Komposisi yang Harmoni

Di dalam seni, komposisi yang harmoni menjadi penilaian pertama dan utama. Setiap sesuatu mempunyai struktur dan setiap struktur mempunyai unsur yang membangun. Secara alamiah, apa yang kita sebut sebagai "sesuatu yang indah" mempunyai bentuk-bentuk yang komposisional sehingga harmoni dan menjadi utuh di dalam keseluruhannya. Sebaliknya, di dalam keseluruhannya menjadi utuh, tidak sendiri-sendiri sehingga tidak saling mendominasi berlebihan.

Misalnya, bentuk ekspresi puisi dari kata embun jika diposisikan sebagai kata di dalam puisi, ia merupakan pilihan kata (diksi). Akan tetapi, jika kata embun diposisikan sebagai judul puisi, kata ini bertambah fungsinya menjadi simbol yang tidak saja merujuk pengertian secara denotatif, tetapi juga konotatif. Sebagaimana kata embun yang terdapat dalam sajak karya D. Zawawi Imron berikut ini.

EMBUN 

embun yang dikabarkan tak fasih gema

heningnya menyadap ribuan gejala

dalam perih yang sempurna

luka bunga dikecup sukma

dunia, mekarlah!

1979

(Bulan Tertusuk Lalang, 1982:52)

Ketika kata embun itu diteruskan dengan kata lainnya menjadi frasa panjang hingga akhir sajak, frasa panjang itu berperan dalam dua hal. Pertama memberikan citraan, gambaran angan, pikiran dan perasaan kepada pembaca. Kedua, menjadi alegori, majas yang diteruskan menjadi cerita, majas yang dijelaskan tidak secara harfiah.

Dua paragraf di atas memberikan gambaran bahwa karya sastra sebagai karya seni yang hakikatnya indah dan imajinatif serta fungsinya indah dan bermanfaat  bukanlah sekadar kolase kata-kata. Kalau pun saya menggunakan istilah penataan, puisi bukanlah sekadar ‘kerajinan kata-kata’, melainkan ada kekuatan dari dalam diri seorang penyair yang sudah intuitif dalam mengekspresikannya. Penyair dapat mengekspresikan senyawa puisi antara keindahan sebagai instrumen bahasa dan keindahan sebagai realitas hidup penuh hikmah. Hikmah dalam hal ini berarti pengetahuan tentang baik dan buruk yang didapat melalui jalan cinta kepada Allah serta kemampuan menerapkan kebaikan dan menghindari keburukan.

Puisi yang keindahannya sebagai instrumen bahasa bisa kita kenali sedari pilihan kata (diksi); kemudian dipersepsikan sebagai simbol oleh penyairnya; diteruskan sebagai citraan yang memberikan gambaran angan, pikiran, dan perasaan kepada pembaca sekaligus menjadi alegori, cerita majasi yang menarik perhatian pembaca untuk menafsirkan maknawinya. Pengekspresian instrumen puisi juga dilakukan melalui bahasa kiasan dari umum hingga khusus, sarana retorika, enjambemen, tipografi, dan banyak lagi. Tentu saja, kompleksitas pengekspresian instrumen bahasa sajak tidaklah sesederhana yang saya ungkapkan dalam paragraf singkat ini. Terlebih, segala instrumen bahasa sajak itu sudah menjadi bagian dari diri penyair yang ketika “diklik” oleh penyair, baik secara seri maupun paralel dengan keindahannya sebagai realitas hidup penuh hikmah, kontan mereka itu semua “menyala” di dalam puisi.

Keindahan puisi sebagai realitas hidup penuh hikmah bisa kita kenali sedari pandangan hidup penyair yang bersumber dari keyakinannya sebagai manusia personal, maupun anggota lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, budaya, bahkan agama. Keindahan puisi tidak saja berhenti sebagai karya sastra, tetapi pembaca memasukkannya pada ranah akhlak kebaikan, kebermanfaatan, bahkan kemuliaannya. Pembaca akan menilainya sampai pada pertanyaan “apakah penyair yang menuliskan kemuliaan akhlak dalam puisinya serta-merta menjalankannya di dalam kehidupannya sehari-hari?”

Hal itulah sebabnya seorang ahli di bidang pendidikan bahasa dan sastra, ahli bahasa, ahli sastra yang mengetahui instrumen bahasa puisi belum tentu mampu menulis puisi yang bagus. Demikian halnya, seorang yang ahli studi agama, sosiologi, psikologi, filsafat, dan lainnya yang berkenaan dengan kejiwaan manusia belum tentu mampu menulis puisi yang bagus. Bahkan, seorang yang menulis puisi bagus pun masih dinilai akhlak mulianya sebab jika tidak selaras, harga diri kemanusiaan yang ada dalam karya sastranya pun akan jatuh.

Karya sastra yang baik tidaklah saling bertukar tempat, siapa yang duduk di kursinya dan (lalu) menuliskannya. Percintaan Zainuddin dan Hayati yang dilukiskan dalam berbagai peristiwa yang mengharu-biru di novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk hanya memungkinkan, baik lahir maupun batin, ditulis oleh seseorang sebagaimana HAMKA. Percintaan segitiga Dokter Sukartono (Tono) dan istrinya Sumartini (Tini) serta teman Tono, yaitu Rohayah (Yah) hanya memungkinkan, baik lahir maupun batin, ditulis oleh seseorang sebagaimana Armijn Pane. Lahir maupun batin kedua penulis itu khas dan tidaklah mungkin keduanya saling bertukar tempat, misalnya HAMKA menulis novel Belenggu dan Armijn Pane menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Masing-masing penulis besar itu sesuai dengan kekhasannya, baik kehidupan lahir maupun batinnya, masing-masing mempunyai ukuran untuk menilai karyanya. Persepsi dan posisi keindahan dan kebermanfaatan masing-masing (novel dan penulisnya) juga mempunyai porsi masing-masing. Sekalipun ada nilai universal, tetapi pilihan cara pandang terhadap realitas kehidupan seorang sastrawan membawa kepada siapa pembacanya.

Oleh karena itu, sikap mengharmonikan realitas kehidupan sastrawan, imajinasi, keindahan, dan kebermanfaatan karya sastra antara sastrawan yang satu dengan yang lainnya menjadi khas. Tinggal bagaimana karya sastra itu mampu diterima oleh khalayak pembaca untuk jangka pendek, sedang, atau bahkan panjang.***



Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair, dan Guru Besar/Profesor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa