Potret Wajah Bangsa Indonesia dalam Cerpen Kompas Pilihan 2007: Permasalahan Sosial, Kritik, dan Harapan
A. Pendahuluan
Cerita pendek, apalagi ditampilkan melalui surat kabar yang berskala nasional semacam Kompas, tentunya sedikit banyak akan mencerminkan permasalahan sosial yang cukup kaya yang melanda negeri ini. Bagaimanapun juga seorang pengarang dalam menuliskan ide-ide ke dalam sebuah cerita (pendek) sesungguhnya hanyalah menuangkan respon atau tanggapannya terhadap apa saja yang bergejolak di sekitarnya yang tentu saja menarik perhatiannya. Donald Hall mengatakan, “Whatever people do, they express the times they live in. When authors write, they reflect their own era by deploring it, by celebrating it, or even by writing to escape it” (2002:1275). Artinya, para penulis yang menuangkan pengalaman mereka dalam merespon fenomena hidup di sekitarnya dapat melakukannya dengan cara yang berbeda-beda: sebagian mengkritk dan mengecam, yang lain merayakan dan penuh harap, dan sebagian lagi bahkan mungkin menulis sebagai bentuk pelarian karena merasa jengah atau resah atas kondisi sosial kehidupan yang semakin payah. Apapun bentuk dan alasannya, sebuah karya baik secara gamblang maupun tersamar akan terlahir karenanya. Harian Kompas adalah salah satu wadah yang konsisten dan efisien untuk menampung keluh-kesah dan harapan ini dengan memilih (tentunya dengan pertimbangan tersendiri!) dan menerbitkan cerita-cerita itu secara teratur setiap minggu disertai dengan ilustrasi gambar yang tentunya tidak dapat disamakan dengan cerpennya karena gambar itu adalah karya tersendiri yang tidak mudah untuk mewakili cerita. Sekitar 50 cerpen diterbitkan setiap tahun dan 15 diantaranya akan dipilih sebagai cerpen pilihan dengan satu cerpen terbaik yang akan dijadikan judul kumpulan cerpen tersebut, lalu diterbitkan kembali. Menurut Pemimpin Redaksi Harian Kompas (Pambudy, 2008:ix), tiga tahun terakhir (2006, 2007, 2008) mekanisme pemilihan cerpen ini diubah dan dikembangkan dengan tidak lagi melibatkan kalangan orang dalam (Redaksi Kompas) seperti telah bertahun-tahun dilakukan, melainkan dengan melibatkan orang-orang di luar redaksi yang dianggap memiliki kompetensi untuk itu. Tahun 2006, Nirwan Dewanto dan Bambang Sugiharto yang mendapat kehormatan untuk memilih dan menghasilkan antologi berjudul Ripin, di tahun 2007 dilakukan oleh Ayu Utami dan Sapardi Djoko Damono dengan judul Cinta di Atas Perahu Cadik dan yang terakhir untuk tahun 2008 dipilih oleh Rocky Gerung dan Linda Christanty serta diberi judul Smokol. Judul antologi diambilkan dari judul salah satu cerpen pilihan terbaik. Untuk tulisan ini, saya hanya akan mengangkat salah satunya yaitu Cerpen Kompas Pilihan 2007. Kembali ke persoalan karya rekaan sebagai cermin yang memantulkan apa-apa yang bergejolak dalam masyarakat yang direspon oleh pengarang tertentu (bisa saja secara pribadi ia bergejolak sendiri!), saya akan membahas beberapa permasalahan sosial yang dominan dalam kumpulan cerpen ini, kritik sosial apa saja yang disampaikan, serta seberapa jauh harapan simbolik tetap terpancar meskipun situasinya cukup muram. Beberapa dari cerpen pilihan ini secara unik memanfaatkan tokoh cerita dan mengekplorasi tema yang tidak biasa. Untuk itu diperlukan pendekatan yang mendukung dalam menganalisis cerita semacam itu agar pokok persoalan yang dikemukakan dapat terpahami. Secara singkat, pandangan yang dikemukan oleh Bertolt Brecht dengan konsep Defamiliarization Effect-nya dan Theodor Adorno dengan Negative Knowledge-nya akan diterapkan. Bertolt Brecht dikenal dengan konsep alienasinya (dikembangkan dari konsep defamiliarisasi formaslis Rusia) yang lebih banyak diterapkan pada drama pertunjukan. Brecht melabeli teori realisme yang dikembangkannya sebagai “anti-Aristotelian”. Kalau konsep Aritotle lebih menekankan universalitas dan kepaduan unsur-unsur tragedi yang bermuara pada berhasilnya penonton (juga pembaca) mengalami katarsis emosi dengan berempati terhadap tokoh cerita dan terhanyut dalam alur cerita, sebaliknya Brecht menolak konsep ini. Ia mengatakan bahwa alur cerita yang terjalin sedemikian rupa yang membuat penonton terbuai haruslah dihindari. Alasannya sederhana, fakta ketidakadilan sosial harus dihadirkan sebagai sesuatu yang tidak alami dan sungguh-sungguh mengagetkan, bukan merupakan suatu bagian integral alami dirinya yang kadang kala tak lagi dapat disadari, “It is all too easy to regard ‘the price of bread, the lack of work, the declaration of war as if they were phenomena of nature: earthquakes or floods’, rather than as the results of exploitative human agency” (Selden, Widdowson and Brooker, 1997:97). Oleh karena itu untuk menghindari terbuainya penonton atau pembaca dalam bentuk penerimaan kenyataan sosial secara pasif, ilusi dari kenyataan itu harus digoncang sedemikian dahsyat melalui efek alienasi yang disuguhkan lewat tokoh-tokoh yang dapat dikenali dengan gampang namun sekaligus terkesan sangat asing. Menurutnya, hanya dengan cara demikianlah penilaian kritis baru dapat dilakukan oleh penikmat karya itu. Brecht selanjutnya menegaskan bahwa elemen dalam tokoh harus dapat dipahami dari luar, “The situation, emotions and dilemmas of characters must be understood from the outside and presented as strange and problematic” (98). Dengan menerapkan teknik alienasi, Brecht sesungguhnya tidak lagi merupakan penganut setia realisme (walaupun ini masih dapat diperdebatkan), karena kalau efek alienasi ini diterapkan pada formula realisme, ia akan gagal: “Brecht would have been the first to admit that, if his own ‘alienation effect’ were to become a formula for realism, it would cease to be effective. If we copy other realists’ methods, we cease to be realists ourselves: ‘Methods wear out, stimuli fail. New problems loom up and demand new techniques. Reality alters; to represent it the means of representation must alter too’.” (99). Hal ini senada dengan tulisan prolog Ayu Utami ketika berargumen dalam memilih kelimabelas cerpen dalam antologi ini, yang mempertanyakan Mengapa Realisme Tak Cukup Lagi…bahwa realisme dengan cara yang dulu cukup itu kini tak cukup lagi. Apa gerangan yang membuatnya tak lagi memadai?”(Pambudy, 2008:xiii-xiv). Selanjutnya, Sapardi Djoko Damono menyebut cerita “non-realis” yang terasa asing ini sebagai “dongeng” (139). Bagi saya, untuk memahami dan mengkaji karya-karya pilihan ini pun diperlukan pendekatan yang berbeda, dan disinilah metode Brecht dirasa mengena. Selain itu, pendekatan serupa yang dikembangkan oleh Thodor Adorno juga dianggap perlu untuk melengkapi pemahaman cerita pilihan ini. Bagi Adorno, sebuah karya seni, termasuk karya sastra, akan mempunyai kekuatan lebih dalam mengkritisi realita jika karya itu terpisah dari realita itu sendiri: “For Adorno, art, including literature, is detached from reality and this is the very source of its strength. Popular art forms only confirm and conform to the norm of a society but true art takes up a critical stance, distanced from the world which engendered it: ’Art is the negative knowledge of the actual world.’ He saw the alienation evident in the writing of Proust and Beckett as proving such ‘negative knowledge’ of the modern world” (Carter, 2006:60); Lebih jauh Selden dan kawan-kawan menambahkan bahwa dalam pandangan Adorno karya sastra tidak memiliki hubungan langsung dengan realita, bukan seperti pandangan Likacs tentang realisme: “Adorno criticized Lukacs’ view of realism, arguing that literature does not have a direct contact with reality. In Adorno’s view, art is set apart from reality; its detachment gives it its special significance and power. Modernist writings are particularly distanced from the reality to which they allude, and this distance gives their work the power of criticizing reality” (Selden, Widdowson and Brooker, 1997: 100). Oleh karena itu proses pemisahan atau pengambilan jarak antara karya sastra dan realita adalah proses yang diperlukan yang seyogyanya merupakan proses alienasi dimana para penikmat karya sastra disuguhi hal-hal asing yang tak wajar. Hanya dengan demikian mereka tidak akan terbuai dan pada akhirnya memahami target kritik yang mau disasar oleh karya itu. Bagi Adorno, karya seni tidak dapat semata-mata mencerminkan sistem sosial suatu masyarakat, tetapi karya seni akan berperan dalam realita masyarakat itu sebagai suatu pengusik yang kadang menjengkelkan, yang menegasikan realita, yang pada akhirnya akan menghasilkan semacam pemahaman tak langsung yang dikenal dengan sebutan “Art is the negative knowledge of the actual world” (100) seperti telah disinggung di atas. Berkenaan dengan cerita pilihan kompas yang akan dikaji dalam tulisan ini, saya memutuskan akan membahas 4 (empat) cerpen yang pada hemat saya sangat menarik dan kental dengan proses pengambilan jarak dengan realita negeri ini yang tampak mudah dikenali namun sekaligus terasa asing (pemakaian efek alienasi/defamiliarisasi), yaitu: Cinta di Atas Perahu Cadik (Seno Gumira Ajidarma), Lampu Ibu (Adek Alwi), Kisah Pilot Bejo (Budi Darma), dan Tukang Jahit (Agus Noor). Pembahasan akan dimulai dengan mengangkat permasalahan sosial yang disasar oleh cerpen-cerpen itu, lalu mendiskusikan sejauh mana cerita-cerita atau dongeng, meminjam istilah Pak Sapardi, itu mengambil jarak dengan pembaca lalu menyasar fenomena sosial yang dikritisinya, dan terakhir akan diperbincangkan pula sekadarnya mengenai harapan akan membaiknya keadaan, setidaknya secara simbolik, yang tetap memancar lewat cerita-cerita itu.
B. Pembahasan
Ada beragam permasalahan sosial yang diangkat oleh cerita-cerita pilihan kompas ini. Sebut saja permasalahan perselingkuhan dan kemerosotan moral yang ternyata tidak hanya ramai di sinetron atau layar lebar (Cinta di Atas Perahu Cadik), permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan (Tukang Jahit, Cinta di Atas Perahu Cadik), korupsi dan sandiwara (Lampu Ibu), bobroknya pelayanan umum (Kisah Pilot Bejo), masalah narkoba (Lampu Ibu), invasi budaya modern (Lampu Ibu, Kisah Tukang Jahit) dan permasalahan sosial lain. Bila diamati lebih mendalam, keempat cerita ini sebenarnya menampilkan pokok persoalan secara berbeda dan mengejutkan, yang terkadang diluar ekspektasi pembaca. Pembaca mau tak mau akan disentak oleh kenyataan bahwa meskipun persoalan yang diangkat biasa-biasa saja, namun ia disuguhkan melalui tokoh dan properti yang aneh dan tidak biasa (Tukang Jahit, Pilot Bejo, Lampu, Sukab-Hayati-Waleh-Dullah). Dengan demikian pembaca akan merasa teralienasi dan tidak terbuai dalam simpati terhadap tokoh atau peristiwa. *** Ketika membaca Cinta di Atas Perahu Cadik, kita akan mendapati sesuatu yang janggal dan mencengangkan, misalnya bagaimana mungkin seorang suami (Dullah) merestui istrinya (Hayati) untuk berlayar-selingkuh dengan orang sekampung (Sukab) dan lebih memilih menonton TV daripada meributkan kepergian istrinya dengan lelaki lain yang menurut tokoh Nenek (yang juga berpengalaman diselingkuhi) seharusnya “sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab jahanam itu!” (hal. 3). Atau sikap si istri Sukab (Waleh) yang semestinya telah teraniaya, miskin, beranak bisu dan sedang sakit-sakitan pula karena dikhianati oleh sang suami malah merestui dan mendoakan kebahagiaan suaminya yang serong: “Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku pulang dengan selamat—dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui peerceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan” (hal. 6). Alangkah mencengangkannya, seorang istri teraniaya yang mungkin berhati malaikat yang sangat jarang ditemukan! Yang lebih mencengangkan lagi adalah kenyataan bahwa perselingkuhan ini terbuka dan tidak ada rasa sungkan sama sekali dari pelaku selingkuh (Sukeb-Hayati), seperti sepasang kekasih lazimnya (ingat ini tak lazim!) dunia seperrti milik mereka berdua; orang tua, anak, tetangga, mertua, tidak usah diperdulikan, yang penting mereka berdua, “—tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara” (hal. 8), yang penting mereka suka meskipun itu zinah dan nista atas kesetiaan terhadap istri dan suami lain sebelumnya. Apalagi mereka paham betul apa yang nereka yakini dan lakukan seperti ditegaskan di akhir cerita, “Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini” (hal. 9); who cares! Demikianlah kita disentak oleh ketidaklaziman sikap yang ditunjukkan oleh para tokoh cerita. Meskipun tema perselingkuhan itu begitu banyak didapati di sekeliling kita, kita tetap merasa teralienasi oleh kenyataan ini. Dengan begitu, kita memang tidak dapat terhanyut (mengalami katarsis ala Aristotle) di dalam arus cerita, yang ada malah perasaan geram dan akhirnya kita sadar bahwa semua permasalahan tidak hitam-putih, bahwa kita tidak dapat serta-merta menyalahkan siapa-siapa, dan disinilah kritik yang mau disampaikan oleh karya sastra itu dapat lebih mengena. Dalam cerita pendek berikutnya, Lampu Ibu, kita dihadapkan pada sandiwara dan metafora lampu, yang begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, namun ketika disandingkan dengan kata ibu ia menjadi aneh: lampu ibu? Apa gerangan lampu ibu itu? Cerita yang mengangkat tabiat para politisi korup yang korupsi secara berjamaah ini menggambarkan betapa seorang politisi, semacam anggota dewan, dapat berpura-pura sakit agar terlepas atau setidaknya menunda penangkapan oleh pihak kepolisian. Ada hal yang membuat kita jadi bimbang apakah si tertuduh Bang Palinggam ini sungguh-sungguh terlibat korupsi atau sungguh-sungguh bersih. Pengakuannya menegaskan, “Namun, hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila mendustai Bunda,”(hal. 17). Pengakuan mulut sang politisi menegaskan kalau ia besih, ia bahkan bersumpah atau mengutuk diri kalau itu tidak benar, tapi di awal digambarkan bahwa, “Suara Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan” ( hal. 17). Untuk apa minta maaf kalau tidak salah. Bagian berikutnya seolah bertentangan dengan pengakuan dan pembelaan diri Bang Palinggam yang sesungguhnya menyimpulkan bahwa ia terlibat: “Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?’ ‘Tidak sesederhana itu, Bunda.’ ‘Di mana rumitnya?’ Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik napas, melihat Bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo. ‘Aku punya atasan, Bunda,’ ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak, hampir menyerupai bisik. ‘Aku punya kawan. Aku juga kader partai....’ (hal. 17). Jelas bahwa sedikit-banyak Bang Palinggam ini terlibat dalam tindak korupsi sehingga ia tergambar begitu lemah, dan akhirnya setelah diceramahi oleh Sang Bunda ia “terpana menatap Bunda. Matanya perlahan berkaca-kaca. Dia menunduk” (hal. 17). Memang isi cerita banyak menyangkut keberpurapuraan dan ketidakterus- terangan. Misalnya, kita diajak terlibat dalam kerikuhan suasana si anak yang menjemput ibunya ke bandara karena ia berusaha menutup-nutupi apa yang sebenarnya terjadi (meskipun sebenarnya si ibu sudah tahu apa yang terjadi), atau suasana sandiwara atas ditahannya tokoh Herman oleh polisi karena terlibat narkoba yang disamarkan sebagai sedang pergi mendaki gunung. Isinya sungguh penuh dengan sandiwara. Namun, kembali ke persoalan lampu yang terasa aneh, cerita ini juga menyentak kita dengan menghadirkan tokoh ibu yang henti-hentinya menyalakan lampu kejujuran dan kebenaran. Apakah kita bersimpati pada tokoh ibu yang meski sudah berusia 80 tahun masih sibuk memantau anak cucu? Dari kerikuhan suasana yang tergambar, terasa bahwa kehadiran ibu ini sebagai duri yang menuntut keberpura-puraan. Sekali lagi, judul dengan kata “lampu” bagi saya adalah alat untuk membuat kita mengambil jarak antara realita korupsi yang begitu kental di sekitar kita, apalagi di dunia politik seperti yang digeluti Bang Palinggam, dan citra ibu yang begitu gigih menyalakan atau menyuarakan kejujuran, yang belum tentu berhasil. Selanjutnya pada cerita ketiga, Kisah Pilot Bejo, efek alienasi yang diterapkan lebih kentara lagi. Hampir seluruh cerita ditampilkan dalam bentuk sindiran lewat tokoh yang komik, nama-nama yang menggelikan namun mengena semacam Bejo, Slamet, Untung, Sugeng, Waluyo, Wilujeng, Paman Bablas, dokter Gemblung, AA (Amburadul Airlines), SA (Sontholoyo Airlines). Kita dijauhkan dari realita dunia penerbangan yang semakin menjamur belakangan ini, termasuk seringnya kecelakaan pesawat yang terjadi—juga termasuk raibnya pesawat dengan ratusan manusia di dalamnya, dengan kehadiran cerita pilot Bejo yang super asal-asalan ini. Kita tahu bahwa realita pilot Bejo yang sedari sekolah menengah (bahkan sejak dalam kandungan, barangkali) sudah mengandalkan ke-bejo-annya ini adalah semata alat pengarang untuk menyentak pembaca--alat untuk menciptakan jarak antara realita dan karya--agar lebih menyadari betapa bobroknya sudah dunia nyata penerbangan kita. Perhatikan ekspresi yang dipakai pengarang seperti berikut ini: ”Dibanding dengan ayahnya, kedudukan pilot Bejo jauh lebih baik, meskipun pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai penerbangan AA (Amburadul Airlines) yaitu perusahaan yang dalam banyak hal bekerja asal- asalan. Selama tiga tahun AA berdiri, tiga pesawat telah jatuh dan membunuh semua penumpangnya, dua pesawat telah meledak bannya pada waktu mendarat dan menimbulkan korban-korban luka, dan paling sedikit sudah lima kali pesawat terpaksa berputar-putar di atas untuk menghabiskan bensin sebelum berani mendarat, tidak lain karena rodanya menolak untuk keluar. Kalau masalah keterlambatan terbang, dan pembuatan jadwal terbang asal-asalan, ya, hampir setiap harilah” (hal. 20). Setiap hari dilalui dengan penanganan industri penerbangan yang asal-asalan, yang penting dapat untung (sesuai dengan kehendak si bos kapitalis), sementara nasib penumpang atau pelanggan tidak menjadi pertimbangan. Bahkan sampai akhir cerita tidak ada perubahan, si Bejo tetap pada prinsip kerjanya: ”Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tetapi berteriak-teriak keras:’Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!’ Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan” (hal. 26). Semua asal-asalan, dan ini berfungsi dalam pandangan Adorno sebagai alat pengusik (irritant) agar pembaca berada pada posisi yang berjarak dengan realita sehingga mampu mempunyai pandangan kritis atas kenyataan yang diangkat oleh karya sastra tersebut dan akhirnya mengkritisi kenyataan itu. Terakhir, dalam cerpen Tukang Jahit, pemanfaatan tokoh dan jalan cerita yang eksperimentalis juga dilakukan oleh pengarang. Meskipun terkesan seperti dongeng seperti diungkapkan oleh Ayu Utami (Pambudy, 2008:xxii), namun bagi saya ini adalah cara pengarang yang sekali lagi memakai metafor ”tukang jahit” untuk mengkritik realita hidup bangsa Indonesia yang semakin sulit yang puncaknya ditandai dengan realita ”antri minyak tanah” (hal. 105). Kembali kepada pemakaian metafora, saya setuju dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa ”piranti bahasa ini jelas menjauhkan kita dari realitas karena ’bilang begini maksudnya begitu’ (hal. 145)” Justru inilah efek yang ingin dicapai oleh sang pengarang: menjauhkan pembaca dari realitas yang diangkat agar pembaca mendapat posisi yang strategis untuk melihat kritik yang sampaikan pengarang dan mampu pula mengkritik realitas yang ada, karena –jika mengutip kembali Brecht—fakta mengenai ketidakadilan sosial harus dihadirkan seolah-olah kenyataan itu sangat tidak alami dan mengejutkan, bukan sebagai fakta yang begitu dekat menyatu dengan pembaca atau penonton yang perlu ditangisi seperti dalam tayangan sinetron sehingga pembaca/penonton menjadi lupa diri dan tidak sanggup untuk mengkritik. Jalan cerita Kisah tukang Jahit ini berisi hal-hal yang tidak mungkin dalam pengertian harafiah seperti ”menjahit hati orang yang lagi sedih” (hal. 102), ”menjahit luka hati Ibu” (hal. 103), ”...bisa melihatnya, tetapi tak bisa menyentuhnya. Benang yang tak akan habis bila dipakai untuk menjahit seluruh pakaian yang ada di dunia ini” (hal. 103), ”memintal benang kesabaran” (hal. 104), ”menjahitkan kekecewaan” (hal. 105), dan lain-lain. Semuanya tidak dapat dipahami secara gamblang, namun ia disandingkan dengan kenyataan yang begitu nyata dan sangat mudah dimengerti oleh siapa saja seperti ”Lebaran” (hal. 99, 100, 102, 103, 104, 105) ”toko fashion, factory outlet, butik dan pusat perbelanjaan di kota” (hal. 102), ”ngantre minyak tanah” (hal. 105), ”pulang kampung” (hal. 106), ”nganggur” (hal. 106), dan seterusnya. Ini semua menimbulkan efek defamiliarisasi, dekat namun asing, yang tidak akan membuat pembaca terhanyut dalam cerita namun memicu pikiran-pikiran kritis terhadap realitas yang sedang diperbincangkan. *** Permasalahan sosial yang diangkat oleh keempat cerpen ini sungguh kental di negeri ini. Kalau boleh diringkas permasalahan itu adalah kemerosotan moral semacam perselingkuhan, korupsi, ketidakpedulian karena dominasi kapitalisme, dan kemiskinan. Pertanyaan selanjutnya, adakah harapan lepas dari permasalahan sosial itu tersirat dibalik empat cerita ini? Dari keempatnya, Kisah Pilot Bejo adalah yang paling sinis dan hopeless. Dengan nada mencibir, sarkastis dan menertawakan, si pengarang mengakhiri ceritanya dengan situasi paling amburadul dari dunia penerbangan. Tidak ada tokoh yang optimis bahwa kondisi bobrok ini akan dapat diperbaiki (mungkin si pengarang memang juga merasa demikian!) Yang ”optimis” hanyalah si Bejo dengan keterpurukannya dalam sistem yang super asal-asalan. Namun di balik ketiga cerita yang lainnya, kalau dicermati secara mendalam, masih terbersit harapan akan membaiknya keadaan dibalik kelamnya kenyataan. Secara kebetulan masih dihadirkan tiga tokoh perempuan yang memiliki idealisme (apakah juga berarti perempuan lebih peka?) menghadapi situasi sulit ini. Dalam Cinta di Atas Perahu Cadik masih dihadirkan tokoh Nenek yang begitu gerah (baca peduli) atas perselingkuhan Sukab-Hayati. Dialah yang menjadi pengerak cerita karena ia kasak-kusuk kesana kemari tak bisa cuek atas apa yang terjadi. Selain itu, beliau mau menyampaikan pesan moral kepada para perempuan khususnya bahwa pengalaman buruk beliau diselingkuhi kalau boleh jangan terjadi pada penerusnya. Setidaknya, bila ada yang peduli seperti nenek tua ini, harapan berubah masih ada. Selanjutnya, dalam Lampu Ibu jelas ada pula tokoh serupa, seorang Ibu (80 tahun = nenek juga) yang tak pernah lelah meyalakan lampu kejujuran dan kebaikan, seperti dikatakannya di akhir cerita: ”Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu.’ Bunda mengedarkan senyum, juga kepadaku.’Apalagi kau, Palinggam, kini sudah bercucu pula. Namun takdir seorang ibu, Nak, selalu terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya.” (hal. 18). Terlihat jelas bahwa sang Ibu tidak putus asa, tetap dengan senyum, meskipun tahu anaknya sudah terlibat dalam tindakan yang memadamkan lampu sang Ibu, namun ia terus berusaha untuk menyalakannya karena ia adalah tokoh yang peduli. Terakhir, dalam Tukang Jahit, sekali lagi tokoh ibu (yang akhirnya menjadi nenek juga karena di akhir cerita dimunculkan tokoh anak yang bertanya kepada sang ayah) dihadirkan sebagai sosok yang bijaksana dan tidak berputus asa atas kesusahan hidup. Ia adalah ibu yang memiliki pemahaman filosofi hidup yang tinggi terutama dalam menghadapi kemiskinan. Ini terbukti karena akhirnya sang Ibu berhasil menularkan pengertian itu kepada sang anak (yang nantinya diteruskan lagi ke anaknya sendiri) sehingga sang anak dapat memahami mengapa begitu banyak orang tidak bahagia di negeri ini karena mahalnya harga kebahagiaan itu, seperti dikatakannya sebagai berikut: ”Barangkali, sekarang ini kebahagiaan memang seperti minyak tanah. Tidak semua orang dengan gampang mendapatkannya. Bahkan untuk sekadar bisa menikmati kebahagiaan pada hari Lebaran pun kini orang mesti antre berdesak-desakan” (hal. 106). Demikianlah, meskipun situasi sangat susah, tokoh Ibu dan anak-cucunya dalam cerita ini digambarkan tidak putus asa, tapi mengerti keadaan. Harapan simbolik tetap mereka miliki karena bagaimanapun tetap ada penjahit yang dapat menjahit semua hati yang sedih, kecewa, dan beribu duka lara lainnya.
C. Simpulan
Setiap cerita dapat dibaca sebagai media yang mencerminkan apa-apa yang terjadi di dunia nyata. Namun tidak semua cerita menampilkan realitas kehidupan itu seperti apa adanya dengan jalan cerita yang menghanyutkan sehingga pembaca lupa atau tidak peka akan kritik sosial yang diemban oleh cerita itu. Ini sejalan dengan teori Bertolt Brecht dan Theodor Adorno yang dua-duanya menekankan pentingnya efek alienasi atau defamiliarisasi yang dihasilkan oleh cerita yang menciptakan jarak antara karya dan realitas, bahwa karya sastra itu berfungsi sebagai pengusik bagi pembaca agar dapat mengkritisi realitas. Dari keempat cerita yang terpilih dalam kajian ini, terbukti bahwa para pengarang menampilkan jalan cerita dan tokoh cerita yang tidak lazim yang kadang mengagetkan yang dapat memberi ruang bagi pembaca untuk mengkritisi fenomena sosial yang diangkat. Dengan demikian para pembaca mendapat standing position yang lebih strategis dan objektif dalam menyimak kritik sosial yang disasar oleh pengarang, yang dengan sendirinya menjadi lebih kritis juga terhadap realitas. Permasalahan sosial semacam perselingkuhan, korupsi, kebobrokan pelayanan umum serta kemiskinan yang telah mewarnai wajah negeri kita akhir-akhir ini telah ditampilkan oleh penulis cerita dengan cara yang khas dan dibalik semua permasalahan sosial itu ternyata secara tersirat masih ditemui harapan akan membaiknya situasi lewat penampilan tokoh-tokoh perempuan tua yang meskipun terkesan usil dan tak berdaya tapi sesungguhnya tetap peduli.
Daftar Pustaka
Carter, David. 2006. Literary Theory: The Pocket Essential. Herts: Pocket Essentials Hall, Donald. 2002. To Read Literature: Fiction, Poetry, Drama. Boston: Heinle & Heinle Thomson Learning.
Pambudy, Ninuk M. (ed). 2008. Cinta di Atas Perahu Cadik: Cerpen Kompas Pilihan 2007. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Selden, Raman, Widdowson, Peter and Brooker, Peter. 1997. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. London: Prentice Hall. (Sumber: Makalah KIK HISKI XX 2009, Bandung, 5--7 Agustus 2009)
A k u n
...