Diferensiasi dan Sudut Pandang dalam Buku Cerita Putri Ikan dan Parana

Salah satu laman yang aktif saya akses untuk mendapatkan buku cerita anak yang bermutu adalah laman Sistem Informasi Perbukuan Indonesia (SIBI) yang dikelola oleh Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Alamat laman tersebut adalah  https://buku.kemdikbud.go.id. Saya sudah mengunduh banyak buku elektronik dari laman ini, khususnya buku-buku cerita anak. Saat ada waktu luang, saya membaca buku-buku tersebut. Buku-buku cerita anak dalam laman tersebut sangat menarik dan kontekstual dengan dinamika kehidupan anak-anak saat ini.          

Salah satu buku yang memikat hati dan perhatian saya adalah buku cerita anak berjudul Putri Ikan dan Parana yang ditulis oleh Evi Z. Indriani dan diilustrasi oleh Evi Shelvia. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Perbukuan pada tahun 2019. Buku ini diperuntukan pada pembaca awal, anak berusia 8-10 tahun, dalam kategori penjenjangan B3. Mengapa buku ini menarik saat diposisikan sebagai diferensiasi atas cerita rakyat Asal-usul Danau Toba? Seberapa menariknya diferensiasi yang ada? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan saya jawab dalam esai ini.

Saya mulai dari proses pembacaan. Saat saya membaca buku cerita anak Putri Ikan dan Parana ini saya merasa pernah membaca cerita yang serupa. Saya pun berusaha mengerahkan segenap ingatan saya. Saya kemudian menemukan jawabannya. Cerita yang serupa dengan cerita anak dalam buku ini adalah cerita rakyat Asal-usul Danau Toba. Hal ini juga  dituliskan di  bagian akhir cerita dalam buku ini yang dinarasikanOrang-orang menamai danau itu Danau Toba. Sementara, bukit tempat penduduk menyelamatkan diri dinamakan Pulau Samosir.

Ya, ini menegaskan bahwa cerita dalam buku ini memang diangkat, diceritakan ulang, dan direkonstruksi dari cerita rakyat  Asal-usul Danau Toba. Akan tetapi,  saat saya membaca cerita dalam buku ini sungguh seaka-akan bukan cerita rakyat Asal-usul Danau Toba. Semua unsur ceritanya disajikan dengan menarik sesuai dengan konteks kekinian, mulai dari gaya bercerita, logika bercerita, sampai problematika ceritanya (Indriani, 2019). Hal inilah yang menarik perhatian saya untuk membahas  konteks diferensiasi cerita dan sudut pandang pembaca dalam buku Putri Ikan dan Parana saat diposisikan dengan cerita rakyat Asal-Usul Danau Toba.

Diferensiasi Cerita

Saya mulai dengan bahasan diferensiasi antara cerita  Putri Ikan dan Parana dengan cerita rakyat Asal-usul Danau Toba, keduanya berujung pada asal-usul Danau Toba. Akan tetapi, bangunan cerita Putri Ikan dan Parana  sudah terdiferensiasi dengan menarik. Dalam cerita Putri Ikan dan Parana dimulai dari situasi kekeringan yang melanda dan berdampak pada mengeringnya sungai dan lingkungan sekitar. Saat itu, seekor ikan bernama Putri Ikan yang sedang bermain dengan penuh kegembiraan bersama  teman-temannya terperangkap dalam batu. Untungnya, Putri Ikan diselamatkan oleh seorang anak bernama Parana. Putri Ikan dipelihara dalam tempayan dengan penuh kasih sayang. Putri Ikan sangat mengagumi Parana yang baik dan banyak teman. Putri Ikan pun sangat ingin menjadi teman Parana.

Di situlah, Putri Ikan teringat pesan ayahnya. Ia bisa menjadi manusia jika berputar seharian sampai sisiknya lepas semua. Putri Ikan mencobanya dan berhasil berubah menjadi manusia. Putri Ikan sangat bahagia. Ia berharap bisa menjadi teman Parana. Akan tetapi, Parana menolak pertemanan Putri Ikan. Parana tidak percaya bahwa Putri Ikan jelmaan dari ikan milik Parana. Parana pun menuduh Putri Ikan telah mengambil ikan kesayangnnya. Putri Ikan diusir Parana. Putri Ikan sedih dan menangis. Air mata yang menetes di tanah kering karena kemarau menjadi sumber air yang membesar sampai membentuk Danau Toba dan Pulau Samosir (Indriani, 2019).

Kita bandingkan dengan cerita rakyat Asal-usul Danau Toba. Secara umum, cerita rakyat ini mengisahkan seorang pemuda bernama Toba. Toba menemukan ikan di sungai. Ikan itu dipelihara dengan baik. Ikan itu pun berubah menjadi perempuan. Toba menyukai perempuan jelmaan ikan itu dan mengajaknya menikah. Perempuan itu menyetujui, tetapi dengan satu syarat, yakni Toba tidak boleh mengatakan kepada siapa pun tentang asal muasal dirinya. Toba menyetujuinya. Keduanya menikah dan dikaruniai anak yang diberi nama Samosir.

Samosir merupakan anak yang suka sekali makan. Suatu ketika Samosir diperintah ibunya untuk mengantarkan makanan untuk ayahnya yang sedang bekerja di sawah. Akan tetapi, di tengah perjalanan Samosir merasa lapar. Makanan untuk ayahnya dimakan Samosir sampai habis. Setiba dia  di sawah,  ayahnya marah dan mengatakan, “Dasar Samosir, anak ikan!” Samosir sangat sedih disebut anak ikan. Samosir pulang dan menceritakannya kepada ibunya. Ibu Samosir sedih dan membawa Samosir pergi. Sepanjang jalan Ibu Samosir menangis dan air matanya berubah menjadi sumber air yang membentuk Danau Toba dan Pulau Samosir (Dian K., 2018).

Dari sini kita bisa melihat adanya diferensiasi yang kreatif. Keduanya sama-sama bercerita tentang ikan yang ditemukan di sungai dan dipelihara yang kemudian berubah menjadi manusia. Lalu, adanya kesamaan hubungan antara anak gadis atau perempuan yang merupakan tokoh jelmaan ikan dengan tokoh laik-laki, Parana dan Toba,  yang menyebabkan air mata kesedihan. Air mata kesedihan inilah yang menjadi penyebab munculnya mata air yang menjadi cikal bakal terbentuknya Danau Toba dan Pulau Samosir. Kedua cerita memiliki beberapa kesamaan, tetapi terdapat diferensiasi utama antara keduanya, yakni diferensiasi pada penyebab kesedihan pada kedua cerita tersebut.

Dalam cerita pertama, kekecewaan Putri Ikan kepada Parana disebabkan  ketidaktercapainya harapan Putri Ikan yang ingin menjadi teman bermain Parana. Padahal, untuk berubah menjadi manusia, Putri Ikan sudah bekerja keras dengan berputar seharian untuk merontokkan sisik-sisiknya. Namun, Parana tidak mau menerimanya bahkan tidak percaya bahwa Putri Ikan adalah jelmaan ikan. Tidak sampai di situ, Parana juga menuduh Putri Ikan telah mengambil dan menghilangkan ikan peliharannya. Keadaan inilah yang membuat Putri Ikan bersedih dan menangis sehingga air matanya menetes di tanah kering menjadi sumber mata air yang membentuk Danau Toba.

Pertanyaannya, mengapa Parana tidak menerima Putri Ikan sebagai sahabatnya? Jawabannya karena rasionalitas Parana. Parana berkedudukan sebagai tokoh anak yang rasional. Dengan rasionalitasnya, Parana tidak percaya jika ikan bisa berubah menjadi manusia. Apalagi, Putri Ikan juga tidak bisa membuktikannya. Dari sinilah, Parana menganggap Putri Ikan itu telah melakukan kebohongan. Bagi Parana, anak yang baik, kebohongan itu perbuatan yang tidak terpuji karena tidak sesuai dengan standar pribadi anak (Montessori, 2020). Atas dasar inilah Parana mengusir Putri Ikan. Kesedihan Putri Ikan merupakan muasal air mata menjadi sumber mata air. Kesedihanberpangkal dari kekecewaan atas harapan persahabatan yang gagal karena kehadiran rasionalitas tokoh utama, Parana.

Sementara itu, dalam certa kedua, kekecewaan istri Toba berpangkal dari dilanggarnya janji. Janji Toba untuk tidak membuka rahasia istrinya yang berasal dari ikan peliharaannya. Apa yang membuat Toba melanggar janjinya? Jawabannya karena rasa lapar yang akut dan kekecewaan pada anaknya, Samosir. Rasa lapar kecewa karena  Samosir telah memakan makanan Toba. Rasa lapar dan kekecewaan pada anaknya, membuat akumulasi kemarahan Toba memuncak. Kemarahan yang membuat Toba melanggar janji dan sumpah pada istrinya. Toba membuka rahasia kepada anaknya bahwa istrinya merupakan jelmaan ikan. Pengingkaran pada janji inilah yang membuat istri Toba menangis dan air matanya menetes ke tanah. Air mata yang menetes berubah menjadi sumber mata air muasal Danau Toba.

Di sini kita bisa mengidentifikasi bahwa sumber diferensiasi dalam kedua cerita ini adalah kekecewaan pada harapan persahabatan dan kekecewaan pada harapan kesetiaan janji. Kekecewaan pada harapan persahabatan disebabkan oleh rasionalitas, sedangkan kekecewaan pada harapan kesetiaan janji disebabkan oleh kemarahan. Pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah bagaimana rasionalisasi ‘rasionalitas anak’ dan ‘kemarahan orang dewasa’ dalam cerita?

Rasionalisasi Cerita dan Pembaca

Setelah ditemukan sumber diferensiasi, perlu ditelusuri argumentasinya. Argumentasi dibangun berdasarkan pada logika cerita dan logika pembaca. Dalam dua hubungan logika inilah, akan bisa dijelaskan argumentasi yang objektif atas persoalan diferensiasi rasionalitas dan kemarahan yang menjadi problematika dalam cerita Putri Ikan dan Parana dan Asal-usul Danau Toba.

Saya mulai dari buku cerita Putri Ikan dan Parana dengan sumber diferensiasi pada rasionalitas anak. Karena Parana rasional, dia tidak percaya bahwa ikan bisa berubah menjadi manusia sehinggaPutri Ikan bersedih. Harapan Putri Ikan untuk bisa menjadi sahabat Parana sirna. Mengapa Parana harus berpikir rasional padahal dalam cerita ini sama sekali irasional, misalnya, ikan bisa berubah menjadi manusia dan air mata kesedihan bisa berubah menjadi sumber mata air?

Jawabannya karena Parana diposisikan tidak di dalam ruang cerita, tetapi ruang realitas. Hal ini terjadi karena adanya harapan hero yang realistis dari tokoh utama. Parana sudah diidentifikasi sebagai sosok yang baik dan bersahabat. Sosok Parana menjadi idola anak-anak. Untuk itu, Parana harus mempunyai tempat berlindung yang rasional, yang menjadi penyebab kekecewaan dan kesedihan Putri Ikan. Pilihan paling memungkinkan adalah rasionalitas anak.

Melalui rasionalitas anak inilah, kesalahan Parana bukanlah kesalahan yang naif. Kesalahan Parana bukanlah kesalahan yang tidak diterima pembaca, apalagi pembaca utama buku cerita ini adalah anak-anak. Anak-anak tidak mau kecewa tokoh heronya melakukan kesalahan yang tidak terpuji. Jika ini terjadi,  anak-anak tidak mempunyai panutan imajinatif atas cerita yang dibacanya. Untuk itulah, logika cerita dan pembaca membangun keputusan untuk meletakkan rasionalitas anak sebagai sumber diferensiasi utama dalam buku cerita Putri Ikan dan Parana. Dengan rasionalitas anak ini, tokoh Parana tetap menjadi tokoh idola dan hero bagi anak-anak (Nurgiyantoro, 2021). Tokoh Parana menjadi sumber nilai dan teladan bagi anak-anak.

Sementara itu, dalam cerita rakyat Asal-usul Danau Toba, sumber diferensiasinya adalah kemarahan. Karena kemarahan inilah, Toba berani melanggar janji untuk menjaga rahasia muasal istrinya. Kemarahan yang bersumber dari kelaparan dan kekecewaan meledak menjadi pelanggaran setia pada janji. Kecewa dalam keadaan lapar ternyata mampu mengubah hidup Toba. Toba yang baik dan penyayang menjadi temperamen karena kemarahan. Kemarahannya membuat isitrinya bersedih sehingga air mata istrinya  menetes dan menjadi sumber terbentuknya mata air yang menciptakan Danau Toba. Dalam konteks logika cerita, kemarahan ini sangat logis karena situasi cerita mengondisikan Toba mengekspresikan kemarahannya.

Akan tetapi, dalam konteks logika pembaca. Kemarahan Toba ini menimbulkan kekecewaan problematik pembaca. Satu sisi, Toba sudah dibangun sebagai sosok yang baik, dihancurkan oleh kemarahannya. Kemarahan Toba di satu sisi menjadi sumber terjadinya Dana Toba, tetapi sisi lain mengecewakan pembaca. Keberanian alur cerita rakyat mengecewakan harapan pembaca karena memang cerita rakyat ini tidak seara khusus diperuntukan anak-anak, tetapi untuk semua lapisan masyarakat. Berbeda dengan anak-anak, orang dewasa lebih bisa menalar kritis dalam memosisikan tokoh heronya. Orang dewasa lebih bisa memiliki permakluman atas kesalahan tokoh idolanya.

Catatan penting dalam diferensiasi kedua cerita ini adalah penyebab kesedihan Putri Ikan dan Istri Toba yang air matanya melahirkan sumber mata air dan sungai yang menjadi cikal bakal Danau Toba dibangun berdasarkan logika cerita dan logika pembaca. Logika cerita harus menarik  dan logika pembaca harus sesuai dengan pemahaman pembaca. Cerita Putri Ikan dan Parana dengan sasaran utama pembaca anak memosisikan tokoh utama Parana yang rasional karena anak-anak tidak bisa kehilangan sosok heronya yang baik. Cerita rakyat Asal-usul Danau Toba dengan orientasi pembaca orang dewasa membangun tokoh Toba yang melanggar janji karena kemarahan dan kekecewan sebagai basis kemanusian berpikir pembaca. Orientasinya bukan pembaca harus simpati pada tokoh Toba, melainkan bagaimana pembaca bisa berpikir kritis dan memperdalam kemanusiaan atas sikap tokoh utama, yaitu kemarahan dan kekecewaan sebagai sumber petaka.

Di sini kita bisa melihat dengan jernih betapa istimewanya diferensiasi yang dibangun dalam kedua cerita tersebut. Sekalipun keduanya sama membahas asal-usul Danau Toba, tetapi muncul motif diferensiasi. Diferensiasi ini menarik dari aspek cerita dan memberikan rasionalisasi baru bagi kita sebagai pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Dian K. 2018. 100 Cerita Rakyat Nusantara. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Indriani, Evi Z. 2019. Putri Ikan dan Parana. Jakarta: Pusat Perbukuan.

Montessori, Maria. 2020. Absorbent Mind: Pikiran yang Mudah Menyerap. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurgiyantoro, Burhan. 2022. Sastra Anak. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Heru Kurniawan

Dosen UIN Prof. K. H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Peneliti dan Penulis Buku Bacaan dan Aktivitas Anak Pendiri Rumah Kreatif Wadas Kelir

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa