Preservasi Bahasa (Language Preservation)
Pendahuluan
Bahasa merupakan warisan
mendasar yang tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga menjadi
penanda identitas, pengetahuan, dan cara pandang
suatu kelompok terhadap
dunia sekitarnya. Setiap bahasa menyimpan kekayaan tak ternilai dalam
bentuk tradisi lisan, kepercayaan,
dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, pesatnya perkembangan teknologi dan tingginya tekanan dari budaya
luar menyebabkan banyak bahasa
daerah di Indonesia mengalami kemunduran dan kepunahan. Fenomena ini tecermin dalam data yang dirilis oleh Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui Pusat Data dan Teknologi Informasi,
Kemendikbudristek dalam buku Statistik Kebahasaan dan Kesastraan (2023) yang
menyatakan bahwa berdasarkan hasil kajian vitalitas bahasa, sebanyak 27 bahasa
daerah berstatus rentan, 29 bahasa mengalami kemunduran, 26 bahasa terancam
punah, 8 bahasa kritis, dan 5 bahasa punah. Data ini menunjukkan bahwa
Indonesia telah kehilangan sebagian warisan budaya, termasuk pengetahuan tradisional,
dan identitas komunitas yang erat kaitannya dengan dengan bahasa tersebut.
Berkaitan
dengan itu, kehadiran upaya pelestarian bahasa atau yang dikenal dengan language preservation menjadi makin
krusial untuk melindungi bahasa-bahasa yang terancam punah, terutama di kalangan
kelompok bahasa minoritas. Pelestarian ini menjadi
makin mendesak guna melindungi warisan
budaya yang berharga,
memperkuat identitas kelompok
yang rentan terhadap
tekanan budaya luar, dan menjaga keragaman linguistik yang menyimpan banyak pengetahuan trasional bagi kelompok-kelompok di seluruh dunia. Akan tetapi,
untuk mewujudkan keberhasilan
upaya ini diperlukan dukungan oleh seluruh lapisan masyarakat, seperti
pemerintah, akademisi, lembaga
pendidikan, organisasi budaya,
dan masyarakat umum
yang mempunyai peran penting dalam melestarikan bahasa-bahasa yang
terancam punah. Kolaborasi ini diperlukan untuk memastikan bahwa kekayaan bahasa,
terutama bahasa-bahasa minoritas, dapat terus hidup dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Makalah ini bertujuan
untuk membahas pelestarian bahasa dengan menguraikan
teori-teori yang mendasarinya dari beberapa artikel, metode-metode yang
digunakan untuk mendukung upaya pelestarian
bahasa, serta tinjauan pustaka berupa penelitian-penelitian terdahulu
yang relevan dalam konteks tersebut.
Kemudian, penulis berharap
dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai pentingnya
pelestarian bahasa dalam konteks global, sekaligus memberikan rekomendasi praktis untuk langkah-langkah yang
dapat diambil oleh berbagai pihak
dalam mendukung upaya tersebut. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, pembaca diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya mempertahankan warisan
budaya melalui pelestarian bahasa.
Preservasi Bahasa (Language Preservation)
Definisi
umum mengenai preservasi bahasa telah ditulis oleh beberapa peneliti/pengkaji. Nurwahidah (2019) yang
menulis artikel dengan judul “Preservation of Language and Principles
of Local Culture Based Multicultural Education In Indonesia” yang mengacu
pada teori Chaer dan Agustina
menjelaskan bahwa preservasi bahasa atau language preservation merupakan sikap atau penilaian terhadap
bahasa untuk terus digunakan di tengah bahasa-bahasa lain. Secara umum, pelestarian ini bertujuan untuk mempertahankan
budaya yang berfungsi sebagai
identitas suatu kelompok atau
komunitas, mempermudah pengenalan anggota komunitas, dan membangun rasa persaudaraan
di antara anggota komunitas.
Tulisan lain dari
Rajagukguk et al. (2022) yang berjudul “Preserving
Linguistic Diversity: Strategies for Language Preservation and Cultural
Heritage Safeguarding” menjelaskan bahwa preservasi atau revitalisasi bahasa
merupakan tugas penting dalam menjaga keberagaman bahasa demi melindungi warisan
budaya dunia. Dalam artikel ini, dijabarkan empat landasan penting dalam melaksanakan
pelestarian bahasa sebagai berikut.
1)
Pelestarian Warisan Budaya
Bahasa mempunyai
peran sentral dalam setiap kehidupan manusia, terutama dalam budaya, karena melalui bahasa maka cerita,
tradisi, nilai-nilai, dan identitas suatu komunitas diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, selain
berfungsi sebagai jembatan komunikasi, bahasa
juga menjadi penghubung kuat antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Dalam konteks ini, preservasi bahasa menjadi sangat penting untuk memastikan keberlangsungan warisan budaya tersebut
karena melalui upaya ini bahasa yang terancam
punah dapat terus digunakan sehingga
budaya, tradisi, dan identitas komunitas
tidak hilang dan tetap dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
2)
Kemampuan Kognitif
Pelestarian
bahasa, terutama dalam konteks multibahasa, memberikan kesempatan bagi individu
untuk menguasai lebih dari satu bahasa. Proses ini tidak hanya membantu menjaga
kelangsungan bahasa, tetapi juga membawa manfaat kognitif yang signifikan bagi individu.
Rajagukguk et al. (2022) menjelaskan bahwa individu yang multibahasa sering mempunyai
keterampilan pemecah masalah yang lebih baik, fleksibilitas kognitif, dan
pemahaman lebih dalam tentang struktur bahasa. Ini menunjukkan bahwa ketika
bahasa dilestarikan dan dipelajari, kemampuan otak untuk beradaptasi dan menyusun
informasi meningkat. Oleh karena itu, preservasi bahasa bukan hanya tentang
pelestarian warisan budaya, melainkan juga perihal peningkatan kemampuan kognitif
manusia.
3)
Komunikasi Antarkomunitas
Pembahasan
tentang pelestarian bahasa tidak hanya seputar melindungi bahasa itu sendiri, tetapi
juga peran penting dalam menjembatani komunikasi antarkomunitas linguistik yang
berbeda. Ketika bahasa-bahasa lokal dan minoritas dilestarikan, mereka tetap hidup
sebagai alat komunikasi yang efektif sehingga memungkinkan interaksi berbagai
komunitas dengan latar budaya yang berbeda. Selain itu, preservasi bahasa mendorong
adanya pemahaman yang lebih mendalam antarkomunitas karena bahasa membawa nilai-nilai,
perspektif, dan cara berpikir yang unik. Misalnya, di Indonesia ada banyak komunitas
linguistik, seperti komunitas bahasa Jawa, Sunda, Batak, dan sebagainya. Setiap
komunitas tersebut tentu mempunyai bahasa atau dialek khas yang digunakan
sebagai media komunikasi dan sarana ekspresi budaya. Pelestarian bahasa memungkinkan
interaksi dan pemahaman yang lebih baik antarkelompok masyarakat yang berbicara
dengan bahasa berbeda-beda dan pada gilirannya dapat memperkuat kohesi sosial.
4)
Pengetahuan Lingkungan dan Pengetahuan Pribumi
Bahasa
memainkan peran penting dalam menyimpan dan menyampaikan pengetahuan lingkungan.
Setiap kelompok yang tinggal di lingkungan tertentu sering kali mempunyai pemahaman
mendalam tentang bagaimana menjaga dan memanfaatkan lingkungan mereka secara berkelanjutan.
Pengetahuan ini disampaikan melalui bahasa, baik dalam bentuk tradisi lisan,
terminologi khusus, maupun cerita rakyat yang menjelaskan cara-cara untuk
berinteraksi dengan alam. Dalam ilmu linguistik, kajian ini disebut ekolinguistik, yakni ilmu yang
mempelajari kaitan antara bahasa dengan alam. Misalnya, banyak komunitas adat
di berbagai belahan dunia memiliki pengetahuan spesifik tentang tumbuhan,
hewan, dan pola alam yang penting untuk kehidupan sehari-hari mereka, mencakup bagaimana
cara pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, dan sebagainya yang
disampaikan melalui bahasa setempat sehingga kaya akan istilah khusus terkait ekosistem.
Dengan demikian, pelestarian bahasa tidak hanya penting untuk budaya dan
identitas, tetapi juga untuk pelindungan pengetahuan yang dapat berkontribusi pada
pelestarian ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.
Selain
dua artikel tersebut, preservasi bahasa juga dibahas oleh Aghisni et al. (2022)
dalam artikelnya yang berjudul “Kegiatan Preservasi Preventif Naskah Kuno Berbasis Kearifan
Lokal: Studi Kasus tentang Preservasi Preventif Naskah Kuno Berbasis
Kearifan Lokal di Situs Kabuyutan
Ciburuy Kabupaten Garut”. Aghisni mengambil teori dari The American Heritage Dictionary yang mengungkapkan
bahwa preservasi bahasa merupakan upaya melindungi bahasa dari kehancuran, kerusakan,
risiko, dan bahaya lain.
Senada dengan Aghisni, Alamsyah
et al. (2023) dalam tulisannya yang berjudul “Kegiatan Perpustakaan Institut Pemerintahan dalam Negeri (IPDN)
Jatinangor” mendefinisikan preservasi dengan mengacu pada teori Internasional Federation of Library Association (IFLA). Teori ini
menyatakan bahwa preservasi merupakan semua kegiatan yang bertujuan
untuk melindungi dan mempertahankan dokumen,
bahan pustaka, bahasa,
dan sumber
informasi lainnya dari
kerusakan, kehilangan, atau
pembusukan. Selain itu, Watimelu (2024) dalam tulisannya yang berjudul “Community-Led Initiatives in Language Preservation: Strategies for Endangered
Language Documentation and Revitalization)” mengungkapkan bahwa pelestarian
bahasa merupakan usaha kompleks yang membutuhkan keterlibatan aktif dari berbagai pemangku
kepentingan, termasuk komunitas lokal, ahli bahasa, pemerintah, dan lembaga internasional.
Metodologi Preservasi Bahasa
Terdapat
beberapa artikel yang membahas tentang metodologi dalam melakukan upaya
preservasi bahasa. Artikel pertama dari Harwati (2018) yang mempunyai
tujuan untuk menggambarkan kehidupan para guru yang berusaha
melestarikan bahasa Jawa di era globalisasi serta mengumpulkan dan menulis narasi pengalaman mereka dalam upaya tersebut. Data dikumpulkan melalui
beberapa metode, antara
lain pengumpulan cerita,
pelaporan pengalaman, dan diskusi makna pengalaman. Kemudian,
data akan dianalisis melalui tiga langkah, (1)
pengodean data (bottom up coding), yakni
proses pengorganisasian data dengan memberi
kode untuk memudahkan identifikasi tema dan pola; (2) deskripsi, yakni proses penyusunan deskripsi perinci tentang temuan dari data yang dikumpulkan; dan
(3) interpretasi, yakni proses penafsiran data untuk memahami
makna dan implikasi
dari pengalaman yang telah
dilaporkan oleh para guru.
Artikel
kedua dari Rajagukguk et al. (2022) meneliti bahasa Batak Mandailing, Toba, dan Karo untuk menganalisis
hubungan linguistik, signifikasi budaya, fitur linguistik, nuansa linguistik, dan mendorong pelestarian. Penelitian ini menggunakan pendekatan linguistik komparatif untuk menganalisis fitur fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik.
Metode pengumpulan dan analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut.
1)
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang diterapkan oleh Rajagukguk et al. (2022)
adalah
a. percakapan informal, yaitu peneliti terlibat
dalam diskusi tentang
berbagai topik, mengajukan pertanyaan, dan
memunculkan pola bicara alami;
b. pengumpulan narasi, mitos, cerita,
dan tradisi lisan, yaitu pengumpulan data yang memungkinkan peneliti mengeksplorasi
penggunaan bahasa dalam konteks budaya;
c. wawancara terstruktur, yaitu wawancara
yang dilakukan untuk mengumpulkan data tertentu, seperti pengucapan, kosa kata,
dan tata bahasa dengan memanfaatkan kuesioner;
d. rekaman audio dan video, yaitu rekaman
untuk menangkap pola bicara, intonasi, dan isyarat non-verbal; serta
e. terjemahan, yaitu peneliti meminta
informan untuk menerjemahkan kata, frasa, atau kalimat dari bahasa asli ke dalam
bahasa Indonesia untuk memahami fitur dan makna linguistik.
2)
Metode Analisis Data
Analisis data linguistik dalam penelitian ini melibatkan beragam proses
sistematis dan komprehensif yang
mencakup analisis fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik mengungkap hubungan linguistik
dan memahami kerumitan bahasa-bahasa tersebut.
Gambaran umum proses analisis
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Transkripsi dan organisasi data, yaitu percakapan, narasi,
dan wawancara yang direkam harus ditranskripsikan menggunakan simbol
fonetik dan notasi linguistik yang tepat serta diatur dalam basis data atau korpus yang terstruktur untuk
memfasilitasi analisis.
b. Analisis fonologi,
yaitu analisis fonologis terbagi menjadi tiga,
yakni penentuan inventaris fonem, analisis nada dan intonasi,
serta pemeriksaan aturan
fonologis atau perubahan
yang terjadi di lingkungan, seperti
asimilasi atau penghapusan.
c. Analisis morfologi,
yaitu analisis morfologis terbagi menjadi
tiga, yakni identifikasi morfem, analisis pembentukan kata dengan memerhatikan proses derivasi dan infleksi, serta
menentukan tipologi morfologis bahasa.
d. Analisis sintaksis, yaitu telaah urutan kata dalam kalimat, fungsi, gramatikal, dan struktur sintaksis yang meliputi jenis klausa, penanda kasus, dan persetujuan.
e. Analisis semantis, yaitu eksplorasi
makna kata dan konsep budaya, termasuk analisis pragmatik terhadap penggunaan bahasa, seperti tindak tutur, implikatur, dan komunikasi tidak langsung.
f. Perbandingan antar bahasa, yaitu membandingkan bahasa Mandailing, Batak Toba, dan Batak Karo untuk mengidentifikasi kesamaan, perbedaan, dan
karakteristik unik di berbagai
aspek linguistik.
g. Validasi daya, yaitu verifikasi
keakuratan transkripsi, analisis linguistik, dan interpretasi dengan penutur asli serta ahli linguistik,
dengan umpan balik dari anggota komunitas untuk
memastikan kebenaran data.
h. Pelaporan temuan, yaitu hasil analisis
linguistik disajikan dalam bentuk laporan
komprehensif, makalah ilmiah, skripsi, atau tesis yang menyoroti hubungan
bahasa, signifikasi budaya, serta temuan utama dari
ketiga bahasan tersebut.
Artikel ketiga dari Faaizah et al. (2022) yang berusaha menggambarkan
pelestarian bahasa Kensiu berdasarkan kerangka tipologi ancaman
bahasa (language threats typology). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan statistik sederhana
dengan teknik sampling acak untuk memilih 150 responden
di Kampung Lubuk Legong, Baling, dan Kedah.
Teknik kuesioner langsung
digunakan untuk memperoleh data yang lebih akurat dan memiliki reliabilitas tinggi. Kemudian, data dianalisis berdasarkan latar belakang dan demografi responden.
Artikel keempat dari Aghisni et al. (2022) yang berusaha mengetahui
kegiatan preservasi preventif
berbasis kearifan lokal yang ada di Situs Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode studi kasus. Data penelitian dikumpulkan melalui
observasi, wawancara, dokumentasi, dan
studi pustaka.
Artikel kelima dari Watimelu (2024) yang berusaha mengevaluasi
efektivitas keterlibatan komunitas
dalam pelestarian bahasa, mengidentifikasi metode kunci yang digunakan dalam dokumentasi dan upaya revitalisasi, serta menilai hasil dari inisiatif-inisiatif tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan wawancara semiterstruktur dan studi kasus mendalam sebagai metode pengumpulan data. Analisis data
menggunakan analisis tematik dengan
mengidentifikasi tema umum, praktik yang berhasil, dan hambatan dalam
pelestarian bahasa.
Artikel keenam dari Bustillo (2024) yang berusaha meneliti tentang
revitalisasi bahasa dan budaya pribumi
melalui berbagai pengalaman komunitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, wawancara mendalam,
dan analisis tematik dengan tiga langkah utama, yakni (1) reduksi data, melibatkan pengodean dan
penyederhanaan data untuk membuatnya lebih mudah diakses dan dipahami; (2) tampilan data, mengacu pada pengorganisasi data dalam bentuk matriks, grafiks, atau diagram
untuk memudahkan penarikan kesimpulan; serta (3) kesimpulan dan
verifikasi.
Artikel ketujuh dari Oureshi (2024) yang berusaha meneliti tentang warisan budaya dan pelestariannya. Dalam artikel tersebut, dijelaskan bahwa warisan budaya terbagi menjadi dua kategori utama, yakni berwujud (seperti bangunan bersejarah, artefak bergerak, fitur alam) dan tak berwujud (seperti cerita rakyat, seni pertunjukkan, praktik sosial, dan praktik tradisional). Pelestarian warisan tersebut dapat dilakukan dengan cara (1) dokumentasi untuk merekam informasi warisan, (2) konservasi untuk menstabilkan dan memperbaiki objek, (3) restorasi untuk mengembalikan kondisi aslinya, (4) pelindungan hukum melalui undang-undang, serta (5) pendidikan dan kesadaran untuk melibatkan publik.
Tinjauan
Pustaka Language Preservation
Artikel pertama dari Harwati (2018) yang menyatakan bahwa
pelestarian bahasa Jawa di SD
Bernadus mendapatkan respons positif dari anak-anak serta dukungan penuh dari
kepala sekolah dan pemerintah daerah
dengan metode-metode baru, seperti penggunaan realita (berupa pakaian tradisional Jawa), permainan
tradisional (berupa congklak atau dakon), dan lagu-lagu (berupa Gambang Suling dan Lir-Ilir). Selain itu, hasil
penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan
signifikan dalam kemampuan bahasa Jawa siswa bahwamereka tidak hanya tertarik pada pelajaran bahasa
Jawa, tetapi juga dalam penguasaan kosakata serta pemahaman
budaya lokal.
Artikel kedua dari Rajagukguk et al. (2022) dengan hasil bahwa penelitian ini telah mengungkapkan jalinan fitur-fitur
linguistik yang menarik dari bahasa Batak Mandailing, Batak Toba, dan Batak Karo, antara lain sebagai berikut:
a.
Berdasarkan fonologis, persamaan
ketiga karakteristik bahasa tersebut terbagi menjadi empat, yakni (1) sama-sama mempunyai inventaris konsonan dan
vokal yang kaya dan berkontribusi
pada kualitas melodiusnya; (2) nada memainkan peran penting di masing- masing
bahasa, dengan pola pitch yang
digunakan untuk membedakan makna kata; (3) sama-sama mempunyai
nasalisasi vokal dan menambah kompleksitas pada pola fonologis; serta (4) sama-sama
mengalami palatalisasi dan hentian glotal sebagai fenomena fonologis yang umum. Kemudian,
perbedaannya antara lain (1) bahasa Batak Mandailing
dikenal karena fitur fonologisnya yang unik, termasuk adanya bunyi yang tidak ditemukan di Batak Toba dan Batak Karo; (2) bahasa Batak Toba menonjol
dengan sistem tonal
(perbedaan nada atau pitch pada suku
kata dapat mengubah makna kata) yang kompleks,
melibatkan nada naik dan turun; serta (3) bahasa Batak Karo menampilkan kumpulan fonem yang khas dan berkontribusi pada individualitas fonologinya.
b. Berdasarkan morfologis, persamaan ketiga karakteristik bahasa tersebut terbagi menjadi dua, yakni (1) struktur morfologi aglutinatif menjadi benang merah di antara ketiga bahasa ini dengan menggunakan prefiks dan sufiks untuk menyampaikan informasi gramatikal dan semantik; serta (2) sama-sama menggunakan afiks dalam pembentukan kata dan memungkinkan pembentukan kata dan ekspresi yang kompleks. Kemudian, perbedaannya antara lain (1) bahasa Batak Mandailing menggunakan serangkaian afiks khusus yang membedakannya dengan Batak Toba dan Batak Karo dan prefiks serta sufiks dalam bahasa ini sering kali mempunyai konotasi budaya yang unik; (2) bahasa Batak Toba menunjukkan kekayaan sistem afiks derivatif dan inflektif yang rumit; serta (3) fitur aglutinatif dalam bahasa Batak Karo mencerminkan aturan gramatikal dan proses pembentukan katanya yang khas.
c.
Berdasarkan sintaksis, persamaan
ketiga karakteristik bahasa tersebut terbagi menjadi dua, yakni (1) ketiganya menunjukkan pola urutan S-P-O dalam
berbagai jenis kalimat; dan (2) sama-sama mempunyai
klausa kompleks, klausa relatif, dan subordinasi. Kemudian, perbedaannya antara lain setiap
bahasa menampilkan preferensi urutan kaya yang berbeda
dalam konteks tertentu.
Meskipun S-P-O menjadi
pola urutan yang dominan, tetapi
variasi pola terjadi
jika dikaitkan dengan gaya budaya dan komunikasi.
d.
Berdasarkan semantik, persamaan
ketiga karakteristik bahasa tersebut terbagi menjadi dua, yakni (1) sama-sama mempunyai leksikon yang penuh dengan
konotasi budaya, dengan kata-kata
yang sering kali membawa makna budaya dan tradisional yang dalam; serta
(2) semantik di setiap bahasa sama-sama memainkan
peran penting dalam mengekspresikan konsep budaya, identitas, dan memori budaya.
Kemudian, perbedaannya antara lain (1) leksikon bahasa Batak Mandailing terkenal dengan penekanan pada kata-kata yang mencerminkan
praktik dan ritual budaya tertentu; (2) leksikon Batak Toba kaya dengan kata-kata
yang mempunyai makna budaya, menggambarkan pentingnya bahasa dalam
mengekspresikan pengetahuan tradisional; serta
(3) semantik dalam bahasa Batak Karo sering kali membawa metafora dan konsep unik
yang sangat terkait dengan identitas dan warisan khas komunitas Karo.
Artikel ketiga dari Faaizah et al. (2022) dengan hasil bahwa bahasa Kensiu masih dilestarikan
dalam lima variabel, yakni jenis kelamin, kelompok usia, keturunan orang tua, tempat lahir, dan kemampuan bahasa.
Kemudian, data menunjukkan bahwa bahasa ini masih berada dalam situasi
aman karena 100% responden fasih berbahasa Kensiu.
Hal ini disebabkan oleh keberlangsungan dan pelestarian suatu bahasa yang
bergantung pada sejauh mana bahasa tersebut digunakan dan diakui oleh penutur itu
sendiri.
Artikel keempat dari Aghisni et al. (2022) mengatakan bahwa
kegiatan preservasi berbasis kearifan lokal di Situs Kabuyutan Ciburuy
dilakukan dengan cara yang sudah
diturunkan secara turun-temurun. Kegiatan tersebut
melibatkan tiga pihak, antara lain (1) juru pelihara, yang bertugas menjaga naskah
kuno dengan membakar
dupa buatan sendiri
untuk menghindari hama
dan membungkus naskah dengan kain kafan untuk menjaga kelembaban; (2)
pemerintah, melalui Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Garut, bertugas memberikan dukungan berupa
pelatihan ahli, informasi, serta pendanaan untuk membantu pemeliharaan naskah kuno; serta (3) masyarakat lokal, yang
berpartisipasi dalam upacara seba bekerja sama menyiapkan ritual dan menerima
wejangan dari leluhur
yang dihormati, termasuk mengenai pelestarian naskah kuno.
Artikel keempat dari Watimelu (2024) dengan hasil bahwa proyek-proyek pelestarian bahasa yang dipimpin oleh komunitas berhasil meningkatkan penggunaan bahasa, pelestarian warisan budaya, penguatan hubungan komunitas, dan perbaikan hasil pendidikan. Namun, proyek-proyek ini menghadapi beberapa tantangan, seperti keterbatasan dana, kurangnya dukungan institusi, dan masalah keberlanjutan jangka panjang. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas, diperlukan peningkatan pendanaan, penguatan dukungan institusi, promosi pembelajaran antargenerasi, dorongan kolaborasi, dan pemanfaatan teknologi digital. Apabila tantangan tersebut sudah berhasil diatasi, diyakini upaya pelestarian bahasa dengan bantuan komunitas akan terus membuat kemajuan yang signifikan.
Artikel kelima dari Bustillo (2024) dengan hasil bahwa
inisiatif revitalisasi bahasa dan budaya membentuk
identitas, mendorong ketahanan
terhadap tekanan asimilasi, dan mempertahankan
kedaulatan budaya. Kemudian, melalui pengalaman komunitas dijelaskan bahwa peran revitalisasi bahasa dan budaya
sangat penting dalam menjaga kohesi komunitas,
mentransmisikan pengetahuan leluhur,
dan menahan penghapusan budaya. Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan pemahaman mendalam tentang
pentingnya revitalisasi bahasa dan budaya.
KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh penjabaran tersebut, terdapat empat poin utama yang dapat disimpulkan, antara
lain sebagai berikut.
- Language preservation atau preservasi bahasa merupakan upaya menjaga dan melestarikan bahasa yang terancam punah agar tetap digunakan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kegiatan ini melibatkan sikap untuk terus menggunakan bahasa di tengah keragaman bahasa lain dengan tujuan mempertahankan budaya sebagai identitas komunitas, mempermudah pengenalan anggota komunitas, dan membangun rasa persaudaraan di antara mereka. Hal ini penting karena bahasa berfungsi sebagai alat untuk melestarikan cerita, tradisi, dan nilai-nilai budaya, serta penghubung antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
- Preservasi bahasa mempunyai beberapa landasan penting, yakni (1) berkontribusi pada pelestarian warisan budaya dengan memastikan bahwa tradisi dan identitas komunitas tetap hidup, (2) mendukung kemampuan kognitif dengan memfasilitasi penguasaan lebih dari satu bahasa yang berdampak pada peningkatan keterampilan pemecahan masalah,(3) menjembatani komunikasi antarkomunitas linguistik yang berbeda, memperkuat kohesi sosial dan memahami nilai-nilai lintas budaya, dan (4) memainkan peran dalam menyimpan pengetahuan lingkungan dan praktik berkelanjutan yang terkait dengan ekosistem.
- Pendekatan yang digunakan dalam penelitian preservasi bahasa umumnya menggunakan pendekatan kualitatif karena memungkinkan peneliti untuk menggali konteks sosial dan budaya secara mendalam. Terkait metode penelitian, pengumpulan data dilakukan melalui berbagai metode, seperti pengumpulan cerita dan pengalaman langsung dari informan melalui wawancara mendalam, percakapan informal, dan kuesioner. Rekaman audio dan video juga digunakan untuk menangkap pola bicara dan intonasi, sementara teknik terjemahan membantu dalam memahami fitur-fitur linguistik dari bahasa yang dipelajari.
- Kemudian, untuk analisis data, dilakukan melalui berbagai metode, seperti pengodean (bottom-up coding) yang digunakan untuk mengidentifikasi tema dan pola dari data naratif, sedangkan analisis fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik membantu dalam mengungkap kerumitan bahasa. Selain itu, analisis tematik juga sering diterapkan untuk mengevaluasi efektivitas dan praktik pelestarian bahasa.
Secara keseluruhan, penelitian language preservation menekankan pentingnya dokumentasi dan pemahaman mendalam tentang bahasa dan budaya yang terancam punah. Metode penelitian ini berfokus pada pengumpulan data yang kaya dan analisis yang mendetail untuk mengungkap hubungan linguistik dan budaya serta menyarankan strategi untuk pelestarian dan revitalisasi bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Aghisni, S. S., D, N. A., & Saefudin, E. (2022). Kegiatan
Preservasi Preventif Naskah Kuno Berbasis Kearifan
Lokal: Studi Kasus Tentang Preservasi Preventif Naskah Kuno Berbasis
Kearifan Lokal di Situs Kabuyutan Ciburuy Kabupaten Garut. Nautical: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 1(5), 400–407.
Alamsyah,
N. N., et al. (2023). Kegiatan Perpustakaan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Jatinangor. Journal of Documentation and Information Science, 6003,
28–40.
Anindyatri,
A. O., & Mufidah, I. (2020). Gambaran
Kondisi Vitalitas Bahasa Daerah di Indonesia
Berdasarkan Data Tahun 2018—2019. Tangerang Selatan: Pusat Data dan Teknologi
Informasi Kementerian Pendidikan dan Kbeudayaan.
Bustillo, R. C. T. (2024).
Utilizing Educational Technology for The Preservation and Revitalization of Indigenous Language
and Culture: A Research Investigation. Researchgate.Net, August.
https://doi.org/10.47119/ijrp1001531720246945
Faaizah, N., et al. (2022).
Kensiu Language Preservation: an Analysis Based on The Typological
Framework of Language Threats. Jundishapur
Journal of Microbiology, 15(January). https://www.researchgate.net/publication/360938799
Harwati, L. N. (2018). Javanese Language Preservation in The Global
Era: Determining Effective Teaching
Methods for Elementary School Students. Advances in Language and Literary Studies, 9(4), 37.
https://doi.org/10.7575/aiac.alls.v.9n.4p.37
Nurwahidah, L. S. (2019). Preservation of Language and Principles of
Local Culture Based Multicultural Education in Indonesia. Journal of
Educational Experts, 2(1),
3–8.
Oureshi, N. F. (2024). Cultural Heritage and Preservation in Pakistan “Highlighting The Impact Of Modernization.”
Al-Iman
Research Journal, 02(01), 34–43.
Rajagukguk, R., Malems,
T., & Ginting,
M. (2022). Preserving Linguistic Diversity: Strategies for Language Preservation and Cultural Heritage Safeguarding. Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Humaniora,
11(3), 221–236. https://doi.org/10.35335/jiph.v11i3.25
Watimelu, W. O. S. (2024).
Language Inquiry & Exploration Review Community-Led Initiatives in Language Preservation: Strategies for Endangered Language Documentation. Language Inquiry & Exploration Review, 1(1).
Ittasaqa Maharani
...