cummins, J. (2000). Language, power, and pedagogy: Bilingual children in the crossfire. Multilingual Matters.

Fishman, J. A. (1972). The sociology of language: An interdisciplinary social science approach to language in society. Newbury House.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Bloomsbury Publishing.

Geertz, C. (1960). The religion of Java. University of Chicago Press.

Holmes, J. (1992). An introduction to sociolinguistics. Longman.

Hymes, D. (1974). Foundations in sociolinguistics: An ethnographic approach. University of Pennsylvania Press.

Kramsch, C. (1998). Language and culture. Oxford University Press.

Labov, W. (1972). Sociolinguistic patterns. University of Pennsylvania Press.

Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors we live by. University of Chicago Press.

Piaget, J. (1970). Piaget's theory. Springer.

Sapir, E. (1929). The status of linguistics as a science. Language, 5(4), 207-214.

Snow, C. (2002). Reading for understanding: Toward an R&D program in reading comprehension. RAND Corporation.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.

Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf. MIT Press.

 





Riki Nasrullah

Dr. Riki Nasrullah, M.Hum. adalah dosen di Universitas Negeri Surabaya. Dalam 1 tahun terakhir, mengampu 15 matakuliah. Sudah memublikasi Artikel Ilmiah dalam jurnal dan memiliki karya buku serta telah memperoleh HKI.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa