Memanusiakan Indonesia dengan Bahasa Sastrawi

Manusia adalah subjek yang tidak pernah habis dibicarakan di atas bumi ini. Dalam perspektif ilmu dan agama, manusia menjadi tokoh sentral yang meletakkan dasar serta prinsip hakiki kebenaran. Ilmu dan agama sama-sama diklaim sebagai jawaban dalam mencari kebenaran.

Dalam konstruksi kenegaraan, Pancasila menjadi pandangan normatif yang digunakan sebagai instrumen sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa, bernegara, dan bertanah air. Konsep di dalamnya telah melandasi tujuan kebersamaan dan persatuan dari beragam masyarakat Indonesia.

Apakah nilai-nilai Pancasila ini dapat dipertahankan secara konsisten oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia? Dengan transformasi dunia global ke arah dunia yang makin modern, tentu tantangan yang dihadapi makin besar. Revolusi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seyogianya menjadikan manusia untuk tetap humanis.

Secara geografis, Indonesia menjadi salah satu bangsa yang memiliki keunikan, terutama dalam hal adat dan budaya yang beragam. Keberagaman ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi negara-negara lain untuk mengenal Indonesia dengan lebih dekat. Bahkan, acap kali Indonesia menjadi sorotan dunia, terutama, karena sumber daya alam Indonesia yang sangat berbeda dengan negara-negara lain.

Terlepas dari tekstur sosial dan budaya, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kemanusiaan selalu menjadi isu penting. Prinsip toleransi yang menjadi dasar dalam interaksi sosial tidak berarti bahwa kita aman  dan terlepas dari persoalan kemanusiaan. Ada banyak hal kecil yang kemudian menggumpal seperti bom waktu karena pembiaran dan empati masyarakat yang makin rendah.

Persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat kini sudah seharusnya menjadi perenungan sekaligus permenungan. Apakah entitas manusia masih berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip budaya yang diadopsi dari keberagaman sejarah dan adat istiadat dalam bingkai kesatuan bangsa? Ada apa dengan tanah-tanah negeri ini? Keprihatinan itu tentu dilatari alasan yang kuat.

Bukankah hidup itu ibarat kata-kata puitis dan tanah-tanah ini adalah kumpulan kata yang bermakna? Esensi hidup adalah seberapa banyak kita temukan cinta dan kasih sayang. Hidup ini bukan untuk menunda perjalanan! Sejalan dengan itu, bahasa menjadi satu-satunya instrumen untuk menjawab kompleksitas pemanusiaan Indonesia dengan bahasa sastrawi.

Tentu judul di atas bukanlah sebuah ungkapan paradoks untuk menghakimi eksistensi negara. Akan tetapi, dalam skala kecil, fungsi edukasi bahasa sering disepelekan. Padahal, seharusnya bahasa menjadi stabilisator. Kebanyakan penutur bahasa sehari-hari dianggap nyaris tanpa masalah serius. Pernahkah kita berpikir tentang bagaimana cara menjaga bahasa lokal (daerah) secara benar? Bagaimana kita mengajarkan cara bertutur yang tepat dan benar dalam penggunaan bahasa Indonesia di sekitar kita?

Tema besar Bulan Bahasa, yang menjadi momentum tahunan pada bulan Oktober, sudah seharusnya menjadi perenungan sekaligus permenungan. Sejauh mana capaian nilai-nilai manusia dalam kehidupan berbahasa? Apakah nilai-nilai itu menjadi pragmatis? Tentu saja indikator pernalaran nilai harus mengacu pada kajian empiris. Apakah manusia atau bahasa yang bermasalah?

Sejatinya, pesan kemanusiaan dan perdamaian harus selalu didengungkan, ibarat embun pagi yang mendinginkan kegerahan malam. Sebagai bangsa yang terlahir dari keberagaman budaya dan agama, ada banyak tantangan yang dihadapi. Tantangan berat yang harus dilalui adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masa yang dikenal sebagai era globalisasi digital akan berpotensi menggerus instrumen dasar, yakni nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, yang di dalamnya juga termaktub bahasa.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin pesat berdampak juga pada penurunan kualitas interaksi sosial. Kemampuan sebagian besar masyarakat Indonesia masih rendah dalam memahami karakteristik dan analisis sebab-akibat dari kemajuan zaman ini. Kemunculan diskursus hegemoni (pertukaran gagasan kepemimpinan) yang berorientasi pada subjektivitas pemikiran menjadi bentuk-bentuk kekuatan baru yang meniscayakan toleransi.

Sebuah paradigma dunia modern yang digambarkan sebagai perang logika dan budaya menjadi persoalan yang terus-menerus mengiringi perjalanan hidup seseorang. Pada titik tertentu kita kehilangan sejarah peradaban manusia yang merupakan kontemplasi humanistis yang berakar pada prinsip-prinsip persamaan hak.

Seyogianya, revolusi logika harus memberi arti positif yang dipadukan dengan perenungan mendalam. Oleh karena itu, untuk menguatkan nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi rakyat Indonesia, diperlukan pendekatan-pendekatan nonmaterial yang berupa keyakinan dan agama. Indonesia dengan keberagaman suku serta agama telah membuktikan nilai-nilai tersebut melalui bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.

Komitmen yang kuat dibutuhkan sebagai momentum untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia secara utuh. Bagaimana cara memanusiakan Indonesia secara utuh dan berkesinambungan dengan terus menggiatkan gerakan-gerakan literasi? Sekalipun belum ada parameter yang akurat, literasi yang menggunakan bahasa sastrawi lebih diterima oleh masyarakat luas.

Dalam masyarakat heterogen Indonesia, sejatinya masih ada oasis yang mampu menjadi sumber air di tengah padang pasir. Bagaimana dahaga itu dapat terbasuh, tanpa melihat siapa yang membutuhkan? Konsep memanusiakan manusia berarti peduli kepada sesama, tanpa ada dikotomi.

Sebaiknya kita menelaah tentang mengapa bahasa sastrawi lebih dapat diterima dalam tujuan pencapaian nilai-nilai kemanusiaan. Jika dalam pencapaian tujuan ini kita gunakan pendekatan bahasa sastrawi, tentu bahasa sastrawi itu akan berhubungan dengan linguistik sastrawi. Bahasa sastrawi diposisikan sebagai subjek, sementara manusia diposisikan sebagai objek. Konsep ini mengacu pada pola MD (menerangkan dan diterangkan). Di sini variabel sastra lebih dominan karena mengandung sifat dan nilai sastra.

Jika kita mengacu pada terminologi bahasa, tentu ungkapan memanusiakan Indonesia menjadi simbol yang bernada ironis. Ungkapan ini mengandung anomali kata: seolah-olah negara menjadi objek penderita karena dalam lingkup yang lebih besar dapat muncul interpretasi yang bias. Akan tetapi, pada konteks ini frasa di atas merupakan sebuah misi untuk  pencapaian nilai-nilai yang lebih baik. Persoalan yang menyangkut manusia tentu tidak terlepas dari kerangka budaya suatu bangsa.

Dalam perspektif yang lebih luas, frasa memanusiakan Indonesia adalah cermin penjagaan nilai-nilai budaya: menjaga etika, berbahasa santun dan benar, dan lain-lain. Sastra sebagai keilmuan dan seni dapat menjembatani persoalan-persoalan kecil yang dapat berdampak besar. Apakah kita mulai kehilangan nilai-nilai sakral tersebut? Meskipun mungkin tulisan ini bukan jawaban dari persoalan-persoalan tersebut, minimal ada upaya untuk mengembalikan nilai-nilai humanistik tersebut.

Program sastra yang masuk dalam kurikulum merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan yang humanistis karena tantangan berbahasa yang benar dapat teratasi hanya melalui pendidikan formal. Kita sangat naif jika menganggap bahwa tanpa bahasa, karya sastra dapat dinikmati. Pembiasaan serta pembelajaran nilai-nilai sastrawi melalui lembaga pendidikan akan berpengaruh terhadap aspek kognitif dan afektif. Namun, ada yang perlu diingat. Dalam penerapan edukasi, terutama di lembaga pendidikan formal, harus juga diperhatikan bagaimana proses transisi dan transformasi karena sastra lebih cenderung berunsur seni. Tidak semua tenaga pendidik memiliki kemampuan dan keterampilan dalam pengajaran sastra di lembaga pendidikan meski secara tekstual, yang penting ialah sastra dapat diajarkan tanpa proses administrasi yang sulit.

Bulan Bahasa 2024

Tema “Harmoni Bahasa Indonesia: Berkembang, Berjaya, dan Bermartabat” diharapkan menjadi momentum serta implementasi kuat dalam membangun kerangka budaya bangsa. Tentu gagasan yang melandasi program tahunan ini telah dirancang dalam konsep desain yang sistematis. Ingatlah bahwa peradaban atau zaman akan kehilangan budaya jika instrumen bahasa mengalami kerusakan tekstur. Dengan hanya memanusiakan manusia melalui bahasa, pelbagai persoalan sosial dapat diminimalkan. Kita tentu sangat prihatin karena dalam beberapa dekade terakhir bahasa lokal atau daerah mulai tergerus, bahkan mengalami kepunahan. Ini tentu akan berimbas pada struktur budaya yang harus tetap dilestarikan.

Program revitalisasi bahasa daerah harus terus didengungkan. Salah satu cara untuk mempertahankan eksistensinya adalah melaksanakan kegiatan di bidang sastra yang tetap memperhatikan tema-tema sastra daerah. Memang ini tidak mudah sebab dibutuhkan komitmen kuat untuk mengimbangi arus deras dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kegiatan dan program revitalisasi diharapkan juga mampu menggairahkan dan mempromosikan keragaman bahasa daerah serta menyebarkan semangat kecintaan dan ekspresi kebanggaan terhadap bahasa daerah. Dalam perspektif kini, karya-karya sastra menjadi alternatif kuat untuk terus menjaga keseimbangan fungsi bahasa.

Dalam konteks ini, bahasa-bahasa sastrawi menjadi pengingat sekaligus alat kritik yang bersifat universal. Lantas, muncul pertanyaan: mengapa harus dengan bahasa sastrawi? Apakah bahasa keilmuan tidak mampu menjawabnya? Tentu bukan soal mampu atau tidak. Akan tetapi, jika kita berkaca pada perjalanan sejarah, bahasa puitis yang didengungkan oleh pemimpin-pemimpin bangsa terkadang memiliki definisi yang menyiratkan bahwa persoalan hakiki kemanusiaan tidak terlepas dari keselarasan berbahasa dan bermartabat. Budaya akan hilang karena bahasa hilang atau rusak.

Tema Bulan Bahasa 2024 secara implisit telah mewarnai frasa memanusiakan Indonesia. Ungkapan gema ripah loh jinawi pun kembali menjadi oasis di tengah dahaga peradaban manusia. Ini tentu merupakan harapan besar bahwa melalui bahasa, manusia Indonesia tetap menjadi manusia yang utuh (humanis), bukan hanya sekadar teks mati yang meniscayakan modernisasi.

Jika kita meminjam ayat-ayat sastra dari penyair Taufiq Ismail, “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”, dengan harapan lebih maju dan positif, bangsa ini begitu kaya dengan karya-karya sastra. Oleh karena itu, kita, khususnya generasi penerus bangsa, tidak perlu pesimistis jika membiasakan diri untuk berkreasi dan mencintai sastra Indonesia.

Vito Prasetyo

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa