Nasionalisme Keindonesiaan dalam Cerpen Clara Atawa Wanita yang Diperkosa Karya Seno Gumira Ajidarma

1. PengantarKarya sastra terkadang bersandar pada peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau. Karya sastra yang bersandar pada peristiwa sejarah ini tak ubahnya mengungkap peristiwa kelam dalam realitas kekinian, yang dikemas dalam dunia fiksi (Effendi, 2008). Kaitan peristiwa dengan munculnya karya sastra ini masuk dalam kategori pendekatan “sastra peristiwa”, yaitu suatu pendekatan yang digunakan sebagai alternatif untuk menulis sejarah atas sebuah peristiwa yang sudah lewat dengan menunjuk ironi dan kontradiksi yang menjadi penampakan tunggal dari masa lalu. Dengan pendekatan ini diharapkan mampu menjadi wahana dan/atau pelaksana utama dari demokrasi, di Indonesia masa kini khususnya, agar lebih jeli dan waspada terhadap praktik-praktik anakronisme sejarah yang Nampak dalam gaya politik sentralistik, militeristik, seksistik, sektarianistik, dan lain-lain (Windarto, tt).Beberapa contoh karya yang berhubungan dengan pendekatan “sastra persitiwa” ini di antaranya adalah novel “Saman” (1998) karya Ayu Utamin, yang meskipun bersifat fiksi, namun mampu mengatakan apa yang seharusnya dikatakan. Dengan kata lain, “Saman” menjadi seperti penyambung lidah –dan suara– para aktivis yang diburu aparat keamanan karena dicurigai mempraktikkan ajaran komunisme di Indonesia. Seperti kita ketahui, ajaran komunisme ini secara resmi dilarang oleh pemerintah Orde Baru Indonesia karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. Masih dari Ayu Utami, seri lanjutan dari “Saman” yang berjudul “Larung” (2001) juga mencoba menjelajah dunia masa lalu Indonesia yang telah memasuki masa Orde Baru tetapi masih saja mengait-ngaitkan banyak hal tentang peristiwa di seputar peristiwa PKI tahun 1965an. Selain itu, novel Pramoedya Ananta Toer “Bumi Manusia” dan “Anak Semua Bangsa” yang sempat kena cekal baik pada masa pemerintahan Orde Lama atau pun Orde Baru, juga mampu menyuguhkan kurun waktu sejarah, hubungan antarmanusia, serta perubahan-perubahan sosial pada peralihan abad 20. Salah satu kaitan peristiwa sejarah dengan munculnya karya sastra adalah peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Yang terjadi pada 13 dan 14 Mei 1998 tersebut adalah perusakan, pembakaran, dan juga pemerkosaan massa(l) yang menimpa sebagian “WNI-keturunan”. Cerita pendek “Panggil Aku: Pheng Hwa” (2002) karya Veven SP. Wardhana, misalnya, menutup cerita dengan latar waktu di bandara Cengkareng, yang ternyata bertepatan dengan kejadian Mei 1998 juga. Dan yang benar-benar mewakili peristiwa Mei 1998 ini adalah “Clara atawa Wanita yang Diperkosa” (1999) karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen “Clara atawa Wanita yang Diperkosa menjadi sangat menarik perhatian karena mencoba menggambarkan sebuah sisi kejadian yang terjadi pada masa peralihan tampuk pimpinan dari masa Orde Baru menuju masa reformasi. Seperti telah banyak diketahui dan disebarluaskan oleh media massa baik cetak maupun elektronik lokal, nasional, dan internasional bahwa kejadian kelabu Mei 1998 merupakan traged kemanusiaan yang sangat memilukan dan menyayat hati dan perasaan siapa saja. Tak terkecuali Seno Gumira Ajidarma yang sanggup menuangkan secuil kisah pilu itu dalam “Clara atawa Wanita yang Diperkosa”. Ada pemaknaan identitas, ada nasionalisme keindonesiaan, ada nuansa pribumi dan non-pribumi, dan yang paling penting adalah siapa sebenarnya yang memenangkan pertaruhan kenasionalan keindonesiaan tersebut. 2. Nasionalisme KeindonesiaanNasionalisme adalah suatu ikatan yang mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai suatu bangsa. Dengan kata lain adalah penggambaran keutuhan yang menyeluruh atas visi bersama mengenai bangsa yang memberikan ikatan imajinasi antarkelompok/suku bangsa dalam suatu negara mengenai perlunya pemaknaan simbol tentang imajinasi itu sendiri menjadi satu identitas bersama. Dalam kaitannya dengan bangsa Indonesia, hal ini diibaratkan satu kesatuan dalam tubuh, yaitu tubuh ini bukanlah hanya yang terdiri dari satu anggota, tetapi banyak anggota. Orang Jawa, Aceh, Batak, Tionghoa, Ambon, Papua, Bali, Dayak dan suku-suku lainnya dalam keanekaragaman etnis, bahasa, dan agama mereka adalah anggota tubuh yang menyusun keseluruhan tubuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah yang membuat kohesivitas kita sebagai bangsa yang dinamakan Bangsa Indonesia tetap terjaga sampai dengan saat ini. Penamaan Indonesia sendiri, rasanya kita bangsa Indonesia, perlu berterima kasih kepada James Richardson Logan (1819-1869) yang memberi nama atau istilah Indonesia, meskipun dia tidak sepenuhnya sadar bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya masuk peringkat keempat terbesar dunia (Arismunandar, 2009). Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia, dengan tercetak pada Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) tahun 1850, halaman 254. dalam tulisan seorang ilmuwan asal Skotlandia, James Richardson Logan. Tulisannya: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884, guru besar etnologi di Universitas Berlin, Adolf Bastian (1826-1905), menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke “Nusantara” tahun 1864-1880. Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang keliru itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie (1918). Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.Dalam rentang waktu sedemikian panjang untuk mempertahankan dan memperjuangkan nasionalisme keindonesiaan memang terhadang banyak kendala. Berbagai permasalahan bangsa, yang sangat mungkin merongrong harkat martabat kebangsaan Indonesia, silih berganti datang dan pergi. Akan tetapi, konflik sosial yang mengungkapkan persoalan agama maupun suku bangsa ternyata tidak memadamkan ikatan imajinasi kita mengenai Indonesia. Solidaritas kita sebagai anak-anak bangsa ternyata sangat persisten, setidaknya sampai dengan saat ini, sehingga Indonesia sebagai sebuah negara dan sekaligus bangsa tetap bersatu dan utuh. Apa yang dapat merekatkan Indonesia, dengan suatu rentang diferensiasi yang begitu panjang dan dalam, mulai dari peradaban, lapisan ekonomi, sosial maupun suku bangsa? Momentum besar bagi keindonesiaan kita, menurut sejarah, lahir dari adanya kesamaan pandangan pemuda tentang bangsa, bahasa, dan tanah air pada tahun 1928, dan perumusan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Momentum ini secara perlahan kemudian menjadi keyakinan dan pedoman imajinatif bersama warga bangsa sampai dengan saat ini, yang kemudian menjadi kesadaran diskursif sekaligus kesadaran praksis bagi kita semua, setidaknya pada ungkapan mengenai tanah air, bangsa dan bahasa. Kesamaan pandangan itu, muncul dari sebuah proses diskusi dan perdebatan yang panjang, penuh dengan referensi ideologis maupun pemahaman yang mendalam mengenai arah bangsa ke depan, kerelaan berkorban dari kelompok yang seharusnya menjadi dominan serta kesetiakawanan antarwarga bangsa. Itulah yang membuat keindonesiaan kita tetap tersemai dengan baik sampai dengan saat ini. Keindonesiaan kita akan terus terjaga apabila ke depan kita terus melangkah yang setidaknya mengacu kepada tiga hal yang prinsip yaitu mendekatkan rasa keadilan kepada masyarakat, mempercepat penataan kembali sumber-sumber kemakmuran negeri ini yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat, serta memperkuat dan memperkukuh kembali semangat kesetiakawanan dan kegotongroyongan. Keindonesiaan terjaga apabila para pelakunya bekerja untuk itu. Itulah dasar gagasan besar mengenai kesetiakawanan kebangsaan. Melangkah bersama itulah yang kita perlukan, sehingga dikotomi antara pusat daerah tidak lagi menjadi wacana yang diperdebatkan, trikotomi santri, abangan, priyayi bukan lagi kategori, karena sudah terfungsionalisasi dengan baik dalam spirit Keindonesiaan kita.3. Identitas: inklusivitas dan eksklusivitasSecara umum, identitas merupakan ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan hal-hal lain (Antonia, 2008). Sementara menurut Hall, identitas bukanlah merupakan suatu proses “jadi”, ia tidak pernah komplit atau sempurna, atau tidak pernah akan berakhir. Identitas akan selalu dalam proses formasi. Identitas berarti proses identifikasi dimana struktur dari identifikasi itu sendiri selalu dikonstruksikan melalui ambivalensi. Seperti antara “us” dan “other”, atau “kita” dan “mereka”. “Other” juga ada dalam diri kita, dalam artian bahwa other juga merupakan bagian proses identifikasi identitas kita sendiri. Karena kita melihat other dalam pandangan diri kita. Diri kita juga dilihat dalam pandangan dari other. Dan gagasan ini dimana memilah batas, antara outside dan inside, antara yang punya dan yang tidak punya dan sebagainya (Hall, 1991). Karena identitas bersifat relasional dan tidak tetap, identitas bergantung pada kebalikannya dan dapat berubah sejalan dengan waktu, serta dipahami secara berbeda di tempat yang berbeda pula. Dalam hal ini, identitas adalah permasalahan inklusivitas dan eksklusivitas. Dengan demikian, Hall memandang identitas sebagai point of temporary attachment to the subject positions which discursive practices construct for us. Identitas menjadi konstruksi sosial yang tidak permanen. Identitas adalah sebuah posisi subjektivitas; posisi di mana kita mengidentifikasi diri dan diidentifikasi orang lain tidak netral atau setara. Artinya, kekuasaan bermain dalam menentukan identitas seseorang (sering kali kekuasaan ini menciptakan mitos yang berdasarkan pengalaman subjektif dan kurang mengenakkan terhadap mereka yang dianggap berbeda). Identitas ditandai oleh perbedaan. Perbedaan ini ditandai secara simbolis dan dialami secara sosial. Penanda simbolis dapat berupa penampilan khusus dan wartna kulit, serta sistem klasifikasi kelas sosial. Identitas, juga menyinggung masalah ketegangan antara esensialis dan nonesensialis. Mereka yang berpandangan esensialis melihat identitas sebagau sesuatu yang tetap. Yaitu bahwa ada karakter tertentu yang menandai seseorang sebagai Asia, Eropa, atau Cina, misalnya. Sedangkan kelompok nonesensialis, mereka mempertanyakan kemungkinan mempunyai identitas yang tidak tetap sepanjang masa dan di semua tempat. Dari sudut pandang ini, identitas dapat berubah berdasarkan waktu, situasi, dan tempat. Atau apabila meminjam istilah Anthony Giddens, identitas adalah bagaimana kita memahami dan melabeli kita dalam proses yang terus berlangsung dan dikondisikan oleh interaksi kita dengan orang lain.4. Kekuasaan dan Pelabelan Pribumi dan Non-pribumiFenomena masyarakat Cina di Indonesia selalu menarik untuk dibicarakan dan dikaji. Dalam perjalanannya, masyarakat Cina di Indonesia pernah mendapat sebutan warga non-pribumi. Ini merupakan stigma yang pernah melekat (atau dilekatkan) terhadap warga Negara keturunan Cina. Ini menjadi stigma karena hanya ditujukan kepada warga Negara keturunan Cina, sedangkan warga Negara keturunan lain, seperti Arab, India dan sebagainya tidak dimasukkan dalam kategori kelompok non-pribumi. Jelas di sini peranan kekuasaan sangat kuat membangun pelabelan pribumi dan non-pribumi ini. Kekuasaan pemerintahlah yang menjadikan pelabelan pribumi dan non-pribumi masih menjadi kontroversi sampai sekarang. Mungkin di antara pembaca pernah merasakan adanya penetapan warga negara dalam kartu tanda penduduk (KTP) di masa lalu yang menunjukkan WNI/Pribumi, di mana yang dimaksudkan dengan WNI adalah warga negara Indonesia yang menjadi warga negara karena proses pengadilan untuk menjadi warga negara. Sedangkan yang disebut dengan pribumi adalah justru warga negara asli Indonesia. Memang itu semua telah berlalu, dan usaha-usaha untuk menjadikan warga non-pribumi keturunan Cina untuk benar-benar menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah da terus dilakukan.Memang, kondisi diskriminatif ini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Dimulai dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998, Presiden Indonesia ketiga, B.J. Habibie, memerintahkan (1) menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan atau pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, (2) memberikan perlakuan dan layan yang sama bagi seluruh WNI tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku, agama, ras maupun asal usul, dan (3) meninjau kembali dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha, kesempatan kerja, dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain. Akan tetapi, dalam perkembangannya, masih sangat disayangkan inpres ini mandul. Efektivitasnya masih tidak maksimal karena masih banyak peraturan-peraturan sebelumnya yang tidak dicabut, sehingga tidak serta merta mendukung Inpres No. 26 tahun 1998 ini. Peraturan-peraturan lama tersebut di antaranya Keputusan Presidium Kabinet No. 127.U/Krp/12/1968 mengenai Penggantian Nama, Keputusan Presiden No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan asing, dan Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1976 tentang kebijaksanaan penyelesaian masalah Cina. Baru Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Cina yang sudah dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Undang-undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 2006 membangkitkan semangat non-diskriminatif untuk segera meninggalkan dikotomi pribumi dan non-pribumi. Diharapkan permasalahan kewarganegaraan RI bisa dilihat sebagai hak asasi setiap anak bangsa yang sama kedudukannya di depan hokum.5. Clara atawa Wanita yang Diperkosa: Sebuah Ironi Nasionalisme KeindonesiaanPergulatan nasionalisme keindonesiaan dan identitas menjadi sangat kental dalam cerpen “Clara atawa Wanita yang Diperkosa” karya Seno Gumira Ajidarma ini. Di dalam cerpen ini, penulis cerpen menempatkan dua simpul nyata yang mewakili identitas yang bertolak belakang dan berada pada kutubnya masing-masing. Di satu sisi, Clara –si wanita Cina itu– mendapati dirinya dilahirkan sebagai kulit kuning, bermata sipit, dan orang-orang menyebutnya Cina. Dan apabila meminjam dikotomi pribumi dan non-pribumi, Clara –tidak bisa dipungkiri lagi– ada dalam posisi non-pribumi. Sementara di sisi yang lain, sang petugas dan sang pemerkosa dengan segala ciri-cirinya mewakili posisi pribumi di dalamnya, karena sang petugas adalah orang yang berwenang menerima laporan dari warga negara dan wajib melaporkannya kepada atasnya meski dia melaporkannya disesuaikan dengan kebutuhan. Sedangkan para pemerkosanya, mewakili kaum pribumi kelas bawah dengan yaitu dengan kaki-kaki lusuh dan berdaki yang hanya mengenakan sandal jepit, sebagian besar tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki dan penuh dengan lumpur yang sudah mengering. a. Clara Clara memang dilahirkan di Indonesia. Dia juga tumbuh, berkembang, dan dibesarkan di negeri Indonesia. Clara tidak bisa mengingkari keberadaannya, bahwa dia tetap Cina, setidaknya dari sisi genetis. Dengan kegigihannya dia berusaha meleburkan diri dalam hiruk pikuk kehidupan negeri di mana dia tinggali. Apa yang dia lakukan pun juga didasarkan pemikiran demi kebaikan negeri ini. Dengan kata lain, sesungguhnya dia berkehendak untuk menjadi bagian integral dari dinamika negeri Indonesia, tetapi tetap saja semua karakteristik fisik yang melekat di dirinya tak mengubah stigma buruk tentang ke-Cina-annya. Dari sisi identitas, tidak dipungkiri bahwa karakteristik fisik Clara adalah Cina. Meski begitu, dengan sangat jelas dia mengatakan bahwa dia adalah orang Indonesia. Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar. (CaWyD)Dari sisi identitas, Clara adalah figur yang inklusif. Dia tidak memandang beda antara dirinya yang Cina dengan orang-orang lain di sekelilingnya yang notabene bisa disebut pribumi. Dikotomi pribumi dan nonpribumi tidak dikenal dalam hidupnya. Untuk itu, Clara menjalani kehidupannya dengan sangat terbuka untuk menerima hubungan dengan siapapun. Bahkan, Clara berpacaran dengan seorang lelaki keturunan Jawa.”Huh! Pacarnya orang Jawa!” Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia Jawa atau Cina, saya cuma tahu cinta. (CaWyD)Meskipun Clara dilahirkan sebagai orang Cina yang hidup di Indonesia, Clara mempunyai rasa nasionalisme keindonesiaan yang tinggi. Clara sangat tahu bahasa Indonesia, selain bahasa Inggris untuk kebutuhannya berdagang atau berbisnis. Pemahaman akan bahasa ini juga justru diakui oleh petugas yang dilapori oleh Clara. Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan dirasakannya seolah- olah tidak terkalimatkan. (CaWyD)Bahkan ternyata, Clara juga tidak bisa bahasa Cina. Clara hanya mendapatkan informasi dari orang tentang sedikit karakteristik bahasa Cina yang sangat kaya dalam hal kosakata untuk menggambarkan perasaan. Tetapi Clara tidak bisa bahasa Cina dari dialek manapun kecuali yang ada hubungannya dengan harga-harga. Saya tidak punya bahasa. Saya hanya tahu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis. Kata orang, bahasa Cina sangat kaya dalam hal menggambarkan perasaan, tapi saya tidak bisa bahasa Cina sama sekali dari dialek manapun, kecuali yang ada hubungannya dengan harga-harga. (CaWyD)Berdasarkan identitasnya yang inklusif serta nilai nasionalisme keindonesiaan yang Clara miliki, seolah Clara mau melakukan apa saja untuk tetap dalam jalur inklusifitas dirinya dengan masyarakat pribumi lainnya. Untuk itu, ketika bisnis ayahnya sudah mulai bangkrut, karena utangnya dalam bentuk dolar tiba-tiba membengkak serta perusahaannya sudah tidak berproduksi dan pembelinya juga sudah tidak ada, Clara masih tetap mengupayakan agar perusahaan tidak ditutup. Penutupan perusahaan atau mem-PHK karyawan, kata Clara, selain kasihan juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Demi niatan mulia itu, demi memikirkan karyawannya –yang sebagian besar pribumi– Clara rela pontang-panting sering ke luar negeri. Clara mengusahakan agar profit dari perusahaan-perusahaan patungan di Hong Kong, Beijing, dan Makau diperbesar. Harapannya, profit ini bisa dimanfaatkan untuk membayar karyawan, yang sebenarnya sudah tidak bekerja lagi.Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Papa marah-marah. ”Kita tidak punya uang untuk membayar buruh. Selain produksi sudah berhenti, yang beli pun kagak ada. Sekarang ini para buruh hidup dari subsidi perusahaan patungan kita di luar negeri. Mereka pun sudah mencak-mencak profitnya dicomot. Sampai kapan mereka sudi membayar orang-orang yang praktis sudah tidak bekerja?”Saya masih ngotot. Jadi Papa putuskan sayalah yang harus mengusahakan supaya profit perusahaan patungan kami di Hong Kong, Beijing, dan Macao diperbesar. Tetesannya lumayan untuk menghidupi para buruh, meskipun produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya sering mondar-mandir ke luar negeri dan selalu ada paspor di tas saya. (CaWyD)Sikap nasionalisnya yang tinggi terhadap Indonesia juga ditunjukkan dalam hal bahasa. Bahasa Indonesia, dalam kaca mata Clara masih kurang cukup bisa untuk menyediakan kosakata yang mampu mengungkapkan suatu perasaan dengan sedemikian variatif tetapi komprehensif dan tepat. Mungkin kita sendiri bangsa Indonesia, yang katanya juga menjungjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia, masih kurang menyadari kekurangan itu. Yaitu, di kala Clara begitu ingin mengungkapkan perasaannya yang sangat sakit, terhina, rasa pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami oleh seorang wanita yang diperkosa secara bergiliran oleh banyak orang. Mari kita pikirkan bersama tentang keberadaan bahasa Indonesia kita.Saya bukan ahli bahasa, bukan pula penyair. Saya tidak tahu apakah di dalam kamus besar Bahasa Indonesia ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit, rasa terhina, rasa pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita yang diperkosa bergiliran oleh banyak orang –karena dia seorang wanita Cina. (CaWyD)b. PetugasMetafora ‘Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi’ merupakan penggambaran yang sangat pas oleh Seno Gumira Ajidarma untuk menunjukkan keberadaan petugas dalam cerpen ini. Selain sifat-sifat baik yang dimiliki oleh anjing dan babi, tentunya juga memiliki sifat yang jelek. Anjing, misalnya, selain setia dan melindungi, tetapi juga dengan tingkat proteksi yang sangat tinggi –hingga mungkin berlebihan– menjadikan anjing over-protecting. Anjing akan selalu menggonggong apabila ada orang atau hewan lain yang dianggap akan menyerang atau mengganggu keselamatannya. Bagi seorang petugas, mestinya memang dia harus menjalankan tugas mirip seekor anjing yang waspada untuk semua ancaman dan gangguan yang mungkin terjadi. Tetapi karena petugas ini bertindak diskriminatif, dia tidak objektif melihat siapa yang datang melapor padanya. Dia menggonggong lebih keras kepada wanita yang sebenarnya berambut coklat, meski menurut kebanyakan orang wanita ini berambut merah. Sebagai seorang babi, tentunya, sebuah perumpamaan bagi sifat yang jorok dan rakus. Babi mencari makan di tempat-tempat yang jorok. Biasanya mereka akan berada di kubangan air yang sangat kotor dan bau untuk mencari makan. Babi juga berendam berlama-lama di kubangan itu, yang menjadikan tubuhnya bukan menjadi bersih, tetapi justru tambah kotor. Babi juga perumpamaan dari sifat kerakusan. Apabila sudah mendapatkan makanan, di manapun dia dapatkan, babi akan berupaya untuk mendapatkan makanan tersebut semaksimal mungkin. Dia tidak akan pergi apabila bila belum merasa cukup, dan dia akan terus mencari sampai dia merasa cukup. Saking rakusnya, apabila sedang mengejar sesuatu, babi hanya bisa berjalan/berlari lurus. Dalam berlarinya, babi tidak gesit untuk berbelok-belok sehingga mengesankan dia ingin segera mendapatkan apa yang diinginkannya, meski justru biasanya malah tidak mudah meraih apa yang diinginkannya.Dalam kaitan babi dengan petugas, dalam cerpen ini, petugas mencoba untuk bertindak ‘lurus’ menyesuaikan dengan prosedur yang harus dilaksanakan sebagai seorang petugas. Akan tetapi, karena petugas ini merasa sebagai seorang babi, yang berseragam, maka: Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif — pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan.Maka, kalau cuma menyambung kalimat yang terputus-putus karena penderitaan, bagiku sungguh pekerjaan yang ringan. (CaWyD)Dari sisi identitas, petugas sangatlah eksklusif di dalam melihat diri dan lingkungannya. Dalam kaitannya melihat orang-orang Cina, dia terlihat menunjukkan perbedaan antara dirinya dengan orang Cina tersebut. Dia merasa bahwa orang Cina berbeda dengan dirinya yang (merasa) sebagai orang Indonesia tulen. Petugas ini sudah tahu bahwa yang ada di hadapan dia adalah seorang Cina. Tetapi petugas itu memandangnya dengan cuek, bahkan dia merasa tidak perlu percaya dengan apa yang disampaikan atau dilaporkan oleh pelapor. Dengan stigma buruk atas warna rambut yang dimiliki oleh pelapor –yang sebenarnya dicat coklat, tapi dianggap dicat merah– yang mungkin juga stigma buruk dari si pelapor sendiri, dia memilih untuk tidak suka dan tidak percaya dengan laporan yang disampaikan. Jadi, aku tidak perlu percaya kepada wanita ini, yang rambutnya sengaja dicat merah. Barangkali isi kepalanya juga merah. Barangkali hatinya juga merah. Siapa tahu? Aku tidak perlu percaya kepada kata- kata wanita ini, meski ceritanya sendiri dengan jujur kuakui lumayan mengharukan (CaWyD).Saking bencinya si petugas kepada Cina, petugas itu –yang sudah menyebut dirinya sendiri dengan anjing dan babi– seolah meninggalkan dan melupakan tugas dia yang sesungguhnya yaitu sebagai tempat masyarakat menyampaikan laporannya. Tetapi ketika melihat Clara –si Cina itu– saat menyampaikan laporannya tentang apa yang menimpa dirinya, si petugas menunjukkan sifat kebinatangannya.Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya nampak menerawang. Dia sungguh-sungguh cantik dan menarik, meskipun rambutnya dicat warna merah. Rasanya aku juga ingin memperkosanya. Sudah kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing, barangkali aku seorang babi — tapi aku mengenakan seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya. Masalahnya: menurut ilmu hewan, katanya binatang pun tidak pernah memperkosa. (CaWyD)Sikap petugas, yang menurunkan nilai nasionalisme keindonesiaan, adalah tatkala petugas ini silau dengan materi keduniawian. Sebagai petugas yang harusnya dia kukuh dengan prinsip-prinsip dank ode etik yang sudah ditetapkan. Tetapi dia tergoda untuk mengingkarinya.Pastilah dia seorang wanita yang kaya. Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah. Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya –apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali. Yeah. Kainnya melorot, dan tampaklah bahunya yang putih….(CaWyD)Di sini bukan saja nasionalisme keindonesiaan yang dipertanyakan, tetapi identitas eksklusifnya masih sangat kentara. Dikotomi kaya miskin, pribumi dan nonpribumi juga sangat mengganggu dia. Dia mengatakan ‘Aku memang punya sentiment kepada orang-orang kaya –apalagi kalau dia Cina’.c. PemerkosaMemandang sedemikian benci kepada Cina, bahkan menganiaya serta memperkosa (atau mungkin sebagian ada membantai dan membunuhnya) seperti yang dilakukan oleh para pemerkosa adalah perwujudan pembedaan yang nyata. Terlepas dari kontroversi apakah didalangi orang lain ataukah karena inisiatif sendiri, para pemerkosa yang dipekirakan 25 orang ini sangatlah eksklusif memandang identitas mereka dengan orang-orang Cina. Mereka begitu antipati dengan orang-orang Cina. Dengan berbagai latar belakang yang mendasari perbuatan mereka, para pemerkosa melampiaskan kekesalan yang telah dipendam sekian lama. Sehingga pada saat ada kesempatan, mereka bertindak. Dan tindakan itu terasa sangat brutal. Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.”Buka jendela,” kata seseorang.Saya buka jendela.”Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina? ”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” Pipi saya menempel di permukaan bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan sandal jepit, sebagian tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki dan penuh dengan lumpur yang sudah mengering. (CaWyD)Pemerkosaan atas keluarga Clara memang sangatlah biadab. Bukan hanya Clara yang diperkosa beramai-ramai di atas jalan tol, tetapi semua keluarga Clara serasa tak bersisa. Tindakan brutal pemerkosaan memakan korban kedua adik Clara; yaitu Monica dan Sinta, yang selanjutnya dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Pemerkosaan juga dilakukan kepada ibu Clara, yang akhirnya memilih bunuh diri dengan melompat dari lantai empat. Dan ada kemungkinan, ayahnya pun meninggal karena merasa sudah tidak ada lagi gunanya dia hidup.…..Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan Papa: ”Kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney, atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.” (CaWyD)d. Ibu TuaIbu tua tak bernama, bisa jadi, menjadi penyeimbang atau penengah di antara tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam Clara atawa Wanita yang Diperkosa ini. Dialah yang menolong Clara pascapemerkosaannya. Dialah yang memohonkan maaf atas semua kesalahan para pemerkosa, yang dianggap sebagai anak-anak dari ibu tua ini. ”Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka memang benci dengan Cina.”Saya tidak sempat memikirkan arti kalimat itu. Saya bungkus tubuh saya dengan kain, dan tertatih-tatih menuju tempat di mana isi tas saya berserakan.………………… Dia menangis lagi. Tanpa airmata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak di kursi. Ia hanya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah menolongnya. ”Dia terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu. (CaWyD)6. Penutup Identitas nasionalisme keindonesiaan menjadi ironi dalam cerpen Clara atawa Wanita yang Diperkosa. Di satu sisi Clara, tokoh utama dalam cerita ini, dengan identitas ke-Cina-annya yang telah berubah menjadi inklusif menjadi begitu lebih nasionalis dan menjunjung tinggi rasa keindonesiaannya apabila dibandingkan dengan petugas dan para pemerkosa. Clara berusaha memandang dirinya, yang Cina –nonpribumi– dan lingkungannya, yang pribumi, sebagai sesuatu yang sama. Sesuatu yang setara, sesuatu yang seimbang. Bahkan dalam memainkan perannya, sebagai usahawan, Clara masih tetap berusaha untuk mempertahankan perusahaannya dari kebangkrutan. Semua usaha ini hanya didasarkan pada perhatiannya kepada karyawannya yang sebagian besar adalah masyarakat pribumi.Di sisi lain, petugas dan para pemerkosa memandang sedemikian benci kepada orang Cina. Mereka sama-sama berpikir ekslusif dalam memandang diri mereka dengan lingkungan (Cina) di sekelilingnya. Diskriminasi oleh petugas menyebabkan Clara semakin mendapatkan kesulitan. Dengan kebenciannya kepada orang-orang kaya –apalagi Cina– si petugas yang sudah terlanjur menerima sogokan dan bentuk-bentuk suap lainnya yang illegal, masih juga ingin kaya. Bahkan dengan nafsu kebinatangannya, yang diibaratkan dengan anjing dan babi, ingin memperkosa Clara. Dia melupakan statusnya sebagai petugas, yang berseragam. Sedangkan para pemerkosa mungkin hanya mencoba menumpahkan kebenciannya kepada orang-orang Cina. Meski begitu, tetap saja mereka memandang eksklusif orang Cina.Yang terjadi adalah pergulatan identitas. Permasalahan nasionalisme keindonesiaan tidak bisa dipertemukan di antara pergulatan identitas ini. Apabila permasalahan identitas ini sudah bisa terselesaikan, maka lebih mudahlah untuk membangun dan memperkokoh nasionalisme keindonesiaan.Daftar PustakaAntonia, Esther. 2008. Identitas Nasional Indonesia. Dalam http://id.shvoong.com/social-sciences/1747413-identitas-nasional-indonesia/ (akses 20 Juni 2009)Arismunandar, Satrio. 2009. Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Indentitas. Dalam http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2008/12/indonesia-dan-keindonesi... (akses 22 April 2009)Effendi, Edy A. 2008. Sastra Sejarah; Kawinnya Bahasa dan Pikiran. Dalam http://duniasastra.proboards.com/index.cgi?board=diskusi&action=display&... (akses 23 Juni 2009)Hall, Stuart. 1990. “Cultural Identity and Diaspora” dalam Jonathan Rutherford (ed), Identity, Community, Culture, and Difference. London: Lawrence and Wishart.Hall, Stuart (1991) Culture, Globalization and The World-System: Contempory Conditions for The Representation of Identity edited by Anthony D. King. Houdmills, Basingstoke, Hampshire and London: MacMillan Education Ltd. http://prasetijo.wordpress.com/2008/06/29/old-and-new-identities-old-and... (akses 9 Mei 2009)Nawangwulan, Nita. 2001. Cina Indonesia dan WTO. Dalam http://www.politikindonesia.com/printartikel.php?tipe=N&id=58&jenis=plt (akses 11 Juli 2009)Takwin, Bagus. 2006. Sastra Sebagai Peristiwa Kehidupan. Dalam http://bagustakwin.multiply.com/journal/item/31 (akses 17 Juli 2009)Wibowo, Agus. 2007. Menulis Kebenaran Sejarah Versi Sastra. Dalam http://agus82.wordpress.com/2007/10/21/menulis-kebenaran-sejarah-versi-s... (akses 23 Juni 2009)Windarto, A. tt. Kekerasan Indonesia dalam Sastra Peristiwa. Dalam http://imagesmadhuri.multiply.com/attachment/0/SSJfeQoKDCgAACGAxG41/Keke... (akses 23 Juni 2009)Woodward, Kathryn (ed).1997. Identity & Difference. UK: Open University.

Budi Agung Sudarmanto

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa