Perbedaan Puisi Perjuangan Taufiq Ismail dan Puisi Realisme Sosial Lekra

Ketika mengidentifikasi ciri-ciri struktur estetik puisi periode Angkatan ‘45 (1942—1955), Rachmat Djoko Pradopo mengatakan bahwa ciri struktur estetiknya, antara lain, ialah adanya gaya pernyataan pikiran berkembang (nantinya gaya ini berkembang menjadi gaya slogan) (1995: 26, 45). Begitu pula ketika mengidentifikasi perpuisian periode 50-an hingga 60-an (1955—1970), Rachmat Djoko Pradopo kembali mengatakan bahwa, antara lain, hal itu ditandai dengan gaya slogan dan retorik yang makin berkembang (1995: 30). Akan tetapi, ketika mengidentifikasi perpuisian periode 1970—1990, ciri struktur estetik gaya slogan itu tidak disebutkan, tetapi diidentifikasi kemunculan puisi mbeling atau puisi lugu yang mempergunakan teknik pengungkapan ide secara polos dengan kata-kata serebral dan kalimat-kalimat biasa atau polos. Namun, pada identifikasi ciri ekstra estetiknya Rachmat Djoko Pradopo menandai adanya hal yang sama dari ketiga periode tersebut.

a)        Angkatan ‘45
“Masalah kemasyarakatan menonjol: dikemukakan kepincangan dalam masyarakat, seperti gambaran perbedaan yang mencolok antara golongan kaya dan miskin.” (1995: 45)

b)        Periode ‘50-an s.d. ‘60-an
“Ada gambaran suasana muram karena sajak-sajak menggambarkan hidup yang penuh penderitaan; Sajak-sajak mengungkapkan masalah-masalah sosial; kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya dan miskin besar, belum adanya pemerataan kenikmatan hidup.” (1995: 47)

c)        Periode 1970—1990
“Mengemukakan kritik sosial atas kesewenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan-penyelewengan. (1995: 52)

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan oleh Rachmat Djoko Pradopo tersebut dapat disimpulkan bahwa dia mengaitkan perkembangan perpuisian Indonesia dengan perpuisian Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan ‘45 dari gaya pernyataan menjadi gaya slogan yang bervarian puisi mbeling atau puisi lugu. Penulis berangkat dari pendapat Rachmat Djoko Pradopo tersebut.

Sayangnya, Rachmat Djoko Pradopo tidak pernah menjelaskan gaya slogan itu yang seperti apa ketika mengidentifikasi perpuisian periode ‘50-an s.d. ‘60-an (1955—1970). Akan tetapi, yang dimaksudkan oleh Rachmat Djoko Pradopo itu ditujukan terhadap perpuisian Taufiq Ismail pada periode Angkatan ‘66. Pada konteks tersebut Rachmat Djoko Pradopo menyatakan sebagai berikut.

“Pada paro kedua tahun 1960-an terbit sajak-sajak perlawanan akibat demonstrasi kaum muda angkatan ‘66 menentang Orde Lama yang berdasarkan politik Nasakom yang kontroversial dengan Pancasila. Di antaranya yang paling terkenal adalah sajak-sajak Taufiq Ismail yang dikumpulkan dalam Tirani dan Benteng.” (1995: 48—49)

Dengan pernyataan tersebut, yang dimaksudkan Rachmat Djoko Pradopo dengan gaya slogan itu adalah sajak-sajak perlawanan, yaitu sajak-sajak karya Taufiq Ismail periode Tirani dan Benteng.

Angkatan ‘66: “Sajak Perjuangan”, “Sajak Perlawanan”, “Puisi Demonstrasi”

Di dalam kata pengantar buku Angkatan 66, “Bangkitnya Satu Generasi” (diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 1968; edisi Pustaka Jaya cetakan pertama, 2013: 17—39), H.B. Jassin menuliskan latar belakang pendeklarasian Angkatan ‘66.

Kini dalam tahun 1966, di Indonesia terjadi suatu peristiwa yang penting. Peristiwa yang melahirkan angkatan yang menyebut dirinya Angkatan 66. Ialah pendobrakan terhadap kebobrokan yang disebabkan oleh penyelewengan negara besar-besaran, penyelewengan yang membawa ke jurang kehancuran total. Sebagaimana Chairil Anwar berontak terhadap penjajahan Jepang dalam tahun 1943 dengan “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang”, kita pun menyaksikan satu ledakan pemberontakan dari penyair, pengarang, cendekiawan, yang telah sekian lama dijajah jiwanya dengan slogan-slogan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Tokoh-tokohnya ada pula, tokoh-tokoh yang menjadi matang dalam pergolakan. (2013: 21—22)

Kebobrokan yang disebabkan oleh penyelewengan negara besar-besaran, penyelewengan yang membawa ke jurang kehancuran total tersebut menurut H.B. Jassin (2013: 22) bersumber pada hal berikut.

Akibat politik yang didasarkan atas nafsu pribadi, tindakan-tindakan tanpa perhitungan di lapangan politik, ekonomi, dan kebudayaan, maka masyarakat mengalami keruntuhan spiritual dan material. Pancasila yang sebagai ideal begitu indah, karena didasarkan atas struktur dan jiwa masyarakat yang konkret, kehilangan artinya sama sekali. Dengan diikutsertakannya unsur-unsur atheis yang destruktif terhadap agama maka sila pertama hanya permainan bibir semata, sosialisme yang disebut sosialisme Indonesia, menjadi sesuatu yang hanya ada dalam khayalan, demokrasi yang disebut demokrasi terpimpin adalah nama lain buat dictator dan timokrasi dan perikemanusiaan yang hendak mempersatukan seluruh dunia, bahkan membawa kita berkonfrontasi dengan seluruh dunia. Dan semua itu dilakukan dengan mencatut nama bangsa Indonesia. Hubungan-hubungan dengan luar negeri terputus semua, diputuskan atas nama bangsa Indonesia, yang oleh putusnya hubungan-hubungan itu menderita segala akibatnya di dalam negeri. Dan ini berjalan sudah bertahun-tahun lamanya, keadaan tambah lama tambah parah dan rakyat telah sampai pada batas kesanggupannya. 

Sebenarnya protes-protes terhadap penyalahgunaan dan penyelewengan bukanlah hal yang baru dilancarkan tahun 1966, melainkan sudah jauh sebelumnya. Menurut H.B. Jassin, “Protes-protes itu sudah kita dengar dari Idrus, dari Pram, dari Mochtar Lubis, tahun-tahun 1950-an dan sesudahnya.” Wiratmo Sukito pada tahun 1958 dengan sebal bertanya, “Kapankah kita mendapatkan roman buah tangan sastrawan kita yang menggugat kecerobohan politik dan politisi kita yang korup?”  Pertanyaan itu dijawab oleh Ajip Rosidi bahwa penggugatan itu sudah dilakukan oleh para sastrawan dalam sajak, cerpen, ataupun novel dan Ajip Rosidi menyebut nama-nama, seperti Pramoedya, Trisno Sumardjo, Mochtar Lubis, Utuy Tatang Sontani, Achdiat K. Mihardja, Abas Kartadinata, Trisnoyuwono, dan Ajip Rosidi sendiri (2013: 23).

H.B. Jassin juga mencatat bahwa pemberontakan fisik yang terjadi berkali-kali tak dapat dilihat secara lepas dari perasaan tidak puas terhadap politik pemerintah yang tambah tidak demokratis dan sejak tahun 1959 secara terang-terangan menyeleweng dari garis Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Munculnya pemberontakan PRRI-Permesta adalah salah satu contohnya. Bahkan, Wakil Presiden Muhammad Hatta pada tahun 1960 mengkritik penyelewengan-penyelewengan dalam politik dan ekonomi itu dalam tulisannya yang memandang masa depan demokrasi Indonesia. Akan tetapi, semuanya itu ditekan dengan tangan besi oleh presiden/pemimpin tertinggi/pemimpin besar revolusi/mandataris MPRS (2013: 24).

Manifes Kebudayaan yang dicetuskan oleh para sastrawan, seniman, dan cendekiawan pada tanggal 17 Agustus 1963 yang dengan tegas menyatakan, “Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami,” dilarang dengan keputusan presiden pada tanggal 8 Mei 1964 dengan alasan bahwa hal itu menandingi manifesto politik dan kontrarevolusioner. Akan tetapi, Manifes Kebudayaan menjadi sangat terkenal justru karena terus-menerus diganyang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pelarangan itu membuat manifestasi makin cemerlang karena isi dari Manifes Kebudayaan adalah pernyataan hati nurani rakyat. Di semua kegiatan kehidupan, kesusastraan, kebudayaan, perguruan tinggi, perfilman, seni lukis, ekonomi, dan politik, di mana saja berdetak hati nurani rakyat, di situlah PKI melihat momok yang mereka sebut dengan ejekan sebagai Manikebu (yang dalam bahasa Jawa berarti ‘sperma kerbau’).

Peristiwa penting yang disebut H.B. Jassin sebagai peristiwa yang melahirkan Angkatan ‘66 itu adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965. Pada malam itu, enam jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibunuh oleh tentara pengawal presiden, Cakrabirawa, di bawah kepemimpinan Letkol Untung. Pasukan Cakrabirawa itu menduduki stasiun radio dan pusat penerangan. Pada pagi harinya, 1 Oktober 1965, media massa menyiarkan penjelasan perkembangan situasi terakhir. Pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga pembentukan Dewan Revolusi Indonesia diumumkan. Koran PKI, Harian Rakyat, menggambarkan pergerakan itu sebagai aksi yang revolusioner dan patriotik sambil mengisyaratkan bahwa apa yang terjadi adalah semata-mata persoalan internal dalam tubuh militer. Pada peristiwa 30 September 1965 malam itu dua jenderal senior, Mayor Jenderal Soeharto dan Jenderal A.H. Nasution selamat dari pembantaian. Pada pagi hari, 1 Oktober 1965, mereka mengerahkan batalion militer Jakarta untuk mengambil alih stasiun radio dan kendali kota. Selama seminggu terjadi beberapa kali bentrokan senjata di Jawa Tengah yang melibatkan pemuda komunis, Pemuda Rakyat. Pertikaian itu kemudian dihentikan oleh tentara para komando yang dikirim juga oleh Mayor Jenderal Soeharto (Aveling, 2003: 9).

Tentang bagaimana Presiden Soekarno menyikapi aksi khianat Gerakan 30 September 1965 (Gestapu), H.B. Jassin menuliskan sebagai berikut.

.... Tapi heran bin ajaib, enam jendral mati sebagai korban, aktivis-aktivis Gestapu telah mengaku di depan Mahkamah Militer Luar Biasa dan sudah gambling siapa dalang kudeta yang gagal itu, namun Pemimpin Negara masih ogah membubarkan PKI seperti yang telah dilakukannya dengan semua partai sebelumnya yang disangka terlibat dalam pemberontakan. Rakyat menuntut dan menuntut, diminta tenang, tenang, tenang, rakyat menunggu sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan tapi tidak juga ada putusan yang tegas. Itikad baik Pemimpin Besar Revolusi diragu-ragukan, sikapnya disesalkan, apalagi karena simpatisan-simpatisan komunis melihat angin baik dan merehabilitasi kembali kedudukannya. Masyarakat bergolah karena tidak sabaran, keadaan ekonomi tambah parah, inflasi tidak tertahankan lagi. Kalau sejak penarikan Indonesia dari PBB, hubungan Indonesia tegang dengan Amerika dan oleh konfrontasi dengan Malaysia, juga dengan Inggris dan beberapa negara Barat lainnya, maka sesudah Gestapu di mana rakyat dengan spontan mengganyang PKI dan ormas-ormasnya, hubungan kita dengan negara-negara komunis pun menjadi buruk, teristimewa dengan RRC yang menjadi majikan PKI. Sempurnalah isolasi kita terhadap dunia sekeliling kita. (2013: 26)

Latar belakang sejarah dan keadaan masyarakat tersebut menyulut gerakan mahasiswa untuk mengadakan aksi mogok kuliah dan demonstrasi besar-besaran yang mematangkan lahirnya Angkatan ‘66. Pada saat itulah bermunculan sajak-sajak yang disebut oleh H.B. Jassin sebagai sajak perjuangan atau sajak perlawanan. Sebagaimana diungkapkan oleh H.B. Jassin (2013: 27), Rachmat Djoko Pradopo (1995: 48—49), dan Herman J. Waluyo (2010: 163), di antara kumpulan sajak yang menarik perhatian selama demonstrasi terhadap pemerintahan Soekarno dan usaha untuk mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila, kumpulan sajak Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail paling menonjol.

H.B. Jassin sebagai deklarator Angkatan ‘66 sekaligus editor buku Angkatan 66 (Prosa dan Puisi) memersepsikan sajak-sajak yang bermunculan pada masa demonstrasi hingga tumbangnya rezim Soekarno itu sebagai sajak-sajak perlawanan atau sajak-sajak perjuangan. Yang dimaksudkan Rachmat Djoko Pradopo dengan puisi gaya slogan adalah sajak-sajak perlawanan yang hal itu ditujukan pada sajak-sajak karya Taufiq Ismail periode Tirani dan Benteng. Akan tetapi, Herman J. Waluyo menggunakan istilah puisi demonstrasi untuk menyebut fenomena sajak-sajak yang bermunculan pada masa demonstrasi hingga tumbangnya rezim Soekarno itu (2010: 163).

Gaya Slogan dan Sudut Pandang Intraestetik

Dari pernyataan ketiga pakar kesusastraan tersebut jika diidentifikasi berdasarkan sudut pandang intraestetik dan ekstraestetik Rene Wellek dan Austin Warren (Terj. Budianta, Cet.II, 1990), penggolongan sekaligus penyebutan sebagai puisi dengan gaya slogan itu sudut pandangnya ialah intraestetik. Hal itu terjadi karena keindahan puisi itu diungkapkan dengan cara-cara sebagaimana slogan mengungkapkan dirinya melalui bahasa. Sementara itu, penggolongan sekaligus penyebutan sebagai puisi perlawanan, puisi perjuangan, dan puisi demonstrasi, sudut pandangnya ialah ekstraestetik. Hal itu terjadi karena penyebutan sebagai puisi perlawanan, puisi perjuangan, dan puisi demonstrasi itu memperhitungkan isi puisi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata slogan berarti 1) ‘perkataan atau kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan sesuatu’; 2) ‘perkataan atau kalimat pendek yang menarik, mencolok, dan mudah diingat untuk menjelaskan tujuan suatu ideologi golongan, organisasi, partai politik, dan sebaginya’. Slogan adalah moto atau frasa yang dipakai pada konteks politik, komersial, agama, dan semacamnya sebagai ekspresi sebuah ide atau tujuan yang mudah diingat. Kata slogan sendiri diambil dari istilah dalam bahasa Gaelik, sluagh-ghairm, yang berarti ‘teriakan bertempur.

Bentuk slogan bervariasi, baik yang tertulis dan terlihat maupun yang terucap dan yang vulgar. Pada umumnya bentuk retorika sederhananya memberikan ruang untuk menyampaikan informasi yang lebih terperinci. Selain itu, disampaikan dalam bentuk ekspresi sosial dari tujuan bersama, daripada proyeksi dari beberapa orang saja. Pembuatan slogan mempunyai maksud dan tujuan. Pertama, slogan bertujuan untuk menyampaikan informasi yang terwakili kalimat pendek sehingga masyarakat dapat menyimpulkan pesan atau informasi apa yang terkandung dalam kalimat slogan tersebut. Kedua, slogan bertujuan untuk memengaruhi orang lain melalui informasi yang disampaikan. Ketiga, slogan mengimbau dan memotivasi orang lain agar melakukan apa yang menjadi tujuan kalimat slogan untuk menyadarkan masyarakat.

Dengan pengertian tentang slogan tersebut, bagaimanakah sajak-sajak yang dikatakan oleh Rachmat Djoko Pradopo sebagai puisi slogan? Pada konteks ini, H.B. Jassin dalam buku Angkatan 66 mencontohkan beberapa kumpulan sajak yang menarik perhatian, yaitu Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail, Mereka Telah Bangkit karya Bur Rasuanto, Perlawanan karya Mansur Samin, dan Pembebasan karya Abdul Wahid Situmeang. Salah satu sajak dari kumpulan sajak tersebut penulis kutip selengkapnya berikut ini.

Sajak Mansur Samin

Pernyataan

Sebab terlalu lama meminta
tangan terkulai bagai dikoyak
sebab terlalu pasrah pada derita
kesetian makin diinjak 

Demi amanat dan beban rakyat
kami nyakan ke seluruh dunia
telah bangkit di tanah air
sebuah aksi perlawanan
terhadap kepalsuan dan kebohongan
yang bersarang dalam kekuasaan
orang-orang pemimpin gadungan 

Maka ini pagi
dengan resmi
kami mulai
aksi demonstrasi 

Pernyataan ini
disyahkan di jakarta
kami
Mahasiswa Indonesia 

(Jassin, 2013: 377).

Sajak Bur Rasuanto

Tirani

tirani adalah kata
yang melahirkan banyak pengertian
yang tak berkata 

tirani adalah pikiran
yang dipindahkan ke dalam slogan
yang merantai pikiran 

tirani adalah kebebasan
di tengah padang tandus tak bertepi
yang melumpuhkan kebebasan 

tirani adalah kekuasaan
yang bertahta di atas segala penggelapan
yang menimbun kekuasaan

(Jassin, 2013: 300).

Sajak Abdul Wahid Situmeang

“Demonstran”

Melengking ringkik kuda lepas kendali
suara yang telah lama hilang
suara saksi yang tak diperlukan lagi kesaksiannya
suara yang dirindukan anak negeri
menghingarkan ibukota
membentur tembok istana 

Mereka berangkat ke istana
tanpa upeti
karena bukan mau menghadap raja
mereka berbondong ke istana
barisan pemuda yang habis sabar
menunggu janji 

bukan barisan kehormatan dalam upacara resmi
Barisan kebangkitan menjalarkan api
menuntut janji kepada pemimpin 

Siapa orangnya bisa tahan
dibanting gelombang datang beruntun
musnalah engkau pemimpin yang linglung 

(Jassin, 2013: 451).

Ketiga sajak tersebut, mulai dari baris pertama hingga terakhir, terasa hadir sebagai pernyataan-pernyataan yang sudah klise. Hal itu terjadi karena sudut pandang yang dipakai penyair untuk merespons realitas menjadi pandangan yang bersifat umum sehingga berpengaruh terhadap bahasa sajaknya menjadi bahasa yang denotatif (objektif). Padahal, di dalam sajak yang bermutu, sastra itu, sebagaimana yang dikatakan oleh A. Teeuw, berdiri di antara konvensi dan inovasi (1983: 12). Inovasi itu terbangun karena seorang sastrawan memiliki pandangan yang khas (unik) terhadap realitas sehingga hal itu berpengaruh terhadap cara dia dalam mengungkapkannya ke dalam bahasa sajaknya yang khas pula. Nilai kesastraan dan keagungan suatu karya sastra sering kali ditentukan oleh apa dan bagaimana karakteristik yang dimiliki oleh seorang sastrawan dalam menyikapi realitas dan bahasa. Untuk merespons sajak perjuangan semacam itu, H.B. Jassin membuat pengakuan sebagai berikut.

Ada suatu pendapat bahwa mutu puisi perjuangan tidak mungkin langgeng. Sebab isinya hanya untuk situasi tertentu, berubah situasi, nilainya pun tak ada lagi. Apalagi kalau puisi itu tidak didukung oleh keyakinan dan kejujuran serta kemurnian hati dan tidak pula didasari dengan moral dan kesadaran ketuhanan yang tinggi seperti halnya dengan apa yang disebut realisme sosial Lekra komunis yang tampak dalam majalah mereka Zaman Baru dan ruangan Lentera dalam Bintang Timur di masa pra-Gestapu. (2013: 34—35) 

Persamaan antara Puisi Perjuangan dan Puisi Realisme Sosial

Pendapat yang sama terkait dengan persamaan antara puisi perjuangan dan puisi realisme sosial Lekra komunis juga pernah dilontarkan oleh Subagio Sastrowardoyo, bahkan dialamatkan terhadap sajak-sajak Taufiq Ismail yang ada dalam kumpulan sajak Tirani dan Benteng. Sekalipun demikian, Taufiq Ismail membantahnya dalam suatu wawancara dengan koran Sinar Harapan (30 Juli 1969).

“Itu hak Subagio sebagai kritikus untuk memberikan konstatasi sedemikian. Bagi saya menarik untuk mengetahui pendapat Subagio, karena beberapa tahun pra-Gestapu dan pada waktu kebangkitan 1966 dia tidak di Indonesia, jadi secara emosional tidak menghayati dan tidak terlibat dalam gemuruh perlawanan 1966 itu.

Apabila kemiripan sajak-sajak saya dengan sajak-sajak Lekra adalah dalam mengambil sikap (yakni Tirani dan Benteng), maka itu tidak saya tolak. Tapi kalau yang dimaksudkan adalah kemiripan estetis, tunggu dulu. Hal ini saya sadari sekali ketika menuliskan puisi-puisi itu di awal 1966.” 

Contoh sajak realisme sosial Lekra komunis adalah sajak “Kidung Dobrak Salahurus” karya D.N. Aidit (dalam Sambodja, 2011: 204) berikut ini.

Sajak D.N. Aidit

“Kidung Dobrak Salahurus”

Kau datang dari jauh adik
Dari daerah banjir dan lapar
Membawa hati lebih keras dari bencana
Selamat datang dalam barisan kita 

Di kala kidung itu kau tembangkan
Bertambah indah tanah priangan
Sesubur seindah priangan manis
Itulah kini partai komunis 

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
Biar tukang-tukang salahurus mengerti
Benci rakyat dibawa mati
Cinta rakyat pada pki 

Teruskan, teruskan tembangmu
Bikin rakyat bersatupadu
Bikin priangan maju dan jaya
Alam indah rakyat bahagia 

(Cipanas, 13 Januari 1963)

Jika sajak “Kidung Dobrak Salahurus” karya D.N. Aidit dibandingkan dengan tiga sajak sebelumnya, yaitu “Pernyataan” karya Mansur Samin, “Tirani” karya Bur Rasuanto, dan “Demonstran” karya Abdul Wahid Situmeang, sifat-sifat slogan itu begitu terasa, yaitu penghimpunan untuk tindakan-tindakan praktis. Tujuan puisi bergaya slogan serupa ini ialah suatu solidaritas yang murni sekalipun hasilnya justru berupa solidaritas palsu. Menurut Goenawan Mohamad (1993: 76), “Slogan merupakan teknik, salah satu cara yang ringkas dan singkat untuk mencapai itu.” Realitas yang digambarkan dalam sajak-sajak itu sama, yakni golongan masyarakat yang menderita, demikianlah realisme sosial. Jika dalam sajak karya tiga penyair Angkatan ‘66 itu digambarkan penderitaan rakyat pada umumnya akibat penyelewengan para pejabat pemerintahan masa akhir Soekarno, dalam sajak tokoh Lekra digambarkan penderitaan kaum buruh dan petani akibat pertentangan kelas oleh kaum borjuis atau kapitalis.

Solidaritas yang digambarkan dalam tiga sajak penyair Angkatan ‘66 dan sajak karya tokoh Lekra tersebut belumlah mampu menjadikan pertemuan antara pribadi yang satu dan pribadi yang lain sebagai suatu solidaritas murni. Realitas yang digambarkannya pun dalam sajak semacam itu masihlah kasar. Seni tidak terkecuali seni puisi merupakan suatu proses dari hasil dialektika dengan realitas itu sehingga harus ada seseorang yang merdeka, yaitu suatu kepribadian yang membentuk hubungan kreatif yang menyediakan suatu dialog. Goenawan Mohamad berpendapat sebagai berikut.

Slogan juga seharusnya menyediakan kemungkinan semacam itu. Tentu saja kita bisa saja mengenal slogan-slogan yang lahir dari sikap semena-mena, slogan-slogan yang memaksakan diri untuk dipercaya, slogan-slogan bohong. Tapi yang seperti itu pada akhirnya akan berakhir pada suatu nonsense, pada suatu kematian fungsi. Dia pada gilirannya tidak akan membentuk solidaritas.

Apa yang dicemaskan oleh Goenawan Mohamad tersebut tidak terkecuali ada di dalam sajak-sajak Taufiq Ismail, yaitu Tirani dan Benteng. Salah satu di antaranya ialah sajak berikut ini.

Sajak Taufiq Ismail

“Kemis Pagi”

Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan memiliki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan materai kerajaan
Dengan suara lantang memperatas-namakan
Kawula dukana yang berpuluh juta 

Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang Keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya 

Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksana
Membeli benda-benda tanpa harga di manca-negara
Dan memperoleh uang emas beratus juta
Bagi diri sendiri. di bank-bank luar negeri
Merekalah penganjur zina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita 

Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur baru belasan
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan
Telah kita naiki gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya 

1966

(Tirani dan Benteng, 1993: 141)

Dalam sajak Taufiq Ismail tersebut, di bait ke-4 terasa peristiwa yang miris yang mengarah pada penangkapan pemuda PKI menuju aksi balas dendam sebagaimana dalam peristiwa Gerakan 30 September 1966. Akan tetapi, bait ke-1 hingga ke-3 merupakan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan slogan yang lahir dari sikap semena-mena sebagaimana gambaran realisme sosial dalam puisi karya penyair Lekra. Replika realitas yang dinyatakan di dalam sajak tersebut terasa kasar. Oleh karena itu, gambaran realitas dalam sajak “Kemis Pagi” karya Taufiq Ismail membangun solidaritas, tetapi tidak memberi ruang pertemuan dari hati ke hati.

Perbedaan antara Puisi Perjuangan Taufiq Ismail dan Puisi Realisme Sosial Lekra

Lain halnya dengan sajak “Seorang Tukang Rambutan”, realitas sosial yang hidup di tengah penyair, dari peristiwa objektif lalu dipersonalisasi oleh penyair sehingga realitas di dalam puisi naratif tersebut mengalami subjektivikasi, yaitu di balik cerita “Seorang Tukang Rambutan” bisa dipetik hikmahnya. Sajak tersebut dikutip selengkapnya berikut ini.

Sajak Taufiq Ismail

“Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya”

“Tadi siang ada yang mati
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.

1966

(Tirani dan Benteng, 1993: 110—111)

Sudut pandang dalam memahami realitas sajak “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya” karya Taufiq Ismail tersebut jika dibandingkan dengan sajak “Kidung Dobrak Salahurus” karya D.N. Aidit sangatlah berbeda. Sajak “Seorang Tukang Rambutan kepada Istrinya” karya Taufiq Ismail di dalamnya ada nuansa slogan, tetapi slogan itu hanyalah bagian kecil saja dari peristiwa kemanusiaan yang lebih menonjol dan lebih hidup. Dalam keadaan itulah slogan makin mendekati kemampuan untuk menciptakan sebuah kebersamaan seperti yang dibuahkan oleh peristiwa yang puitik, baik dari sudut pandang seorang tukang rambutan maupun sudut pandang mahasiswa-mahasiswa itu.

Pada konteks perpuisian Taufiq Ismail, misalnya sajak “Seorang Tukang Rambutan kepada Istrinya”, mempresentasikan bahwa kita tidak cukup hanya mengharapkan suatu kelompok manusia yang dihimpun sebagai semata-mata oleh kekuatan fisik dengan sifat sementara. Akan tetapi, kita juga membutuhkan puisi yang menghendaki pertemuan dari hati ke hati.***

 

Daftar Pustaka

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets Need Words). Magelang: Indonesiatera.

Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ismail, Taufiq. 1969. “Wawancara Taufiq Ismail”. Jakarta: Sinar Harapan, 30 Juli 1969.

_______. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.

_______. dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia Jilid 1, Kitab Puisi . Jakarta: Horison.

Jassin, H.B. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.

_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1988.

Mohamad. Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Nadjib, Emha Ainun. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________. 2001. Pengkajian Puisi. Cet. VIII. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

________. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Cet. II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

________. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Kepel Press.

________. 2013. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sambodja, Asep. 2011. Asep Sambodja Menulis tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus.

Teeuw, A. 1983. Tergantung pada Kata. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair dan guru besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa