Belajar Konsistensi dalam Menulis Puisi
Seminar nasional dengan tema “Sastra Siber: Eksistensi, Esensi, atau Sensasi?” yang
diselenggarakan di Semarang oleh Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah
pada 2023 menegaskan kembali kepada saya bahwa produktivitas dalam menulis
dibentuk melalui konsistensi hidup. Pertanyaannya adalah bagaimana bentuk
konsistensi hidup dalam produktivitas menulis itu? Apakah itu sekadar kegiatan mempelajari
aneka bentuk tulisan, membaca buku, dan kemudian mulai menerka-nerka bahasa
untuk melahirkan sebuah tulisan? Tentu tidak.
Konsistensi hidup dalam konteks menulis dilihat dari kesabaran untuk
melakukan “proses”. Apa itu? Sewaktu saya berkunjung ke kediaman salah
seorang dosen untuk mengurus keperluan kelulusan pendidikan saya, beliau, Heru
Kurniawan (2022), Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto dan Founder
Rumah Kreatif Wadas Kelir, mengatakan bahwa konsistensi hidup dilakukan oleh mereka yang memberi
kesempatan kepada dirinya untuk “antre” dengan melibatkan tiga hal, yakni (1) tidak menerobos
atau merebut antrean; (2) berprasangka baik kepada orang lain dan kepada Tuhan; serta (3) terus mengantre dan mempelajari sesuatu. Misalnya, mengantre sembari membaca buku,
menulis, atau mempelajari hal-hal baru.
Konsistensi hidup dalam filosofi mengantre inilah yang coba saya
teruskan kebaikannya kepada teman-teman mahasiswa, khususnya dalam Seminar
Pendidikan Dasar Komunitas Cipta Gembira Indonesia melalui acara Pelatihan
Menulis Puisi pada 7 Oktober 2023. Tentu saja, pendidikan dasar dalam pelatihan
menulis puisi digandrungi dengan pembahasan “konsistensi”, yakni menyelaraskan antara
kegiatan menulis puisi dan kesabaran terhadap proses.
Dalam praktik menulis puisi, kreativitas dan keleluasaan bahasa cenderung
teralienasi apabila tidak diimbangi dengan konsistensi. Banyak di antara
teman-teman mahasiswa yang mempelajari karya-karya penyair kita, seperti Joko
Pinurbo, D. Zawawi Imron, Chairil Anwar, A. Mustofa Bisri, atau Sapardi Djoko
Damono melalui buku kumpulan puisi Duka-Mu Abadi, yang di dalamnya terdapat puisi-puisi yang nyaman
dipahami dan keberadaannya dekat dengan banyak karya sastra.
Sedikit dari mahasiswa yang mempelajari biografi, proses, dan konsistensi hidup dari penyair kita. Melalui puisi, mahasiswa dapat belajar mengenai metafora, realitas, dan logika bahasa. Memahami proses berpikir kreatif berpotensi menunjukkan bahwa konsistensi hidup dapat menentukan sebuah produktivitas menulis. Hal itu terjadi karena penyair kita melewati banyak perjalanan, proses, dan realitas hidup, bukan sekadar mengenal pendidikan dasar mengenai puisi. Selain itu, memahami proses memberikan individu kesempatan untuk memproyeksikan sebuah konsistensi menulis.
Konsistensi Sapardi dalam Kepenyairannya
Untuk menjelaskan ini, saya dapat berangkat dari konsistensi Sapardi dalam
menulis puisi. Hubungan Sapardi dengan puisi membawanya ke dalam tradisi puisi lirik
(Faruk, 2010). Sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. Faruk, dalam buku Membaca
Sapardi (2010), mengatakan bahwa konon sejak kecil Sapardi ingin menjadi
penyair, tetapi tidak diizinkan oleh orang tuanya. Secara diam-diam Sapardi mengirimkan
puisinya ke berbagai media. Barulah sesudah kelas 2 SMA, katanya, Sapardi terus menulis,
banyak sekali, sampai karyanya digandrungi banyak orang. Proses berpikir
Sapardi seakan merupakan proses menjawab, menyangkal, menjawab, menulis,
menghapus, menulis lagi, dan menghapus lagi (Sarumpaet
& Budianta, 2010).
Lebih jauh, konsistensi hidup di tangan Sapardi juga memeriksa hal-hal sederhana, bahkan objek keseharian, seperti kerikil, matahari, batu, sungai, daun, dan sawah. Sebutlah objek sederhana, seperti abu, kayu, api, awan, dan hujan dalam puisi “Aku Ingin”.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
Dengan kata yang tak sempat
diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya
abu
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
Dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi menuliskan puisinya melalui sifat “ada” yang dapat ditemukan pada
kehidupan keseharian. Pada akhirnya pun ia dapat merepresentasikan objek sepele
menjadi kesadaran yang terealisasi dalam kedirian kita. Itu semacam sela yang berhasil
dimasuki logika bahasa dan metafora. Faruk menyebutnya sebagai bagian integral
dari pandangan Sapardi terhadap dunia (Sarumpaet
& Budianta, 2010).
Konsistensi Sapardi tidak lantas bergerak mulus dan mendekat ke arah karier kepenyairannya. Sapardi
juga memerlukan upaya untuk menemukan bahasa dan bentuk pandangannya terhadap
dunia. Untuk menyentuh persoalan ini, kita perlu menengok puisi “Dongeng Marsinah” yang merefleksikan ikon
politik dan gerakan buruh. Sapardi tidak hanya bermain pada objek sepele dalam
kesehariannya, tetapi juga seolah menyulut “bom” fakta atas fenomena ketidakadilan terhadap
buruh. Sapardi tidak hanya memainkan logika bahasa dan metafora, tetapi juga menunjukkan keberanian dan
daya kritisnya dalam tatanan simbolik puisi “Dongeng Marsinah”.
Persepsi terhadap Sapardi yang paling mendasar tentang konsep kepenyairan adalah konsistensi hidup serta proses menjawab, menyangkal, menjawab, menulis, menghapus, menulis lagi, dan menghapus lagi. Ukuran seseorang dalam memformulasikan objek-objek keseharian ditentukan melalui negosiasi terhadap diri sendiri. Memahami proses adalah bagian dari entitas kepenyairan.
Konsistensi Nilai dalam Puisi Sapardi
Seperti halnya Freud (Pals,
2024), Sapardi memandang
pengalaman itu menjadi bukti dari ambivalensi, sebuah kondisi emosi yang
terbagi dalam tema inti tulisannya. Manusia dikendalikan perasaan yang
berlawanan, yaitu rasa cinta sekaligus benci terhadap objek atau seseorang. Dalam buku The
Interpretation of Dreams (1990), Freud membawa konsep “alam bawah sadar”
dengan menganalisis dirinya sendiri, yakni membuat catatan tentang apa
yang hadir dalam mimpinya. Freud juga meminta pasiennya untuk melakukan hal
yang sama. Selama kurang lebih 5 tahun melakukan praktik dan riset, Freud mendengar,
membaca, melakukan refleksi, dan menyimpulkan.
Dalam rentang waktu yang tidak sebentar, Freud produktif meneliti seberapa
luas implikasi pemikiran psikoanalisisnya. Hal itu mengingatkan saya pada
konsistensi Sapardi sebagai penyair yang sama-sama menggambarkan ide
tentang masalah-masalah umum, seperti kemasyarakatan, kemanusiaan, ekonomi,
politik, dan agama.
Seperti yang telah kita amati sebelumnya, Sapardi meletakkan ide-ide dan
aktivitas pemikiran dalam tulisannya yang di dalamnya dia menegaskan teori-teori
realitas dari pengalaman yang ditemukannya. Hal itu menarik karena ide, gagasan, kreativitas, dan emosi dapat saling
berhubungan dengan cara yang rasional untuk menemukan bentuk transkripsi pengalaman.
Pada contoh puisi kedua di atas, yaitu “Dongeng Marsinah”, ide, gagasan, kreativitas, dan
emosi tadi telah turun ke dalam simbol ketidakadilan buruh. Dorongan kritik itu
lahir secara alamiah karena realitas dan kejadian kompleks berubah menjadi
respons emosional. Sapardi mengeluarkannya dengan menjabarkan tamsil Marsinah
itu arloji sejati.
Sapardi mengakhiri puisi “Dongeng Marsinah” dengan spekulasi intelektual
tentang kritik kondisi ketidakadilan buruh. Tamsil Marsinah itu arloji
sejati itu sendiri hidup dalam keseharian kita.
…
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang
kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini
Analogi waktu yang diberikan untuk menegaskan kehidupan Marsinah terjadi akibat
ketertarikan sang penyair untuk meletakkannya sebagai simbol kehidupan. Sapardi mengatasi
reaksi emosionalnya dalam kritik puisi “Dongeng Marsinah” dengan cara yang berbeda. Ketidakberdayaan Marsinah
hingga menjelang kematiannya pada tahun 1993 digambarkan dengan momen genting tentang
kepasrahan. Deskripsi dramatis terkait dengan konflik itu mengekspresikan
perlawanan. Ia menggambarkan perlawanan individuasi, mekanisasi manusia, dan kekuasaan
menjadi tema dominan dalam kehidupan pada masa itu. Hal itu tampak makin terlihat
melalui penggunaan kata Marsinah itu sendiri.
Tak kalah populer dari puisi “Aku Ingin” dan “Dongeng Marsinah”, puisi “Hujan Bulan Juni”. Sapardi banyak mengambil
elemen alam (lingkungan) untuk merealisasikan simbol-simbol dalam puisinya.
Misalnya, pada puisi “Hujan Bulan Juni”, ia melibatkan idiom hujan
untuk memersepsikan ketabahan, kebijaksanaan, dan ketabahan. Puisi legendaris itu kemudian
bertransformasi menjadi karya novel dengan judul yang sama.
Sapardi telah merancang, katakanlah, simbol. Berbagai ide, ritual, kepedihan, dan pengalaman menyertai aktivitas produktif. Nilai perpuisian yang memuncak menyertai ekspresi nalar, cinta, dan kemanusiaan. Pada kenikmatannya, gairah itu diiringi dengan lahirnya konsistensi perpuisian Sapardi yang banyak berbicara mengenai hal-hal rasional dalam kehidupan. Kita harus menginternalisasi pernyataan ini dan mengubahnya ke dalam bab memahami proses.
Penutup
Terkadang saya berpikir tentang kekuatan nalar, cinta, selera, gagasan, intelektualitas, dan penciptaan kendali emosi yang dimiliki Sapardi dalam menulis puisi. Jika harus diamati dasar identitas perpuisian Sapardi, kita harus memiliki lebih banyak waktu untuk tidak sekadar melihat realitas, tetapi juga mengambil sesuatu secara fisik. Dengan membeli buku-buku puisi karya Sapardi, mungkin mayoritas pencinta literasi benar-benar mengonsumsinya. Tentu saja, mereka lebih diuntungkan apabila memahami situasi-situasi ruang bangun perpuisian Sapardi dengan mengembangkan konsistensi menulis, menguasai, dan menaklukkannya.
Daftar Pustaka
Pals, D.L. 2024. Agama dan Kepribadian menurut Sigmund Freud. IRCiSoD.
Sarumpaet, R.K.T.,
& Budianta, M. 2010. Membaca Sapardi. Yayasan Pustaka Obor.
Efen Nurfiana
Karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, media online dan koran, seperti Badan Bahasa, Basabasi.co, Sastramedia.com, SIP Publishing, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, dan lainnya. Selain itu, karyanya terdokumentasi dalam kumpulan sajak Dadamu Serumpun Pohon (Wadas Kelir Publisher, 2023), Gus Mus dan Simbolisme Feminin (Wadas Kelir Publisher, 2023).