A. Mustofa Bisri Telah Menemui dan Menemukan Bahasa

Puisi balsem menjadi upaya estetik A. Mustofa Bisri untuk menyampaikan fenomena atau persoalan sosial secara jujur dan tegas serta memosisikan masyarakat sebagai subjek kolektif. Artinya, masyarakat pun diajak untuk menggali makna, baik secara privat maupun kolektif. Selain itu, puisi balsem A. Mustofa Bisri dapat juga dikatakan sebagai pengembangan dari puisi mbeling karena puisi balsem A. Mustofa Bisri tidak hanya sekadar mengutamakan ciri kejenakaan, sembranan, dan sebagainya, tetapi juga menekankan substansi penggunaan bahasa yang populer, serta dekonstruksi puisi slogan yang cenderung reaktif dan pragmatis. Puisi balsem A. Mustofa Bisri memiliki efek psikologis yang kuat sehingga terbukalah ruang relaksasi dan refleksi pada pembaca. 

Proses Dialogis dan Dialektis

Proses dialogis dan dialektis, sebagaimana kaidah hermeneutika, menjadi ciri khas lain puisi balsem A. Mustofa Bisri, selain kejenakaan dan sembaranan. Pemosisian realitas empiris menjadi realitas teks tidak lagi berkutat pada metafora, tetapi juga pada bahasa denotatif. Dalam konteks ini A. Mustofa Bisri membangun persepsi masyarakat bahwa puisi dapat menjadi energi kreatif untuk mengakomodasi wacana sosial-politik secara dinamis. Artinya, bahasa puisi A. Mustofa Bisri adalah bahasa masyarakat.

A. Mustofa Bisri mampu mencairkan kebekuan bahasa yang dimonopoli oleh slogan dan pamflet, setidaknya dalam peristiwa Lekra versus Manikebu yang menyita perhatian. Apakah bahasa merupakan representasi politik atau pembuka nalar publik? Pertanyaan itu tampaknya menjadi alasan bagi A. Mustofa Bisri untuk memosisikan dan memersepsikan bahasa yang berada di ruang publik yang luas. Franz Kafka, sebagaimana dikutip oleh Goenawan Mohamad, pernah mengatakan hal berikut.

“Menulis merupakan ketegangan antara menemui bahasa dan menemukan bahasa. Ketika kata diteriakkan dalam huruf, ia menyandang tanda-tanda yang sudah ada dalam khazanah umum. Bahasa yang paling privat pun, seandainya itu ada, bergerak di medan orang ramai itu. Bahkan, ketika kalimat diucapkan secara lisan oleh seorang Robinson Crusoe kepada dirinya sendiri, stuktur verbal itu mendapatkan bentuknya karena ada model yang datang dari orang lain. Pada saat itu, seorang Crusoe menemui bahasa ketika ia menemukan bahasa” (Mohamad, 2017: 58).

Berdasarkan ungkapan Franz Kafka tersebut, A. Mustofa Bisri telah menemui bahasa pada saat dia menemukan bahasa. Frasa menemui bahasa dapat diartikan sebagai kesadaran estetik terhadap realitas, sedangkan frasa menemukan bahasa merupakan akumulasi pengalaman A. Mustofa Bisri sebagai bagian dari masyarakat. Bacalah sajak A. Mustofa Bisri berikut.

RASANYA BARU KEMARIN

Rasanya
Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan saksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia. Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari mulut-mulut para jurkam PDI saja. Rasanya
Baru kemarin.
Padahal sudah setengah abad lamanya.

Pelaku-pelaku sejarah
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh idola maupun musuh bangsa
Sudah banyak yang turun tahta
Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka demonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri

....

Orang tuaku sudah pergi bertapa
Anak-anakku sudah pergi berkelana
Kakakku sudah menjadi politikus
Aku sendiri sudah menjadi tikus 

(Hari ini setelah 49 tahun merdeka)
Ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka
Sudahkah kita
Benar-benar merdeka?) 

Rembang, 1994

(Rubaiyat Angin dan Rumputan, 1995: 13—17).

Sajak “Rasanya Baru Kemarin” karya A. Mustofa Bisri menjadi semacam sikap dan kontranarasi bagi hegemoni kekuasaan. Sajak balsem A. Mustofa Bisri merupakan pernyataan yang tegas, tidak selalu sembranan dan jenaka, sebagaimana pendapat Sapardi Djoko Damono. Karena sikap dan pernyataan yang tegas itulah, bahasa puisi A. Mustofa Bisri dapat “menghangatkan” situasi internal dan eksternal manusia, sebagaimana efek balsam. Walaupun puisinya harus jenaka, kejenakaan bukanlah estetika yang baku karena yang jenaka sesungguhnya adalah retorika politik sehingga A. Mustofa Bisri pun perlu meresponsnya dengan jenaka

WEKWEKWEK 

di pinggir peradaban yang linglung dan kacau
kulihat serombongan bebek genit semakin
meracau
wekwekwek!
diikutinya segala apa dan siapa
yang melintas dan melewatinya
wekwekwek!
ke barat wekwekwek!
ke utara wekwekwek!
ke timur wekwekwek!
ke selatan wekwekwek!
balik ke barat wekwekwek!
balik ke utara wekwekwek!
balik ke timur wekwekwek!
balik ke selatan wekwekwek!
kembali ke timur wekwekwek!
kembali ke utara wekwekwek!
kembali ke barat wekwekwek!
kembali ke selatan wekwekwek!
kembali wekwekwek
serombongan bebek
makan, kawin, bersolek
wekwekwek!
bermain, bertelur, bergolek
wekwekwek!
menari, menyanyi, merepek
wekwekwek!
memuji, mencaci, meledek
wekwekwek!
entah sampai kapan itu rombongan bebek
terus berwekwekwek
wekwekwek! wekwekwek! wekwekwek!
wekwekwek!
wekwek
wek! 

1416

(Wekwekwek, 1996: 23—24).

Apabila kita melihat bebek yang berjalan dan membentuk sebuah barisan dengan satu komando dari pemiliknya, peristiwa itu menjadi proyeksi bagi puisi A. Mustofa Bisri di atas. ”... peradaban yang linglung dan kacau; kulihat segerombolan bebek genit semakin; meracau .... Bebek menjadi tamsil bagi peristiwa sajak tersebut. Dari sajak itu dapat dikatakan bahwa puisi balsem A. Mustofa Bisri tidak berkutat pada bentuk dan irama. Kata-kata meluncur deras sebagaimana mestinya, tanpa ada pergumulan metafora yang rumit.

Apa yang diwacanakan oleh A. Mustofa Bisri, sebagaimana oleh Rendra, merupakan transisi dari kesadaran kebudayaan ke kesadaran sosial dan pada akhirnya pada kesadaran politis. Ignas Kleden (via Rendra, 1984: 107) mengatakan sebagai berikut.

”Kesadaran kebudayaan akan menunjukkan perbedaan masyarakat manusia dari susunan alam. Kesadaran sosial membawa pengertian tentang dinamik dari dalam masyarakat itu sendiri, sedangkan kesadaran politik akan memperlihatkan bagaimana dinamik tersebut dipertahankan, dihancurkan, atau dimanfaatkan secara pragmatis untuk suatu tujuan tertentu.”

Apa yang disampaikan oleh Ignas Kleden itu merupakan suatu definisi umum terhadap struktur kesadaran (fitrah) manusia sebagai makhluk yang mencari makna. Puisi, sebagaimana struktur itu, harus mampu berdialektika dengan pergerakan realitas. Gaya puisi balsem A. Mustofa Bisri dapat saja dibaca sebagai upayanya untuk mengajak masyarakat menemui dan menemukan bahasa, seperti ungkapan Franz Kafka. 

Penutup

Dengan demikian, hikmah puisi balsem A. Mustofa Bisri dapat diidentifikasi dari beberapa aspek berikut. Pertama, penggunaan bahasanya sederhana. Dia tidak menciptakan metafora yang rumit. Kedua, upayanya “mengembalikan” bahasa ke ruang publik agar bahasa tidak lagi menjadi domain privat dan struktur kekuasaan elite. Ketiga, terdapat proses dialogis dan dialektis masyarakat untuk menemui dan menemukan bahasa sebagai ekspresi kejujuran dalam dimensi kemanusiaan (profetik). Keempat, puisi balsem A. Mustofa Bisri tidak terikat pada bentuk dan irama. Kelima, efek psikologis massa pada puisinya cukup masif sehingga masyarakat mampu melakukan refleksi atas segala macam fenomena kehidupan. 

Daftar Pustaka

Affifi, Abu al-Ala. 1964. The Mystical Philosopy 0f Muhyi al-Din al-‘Arabi. Cambridge: Cambridge University Press.

Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets Need Words). Magelang: Indonesiatera.

Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 1993. Tadarus (Antologi Puisi). Cet. II, 2003. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

________. 1995. Pahlawan dan Tikus (Kumpulan Puisi). Cet. II, 2005. Yogyakarta: Hikayat.

________. 1995. Rubayat Angin dan Rumput (Kumpulan Puisi). Jakarta: Majalah Humor bekerja sama dengan PT Matra Multi Media.

________. 1996. Wekwekwek (Sajak-sajak Bumilangit). Surabaya: Risalah Gusti.

________. 1998. Gelap Berlapis-lapis. Jakarta: Fatma Press.

________. 2000. Sajak-Sajak Cinta, Gandrung. Rembang: Yayasan al-Ibriz.

________. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang Budaya.

________. 2006. Aku Manusia. Rembang: CV MataAir Indonesia.

________. 2008. Album Sajak-Sajak A. Mustofa Bisri. Ed. Ken Sawitri. Surabaya: MataAir.

________. 2009. “Meneguhkan Islam Budaya Menuju Harmoni Kemanusiaan”, Pidato Penganugerahan Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam Bidang Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.

_________.  2016. Saleh Ritual Saleh Sosial. Yogyakarta: Diva Press.

Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.

________. 2001. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit Paramadina.

________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik, dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet. X. Jakarta: Dian Rakyat.

_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.

Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Ismail, Taufiq. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.

Izutsu, Toshihiko. 2016. Sufisme: Samudra Makrifat Makrifat Ibn ‘Arabi. Jakarta: Mizan.

Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1). Jakarta: PT. Gramedia.

_______. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.

_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1988.

Mohamad, Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.

Rachman, Budhy Munawar. “Pengalaman Religius dan Logika Bahasa”. Jakarta: Ulumul Qur’an, No. 6, Juli—September 1990.

Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Cet. II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Schimmel, Annemarie. 2005.  Menyingkap Yang-Tersembunyi. Terj. Saini K.M. Cet. I. Bandung: Mizan.

Wachid B.S., Abdul. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

________. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.

 

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair, dan Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa