Mengapa Sastra di Sekolah Belum Pedagogis?
Sebagai suatu pelajaran di
sekolah, sastra, suka atau tidak, masih jauh dari pedagogis. Pelajaran sastra tak ubahnya sebuah
kata yang jauh dan bukan sebuah urgensi ada dalam pelajaran. Pasalnya,
pernahkah kemudian terdengung di luaran sana bahwa ada sekolah yang banyak dari
siswanya merasa haus mempelajari sastra? Apabila ada, momen itu akan tercipta
paling tidak sekali dalam setahun. Namun, itu bukan berdasarkan keinginan secara
sadar untuk mempelajarinya. Lebih jauh dari itu, pencarian pedagogi pada momen
yang sekali itu terjadi hanya karena adanya kontestasi, katakanlah, seperti
FLS2N.
Momen itu tiba-tiba saja
membuat guru merasa bahwa sastra adalah hal yang sangat penting ditelisik.
Bahkan, tak jarang sekolah berdarah-darah mendatangkan praktisi dari luar untuk mengajari
siswanya tentang sastra. Alhasil, di luar dari periode yang singkat dan monoton
itu—yang akan diulang pada tahun selanjutnya—sastra di sekolah
masih terasa sekadar ada untuk para siswa. Parahnya, kondisi tak pedagogis yang
menimpa pelajaran sastra di sekolah makin buruk karena adanya kebijakan
penjurusan. Dalam hal ini, siswa diperkenankan untuk tidak belajar hal-hal
seputar bahasa yang di dalamnya terdapat sastra.
Permasalahan itu sebenarnya
telah lama menjelanak dalam histori pendidikan kita. Dari zaman ke zaman,
sayangnya kita abai atau mungkin memilih abai. Padahal, sastra yang termasuk
sebagai bidang seni memiliki segudang cara untuk menjadikan siswa berpikir (Sastra
dan Pendidikan, Sapardi Djoko Damono).
Faktor tak pedadogis sastra
di sekolah, tak lain dan tak bukan, menciptakan kemunduran yang kontras.
Bukan hendak melebih-lebihkan, di tengah banyaknya pembelajaran yang aneh,
siswa tidak dididik untuk memahami masalah, tetapi diberikan tips untuk
menyelesaikan masalah. Pengajaran-pengajaran itu terdengar efektif untuk
menjawab soal-soal, tetapi tidak menumbuhkan daya kritis yang berdaging.
Tentunya, jika hendak diurai
lebih jauh, permasalahan tak pedagogis sastra di sekolah kembali karena
carut-marutnya sistem pendidikan kita. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
kurikulum yang ada bukan hanya kacau, melainkan lebih dari itu, kurikulum yang
mengatur pembelajaran sastra tampak bias.
Mari, kita berkaca pada Sastra Masuk Kurikulum.
Berdasarkan situs Sastra Masuk Kurikulum, terdapat penggolongan bacaan untuk
tingkat SD hingga SMA. Yang menjadi permasalahan adalah bahan ajar yang
disajikan tidak ditimbang secara dewasa. Contohnya adalah masuknya buku Lengking
Burung Kasuari yang sangat jauh dari aturan cerita untuk anak berdasarkan
jenjang usia yang ditetapkan Kemendikbudristek.
Adanya bahan pokok yang
rusak tentu berimbas terhadap banyak aspek lainnya. Oleh karena itu, tak heran jika
kemudian modul pembelajaran Sastra Masuk Kurikulum dirasa cacat dan tak
pedagogis. Selain itu, tak aneh pula jika pembelajaran sastra di
sekolah tak pedagogis dari satu sisi semata. Kekeliruan kurikulum tak sekadar
merusak pembelajaran. Kurikulum saat ini juga menciptakan pendidik yang kualitasnya
sangat menyedihkan. Misalnya, menurut Anita Lie (Kompas, 5-03-2019), hampir separuh sampel guru Bahasa
Indonesia tak bisa menulis tiga paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak
mengerti apa itu paragraf.
Lebih lanjut, kebanyakan pendidik di sekolah anti terhadap
praktik membaca. Disebutkan oleh Johannes Sumardinata dalam Guru Gokil
Murid Unyu bahwa tak sampai 0,5 persen dari ribuan guru Bahasa
Indonesia yang pernah membaca Tetralogi Pramoedya Ananta Toer.
Adalah riskan jika seorang pendidik yang
diberikan modul cacat mengajar sastra tanpa pemahaman literasi yang memadai. Di
samping itu, memang ada sebuah tradisi yang tidak tertulis yang menyatakan
bahwa calon-calon guru Bahasa Indonesia tidak merasa memiliki tanggung jawab
untuk mempelajari sastra. Temuan-temuan yang terjadi pun tak pelak seperti
pembahasan karya-karya sastra dari tahun ke tahun yang tidak pernah berubah.
Parahnya, pembahasan itu hanya berkisar tentang proses menghapal penulis karya
dan salah satu karyanya tanpa mengetahui isi sebenarnya dari karya itu.
Kondisi makin diperparah
dengan adanya dorongan eksternal sekolah. Para wali
murid, misalnya, lebih percaya diri jika anak-anaknya memiliki minat dalam
pelajaran yang bersifat eksak. Oleh sebab itu, kemudian menjelanak
lembaga-lembaga bimbingan belajar (bimbel).
Wajah anak-anak sekolah
terpampang di selebaran tempat bimbel ketika mendapatkan nilai matematika yang
tinggi. Bahkan, dalam beberapa momen saya menemukan orang tua yang nekat
memercayakan anaknya yang masih belum cukup umur untuk belajar di bimbel dan
mendapatkan pelajaran-pelajaran berhitung. Tentu hal tersebut tidak menandakan
kesalahan, tetapi juga ketidakpatutan. Memaksakan minat juga mendorong
anak-anak tak memahami konteks minat itu sendiri dalam dunia belajar. Lalu, adanya sikap menggantungkan
pembelajaran kepada bimbel daripada sekolah menjadi pertanda kemunduran peran
sekolah.
Alhasil, peminatan ini pada
akhirnya memunculkan peluang hancurnya proses belajar. Misalnya, pada 2017 Indonesia
Career Center Network (ICCN) memaparkan hasil penelitian, yaitu ada 87 persen
mahasiswa di Indonesia yang salah mengambil jurusan. Oleh karena itu, tak heran
jika jurusan, seperti filologi hingga filsafat menjadi jurusan “yang penting
kuliah”. Bahkan, jurusan sastra murni saat ini justru tidak menciptakan sarjana
yang memiliki pengetahuan mendalam tentang jurusannya.
Tentunya, jika ditelisik
lebih jauh lagi, ada sejumlah faktor yang memberikan efek dari nihilnya nilai
pedagogis sastra dalam pembelajaran di sekolah. Padahal, seperti yang dikatakan
seorang pengajar di Universitas Birmingham, yakni Richard Hoggart, bahwa tanpa
sastra, tak ada kemungkinan bagi pengamat sosial untuk melihat ritus masyarakat
secara terang benderang. Namun, paling tidak kita dapat bersyukur.
Kemendikbud tidak menghapus
pelajaran sastra di sekolah—meski dengan adanya penghapusan jurusan—pelajaran
sastra lambat laun hilang. Tak terbayang kemudian jika sastra yang merupakan
aspek kesenian, tak lagi diajarkan kepada anak-anak, layaknya seperti yang
dikatakan Ki Mangoensarkoro dalam Kongres Kebudayaan III di Solo bahwa bab-bab
pengajaran kesenian terdesak hilang dari daftar pengajaran, …, akhirnya sekolah
itu bersifat suatu mesin pengajar beberapa pengetahuan untuk ujian. Ketajaman
akan pikiran tidak terlatih, hatinya kosong, perasaanya kering.
Radja Sinaga
Radja Sinaga lahir di Medan dan kini menetap di Jogja. Ia merupakan penulis sastra dan peserta program Pengayaan Bahasa LPDP di UIN Sunan Kalijaga